Mr. Moon tidak muncul saat sarapan dan Rosie juga terlihat tidak berselera makan. Cewek itu menuang susu hangat ke gelas dengan lesu, sementara Violet membetulkan kaus lengan panjang dan melilitkan syal di leher. Tidak ada yang bersuara selama beberapa saat dan hanya terdengar suara gemeretak dari pemanas ruangan.
“Kamu suka, ya, sama wanita itu?” tanya Violet saat Rosie meneguk minumannya.
“Siapa?” Rosie mengusap bekas susu yang tersisa di sekitar mulut dengan serbet.
“Magda.”
Rosie pasang tampang kesal dan kedua alisnya langsung bertaut saat nama perempuan itu disebut. “Aku cuma sedang cari kelemahannya. Kamu nggak tahu, kan, kalau aku hampir muntah waktu dia memelukku semalam. Benar-benar sok akrab.”
Violet melongo, lalu tertawa, merasa lega karena dia pikir adiknya suka dengan wanita yang kelihatan licik dan jahat itu. Violet menarik kursi sementara Rosie meletakkan secangkir kopi di depan kakaknya.
“Lagian, semalam suasananya sudah kacau. Kalau aku nggak berusaha terlihat seperti ‘anak baik-baik’, Dad bisa tambah menyulitkan kita.”
“Maaf. Aku nggak bisa menahan diri. Banyak yang terjadi di sekolah dan itu membuatku pusing.”
“Nggak usah dipikirkan. Sekarang, kita harus cari cara untuk memisahkan Magda dari Dad. Aku nggak percaya kalau niatnya tulus ingin menikah dengan Dad. Wanita itu sepertinya cuma tertarik dengan uang Dad saja. Kamu perhatikan nggak semalam dia terus menyinggung soal sepatu Louboutine dan tas Gucci keluaran terbaru?”
Violet tersenyum kecut. Pikiran gadis itu melayang sejenak dan setelah ragu sesaat, dia berkata, “Sudah terima kabar dari Mom?”
Raut Rosie berubah suram. “Nggak. Ponselnya mati dan E-mailku juga belum dibalas. Mungkin Mom memang benar-benar butuh waktu untuk memulihkan diri.”
Violet membuang napas panjang ketika ponsel Rosie berbunyi dan gadis itu beranjak dari kursinya.
“Jemputanku sudah datang. Aku duluan, ya.”
Violet melambai pada adiknya yang bergegas ke ruang depan, lalu memandang ke jendela di dapur. Salju tampak seperti permadani putih yang menutupi jalan. Terlihat sangat cantik tapi entah kenapa, membuat Violet merasa kesepian.
Saat turun dari bus, Violet melihat Dave yang berdiri di tembok sekolah. Cowok itu tampak keren dengan topi bisbol, jaket hitam bergaris biru terang di bagian dada dan denim hitam. Tidak seperti biasanya, Dave sendirian. Violet tidak melihat Si Cowok Klinik atau kedua temannya yang lain tempo hari.
“Pagi, Vi. Aku sudah menunggumu dari tadi,” sapa Dave begitu Violet melintas.
“Hah?”
“Masuk, yuk.”
Violet melirik gelisah dari sudut mata ketika orang-orang mulai memandangi dirinya dan Dave. Sekarang, sudah tidak bisa lari lagi. Seantero sekolah akan membahas hubungan mereka, cepat atau lambat. Gosip atau bukan, kebanyakan dari siswa sekolah ini hanya ingin mendengar apa yang mau mereka dengar dan sudah pasti, kedua cewek kemarin bakal melapor pada Jessica.
“Ngomong-ngomong, aku belum punya nomor teleponmu,” kata Dave saat mereka mulai menaiki anak-anak tangga berwarna kelabu dengan susuran logam bercat hitam.
“Untuk apa?”
“Tentu saja untuk menghubungimu,” Dave ketawa, terdengar ringan.
Violet menimang-nimang sejenak. Kasih atau tidak? pikirnya. Dia merasa sedang butuh teman bicara. Benar-benar memerlukannya dan mungkin saja Dave bisa menemaninya di saat-saat sulit seperti sekarang ini. Sikapnya sangat manis dan penuh perhatian. Violet pikir, dia bisa memberi Dave kesempatan untuk dipercaya.
Violet masih ragu ketika melihat sinar mata Dave yang tampak hangat, bersahabat. Lalu terlintas perlakuan dua cewek kemarin juga Casey yang seolah menganggapnya pengganggu dan tidak pantas ditaksir Dave.
Kenapa aku jadi peduli omongan mereka? Aku, kan, nggak salah, batin Violet, akhirnya memantapkan hati. Dia mengulurkan tangan ke arah Dave.
“Oke, sini ponselmu.”
Violet mengetikkan nomor dan menyerahkan kembali benda pipih berwarna keperakan itu. Dave kelihatan puas dan memberi isyarat dengan jari yang membentuk gagang telepon sambil berkata, “Aku akan telepon nanti, ya.” Lalu, cowok itu bergabung dengan teman-temannya yang menunggu di dekat tembok gedung sekolah.
Murid-murid kelas dua belas berkumpul dan sebagian besar dari mereka tampil dengan dandanan lebih dari biasanya. Hari ini sekolah Violet mengadakan tur ke museum di Kensington dan kegiatan di luar kelas sepertinya dimanfaatkan banyak cewek untuk memakai rok andalan dan baju terbaik mereka.
Samantha dan Judy berjalan ke arah Violet yang bersandar pada tiang penunjuk arah sambil mengunyah permen karet. Samantha seperti biasa, tampil sporty dengan jaket bomber dan celana denim dengan sepatu kets Nike warna kelabu. Sementara Judy kelihatan cantik karena meluruskan rambutnya yang kemerahan dan memakai jaket parka biru dan jins putih.
“Casey membicarakanmu di sana,” kata Judy sambil berpaling ke arah Casey yang berada di seberang dan sedang menatap ke arah Violet. Muka cewek itu tampak masam.
“Kayaknya dia melihat kamu ngobrol dengan Dave. Kalian sudah akrab, ya?” tanya Samantha sambil menyisir rambutnya yang keriting dan panjang menggunakan jari.
Violet mengambil permen karet dari saku jaket dan menawarkannya pada Samantha. Cewek itu mengambil dua lembar sementara Judy menggeleng sambil menunjuk permen lolipop yang ada di tangannya.
“Dia cuma minta nomor teleponku. Nggak lebih.”
Muka Samantha terang seperti lampu, kelihatan antusias. “Wow. Seperti yang dibilang cewek-cewek, Dave benar-benar gesit. Sebentar lagi dia bakal mengajak kamu keluar.”
“Sebenarnya,” Violet menggembungkan permen lalu balon kecil warna merah muda itu meletus. “Dia memang mengajakku tapi aku belum kasih jawaban.”
Judy membuka bungkus permen dan memasuk lolipop ungu itu ke mulut. “Memangnya kenapa? Dave minta nomor lalu mengajak keluar, artinya dia memang tertarik, kan?”
Violet angkat bahu. “Aku, kan, belum terlalu mengenalnya. Ah, sudahlah. Busnya sudah siap. Ngomong-ngomong, mana Michelle?”
“Lagi ke toilet. Kamu naik duluan saja.”
Violet mengangguk lalu beranjak menuju bus warna kuning cerah. Dia sengaja mengambil kursi di depan karena biasanya tempat itu yang paling tenang. Cowok-cowok dan sebagian cewek biasanya mengambil kursi di bagian belakang atau tengah. Bakal berisik padahal Violet ingin tidur dengan nyaman selama perjalanan.
Saat semua kursi favorit murid sudah terisi, Asami muncul di ambang pintu. Cewek itu terlihat mengagumkan dengan blus hitam yang dipadu jaket kulit merah gelap dan mantel panjang warna hitam. Kakinya terlihat semakin jenjang dalam balutan sepatu bot berleher tinggi dan dia melengkapinya dengan rok vintage hitam.
Tidak ada kursi yang tersisa selain tempat kosong di sebelah Violet. Tanpa ragu, Asami mengempaskan diri di sana dan membuka kacamata hitamnya. Violet bisa mencium aroma vanila dan musk saat gadis itu duduk.
Selama sepuluh menit perjalanan, cewek-cewek bicara soal video klip band terkenal yang baru sementara cowok-cowok menyusun agenda akhir pekan dan rencana untuk bermain bowling atau sepak bola.
Violet masih diam, memandang keluar jendela saat dia merasakan Asami beringsut di kursinya. Violet berpaling dan melihat wajah teman duduknya berubah pucat. Asami juga menutup mulutnya dan memegang perut sambil memejamkan mata seperti menahan sakit.
“Kamu … mual?” tanya Violet karena cewek di sebelahnya seperti nyaris muntah.
Asami tidak menyahut dan berusaha bersandar di kursi. Violet ingat kalau dia menyimpan minyak yang pernah dibelinya dari toko penjual barang-barang impor. Karyawan toko mengatakan kalau minyak itu sering digunakan untuk meredakan pusing dan mabuk perjalanan oleh orang-orang di daerah Asia.
“Pakailah ini di lehermu dan hirup aromanya, mungkin bisa mengusir rasa mual.” Violet menyodorkan botol kecil pada Asami. Mulanya, gadis itu membuka mata dan diam sejenak, tapi kemudian diambilnya benda itu dari tangan Violet. Asami melepas syal berwarna merah-hitam dengan logo H itu, lalu membuka tutup minyak. Dia melakukan seperti yang dianjurkan Violet dan beberapa saat kemudian, mulai tampak lebih tenang.
“Pegang saja. Sepertinya kamu butuh sampai kita balik ke sekolah lagi nanti,” ujar Violet sambil tersenyum saat Asami akan mengembalikannya.
“Makasih.”
“Nggak biasa naik bus, ya?”
Wajah Asami bersemu merah dan membuat Violet kaget. Ternyata cewek yang terlihat seperti model dan putri raja masa kini itu bisa punya sisi imut yang menggemaskan. Tadinya Violet kira, Asami seperti tokoh tangguh dalam komik Jepang yang pernah dibacanya—cewek bersyal merah yang bisa menghabisi raksasa dalam sekali tebas. Figur mereka mirip—cantik dan kelihatan kuat. Siapa sangka ternyata Asami bisa mabuk darat?
“Selama ini aku selalu diantar dan biasanya di hari dingin begini, aku memakai kompres hangat di perut,” jelas Asami sambil menghidu minyak dari botol. “Tapi hari ini, Mom menyuruhku untuk naik bus. Katanya biar aku bisa berbaur dan punya … teman.”
Ada nada sinis sekaligus getir dari ucapan Asami barusan—atau setidaknya, itu menurut Violet. Untuk sesaat, cewek itu tidak tahu harus berkata apa. Suasana mendadak sangat canggung. Asami juga tidak mengatakan apa-apa dan sibuk mengoles minyak pada kedua tangannya.
“Kamu bisa membeli penghangat tangan kemasan. Itu, loh, yang dikemas kecil-kecil. Aku kadang memakainya juga. Toko barang impor biasanya jual produk-produk seperti itu,” kata Violet, lega mendapat topik baru untuk menghindarkan rasa tidak enak barusan.
“Benarkah? Aku nggak tahu. Biasanya pelayan yang belanja kebutuhan rumah. Aku nggak tahu apa mereka bisa menemukan toko yang kamu maksud.”
“Nggak masalah,” kata Violet sambil menggosok kedua tangannya dan melanjutkan, “aku bisa antar kamu ke tokonya, kalau mau.”
Ajaib banget, pikir Violet. Tadinya dia kira, Asami orang yang sulit diajak bicara. Banyak yang mengatakan kalau cewek itu angkuh dan penyendiri, tidak mau bergaul dengan orang-orang yang berada di luar ‘kelasnya’. Kemudian, Violet sadar kalau tidak ada gosip yang bisa dipercaya. Omongan dari mulut ke mulut cenderung berubah, entah ditambah atau dikurang. Dan efeknya bisa sangat, sangat berbahaya.
“Kamu cewek yang suka ke perpustakaan itu, kan?” tanya Asami kemudian ketika Violet mulai melihat keluar jendela lagi. Sementara cowok-cowok di belakang mulai saling bertanding permainan lewat ponsel mereka sedangkan sebagian cewek membetulkan makeup.
“Ah, iya. Aku juga sering melihatmu di sana.”
“Lucu, ya. Kita sering ketemu tapi ini pertama kalinya kita ngobrol. Aku Asami Tanaka.”
“Aku tahu. Aku Violet Moon.”
“Kamu tahu namaku?”
“Siapa yang nggak kenal kamu?” Violet terkekeh. “Kamu, kan, sangat populer.”
Wajah Asami meredup, kemudian berubah kecut. “Terkenal sebagai cewek sombong yang susah bergaul. Tentu saja. Aku memang populer.”
Mendadak, Violet merasa tidak enak. Ternyata Asami tahu bagaimana orang-orang memandangnya selama ini.
“Ya, kesan pertamaku di sekolah juga nggak bagus, kok.” Violet menghela napas dan membuat Asami berpaling ke arahnya.
“Maksudmu?”
“Kamu nggak tahu kalau julukanku adalah ‘Cewek Nggak Cantik yang Sok Pintar’? Setidaknya, nggak ada yang komentar soal wajahmu, kan?”
Asami terperangah, lalu menampakkan wajah kesal. “Beberapa orang memang bisa kebangetan. Entah kenapa, mereka suka sekali memberi julukan ini dan itu padahal sama sekali nggak kenal kita. Menjengkelkan.”
Violet mengangguk setuju lalu tersadar kalau bus sudah berhenti. Guru pendamping mereka—Mr. Robert—menyuruh murid-murid untuk bergegas turun dan berbaris di halaman untuk memberi pengarahan singkat. Setelah itu, semua orang memasuki museum.
Sebagian besar murid mengeluarkan ponsel pintar mereka tapi Violet mengambil buku catatan dan bolpoin, lalu menggenggamnya. Asami memperhatikan itu dan bertanya, “Kamu benar mau mencatat semua yang ada di museum ini?”
Violet tertawa. Semua murid memang diwajibkan untuk menulis hasil tur hari ini dalam bentuk laporan singkat yang memuat hal-hal menarik di dalam museum. Violet sudah tahu apa yang akan ditulisnya dan sangat bersemangat. Salah satu keinginannya adalah menjadi jurnalis kalau dia gagal di bidang fotografi.
“Kamu sendiri? Nggak mencatat apa pun?”
Asami nyengir lalu mengeluarkan alat perekam dan kamera digital. “Kurasa nggak. Oh, tempat ini ternyata keren juga. Aku sudah dua tahun di Inggris tapi belum pernah ke sini.”
Violet menebar pandang dan merasa harus setuju. Museum itu tampak luar biasa dengan tangga-tangga panjang, fosil manusia purba tergantung di langit-langit juga interior bergaya Victoria yang membuat seluruh ruangan kelihatan megah. Banyak turis tampak menikmati pemandangan patung dan fosil dinosaurus yang terpanjang di sebagian besar ruangan. Separuh yang lain memotret patung Charles Darwin pahatan Sir Joseph Boehm di aula utama.
Violet dan Asami menyusul murid-murid lain ke Area Oranye, menuju bagian Nature Live. Eksibisi itu menggelar diskusi soal kehidupan alam dan biasanya diadakan setiap minggu dalam beberapa hari tertentu. Ruangan itu sudah hampir terisi penuh saat Violet tiba. Dia langsung mengambil posisi di kursi depan bersama Asami. Dua wanita dalam balutan kemeja sudah duduk sambil menyetel alat.
Kursi-kursi disusun dalam bentuk setengah lingkaran dan cahaya ruangan sengaja diredupkan. Sinar kebiruan itu tampak teduh dan sepertinya dimanfaatkan oleh beberapa cowok yang tidak tertarik dengan topik “Hewan Cantik nan Berbahaya” untuk tidur siang.
“Selamat datang,” ujar wanita yang mengenakan blus biru, mantel dan rok panjang warna hitam. Dia sudah berdiri dan dengan senyum profesional, menyapa murid-murid yang sudah memenuhi kursi.
Violet menoleh ke kanan dan mendapati Si Cowok Klinik duduk tidak jauh dari kursinya. Pemuda itu kelihatan tertarik dengan semua yang diucapkan oleh pembicara dan menulis dengan bersemangat di buku catatan.
“Hanz memang tertarik dengan hal-hal begini. Nilai pelajaran biologinya selalu tinggi. Aku dengar dia mau jadi dokter,” bisik Asami ketika sadar kalau Violet sedang melihat ke arah cowok itu.
“Hah? Bagaimana kamu tahu?”
“Kami … teman sejawat?”
“Apaan, tuh?” kedua alis Violet bertaut. Asami hendak menyahut tapi kemudian menempelkan telunjuk di depan bibir dan mulai fokus ke diskusi. Gambar-gambar serangga yang luar biasa muncul di layar dan mengalihkan Violet sampai acara itu selesai.
Selama dua puluh menit terakhir, murid-murid dibebaskan menjelajah sendiri dan harus berkumpul lagi di lobi utama pada jam yang sudah ditentukan. Violet—yang ternyata sudah nyaman bersama Asami—pergi dengan gadis itu ke Zona Biru untuk melihat lukisan-lukisan yang jumlahnya sekitar 350 buah. Mereka berjalan pelan, mengamati lukisan buah nanas yang terlihat sangat cantik karya John Reeves.
“Jadi,” Violet memulai ketika dirinya dan Asami melewati lukisan badak yang sedang menjulurkan lidah, “apa maksudmu dengan teman sejawat?”
Asami tampak malu sejenak. “Bisa nggak beri tahu siapa-siapa?”
“Memangnya apa yang kalian lakukan?” tanya Violet. Berbagai teori muncul di kepalanya dan muka bingung itu membuat Asami tertawa, memperlihatkan lesung pipinya.
“Bukan sesuatu yang buruk. Hanya saja, aku nggak kepingin anak-anak lain tahu. Mereka mungkin bakal mengira aku sok atau sejenisnya. Begini, aku dan Hanz sama-sama jadi relawan di rumah perawatan lansia di Finchley.”
Mata Violet membulat, sekilas tampak kagum Dia kira Asami tipe cewek glamor yang bahkan tidak peduli dengan sekitar. Kesannya memang demikian karena cewek itu cenderung tak acuh.
“Itu keren banget,” ujar Violet jujur.
“Bukan hal yang hebat,” Asami mengibaskan tangan, tersipu. “Kami cuma datang, membantu mereka untuk menyiapkan acara minum teh, mengobrol karena sebagian besar dari kakek dan nenek itu kesepian. Anak-anak mereka banyak yang tinggal di luar London atau luar Inggris, jarang menengok.
“Aku bertemu Hanz di sana belum lama ini, waktu mengantar titipan Dad. Dia sedang menemani seorang kakek mengobrol dan kakek itu menyapaku. Lalu aku sadar kalau kami satu sekolah karena aku pernah beberapa kali melihatnya di koridor. Dan begitulah, kami ngobrol dan sering ketemu saat berkunjung.”
“Kalian … bersama? Maksudku, berkencan?”
Asami ketawa. “Nggak. Aku belum tertarik sama cowok dan saat ini sedang fokus untuk belajar. Kenapa? Kamu naksir dia?”
“Nggak. Bahkan aku nggak kenal dia. Cuma, salah satu temannya mengajakku keluar akhir pekan ini. Dave.”
“Oh, dia. Hanz memang main dengannya karena rumah mereka satu daerah. Kadang aku heran kenapa Hanz bisa berteman sama Dave. Karakter mereka sangat berbeda. Kamu tahu, kan, bagaimana sikap Dave ke cewek-cewek? Sementara Hanz, bisa dibilang dia justru agak sulit bergaul.”
Setelah Violet pikir-pikir, Hanz memang jarang terlihat bareng cewek. Kalau sedang tidak bersama Dave dan temannya yang lain, cowok itu sendirian, menghabiskan waktu dengan headphone dan ponsel. Kadang-kadang, Hanz terlihat di halaman sekolah, duduk di salah satu bangku kayu sambil membaca majalah—hal yang jarang dilakukan kebanyakan cowok sekarang ini.
Tur sekolah berakhir dan ketika Violet melambaikan tangan pada Asami sebelum mereka kembali ke rumah masing-masing, gadis itu mendapati betapa ajaib hari ini. Tiba-tiba saja dia bisa mengobrol dengan cewek blasteran itu dan tahu lebih jauh soal Hanz.
Apa lagi yang bakal terjadi besok? pikir Violet ketika dia berbalik dan menuju halte bus.