“Sudah pulang kerja kenapa nggak langsung ke rumah? Anak bandel.” Mr. Ramsptead melayangkan koran yang tengah dibacanya dengan pelan saat Hanz muncul di ambang pintu kamar.
“Ah, aku sudah bilang pada Mom kalau bakal mampir ke sini. Apa yang sedang Anda lakukan?” Hanz mengerutkan kening saat melihat aneka benda bertebaran di atas meja yang diletakkan di belakang jendela. Dia dan Mr. Rampstead mengatur ulang ruang tidur itu bulan lalu dan memindahkan meja tinggi serta kursi berlapis beledu agar Mr. Rampstead bisa membaca atau menulis dengan pemandangan asri di depannya.
“Oh, ini. Aku sedang membuat gelang tapi istirahat sebentar tadi. Sudah lama nggak melakukannya, tanganku jadi sedikit sakit.” Mr. Rampstead meletakkan koran di atas tempat tidur.
“Memangnya ada acara khusus?”
“Tidak juga. Hanya saja tadi Harriet bilang kalau akhir pekan depan akan ada kunjungan dari murid-murid SD. Kupikir, aku ingin membuatkan beberapa gelang untuk anak-anak perempuan. Kami selalu dibuat senang saat ada kunjungan tapi belum pernah memberikan apa-apa.”
Hanz tersenyum saat melihat ekspresi lembut Mr. Rampstead yang memandang perkakas dan aneka tali warna-warni di atas meja putih itu.
“Aku nggak tahu kalau Anda pandai membuat gelang. Belajar khusus?” Hanz melepas jaket dan menarik kursi sambil melihat beberapa manik yang tampak mengilap di bawah sinar lampu. Ada gunting kecil, kawat, rantai pengait dan benang yang diletakkan dalam kotak panjang berukuran kecil.
“Istriku dulu suka membuatnya untuk anak-anak panti asuhan. Mulanya, aku pikir dia kurang kerjaan sampai saat aku sakit dan harus dirawat di rumah, aku mulai melihat bagaimana senangnya dia ketika membuat gelang-gelang itu. Aku yang waktu itu sedang benar-benar bosan, akhirnya ikut coba membuat.”
“Berhasil?”
Mr. Rampstead tertawa. “Berhasil membuat istriku terbahak-bahak. Aku baru tahu kalau membuat gelang-gelang manis ternyata tidak mudah. Melihat betapa telatennya istriku saat merangkai tali, mengelem, mengikat sampai benda-benda ini jadi sebuah gelang cantik, membuatku sadar kalau aku sudah menikahi salah satu perempuan paling tulus. Aku jatuh cinta padanya lagi saat itu dan mulai ikut membantunya membuat gelang saat luang.”
Hanz bisa melihat mata Mr. Rampstead berkaca-kaca dan pemuda itu membayangkan pasangan suami istri yang saling berbincang dengan hamparan gelang-gelang buatan sendiri. Gelang yang mereka berikan pada anak-anak yang tidak punya orang tua di panti asuhan. Hadiah kecil yang mungkin bisa membuat bocah-bocah itu bersemangat lagi.
Tiba-tiba, sebuah ide melintas di pikiran Hanz. “Apakah Anda keberatan kalau mengajari saya membuat gelang?”
“Hm? Tidak, tapi siapa yang mau kamu beri gelang? Temanmu?”
Muka Hanz mendadak merona dan itu tampaknya terlihat oleh Mr. Rampstead karena pria tua itu mengulas senyum penuh arti.
“Apakah dia teman sekolahmu?”
Hanz mengangguk sambil mengusap lehernya dengan canggung. Entah bagaimana, dia ingin memberi hadiah pada Violet. Berharap kalau kado kecilnya bisa membuat gadis itu bersemangat lagi. Mungkin agak aneh jika dia tiba-tiba memberi perhiasan tapi Hanz tidak peduli. Melihat betapa kacau kejadian hari ini, pemuda itu merasa kalau Violet pantas mendapat penghiburan dan tahu kalau dirinya tidak sendirian.
“Kalau begitu,” ujar Mr. Rampstead sambil membetulkan kacamata bulatnya, “kita harus buat model yang sederhana. Ah, aku ingat ada bandul-bandul yang dulu disimpan istriku dan belum aku gunakan. Sebentar, ya.” Tiba-tiba Mr. Rampstead bangkit dan membuka lemari lalu menarik sebuah kotak berwarna cokelat gelap dari bagian bawah. Ukurannya tidak terlalu besar dan saat pria itu membukanya, Hanz bisa melihat beberapa bandul yang cantik dan tampak klasik.
“Aku ingat putraku membawanya kemari dan belum kupakai. Pilihlah salah satu, Hanz.”
“Tapi ini milik istri Anda. Ini benda yang berharga,” kata Hanz kaget.
“Sebuah benda jadi berharga saat memiliki sebuah arti, Hanz. Saat ini, barang-barang yang ada di atas meja dan di dalam kotak hanyalah benda mati. Saat kamu merangkainya dengan niat dan perasaan, itulah yang mengubahnya menjadi barang berarti. Aku yakin, istriku akan menyuruh hal yang sama kalau mendengar permintaanmu tadi. Ambillah, buat gelang yang cantik untuknya.”
Hanz tidak bisa membantah lagi. Kali ini, dia mengamati lebih saksama. Jumlah bandul itu tidak terlalu banyak. Mungkin hanya sepuluh buah, tapi jelas disimpan dengan baik, meski sudah lama. Hanz melihat sebuah bandul dengan bentuk kupu-kupu. Berwarna perunggu dengan detail sulur pada permukaan sayap. Sederhana dan terkesan misterius. Menurut Hanz, itu sangat cocok untuk Violet.
“Baiklah,” ujar Mr. Rampstead saat Hanz selesai memilih, “kita coba buat sekarang?”
***
Hanz berpikir, kapan terakhir kali dirinya memberi hadiah pada seseorang. Seorang gadis. Setelah kejadian beberapa tahun lalu, Hanz berusaha menjauh dari yang namanya cewek dan menjalin hubungan. Asami pernah mencoba memperkenalkannya dengan salah seorang gadis cantik, tapi ditolak mentah-mentah. Tentu saja, dia dan Asami juga tidak pernah terlibat asmara. Cewek itu terlalu fokus pada pendidikan dan cita-cita sementara Hanz nyaris tidak ingin tampil di muka umum. Cenderung menarik diri karena fokus pada pekerjaan sampingan dan ingin segera kuliah sambil bekerja di tempat yang lebih baik. Hampir tidak ada waktu baginya untuk peduli pada masalah orang lain. Sampai dia melihat Violet di ruang klinik waktu itu.
Hanz meraba gelang dalam kantong jaketnya. Tidak banyak waktu untuk membuat gelang yang rumit jadi Mr. Rampstead memberikan langkah mudah. Bandul itu terjalin dengan tali kulit berbentuk seperti kepang dengan warna gelap. Hanz berharap kalau Violet tidak mengira dirinya orang aneh karena mendadak memberi hadiah.
Saat tiba di rumah, Hanz mendapati ibunya sedang membereskan wastafel dan mengelap dinding dapur. Hanz melepas jaket, meletakkan ransel, dan segera mengambil kain lap dari tangan wanita berambut panjang yang diikat asal-asalan itu.
“Sudah kubilang istirahat yang cukup, Ma,” ujar Hanz saat ibunya berpaling. “Duduk saja dan biar aku yang membersihkan. Ma sudah makan malam?”
Mrs. Schaeffer tersenyum sambil memandang putranya yang menggosok tembok berlapis keramik dengan serius. “Harusnya Ma yang bertanya itu padamu. Sudah, nggak perlu dibersihkan lagi. Kamu pasti capek. Mau minum teh? Atau langsung tidur?”
“Secangkir teh kedengarannya nikmat.” Hanz melipat kain dan meletakkan benda itu di tepi wastafel. Dia memperhatikan ibunya menuang air panas di cangkir-cangkir keramik lalu berkata, “Ma, bagaimana caranya Ma bertahan saat Pa meninggal dulu?”
Mrs. Schaeffer tampak kaget dan hampir menjatuhkan cangkir-cangkir yang dibawanya. Wanita bertubuh gempal itu duduk di kursi bulat, memandang anak semata wayangnya di seberang dan tersenyum penuh kasih sayang.
“Ada yang mengganggu pikiranmu, Hanz?”
Pemuda itu menyeruput teh dan merasakan hangat memenuhi kerongkongan. Dia meletakkan cangkir itu kembali di atas alas berbentuk kotak kecil warna biru tua dan mendesah pendek. “Aku hanya … bingung. Ada teman sekolah yang sedang mengalami hal-hal buruk dan aku cemas dia nggak bisa bertahan.”
Kening Mrs. Schaeffer tampak berkerut tanda heran tapi kemudian dia mengulas senyum mengerti. “Seorang gadis?”
Rona merah yang menjalar di pipi Hanz kelihatan jelas sehingga Mrs. Schaeffer tidak bisa menahan tawa. “Sudah lama aku nggak melihatmu tersipu begini sejak kejadian waktu itu Hanz.”
“Aku tahu, Ma. Jangan meledekku.” Hanz merengut. “Pertanyaanku tadi serius.”
“Ah, maaf. Aku hanya … senang. Melihatmu peduli lagi pada orang lain. Jadi, bagaimana aku bisa bertahan?” Mrs. Schaeffer memandang langit-langit dengan mata menerawang, seolah sedang kembali ke masa lalu. Kemudian, wanita itu menegakkan kepala kembali dan memandang putranya lurus-lurus. “Karena kamu membutuhkanku dan aku juga membutuhkanmu, Hanz. Seorang anak bisa jadi alasan kuat bagi seorang wanita untuk bertahan di dunia sekeras apa pun.”
Meski mungkin itu jawaban setiap ibu di dunia, mau tak mau Hanz merasa terharu. Dia bisa melihat bagaimana perjuangan ibunya selama ini. Mengurus semua dokumen pemakaman sendirian karena kakek neneknya abai terhadap keberadaan mereka, pindah ke rumah yang lebih kecil dan harus menghemat agar Hanz bisa siap masuk kuliah. Ibunya juga lembur nyaris setiap hari untuk mendapat upah tambahan. Semua untuk kepentingan dirinya.
“Apa Ma nggak pernah merasa putus asa?” tanya Hanz lagi.
“Tentu saja. Kadang-kadang aku nyaris menyerah dan ingin lari saja. Tapi, setelah melihatmu bertumbuh, aku seolah mendapat kekuatan baru. Melihatmu yang sekarang, anak baik-baik seperti ini, membuatku bisa tetap berusaha.” Mrs. Schaeffer mencondongkan tubuhnya. “Seseorang yang memiliki arti penting, bisa membuat orang lain bertahan.”
Hanz masih mencerna kata-kata ibunya saat mereka sudah menghabiskan teh. Setelah naik ke kamar dan merebahkan diri di kasur, Hanz mengeluarkan gelang dari jaket. Sorot mata pemuda itu tampak sendu ketika memandang gelang di bawah sinar lampu duduk. Wajah Violet yang muram terbayang di benak Hanz dan juga bagaimana orang-orang di koridor ketika mereka menyerang gadis itu.
Saat Hanz melepas kaus kaki dan bersiap untuk tidur, sebuah notifikasi masuk ke ponselnya. Benda di atas bantal itu berkedip dan wajah Hanz berubah pucat.