Setelah keributan kemarin, Violet pikir Dave akan menjaga jarak tapi ternyata tidak. Cowok itu muncul di anak tangga saat Violet memasuki pelataran sekolah. Beberapa cewek langsung saling pandang dan berbisik sementara Violet berusaha cuek dan terus berjalan ke arah kelas.
Dave tidak sendiri. Cowok itu bersama teman-teman yang dilihat Violet tempo hari di Camden. Dua cowok bermuka konyol yang sok keren dan tampaknya suka sekali dengan cewek-cewek dan satu lagi, cowok berkacamata yang kelihatan sibuk dengan ponselnya. Si Cowok Klinik.
“Pagi, Vi,” Dave menyapa sambil tersenyum dan mendekat ke Violet sementara cowok-cowok lain mengikutinya di belakang.
“Hm,” sahut Violet pendek, berusaha tidak membuka percakapan. Dia memasukkan kedua tangan di saku jaket dan berjalan secepat mungkin tapi Dave mengejar.
“Kenapa buru-buru? Hari ini guru-guru ada rapat dan kayaknya nggak bakal ada pelajaran sampai menjelang makan siang.”
“Hah?” Violet baru sadar kalau ternyata sebagian besar murid memang terlihat santai dan berada di luar kelas. Beberapa dari mereka menuju kafetaria sementara yang lain menikmati matahari musim dingin di halaman sekolah sambil mengobrol dan mengunyah permen karet.
“Mau kopi?” Dave masih berjalan di sisi Violet meski cewek itu sekarang mengarah ke perpustakaan.
Cowok itu menyodorkan gelas karton tebal yang mengeluarkan uap tipis. Harum cappuccino menyapa cuping hidung Violet dan terus terang saja, dia tidak sempat sarapan karena khawatir terlambat. Aroma kopi itu benar-benar menggoda.
“Nggak, makasih,” Violet berusaha melepaskan diri tapi Dave masih juga menyusulnya.
Saat tiba di koridor yang agak sepi, Violet berhenti dan berpaling pada Dave. “Oke, kita nggak usah basa-basi lagi. Apa maumu?”
Dave tidak terlihat tersinggung atau kaget. Dia masih menjulurkan kopi dan Violet terpaksa menerimanya.
“Nggak ada apa-apa. Aku cuma ingin dekat denganmu. Kayak yang kubilang kemarin, aku suka padamu. Serius,” Dave menyibak rambut dan mencondongkan tubuh ke arah Violet. “Aku nggak mau basa-basi soal ini tapi maaf kalau kamu jadi kaget. Mau nggak jalan denganku akhir pekan ini? Kita bisa ke Crouch End atau Lock. Nonton lalu makan malam.”
Belum pernah ada cowok yang sebegitu berani dan terang-terangan seperti Dave. Cowok itu seolah tidak mau membuang waktu dan agresif tapi di saat yang bersamaan, membuat Violet sedikit berdebar.
“Aku nggak bisa,” ujar Violet sambil menggenggam gelas karton yang terasa hangat di tangannya.
Dave tampak terdiam dan berpikir sejenak. “Apa kamu masih memikirkan soal kemarin?”
“Sejujurnya, ya. Gara-gara urusanmu dengan pacarmu—”
“Mantan pacar, tepatnya,” Dave menyela.
“Ya, terserah bagaimana kamu menyebutnya. Yang jelas, aku jadi kena masalah gara-gara urusan kalian. Aku bahkan nggak begitu kenal kamu tapi sudah digosipkan jadi cewek yang menggoda cowok orang lain. Kalau kamu jalan denganku, orang-orang bakal berpikir kalau isu itu benar,” tegas Violet.
“Begitu ya,” Dave kelihatan kecewa dan Violet tidak tahu harus bereaksi bagaimana.
“Maaf, aku nggak memikirkannya sampai ke sana. Aku pikir, cukup kalau aku suka padamu. Hubunganku dengan cewek itu juga sudah berakhir dan semua bukan karena kamu, kok.”
Violet bimbang sejenak tapi perkataan Casey yang melintas kemarin benar-benar mengganggunya.
“Bagaimana dengan Casey?”
“Casey?”
“Casey Stone. Jangan bilang kalau kamu melupakan dia. Bukankah kalian sempat bersama? Dia menyinggung soal hubungan kalian kemarin.”
Dave tertawa. “Cewek itu benar-benar menyebalkan, ya?”
“Ya. Dan aku nggak mau berurusan dengannya gara-gara kamu.”
Dave memiringkan kepala dan merapikan sehelai rambut yang turun ke kening. Dia menegakkan lagi bahunya dan memandang lurus ke arah Violet.
“Aku sudah nggak ada urusan dengannya lagi. Kamu tahu, kan, bagaimana Casey? Dia suka berpesta dan menghabiskan waktu bareng teman-temannya. Ditambah les vokal itu, hubungan kami jadi makin renggang. Kami nggak pernah benar-benar menghabiskan waktu dengan menyenangkan. Dia juga memaksaku untuk jaga imej waktu kami belum putus dengan alasan bodoh. Katanya, agar nanti dia bisa ngetop dengan mudah. Jalan dengannya itu capek. Mengerti maksudku?”
Violet tertegun dan perkataan ayahnya melintas.
“Bersikaplah seperti anak baik dan jangan membuat malu keluarga. Pikirkan masa depanmu. Tidak boleh ada insiden lagi setelah perceraian ini jadi kamu dan Rosie harus menjaga sikap dengan benar.”
Tidak peduli seberapa lelah Violet—secara fisik dan batin—ayahnya hanya peduli pada reputasi keluarga. Pria itu bahkan tidak pernah bertanya, apakah perceraian dengan mantan istrinya berdampak pada anak-anak mereka. Violet merasa capek setiap kali tetangga memuji betapa kuat keluarga Moon dan menganggap kalau Mr. Moon adalah orang tua tunggal yang hebat karena memiliki anak-anak yang pintar juga manis.
“Aku ingin mengenal seseorang yang bisa menerimaku apa adanya. Dan kurasa itu kamu. Maaf kalau ternyata aku salah. Ajakanku tadi nggak usah terlalu dipikirkan. Harusnya aku lebih peka dan kasih kamu waktu.” Dave tersenyum manis dan hendak beranjak saat Violet memanggilnya.
“Mmm … makasih buat kopinya,” Violet mengangkat gelas karton, lalu balas tersenyum.
Dave mengangguk lalu menghampiri teman-temannya yang berdiri tidak jauh. Sekilas, Violet melihat Si Cowok Klinik menatapnya sebelum membalikkan badan dan menghilang di balik tikungan koridor.
Perpustakaan hanya diisi beberapa orang termasuk murid-murid dari Klub Sastra. Buku-buku bertumpuk di meja sementara tiga orang sedang mencatat sementara dua siswi lainnya mencari sesuatu di ponsel pintar mereka. Violet melirik sekilas dan mendapati nama Jane Austen juga Leo Tolstoy tercetak di bagian sampul. Dia melewati meja itu dan beralih ke sudut yang disinari cahaya matahari.
Violet menyandarkan diri di kursi dan memejamkan mata, menikmati kehangatan sinar mentari yang menembus kaca jendela. Rasanya nyaman dan kalau tidak ada petugas perpustakaan yang mirip Doloris Umbridge itu, mungkin Violet akan tidur pulas di sana.
Setelah melirik ke kanan dan kiri, Violet mengeluarkan buku hariannya secara hati-hati. Dia juga mengambil sebuah buku Emily Brönte dan menegakkan buku itu untuk menutupi diary-nya. Sejenak, Violet mematung dengan bolpen di tangan kanan, bingung mau menulis apa.
Pikirannya melayang pada Dave. Cowok itu bersikap manis dan sopan, tidak kelihatan seperti cowok playboy yang suka mematahkan hati para cewek. Meski tidak terlalu memerhatikan, Violet cukup tahu soal reputasi Dave. Dia juga pernah melihat cowok itu jalan di Lock, bareng beberapa cewek berbeda di waktu yang tak sama dan pasangannya selalu tampak cantik juga modis.
Violet menatap bayangannya yang memantul di kaca jendela. Muka yang lusuh, rambut yang tidak terlalu dirawat dan selera mode yang biasa saja.
Apa sih yang dilihatnya dariku? pikir Violet ketika pintu perpustakaan terbuka. Cewek itu berpaling karena kemudian terdengar bisik-bisik dalam suara rendah. Ternyata Asami yang masuk. Cewek berbadan tinggi semampai berkaki jenjang itu mengembalikan sebuah buku pada petugas perpustakaan yang kelihatan berseri-seri.
“Genki desu ka? Ah, aku belajar beberapa kata dalam bahasa Jepang. Masih sangat buruk ya kedengarannya?” ujar si petugas yang memasang syal biru gelap di leher.
“Anda cepat belajar. Bagaimana dengan akhir pekan Anda? Maaf belum sempat berkunjung lagi ke sana.”
“Berkat bantuanmu, semua berjalan lancar. Tolong sampaikan terima kasihku pada Mr. Tanaka. Kami betul-betul terbantu. Para lansia itu senang sekali dengan buku-buku yang kalian hadiahkan.”
“Itu sama sekali bukan apa-apa,” Asami mengulas senyum tipis dan Violet bisa melihat dua cowok tersipu meski senyum itu tidak ditujukan buat mereka.
Asami kelihatan sangat cantik dalam balutan kemeja dilapisi sweater rajut berwarna burgundy. Mantel putihnya tersampir di salah satu lengan dan rambutnya yang hitam legam, tampak mengilap ditimpa cahaya matahari. Tidak seperti Casey yang senang dengan makeup, Asami kelihatan lebih alami.
Setelah berbincang sebentar, Asami menghampiri meja kosong dan melewati Violet. Cewek itu mencari buku di rak belakang dan Violet bisa mencium aroma parfum yang lembut. Wangi melati samar dan sangat cocok dengan kesan Asami yang kalem juga tenang.
Perhatian Violet teralih saat ponsel di saku celana denimnya bergetar. Dia meraih gawai itu dan kedua alisnya bertaut saat membaca isinya.
Bersiaplah untuk makan malam di luar.
Dad
***
Rosie yang menyambut Violet saat gadis itu tiba di rumah, sore harinya. Sama seperti dirinya, Rosie juga terlihat bingung apalagi saat Mr. Moon menyuruh mereka memakai pakaian resmi. Rosie mengenakan gaun berbahan sutera berlengan pendek dalam warna perak dan membuat rambutnya jadi lebih ikal. Dia mengenakan makeup tipis dan segera menyuruh Violet untuk bersiap. Cewek itu sempat kaget saat sadar kalau tangan kakaknya diperban dan Violet harus mencari alasan yang tepat. Akhirnya, Violet mengatakan kalau dia terjatuh dan tangannya tergores aspal. Gadis itu merasa lega karena Rosie tampaknya percaya.
Ketika Violet selesai memasang sepatu hak tinggi yang jarang dipakai, sebuah taksi tiba di depan rumah mereka. Kedua cewek itu tidak saling bicara selama di perjalanan dan Violet masih tidak tahu apa yang ayah mereka rencanakan. Setelah beberapa menit, taksi berhenti di sebuah restoran yang tampak mewah dan elegan.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Rosie setelah Violet membayar ongkos taksi.
“Aku nggak tahu. Dad nggak bilang apa-apa?”
Rosie menggeleng. “Ini restoran mahal dan jelas bukan untuk sekadar makan malam keluarga. Aku punya perasaan nggak enak,” kata Rosie sambil tersenyum pada karyawan yang mengenakan setelan jas dan membukakan pintu untuk mereka.
Seorang petugas di balik meja tinggi, mendatangi Violet dan Rosie sambil menyapa.
“Selamat malam. Ada yang bisa kami bantu?”
Violet melipat tangan di pinggang dan menegakkan punggung. “Aku mencari ayahku, Mr. Moon. Seharusnya ada reservasi atas nama itu.”
Petugas wanita yang mengenakan setelan kemeja hitam itu mengangguk. “Mari saya antar.”
Violet mengikutinya dan menebar pandangan, kagum dengan desain interior restoran yang terkenal di daerah King Cross itu. Langit-langitnya tinggi, dicat putih dengan kandelar bernuansa klasik bertudung dalam warna senada sementara dinding-dindingnya bernuansa emas dan terlihat lembut ditimpa cahaya lampu temaram.
Meja-meja ditutup kain putih lebar sementara kursi dan sofa berlapis sarung kulit dan beledu berwarna merah mencolok. Ruang restoran itu tampak luas dengan kaca-kaca berpanel besar dan lebar yang memperlihatkan suasana malam London Utara di luar. Banyak orang dan pasangan menikmati sajian makan malam mereka. Sebagian besar menyantap wagyu yang disajikan bersama kecambah dan terlihat menggiurkan.
Saat sampai di meja, Violet berhenti, kaget. Ayahnya duduk di salah satu kursi tapi tidak sendirian. Seorang wanita dalam balutan gaun velvet ungu berlengan panjang, duduk di sana. Wajahnya dihias dengan lipstik merah menyala dan sedang tertawa.
Mr. Moon berpaling dan menyapa kedua putrinya, tidak sadar kalau mereka terkejut.
“Kalian sudah sampai. Magda, ini putri-putriku. Violet dan Rosie.”
Wanita yang disebut Magda itu bangkit dan Violet mendadak merasa terintimidasi karena badannya yang tinggi. Magda mengulurkan tangannya yang dihias gelang emas putih dan jam tangan keperakan. Samar-samar tercium wangi parfum yang agak menyengat dan membuat Violet mengernyit.
“Magdalena Saunders. Kalian boleh memanggilku Magda.”
Rosie langsung menjabat tangan Magda tapi Violet masih tertegun dan itu membuat Mr. Moon melirik dengan tatapan terlihat kesal.
“Vi, bukankah tidak sopan kalau kamu bersikap begitu?”
Violet tersentak dan menyambut uluran tangan Magda. Genggaman yang sama sekali tidak hangat dan terlalu kuat. Violet langsung merasa tidak suka.
“Duduklah. Aku sudah pesankan makanan untuk kalian.”
“Ng … Dad. Apa maksudnya ini?”
Mr. Moon meletakkan gelas di meja dan tertawa. “Oh, ya. Aku belum memberi tahu kalian, ya. Ini Magda. Salah satu rekan bisnis yang saat ini sedang berkunjung ke London. Dia menetap di Amerika.”
“Tapi tidak untuk waktu lama. Tidak lagi. Bukan begitu, Thomas?”
Violet saling pandang dengan adiknya. “Apa yang sebenarnya sedang terjadi, Dad?” tanya gadis itu tidak sabar. Dia tahu ada yang tidak beres dan sedang menduga-duga sesuatu. Hanya saja, Violet masih berharap kalau dugaannya salah.
“Dad merasa sangat cocok dengan Magda.”
“Dan?”
“Kami ingin menikah.”
“Apa?” Violet terkejut dengan suara kerasnya sendiri saat Mr. Moon mengerling padanya. Rosie terkesiap dengan mulut terbuka sementara Magda sama sekali tidak terlihat kaget dengan reaksi kedua anak itu.
“Jadi, Magda akan tinggal di London untuk sementara waktu dan kuharap kalian bisa saling mengenal sebelum kami melangsungkan pernikahan.”
Ide gila apa lagi ini? pekik Violet dalam hati. Dia memandang Magda yang tampak sangat santai. Wanita itu kelihatan glamor, tapi membuat Violet merasa risi. Senyumnya … entah kenapa terasa palsu bagi gadis itu. Magda memang kelihatan cantik dan menarik dengan badan tinggi juga bentuk yang bagus. Hanya saja, Violet tidak merasa adanya aura keibuan. Magda justru terlihat seperti wanita yang ingin menghabiskan waktunya untuk bersenang-senang dalam pesta, bukan mengikat rambut, memakai kaus oblong sambil memasak di dapur.
“Kenapa kami nggak pernah tahu hal ini?” Violet tidak menyembunyikan rasa tidak sukanya dan Rosie mulai beringsut gelisah di kursi.
Mr. Moon baru akan menjawab ketika pelayan membawakan hidangan ke meja mereka. Semuanya terlihat enak—irisan sayuran segar, daging panggang yang dimasak sempurna, sajian udang dan pasta—tapi Violet sudah kehilangan selera makannya. Setelah pelayan itu pergi, Violet masih menatap Mr. Moon dengan tajam dan menuntut penjelasan.
“Aku memang tidak berencana memberi tahu sampai Magda siap bertemu kalian. Selama ini kamu dan Rosie sibuk dengan urusan sekolah dan saat aku kesepian, Magda yang menemaniku berbagi kesedihan. Saat itulah, aku yakin kalau dia wanita yang bisa membantuku bangkit kembali setelah … kalian tahulah.”
Menemani berbagi kesedihan? Aku sibuk dengan urusan sekolah? Memangnya Dad ada di mana saat aku menangis malam-malam? Aku mencoba bicara tapi Dad selalu mengusirku pergi dengan alasan pekerjaan! Violet mencengkeram gaun hitamnya di bawah meja, berusaha menahan amarah yang mulai mendidih.
“Aku selalu ingin bertemu kalian tapi Thomas khawatir kalian belum siap. Aku sudah dengar soal Rosie yang cantik dan jadi bagian tim pemandu sorak,” ujar Magda dengan suara yang terdengar semanis madu tapi malah membuat Violet semakin merasa tidak nyaman.
“Ah, terima kasih,” Rosie menjawab, terdengar gugup.
“Rosie memang kebanggaanku. Violet, kamu nggak membuat masalah lagi di sekolah, kan?”
“Apa yang terjadi?” Magda kelihatan ingin tahu.
Mr. Moon pasang muka kecewa dan menggelengkan kepala beberapa kali sambil bicara dengan Magda yang mulai menyantap daging panggang. “Dia berkelahi dengan teman sekolahnya. Masalah sepele. Violet memang kurang bisa menahan diri. Kamu harus mengajarinya banyak hal terutama soal sikap tenang dan anggun seperti seorang wanita sesungguhnya.”
Violet bisa merasakan tatapan Magda yang terasa melecehkan. Wanita itu jelas-jelas sedang membandingkan dirinya dan Rosie. Magda menatap Violet ke atas dan ke bawah lalu menaikkan alis sambil mengangkat sudut bibir.
“Ya, sepertinya aku memang harus mengajarinya banyak hal.”
Rasa-rasanya, Violet ingin meraih garpu dan menusuk wanita itu. Violet benar-benar jadi gadis pendiam dan tidak terlibat dalam percakapan sementara Rosie masih mengobrol soal sekolah dan kegiatan lain, bahkan soal teman-temannya dengan Magda.
Violet hanya fokus pada makanan—yang untungnya lezat—sambil menunduk. Dia bahkan tidak mengucap salam pada Magda saat wanita itu kembali ke hotelnya. Di mobil saat menuju rumah, Violet mengatupkan bibir rapat-rapat dan enggan menanggapi ayahnya yang terus-terusan bertanya soal pendapat dirinya dan Rosie mengenai Magda.
Segera setelah tiba di rumah, Mr. Moon menyuruh Rosie naik ke kamar tapi tidak dengan Violet. Dia menyuruh putrinya duduk di sofa ruang tamu dan menuntut penjelasan karena menurutnya, Violet bersikap kasar selama acara makan malam barusan.
“Tidak bisakah kamu menjadi anak manis di restoran seperti Rosie dan memberi ayahmu ini muka, Vi?” terdengar nada kesal dari suara Mr. Moon ketika pria itu mondar mandir di depan meja kopi di ruang tamu.
Violet menarik napas, letih. “Apa yang Dad harapkan? Aku nggak kenal sama dia dan tiba-tiba Dad bilang kalau perempuan itu bakal jadi ibuku?”
“Magda wanita yang baik. Dia wanita yang hebat dalam karir dan kalian bisa mendapat seorang ibu yang pantas,” suara Mr. Moon mulai meninggi.
“Ini bukan soal hebat atau tidak, Dad. Setidaknya Dad harus membicarakannya dulu denganku dan Rosie,” Violet lalu menutup muka dengan tangan, nyaris putus asa.
“Dan sudah kulakukan bukan? Aku mengundangnya makan malam hari ini agar kalian bisa berkenalan dengan layak dan kamu merusak semuanya, Violet Moon. Aku benar-benar kecewa dengan sikapmu yang tidak dewasa.”
Mr. Moon melepas jas kelabunya dengan sekali entak dan membantingnya di sofa. Lelaki itu berkacak pinggang lalu mengusap wajah, terlihat frustrasi.
“Aku hanya ingin membangun sebuah keluarga lagi. Aku ingin memberi kebahagiaan yang utuh pada kalian. Seorang ayah dan ibu,” ujar Mr. Moon dengan suara pelan.
Violet memandang langit-langit lalu bangkit dari sofa dan berjalan ke tangga. Dia menatap ayahnya dengan sorot sedih dan terluka.
“Benarkah? Apakah kebahagiaan kami yang benar-benar Dad inginkan?”
Violet tidak menunggu jawaban. Dia langsung berlari ke kamar tidur dan mengunci pintunya.