Read More >>"> Violet, Gadis yang Ingin Mati (8.Perasaan yang Memburuk) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Violet, Gadis yang Ingin Mati
MENU
About Us  

Menjelang akhir minggu, suasana di sekolah tampak membaik. Tugas laporan berjalan lancar dan hampir tidak ada gangguan dari Casey meski cewek itu masih suka menatap Violet dengan sinis dan pandangan merendahkan.

Violet tiba di rumah dengan perasaan lebih baik daripada biasanya. Asami mulai sering menyapa dan bahkan mengajak makan siang bersama. Setelah kenal lebih dekat, Violet sadar kalau Asami jauh dari kesan sombong. Sebaliknya, gadis dengan kulit putih itu justru bisa bersikap manis dan ramah meski hanya pada orang-orang tertentu.

“Salah seorang temanku dulu pernah salah paham,” kata Asami yang siang tadi bercerita soal kenapa dia enggan mengobrol dengan gadis-gadis lain di sekolah. “Ada cowok yang mendekat padaku tapi waktu itu,  aku pikir dia melakukannya untuk mendekati temanku. Dia sering memberi hadiah yang tentu saja kuanggap sebagai titipan lalu kuberikan pada temanku itu. Suatu hari, cowok itu marah besar waktu tahu kalau temanku memakai syal yang harusnya buatku. Semua jadi kacau karena temanku mengira kalau aku sengaja membuat dia malu di depan cowok yang disukainya. Aku jadi berpikir dua kali kalau ingin bersikap ramah.

“Lalu, ada juga cewek-cewek yang sengaja mendekatiku begitu tahu siapa ayah dan ibuku. Mereka sengaja bersikap sok akrab hanya karena ingin mendapat kemudahan. Dulu, aku agak naif dan mengira persahabatan kami itu murni, tulus. Jadi, aku iyakan saja ketika mereka mengajak belanja dan membayar makan siang mereka atas nama pertemanan. Bahkan ketika salah seorang dari mereka ingin membuat pesta di rumahku, langsung saja kuiyakan tanpa pikir panjang. Ibuku tahu dan aku dimarahi habis-habisan. Aku sangat kecewa, pada diriku dan juga mereka. Sempat mengurung diri di rumah beberapa lama sampai keadaan membaik. Kemudian keluargaku pindah kemari.”

Violet bisa melihat wajah Asami tampak kecut dan penuh kesedihan saat menceritakan masa lalunya. Beberapa orang memang bisa sangat keterlaluan. Sebagian dari mereka bisa menempel seperti lintah dan mengisap darah kuat-kuat tanpa memikirkan kesakitan orang yang mereka hinggapi.

“Tadinya, kukira bisa menemukan teman baru di sini. Awalnya berjalan lancar. Beberapa dari mereka cukup ramah tapi lagi-lagi, saat tahu siapa orangtuaku, mereka mulai menjilat. Aku benar-benar jijik dan akhirnya menjauh. Kayaknya mereka sakit hati waktu aku menolak mengadakan pesta di rumah dan mulai menyebar isu kalau aku takut ketahuan punya keluarga yakuza.” Asami tertawa. “Padahal pamanku komisaris polisi, loh. Dia kerja di wilayah Kobe. Aku nggak tahu kenapa banyak cewek yang bisa mengumbar isu sebegitu mudah tanpa memikirkan dampaknya. Gara-gara itu, aku jadi malas berteman sama sebagian besar dari mereka.”

“Lalu, kenapa kamu bisa ngobrol begini santai denganku?” tanya Violet, agak heran.

“Kupikir, kita punya kesamaan,” ujar Asami. “Aku melihat bagaimana Casey menghinamu waktu itu dan  kamu nggak tahu betapa senangnya aku saat melihatmu menjatuhkannya. Ah, maaf, bukannya aku senang kamu dapat masalah. Hanya saja, dia memang perlu dihajar sekali-sekali,” Asami terkekeh.

“Tapi kemudian, muncul rumor nggak jelas itu dan meski ini kedengarannya sok tahu, aku sadar kalau itu mengganggumu. Kamu jadi agak pendiam dan lebih sering ke perpustakaan daripada nongkrong dengan teman-temanmu.”

Violet tertegun. Ketika ayahnya sendiri abai akan masalahnya, Asami yang tadinya orang asing, justru bisa langsung menangkap jelas apa yang sedang mengganggunya. Kadang-kadang Violet bingung.

 

Ada sepatu bermotif sisik ular dalam balutan warna merah menyala di ruang depan saat Violet tiba di rumah. Gadis itu mengernyit, sadar kalau ada tamu yang datang. Jujur saja, cewek itu merasa risih dan berniat untuk tidak menyapa—siapa pun itu—dan memutuskan berjingkat ke kamar. Namun, ketika melewati ruang kerja, terdengar suara orang bercakap-cakap.

“Kenapa, sih, mereka nggak tinggal saja dengan ibunya?”

Langkah Violet refleks terhenti. Dia seperti mengenal suara perempuan yang terdengar seperti lengkingan itu. Perlahan, gadis itu mendekati ruang kerja Mr. Moon dan berusaha tidak menimbulkan suara apa pun ketika menempelkan telinga ke pintu yang ternyata tidak tertutup rapat.

“Semua karena pendidikan mereka. Setidaknya, mereka harus menyelesaikan sekolah dan kuliah dulu.”

“Kenapa bukan mantan istrimu yang melakukannya?”

“Wanita itu membuatku tidak berkutik di pengadilan. Jane bilang, ini kompensasi karena dia tidak menuntut pembagian harta. Seperti yang kamu tahu, Jane tidak mendapat apa-apa setelah perceraian kami.”

“Ternyata harga dirinya tinggi juga, ya. Tapi semua jadi merepotkan. Kamu sadar, kan, kalau anak sulungmu itu nggak menyukaiku? Dia bakal bikin repot dan aku bisa merasakan kalau dia berencana menyusahkan hubungan kita.”

Terdengar helaan napas berat disusul suara Mr. Moon yang bicara, “Itulah sebabnya dari dulu aku lebih ingin anak laki-laki. Para pria berpikir dan bersikap lebih simpel, tidak rumit. Tidak selalu emosional. Rosie tidak terlalu memusingkan tapi Violet, kadang-kadang aku ingin agar dia bisa tinggal bersama ibunya saja.”

Bulu kuduk Violet merinding dan tubuhnya terasa seolah disiram dengan air es. Tidak lama kemudian, dia sudah berbalik dan menaiki tangga perlahan-lahan agar tidak menimbulkan suara, berjalan ke kamar dan menutup pintu lalu menguncinya. Violet merebahkan diri di ranjang, tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

Tidak ada yang menginginkannya. Bahkan ayahnya sendiri.

 

Segera setelah mobil Mr. Moon keluar dari halaman, Violet membalas pesan dari Dave dan mengiyakan ajakan cowok itu untuk pergi. Dia sedang tidak ingin bicara dengan siapa pun di rumah, bahkan tidak dengan Rosie. Violet juga ragu apakah harus membicarakan hal ini dengan Asami yang baru dia kenal. Dia tidak ingin membuat cewek itu merasa tak nyaman dan salah paham padahal mereka baru mulai berteman. Mungkin, jalan-jalan sebentar dengan Dave bisa membuat perasaannya lebih baik.

Violet mengenakan rok panjang sebetis dan baju lengan panjang yang ditimpa dengan mantel warna hitam. Setelah memakai sepatu bot kulit warna hitam, cewek itu menuruni tangga dan melihat ruang tamu yang kosong dan sepi. Hati Violet terasa berjengit saat perkataan ayahnya terlintas.

Kalau tidak ada yang menginginkan aku di tempat ini, ke mana lagi aku harus pergi?

***

Dave melambai di pintu masuk mal. Cowok itu memakai kaus hitam dan kemeja flanel dibalut rompi parka biru tua. Dia kelihatan ganteng dan Violet menyadari kalau penampilan pemuda itu terlihat mencolok di antara keramaian. Beberapa cewek meliriknya dan tampak kagum.

“Sudah lama?” tanya Violet saat Dave menegakkan punggung dan melepas tudung rompi. Rambutnya yang bergelombang tampak mengilap ditimpa cahaya lampu dan Violet bisa merasakan kalau cewek-cewek memandangnya iri. Ada sedikit pendar bangga di dalam hati Violet karena dia yang jalan bersama Dave dan bukan mereka.

Harusnya Casey melihat kami sekarang, batin Violet, mendadak merasa menang. Cewek itu selalu memandangnya seperti gadis kampungan yang tak pantas ditaksir dan lihat siapa yang mengajak Violet pergi sekarang?

“Nggak. Aku juga belum lama sampai. Jadi, kita mau ke mana? Nonton?” suara Dave terdengar bersemangat.

“Aku belum tahu,” sahut Violet sambil menggosok tangannya. “Bagaimana kalau kita berputar-putar dulu saja?”

“Tentu.” Dave tersenyum manis.

Sebagian besar pengunjung mal di akhir pekan itu adalah remaja-remaja London Utara. Mereka tampak senang, menghabiskan waktu musim dingin dalam mal yang terang dan kering, berbeda dengan salju yang turun dan basah di luar. Banyak dari mereka yang mampir ke toko pakaian dan kosmetik sementara yang lain pergi ke kafe untuk menghangatkan diri dengan secangkir kopi atau cokelat panas.

“Bagaimana kalau kita minum cappuccino?” tanya Dave setelah berjalan sekitar lima belas menit.

“Oh, boleh.”

“Kita ke Costa yuk.”

Dave hendak meraih tangan Violet tapi cewek itu menepis segera. Wajah Violet kelihatan sama kagetnya dengan Dave dan hampir merah padam.  

“Maaf,” ujar Violet ketika melihat perubahan raut muka Dave yang tampak syok. Mungkin dia belum pernah ditolak untuk bergandengan dengan cewek sebelumnya. Namun, Violet sendiri merasa tidak nyaman karena mereka berdua belum benar-benar saling kenal.

“Ah, nggak usah dipikirkan. Jadi, Costa atau Nero?”

“Hm … terserah kamu saja.”

Violet menunduk di sepanjang jalan sementara Dave terlihat berusaha untuk membuka obrolan. Cowok itu bicara soal pesta yang akan diadakannya akhir pekan depan dan bertanya apakah Violet mau ikut.

Sejujurnya, Violet tidak suka datang ke rumah orang lain untuk menyapa banyak orang. Dia selalu menghindar dari jenis pesta apa pun karena selalu salah tingkah dan bingung ketika bertemu dengan orang-orang baru. Violet selalu merasa cemas dengan apa yang dipikirkan orang lain soal dirinya. Pesta Dave  berarti sebagian besar cowok dan cewek yang dikenalnya bakal datang bahkan Casey mungkin juga akan ada di sana. Gadis itu juga suka mengadakan pesta karena suka bersenang-senang bahkan di malam sekolah.

“Aku akan memikirkannya,” sahut Violet kemudian, berharap jawabannya tak mengecewakan. Mereka tiba di Costa Coffee dan Violet segera mencari tempat duduk selama Dave memesan di konter.

Hampir tidak ada bangku yang kosong dan dengan cepat, Violet mengambil tempat di salah satu kursi kayu bersarung kain dengan corak houndstooth di salah satu sudut ruangan. Aroma kopi menguar diiringi riuh rendah obrolan para pengunjung yang menikmati minuman mereka dari cangkir masing-masing. Ruangan kafe itu tampak menenangkan dengan lampu-lampu tergantung di langit-langit.

Tak berapa lama, Dave muncul dengan nampan dengan dua cangkir cappuccino  dan dua potong croissant. Diam-diam, Violet bersyukur karena dia tidak makan apa-apa sebelum berangkat. “Ingin kupesankan yang lain?” tanya Dave saat Violet mengambil salah satu piring dan segera meraih pisau roti.

“Nggak, ini sudah cukup. Makasih,” kata Violet sambil mulai memotong roti yang masih hangat.

Violet baru sadar kalau dia terus makan sementara Dave memerhatikannya. Cewek itu mendongak dari piring lalu tersenyum malu.

“Maaf, aku makan terus.”

“Nggak masalah. Aku senang kamu datang. Tadinya kukira, kamu bakal menolak karena nggak langsung balas pesan yang kukirim.”

“Maaf soal itu.”

Dave ketawa. “Kenapa minta maaf terus? Kamu, kan, nggak salah.”

Violet memandang Dave. Cowok itu kelihatan tulus dan memperlakukannya dengan ramah sedari tadi. Dia bersikap manis saat masuk ke kafe, membukakan pintu untuk Violet dan bertanya apakah gadis itu punya alergi makanan atau ada minuman yang tidak disukainya. Mereka belum akarab—atau setidaknya itulah yang dipikir Violet—tapi Dave bersikap seolah mereka berdua sudah kenal lama.

Akhirnya, Violet memberanikan diri bertanya. Dia berhenti menyesap kopinya dan memandang lurus pada Dave yang sedang menyantap potongan terakhir croissant.

“Boleh aku tanya sesuatu?”

Dave mendongak dan menghapus remah-remah dari sudut bibir. Violet bisa merasakan jantungnya berdegup keras ketika cowok itu membalas tatapannya.

“Kenapa? Kok serius banget?”

“Kenapa kamu bisa suka padaku?”

Dave kelihatan kaget dan mulutnya terbuka sedikit sementara wajah Violet bersemburat. Gadis itu sebenarnya merasa malu karena mengajukan pertanyaan yang kedengaran konyol tapi dia memang benar-benar ingin tahu. Violet pikir, cowok-cowok populer seperti Dave bakal memilih cewek yang tahu cara bersenang-senang, modis, dan cantik. Dia merasa jauh dari kriteria itu.

“Memangnya harus pakai alasan, ya?” Dave balik bertanya. Kedua alisnya naik dan dia nyengir. “Memangnya aku nggak boleh suka padamu, begitu saja?”

“Tetap saja,” Violet bersikeras. “Aku penasaran karena kamu pernah sama Casey dan aku yakin cewek yang namanya Jessica atau siapa itu, juga cakep banget. Jadi … kenapa ….”

“Casey dan Jessica memang cantik. Tapi kamu, kan, juga begitu, Vi.”

Suara Dave terdengar lembut dan matanya yang tajam menatap Violet dalam-dalam. Pada satu sisi, Violet merasa tidak percaya tapi keraguan itu hampir menguap ketika sorot mata Dave terlihat sungguh-sungguh.

Apa aku memang boleh berharap ada orang yang benar-benar menyukaiku di dunia ini? Orang yang menginginkanku? pikir Violet. Getir.

 

Dave berkeras untuk mengantar Violet setidaknya sampai halte bus meski saat itu salju sudah turun. Mereka sama-sama tidak membawa payung dan setengah berlari ke halte sambil berhati-hati agar tidak terpeleset di atas lapisan es yang licin.

Saat tiba di halte, tidak ada seorang pun di sana. Cewek itu menggosok kedua tangannya yang terasa dingin saat Dave berdiri di sisinya. Sesaat, tidak ada yang bicara dan Violet masih mengamati kejauhan saat tiba-tiba wajah Dave mendekat. Cowok itu memandang mata Violet dalam-dalam kemudian menatap bibir gadis itu.

Dave hampir mencium Violet ketika gadis itu mendadak berteriak. Violet mendorong Dave yang lalu terhuyung. Cowok itu tampak sangat kaget saat Violet mundur dengan napas tersengal dan muka merah padam.

“Jangan ….” desis Violet di antara keterkejutannya.

Dave terlihat salah tingkah apalagi ketika sadar ada pejalan kaki lain yang melintas dan tertawa kecil. Cowok itu tampak kikuk dan canggung sementara Violet menjauh.

“Maaf,” kata Violet dengan suara bergetar. “Aku hanya … nggak bisa.”

“Aku pikir kita sama-sama saling suka?” sergah Dave dengan muka yang tampak sebal. “Kamu nggak bakal mau jalan denganku kalau kamu nggak suka, kan?”

Perkataan Asami terlintas lagi di benak Violet. Mungkin ini sebabnya cewek itu juga menjaga jarak dari orang-orang. Mungkin benar apa katanya. Ada orang-orang yang hanya ingin mendapat keuntungan dari orang lain. Mungkin Dave juga begitu. Dia ingin menghabiskan waktu dengan bersenang-senang bersama cewek sementara Violet lebih butuh teman bicara.

“Apa ini maksudmu mengajakku keluar?” tiba-tiba Violet merasa marah. “Hanya karena aku dan kamu jalan sore ini, kamu langsung berpikir kita punya hubungan khusus? Aku nggak percaya ini. Tadinya kukira kamu orang baik, Dave.”

“Apa? Kenapa kamu yang jadi marah?”

Violet tidak menjawab pertanyaan cowok itu dan memutuskan pergi dari sana. Dave tampaknya tidak berusaha mengejar dan Violet rasa itu lebih baik. Perasaannya jadi lebih buruk dan dengan suasana di rumah yang tidak lagi nyaman, gadis itu tidak tahu lagi harus pergi ke mana.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Tumpuan Tanpa Tepi
6628      2537     0     
Romance
Ergantha bercita-cita menjadi wanita 'nakal'. Mencicipi segala bentuk jenis alkohol, menghabiskan malam bersama pria asing, serta akan mengobral kehormatannya untuk setiap laki-laki yang datang. Sialnya, seorang lelaki dewasa bermodal tampan, mengusik cita-cita Ergantha, memberikan harapan dan menarik ulur jiwa pubertas anak remaja yang sedang berapi-api. Ia diminta berperilaku layaknya s...
Under The Moonlight
1424      785     2     
Romance
Ini kisah tentang Yul dan Hyori. Dua sahabat yang tak terpisahkan. Dua sahabat yang selalu berbagi mimpi dan tawa. Hingga keduanya tak sadar ‘ada perasaan lain’ yang tumbuh diantara mereka. Hingga keduanya lupa dengan ungkapan ‘there is no real friendship between girl and boy’ Akankah keduanya mampu melewati batas sahabat yang selama ini membelenggu keduanya? Bagaimana bisa aku m...
Aku Menunggu Kamu
102      91     0     
Romance
sebuah kisah cinta yang terpisahkan oleh jarak dan kabar , walaupun tanpa saling kabar, ceweknya selalu mendo'akan cowoknya dimana pun dia berada, dan akhirnya mereka berjumpa dengan terpisah masing-masing
Rumah (Sudah Terbit / Open PO)
2177      982     3     
Inspirational
Ini bukan kisah roman picisan yang berawal dari benci menjadi cinta. Bukan pula kisah geng motor dan antek-anteknya. Ini hanya kisah tentang Surya bersaudara yang tertatih dalam hidupnya. Tentang janji yang diingkari. Penantian yang tak berarti. Persaudaraan yang tak pernah mati. Dan mimpi-mimpi yang dipaksa gugur demi mimpi yang lebih pasti. Ini tentang mereka.
Premium
MARIA
5099      1858     1     
Inspirational
Maria Oktaviana, seorang fangirl akut di dunia per K-Popan. Dia adalah tipe orang yang tidak suka terlalu banyak bicara, jadi dia hanya menghabiskan waktunya sebagian besar di kamar untuk menonton para idolanya. Karena termotivasi dia ingin bercita-cita menjadi seorang idola di Korea Selatan. Hingga suatu ketika, dia bertemu dengan seorang laki-laki bernama Lee Seo Jun atau bisa dipanggil Jun...
EPHEMERAL
92      84     2     
Romance
EPHEMERAL berarti tidak ada yang kekal, walaupun begitu akan tetap kubuktikan bahwa janji kita dan cinta kita akan kekal selamanya walaupun nanti kita dipisahkan oleh takdir. Aku paling benci perpisahan tetapi tanpa perpisahan tidak akan pernah adanya pertemuan. Aku dan kamu selamanya.
The Black Heart
841      440     0     
Action
Cinta? Omong kosong! Rosita. Hatinya telah menghitam karena tragedi di masa kecil. Rasa empati menguap lalu lenyap ditelan kegelapan. Hobinya menulis. Tapi bukan sekadar menulis. Dia terobsesi dengan true story. Menciptakan karakter dan alur cerita di kehidupan nyata.
Of Girls and Glory
2533      1201     1     
Inspirational
Pada tahun keempatnya di Aqiela Ru'ya, untuk pertama kalinya, Annika harus berbeda kamar dengan Kiara, sahabatnya. Awalnya Annika masih percaya bahwa persahabatan mereka akan tetap utuh seperti biasanya. Namun, Kiara sungguh berubah! Mulai dari lebih banyak bermain dengan klub eksklusif sekolah hingga janji-janji yang tidak ditepati. Annika diam-diam menyusun sebuah rencana untuk mempertahank...
Si Neng: Cahaya Gema
96      86     0     
Romance
Neng ialah seorang perempuan sederhana dengan semua hal yang tidak bisa dibanggakan harus bertemu dengan sosok Gema, teman satu kelasnya yang memiliki kehidupan yang sempurna. Mereka bersama walau dengan segala arah yang berbeda, mampu kah Gema menerima Neng dengan segala kemalangannya ? dan mampu kah Neng membuka hatinya untuk dapat percaya bahwa ia pantas bagi sosok Gema ? ini bukan hanya sede...
Tulus Paling Serius
1491      631     0     
Romance
Kisah ini tentang seorang pria bernama Arsya yang dengan tulus menunggu cintanya terbalaskan. Kisah tentang Arsya yang ingin menghabiskan waktu dengan hanya satu orang wanita, walau wanita itu terus berpaling dan membencinya. Lantas akankah lamanya penantian Arsya berbuah manis atau kah penantiannya hanya akan menjadi waktu yang banyak terbuang dan sia-sia?