“Kamu lagi dekat sama Dave, ya?”
Violet berhenti melangkah dan memandang dua cewek di depannya dengan tatapan tak mengerti. Dia bahkan tidak kenal dengan cewek bermuka bintik-bintik atau cewek berwajah galak ini. Lalu, kenapa juga dirinya dihubungkan dengan Dave?
“Sori?”
“Jangan pura-pura nggak tahu. Jessica bilang kalau dia diputuskan dan katanya Dave punya cewek baru. Itu kamu, kan?”
Sekarang Violet merasa sebal. Hari Senin baru saja dimulai dan sudah ada yang membuatnya tidak bersemangat sedari pagi. Dia saja hampir tidak kenal dengan Dave kalau pemuda itu bukan termasuk cowok populer di sekolah. Dan dia hanya disapa dua kali saja, tidak lebih dari itu. Bagaimana bisa dia pacaran dengan cowok yang baru bilang “hai” beberapa kali di koridor sekolah?
“Aku rasa kalian salah orang,” ujar Violet kalem sambil berusaha menerobos.
“Tunggu dulu,” Si Wajah Galak tiba-tiba memegang bahu Violet. “Kami belum selesai ngomong, kamu mau pergi begitu saja? Dasar nggak sopan.”
“Jelas saja nggak sopan,” sergah Si Muka Bintik-bintik. “Dia kan cewek yang menghajar Casey minggu lalu. Preman kayak dia terang saja nggak bisa bersikap sopan.”
Kenapa mereka selalu saja menggangguku? Memangnya apa salahku, sih? pikir Violet geram. Cewek itu menepis tangan Si Wajah Galak dan baru akan menyemprot ketika melihat Dave yang terlihat di ujung koridor. Cowok itu kelihatan seperti anak band sejati dengan baju serba hitam, denim hitam dan jaket tebal warna merah gelap. Dia juga memakai topi hitam dan menyapa beberapa cewek yang berpapasan dengannya di depan kelas.
“Dave!” Violet memanggil pemuda itu.
Dave berpaling dari gerombolan cewek dan mukanya langsung terlihat cerah saat sadar siapa yang menyebut namanya.
“Ah, pagi, Vi!”
Violet memicingkan mata dan menunjuk ke arah kedua cewek di depannya. “Tolong jelaskan sama cewek-cewek ini kalau aku bukan pacarmu,” tegas Violet tanpa basa-basi saat Dave tiba. “Apa?” sejenak Dave tampak bingung sampai dia melihat vewek-cewek di hadapannya.
“Oh, kalian.” Dave tampaknya sadar akan situasi yang sedang terjadi begitu melihat Si Wajah Galak dan Si Muka Bintik-bintik yang sekarang memasang raut gelap. Keduanya tampak menyeramkan, berdiri dengan tangan terlipat dan dagu terangkat. Sementara, beberapa murid keluar dari kelas dan terlihat jelas ingin tahu, hal menarik apa yang terjadi pagi-pagi begini.
“Jessica cerita sama kami apa yang kamu lakukan. Bagaimana bisa kamu putusin dia begitu saja dan jadian dengan cewek seperti ini?” Si Wajah Galak melirik Violet dengan tatapan menghina.
Apa maksudnya itu? pikir Violet marah. Punya hak apa mereka sampai menilai dan bilang aku dengan cara merendahkan begitu? Apa-apaan sih ini?
“Kalau kamu punya masalah dengan Jessica—entah siapa itu—bereskan sendiri dan jangan bawa-bawa aku. Dengar, ya, aku nggak punya hubungan apa-apa sama cowok ini. Kenal saja nggak.”
“Terus kenapa Jessica bilang kalian pacaran? Aku tahu kalau Dave lagi dekat dengan cewek dan orang itu kamu, kan? Aku melihat kalian berdua di Lock, Sabtu kemarin.”
Ingin rasanya Violet mencekik cewek-cewek yang menurutnya lambat berpikir ini. Memangnya mereka berdua tidak lihat kalau dirinya cuma ‘kebetulan’ bertemu. Dan dia tidak cuma berduaan dengan Dave. Ada cowok-cowok lain di sana.
“Hei,” Violet melirik tajam pada Dave yang dari tadi diam. “Kamu juga jelaskan, dong.”
Bukannya terlihat tidak enak, Dave malah cengar-cengir.
“Mereka nggak salah, kok,” katanya enteng. “Aku memang suka padamu,” lanjut Dave sambil menatap Violet yang terperanjat kaget.
Si Wajah Galak dan Si Muka Bintik-bintik berubah berang. “Benar, kan! Kalian memang keterlaluan! Setidaknya, tunggu sampai Jessica nggak sedih lagi, dong! Cewek itu baik banget, tahu! Violet, kamu ini kebangetan. Bisa-bisanya menggoda Dave karena Jessica ada di kota lain. Dasar cewek jalang!”
Violet masih berusaha mencerna semuanya ketika kedua cewek itu berbalik dengan marah. Bahunya melorot dan telapak tangannya terasa basah oleh keringat. Violet merasa mual tapi dia menahannya karena sekarang murid-murid berbisik sambil terkikik.
“Aku nggak bohong, loh.”
Violet yang hendak pergi dari koridor, berhenti dan berbalik. Dave sedang menatapnya dengan pandangan yang tidak bisa diartikan. Cowok itu tersenyum dan kalau Violet boleh mengakui, Dave terlihat memesona saat itu.
“Soal apa?” Violet mengepalkan tangan dengan gemas, berusaha berpikir waras.
“Tentang aku yang suka padamu. Itu serius.”
Dan pernyataan itu membuat orang-orang berseru. Sebagian terlihat tidak suka sementara yang lain bertepuk tangan. Violet bisa merasakan wajahnya berubah merah padam. Dia tidak menanggapi dan buru-buru berjalan ke toilet.
Violet menutup pintu kamar mandi, menutup kloset lalu duduk di sana. Dia merasa pusing dan kerongkongannya juga terasa kering. Bagi cewek itu, kejadian tadi benar-benar memalukan. Dia tidak tahu harus berkata apa atau bersikap bagaimana. Semua terasa tidak nyata. Violet juga tidak habis pikir, kenapa Dave bisa begitu santai menanggapinya.
Saat Violet menarik selembar tisu dari kotak di dalam ransel, terdengar suara pintu toilet dibuka disusul obrolan cewek-cewek.
“Gila. Cewek kayak Violet bisa bikin Dave jatuh cinta, itu gila.”
Violet batal membuka pintu dan dia mengangkat kedua kakinya pelan-pelan. Jantungnya berdebar keras ketika mendengar suara cewek—yang mungkin terdiri dari dua atau tiga orang—itu bicara soal kejadian barusan.
“Aku sudah mengira sebelumnya. Dia kelihatan sombong dari pertama masuk kelas. Kamu tahu nggak kalau dia ogah kasih contekan di kelas geografi? Lagaknya seperti yang paling pintar saja,” kali ini, suara agak serak yang angkat bicara.
“Belum lama dia dekat sama Bryan Turner. Kalian tahu, kan? Cowok pendiam itu? Katanya dia patah hati banget setelah Violet nggak bicara lagi dengannya.”
“Padahal dia juga nggak cantik-cantik amat,” ketus sebuah suara lagi.
“Ternyata memang penggoda. Kalian harus hati-hati. Jangan sampai dia menggaet cowok-cowok yang kita incar. Kelihatannya saja pemurung tapi ternyata ….”
Sejenak, tidak terdengar lagi percakapan itu dan hanya suara benda-benda saling bersentuhan. Tidak berapa lama, terdengar bel disusul suara dari sepatu-sepatu yang berdentam di lantai lalu pintu menutup.
Kaki Violet terasa pegal ketika dia menurunkannya ke lantai. Saat tersadar, air matanya sudah tumpah dan dia merasa sesak di bagian dada. Mulut Violet terbuka tapi tidak ada suara yang keluar. Hanya napas yang tersengal dengan air mata menderas di pipi-pipi pucatnya.
Keadaan tidak membaik saat akhirnya Violet bisa kembali ke kelas. Cewek-cewek mengerubung di tempatnya, penasaran dengan apa yang terjadi pagi tadi. Mereka seperti paparazzi yang mencium skandal artis besar.
“Jadi,” ujar Judy dengan mata berkilat dan suara bersemangat, “bagaimana denganmu? Dave itu salah satu cowok paling keren di sekolah ini. Kamu nggak mungkin menolaknya, kan?”
“Kapan kalian jadi dekat?”
“Pernyataan cinta tadi pagi itu romantis banget, deh. Kamu beruntung. Dave itu banyak diincar cewek.”
Violet bersandar pada kursi dan tersenyum tipis, tidak tahu harus merespons bagaimana. Sebagian cewek memandang padanya dengan tatapan kesal sambil berbisik satu sama lain. Mungkinkah di antara mereka ada gadis-gadis yang tadi menggosipkannya di kamar mandi?
“Aku kira dia cuma bercanda,” kata Violet, akhirnya. Dia berharap bisa meredam gosip karena memang tidak ada yang terjadi dengannya. Atau itu setidaknya yang dia pikirkan.
Judy dan Samantha saling pandang. “Kurasa nggak. Dave memang berkencan dengan banyak cewek tapi dia benar-benar harus suka sama cewek itu.”
“Bagaimana kamu tahu?” sergah Michelle sambil membuka bungkus permen karet di tangan.
“Salah satu temanku pernah dekat dengannya. Dave nggak sembarang terima cewek yang suka sama dia. Cowok itu cuma mau jalan sama cewek yang dianggapnya menarik. Jadi kurasa, omongannya yang tadi pagi itu serius.”
Violet tiba-tiba tertawa keras dan membuat semua orang berpaling padanya. Judy terlihat bingung sementara Michelle bengong, menatap Violet yang berusaha berhenti tertawa sambil mengusap air di ujung mata.
“Memang ada yang lucu?” tanya Samantha heran.
“Aku cuma berpikir kalau Dave mungkin sudah dikendalikan alien atau sejenisnya. Memangnya dia nggak tertarik sama Casey atau Asami? Dua cewek itu jelas lebih hot daripada aku.”
Samantha terkekeh. “Aku nggak bermaksud tidak sopan tapi kamu ada benarnya.”
Asami yang dimaksud Violet adalah cewek top di sekolah. Asami Tanaka punya wajah oriental dengan khas blasteran yang memukau. Cowok-cowok selalu melirik kalau cewek itu melenggang di koridor. Wajahnya tirus dengan alis tebal yang tepat, berambut hitam sebahu yang dipotong model bob dan poni tipis di kening. Kulitnya putih tapi tidak pucat macam tipikal orang Inggris kebanyakan. Bibirnya tipis dan memberi kesan imut. Dia juga punya hidung mancung yang menurut cowok-cowok, terlihat menggemaskan.
Ayahnya asli Jepang sementara ibunya dari Killarney, Irlandia. Mr. Tanaka adalah pebisnis yang sering mondar mandir Jepang-Inggris-Amerika sementara Mrs. Caitlin punya butik yang cukup terkenal di London Utara. Toko pakaian itu terlihat elegan sekaligus misterius dengan eskterior bernuansa merah dan hitam.
Violet pernah melihat Mrs. Caitlin saat wanita itu menjemput Asami di sekolah. Untuk perempuan seusianya, Mrs. Caitlin tampak sangat glamor dengan mantel panjang warna hitam, atasan kasmir merah dan celana panjang hitam. Punya ibu seorang perancang sekaligus pemilik butik terkenal, tidak heran kalau Asami selalu tampak modis meski kesannya sangat berbeda dari Casey. Kalau cewek berambut pirang itu suka memakai baju-baju feminin, Asami lebih senang tampil kasual dengan denim dan sepatu kets atau bot. Namun, tetap saja popularitas Asami dengan imej “dingin” itu bisa mengalahkan Casey.
Violet pernah dengar kalau Casey sempat sangat kesal tapi tidak berani cari masalah dengan Asami. Selain orang tua cewek itu lumayan berpengaruh, Asami bukan tipe yang suka dengan keributan dan sangat tenang. Dia tidak mudah terpancing meski Casey sudah berusaha menyebar gosip mulai dari menyinggung soal ras campuran Asami sampai isu operasi plastik. Terakhir kali, Casey akhirnya mundur sendiri setelah Asami muncul di kelasnya sambil membawa pedang bambu dan mengatakan, “Aku punya paman seorang yakuza seperti yang kamu bilang ke orang-orang. Dia mengajariku beberapa jurus untuk menghabisi musuhnya. Mau kutunjukkan?”
Kata murid-murid lain, saat itu muka Casey berubah sepucat kertas dan bahkan untuk beberapa hari, dia meminta seorang pengawal pribadi pada ayahnya padahal Asami tidak berbuat apa-apa. Casey tampak menghindar dari Asami sejak saat itu.
“Casey pernah jalan sama Dave, kok. Cuma sebentar. Sementara Asami, kalian tahu sendiri, kan? Cewek blasteran itu kelihatan nggak peduli sama sekitar. Padahal mereka bisa jadi pasangan serasi. Asami kan cantik banget. Bahkan jauh lebih cantik daripada Casey yang sok beken itu.”
Kali ini Judy terbahak dan mengangguk setuju. “Jangan sampai Casey mendengarmu bicara begitu. Kalau nggak, kamu bisa dikeluarkan dari tim pemandu sorak.”
“Dia memang suka cari ribut. Hati-hatilah, Vi. Kalau Casey masih suka sama Dave, dia bisa saja memancing masalah denganmu gara-gara kejadian tadi pagi.”
Lalu, mereka kembali ke tempat duduk karena Mrs. Borsett sudah masuk ke kelas untuk mengajar fisika. Guru itu mengenakan kemeja yang dibalut jas berwarna olive dan agak lusuh. Penampilannya memang tidak modis tapi murid-murid menyukainya karena Mrs. Borsett punya metode belajar yang menyenangkan.
Biasanya, Violet lumayan bersemangat mengikuti pelajaran guru berambut keriting tebal dengan potongan kurang rapi ini tapi karena dia punya bermacam-macam pikiran, rumus-rumus di papan tulis itu sama sekali tidak masuk di kepalanya sampai pelajaran berakhir.
***
Violet tahu kalau Casey tidak akan bersikap menyenangkan tapi saat ini, gadis itu seolah sedang mengeluarkan semua kemampuannya dalam membuat orang lain sebal. Cewek itu datang ke hall dengan jaket merah muda, rambut pirang tergerai dan muka merengut—yang cuma ditunjukkan ketika tidak ada kerumunan cowok di sekitarnya.
“Menjijikkan banget, sih,” keluh Casey segera setelah melihat ember, peralatan mengepel dan sarung tangan karet berwarna oranye lusuh yang diletakkan di bangku. Sementara Violet sudah menggulung lengan baju dan memakai sarung tangan itu, Casey masih bersandar di dinding, ogah-ogahan.
“Kamu mau berdiri saja di sana Tuan Putri?” sindir Violet sambil mulai menuang cairan pembersih di ember logam besar. Cewek itu mulai mencelup gagang pel dan mulai membersihkan lantai aula yang luas. Setidaknya, mereka cukup membersihkan dua kali dan janitor sekolah akan membereskan sisanya. Pria paruh baya itu sedang mengambil alat untuk mengeringkan aula dan seharusnya kembali dalam beberapa menit.
“Ini semua gara-gara kamu.”
“Ya, ya. Aku sudah dengar itu ratusan kali. Dasar manja,” Violet menggosok lantai kuat-kuat. Dia sudah biasa membersihkan rumah jadi seharusnya acara bersih-bersih ini bukan apa-apa.
Hening sesaat karena Violet sibuk membersihkan lantai, sedangkan Casey melihat kuku-kukunya yang dilapisi cat merah muda dengan glitter.
Saat Violet mulai naik ke bagian kursi dan mengintip di bagian bawah untuk melihat apakah ada permen karet bekas yang mengering di sana, Casey akhirnya bergerak. Tapi bukan untuk membantu melainkan berjalan ke dekat Violet dan memandang tajam pada gadis itu.
“Kudengar Dave bilang suka padamu?” Nada suara Casey terdengar sedingin es.
Bahu Violet melorot, seolah rasa letihnya bertambah berkali-kali lipat. Dia cuma ingin menyelesaikan hukuman dan segera pulang untuk menyiapkan makan malam, mengerjakan tugas sekolah dan menyelesaikan buku favoritnya.
“Lebih baik kamu mulai membersihkan sebelah sana karena kalau nggak begitu, pekerjaan ini nggak bisa beres, Princess.” Violet melewati sebuah bangku yang bersih dan memeriksa bagian bawah kursi yang lain.
“Jangan besar kepala dulu. Dave berbuat begitu karena lagi bosan. Jessica nggak tahu caranya bersenang-senang makanya cowok itu memutuskannya cepat-cepat. Nggak seperti denganku.”
Violet mendesah capek lalu menegakkan punggung dan menatap Casey yang bersedekap sambil memandangnya dengan tatapan meremehkan.
“Jadi? Apa yang sebenarnya mau kamu katakan? Jangan berbelit-belit.”
“Aku cuma memperingatkanmu. Kami pernah jalan lumayan lama dan setelah aku nggak mau menemuinya, Dave tahu-tahu dekat dengan cewek lain. Aku rasa dia mendekatimu sekarang karena ingin membuatku cemburu.”
“Lalu?”
“Jadi kamu jangan terlalu percaya diri. Aku nggak suka orang-orang membandingkan diriku dengan kamu yang seperti ini.” Casey memperhatikan Violet dari atas ke bawah dan sebaliknya lalu berdecak.
Cewek itu jelas-jelas sedang berusaha membuat Violet kesal lagi tapi sayangnya Violet sedang tidak berminat untuk ribut. Banyak sekali yang terjadi dalam satu hari dan dia hanya ingin segera pulang lalu istirahat.
“Terserah padamu saja, Casey. Aku juga nggak tertarik sama Dave. Bahkan nyaris nggak kenal sama dia. Jujur saja, dia juga bukan tipeku jadi silakan ambil saja cowok berhargamu itu.”
Violet turun dari susunan bangku-bangku dan membersihkan lagi, sementara Casey yang tampaknya semakin kesal karena gagal memancing keributan, mengentakkan kaki lalu pergi dari aula. Cewek itu nyaris bertabrakan dengan petugas pembersih sekolah yang kembali dengan mesin pengering.
“Ada apa? Kenapa dia nggak membantumu?”
Violet tersenyum dan mulai mengepel lagi. “Tidak usah dipikirkan, Pak. Saya hampir selesai dan tinggal membersihkan di sebelah sana.”