Dad dan perempuan itu pergi dari rumah sekitar dua jam kemudian. Aku bisa mendengar kegaduhan di lantai bawah dan melihat mobil jasa pindahan masuk ke halaman. Dua orang berseragam dengan topi, mondar-mandir membawa keluar kotak-kotak dan itu membuat perasaanku semakin hancur. Aku hanya bisa menyelamatkan satu kardus yang saat ini tampak kesepian di lantai. Isinya nggak banyak. Beberapa sarung tangan musim dingin milik Mom dulu, dua helai gaun musim panas dan syal. Setidaknya, aku bisa menyimpannya untuk sekarang.
Rosie tiba di rumah sekitar satu jam setelah Dad pergi dan sepertinya sadar kalau ada yang tidak beres karena dia mengetuk pintu kamar beberapa kali. Sejak aku ditampar Dad kemarin, sikapnya jadi lebih manis dan penuh perhatian. Mungkin dia cemas kalau aku benar-benar ingin ….
Aku nggak tahu apakah aku benar-benar menginginkannya. Hanya saja, semua ini terasa sangat melelahkan. Sejak mereka bercerai, Dad tidak pernah memperhatikanku bahkan waktu aku sakit dan tinggal di rumah selama dua hari. Dad mungkin berpikir kalau tugas seorang ayah hanyalah mencari uang dan merasa sudah menuntaskan kewajibannya. Kami memang nggak kekurangan dan aku bisa mendapat fasilitas yang baik. Namun, ada kalanya semua itu nggak berarti karena aku sama sekali nggak merasakan kehadiran Dad di rumah. Nggak heran kalau Mom tidak tahan dengan Dad yang cuek dan nggak mau tahu urusan domestik.
Asami menghubungiku dari Jepang dan bilang kalau ayahnya sudah sadar. Asami bilang kalau dia dan ibunya masih harus tinggal di Tokyo selama beberapa waktu sampai keadaan ayahnya stabil karena menurut dokter, Mr. Tanaka masih harus melewati beberapa observasi. Dia sempat bertanya bagaimana keadaan di sekolah dan apakah Dave atau Casey masih menyulitkanku. Aku harap Hanz belum cerita apa-apa karena aku bilang pada Asami kalau semuanya baik-baik saja.
Ah. Aku menelepon Mom beberapa menit lalu. Berharap mood-ku bisa membaik tapi saat itu, yang menjawab panggilan adalah seorang pria. Lelaki dengan suara ringan yang terdengar ceria. Aku sampai mematikan telepon saking kagetnya dan berpikir, apakah Mom juga seperti Dad—mulai menjalin hubungan lagi dengan orang lain?
Kalau Mom menikah lagi, dia akan punya keluarganya sendiri. Dad juga akan begitu. Lalu, aku akan tersingkir pelan-pelan dari kehidupan mereka. Begitu, kan? Semakin dipikir, rasanya aku semakin muak saja.
***
“Vi, ayo makan malam. Aku sudah pesan piza kesukaanmu dan menggoreng kentang.”
Violet berpaling dari buku hariannya dan menoleh ke pintu. Ini sudah ketiga kali Rosie mengajaknya makan malam. Violet melihat ke layar ponsel. Jam sembilan malam. Seharusnya Rosie sudah berangkat tidur tapi anak itu bahkan masuk ke dapur dan memasak kentang goreng padahal dia tidak begitu suka mengurus rumah.
Violet turun ranjang dan bisa melihat wajah semringah Rosie saat pintu terbuka. Sepertinya gadis itu benar-benar senang karena dia kini menggamit lengan Violet dan hampir menyeret kakaknya menuruni tangga menuju ruang makan.
“Pelan-pelan,” ujar Violet saat Rosie melesat di anak tangga. Lalu dia melihat piza ukuran besar dan sepiring kentang goreng yang terlihat masih mengeluarkan uap.
“Mewah,” kata Violet sambil tertawa kecil ketika Rosie menarik kursi dan duduk. “Bukannya kamu pantang makan makanan berlemak di malam hari?”
“Lupakan saja soal itu. Lagi pula, kaloriku bakal segera terbakar karena kompetisi sudah dekat. Pelatihku sudah menyusun menu latihan yang kejam dan itu akan menguras semua lemak keluar dari badanku dalam waktu sebulan,” Rosie menusuk kentang goreng dengan garpu. “Aku sudah bilang, kan, kalau tim pemandu sorak kami akan ikut kejuaraan nasional?”
Violet mengangguk sambil mengambil sepotong pizza dan makan langsung dari tangannya. Gadis itu memandag Rosie yang mengenakan kaus oblong putih kebesaran juga celana katun panjang kelabu dengan rambut diikat tinggi-tinggi.
Kapan dia jadi setinggi ini? Aku ternyata juga nggak memberi perhatian padanya sampai nggak sadar kalau Rosie semakin dewasa setiap harinya. Dia juga akan punya kehidupannya sendiri nanti, pikir Violet dengan rasa nyeri di dada. Beberapa tahun lagi dia akan kuliah, berkenalan dengan cowok, bekerja di tempat yang keren, tambah cantik dan bisa saja jadi model seperti yang selalu dikatakannya saat melihat majalah mode. Atau, dia mungkin juga akan menikah dan punya anak yang lucu-lucu. Apakah aku bisa melihat semuanya?
“Kenapa?” Rosie mendongak dari piring dan memandang Violet dengan tatapan bingung.
“Nggak. Hanya berpikir, bagaimana wajahmu saat jadi pengantin nanti,” Violet menumpukan wajah pada sebelah tangannya yang bertengger di atas meja makan. “Aku membayangkan gaun seperti apa yang bakal kamu pakai di saat itu kelak.”
“Apaan, sih?” Rosie tampak geli. “Itu masih sangat jauh. Kenapa mendadak bicara soal itu? Harusnya aku yang bilang begitu. Kamu, kan, lebih tua daripada aku.”
Violet tersentak. Pernikahan? Dia belum pernah membayangkannya. Bisakah dia percaya dengan hal itu setelah melihat rumah tangga orang tuanya yang hancur dan dikhianati cowok yang disukainya?
“Aku harap kamu bisa bertemu dengan orang baik dan bahagia, Ros.” Violet menggumam.
***
Entah karena lelah atau kenyang, Violet segera tertidur setelah tubuhnya menyentuh ranjang. Begitu pulas hingga dia tidak menyadari kalau ponselnya terus-menerus bergetar. Layar gawai pipih itu berkedip-kedip menyala dan memunculkan pesan-pesan.
Ester219: Kalian lihat bagaimana dia pergi tadi?
Meg_babe: Kurasa Hanz terkena tipuannya. Dia nggak lihat bagaimana parahnya sikap Violet Moon. Aku jadi kasihan padanya.
VV213: Kalian tahu kalau Dave dan Hanz bertengkar hebat gara-gara cewek itu?
Ester219: Wah, keterlaluan banget.
Ester219: Sepertinya dia memang belum kapok kalau nggak dikasih pelajaran lebih.
Caseythequeen: Tenang saja. Dia bakal berpikir ulang untuk bikin keributan besok pagi.
Meg_babe: Hm? Apa yang kamu rencanakan, Casey?
Caseythequeen: Tunggu dan lihat saja.