Seperti yang sudah diduga, beberapa anak berbisik-bisik sambil menunjuk Violet saat gadis itu melintas. Meski sudah mempersiapkan mental, gadis itu tetap saja merasa tidak nyaman. Seolah seluruh mata di dunia sedang melihatnya dan tanpa ampun bicara soal kejadian kemarin.
Violet memasukkan tangan dalam-dalam ke saku jaket, berusaha kelihatan cuek ketika menyusuri lorong menuju ke kelas pertama. Banyak siswa yang masih berdiri di depan kelas sambil menunggu jam pelajaran pertama dimulai.
“Itu dia, kan?” terdengar suara lirih di belakang Violet setelah gadis itu melintas.
“Cewek yang kemarin menghancurkan cermin di kamar mandi?”
Menghancurkan? pikir Violet geli.
“Agak seram nggak, sih? Mungkin dia gila atau semacamnya?” desis salah satu cewek yang kukunya dicat dengan warna oranye mencolok.
Violet berusaha untuk tidak terpengaruh dan berjalan semakin cepat ke kelasnya ketika Casey muncul dari arah berlawanan. Cewek berambut pirang panjang dengan highlight itu tampak hebat dengan sweater merah muda, denim putih, dan mantel berwarna putih. Casey memang suka tampil menonjol karena berasal dari keluarga kaya dan populer di sekolah. Banyak cowok yang naksir padanya dan menganggap cewek itu seksi.
Dia selalu memakai pakaian perancang dan aksesori mahal yang membuatnya kelihatan glamor di antara cewek-cewek di kelas. Hampir tidak ada kejadian konyol yang menimpa Casey selama ini dan mungkin gara-gara itu juga dia tidak suka dipermalukan oleh cewek suram macam Violet. Mrs. Addison memberi nilai D pada Casey dan menempel pengumuman tugas bagi murid-murid yang tidak mengerjakan tugas di papan majalah sekolah.
“Wah. Lihat siapa yang masuk sekolah hari ini,” ujar Casey dengan suara tinggi, disusul cekikikan dari cewek-cewek yang mengekor di belakangnya.
“Bagaimana tanganmu? Kudengar kamu merusak properti sekolah ya kemarin?” lanjut cewek itu dengan suara yang terdengar didramatisasi.
“Minggir, Casey. Aku lagi malas berdebat denganmu,” ujar Violet sambil berusaha menyeruak cewek itu dan kelompoknya. Tidak berhasil karena saat Violet bergeser, Casey juga ikut berpindah ke sisi yang diambil cewek itu.
Casey sepertinya memang berniat mengganggu. Gadis itu menyeringai sambil berkacak pinggang. Murid-murid lain saling pandang dan mulai berbisik-bisik lagi, seolah mencium bau ketegangan yang menguar ke udara.
“Apa, sih?” Violet akhirnya merasa kesal.
Casey mencibir lalu bersedekap dengan gaya bak ratu. “Bersikap seenaknya memang kebiasaanmu, ya? Kamu ingat nggak kejadian minggu lalu? Kamu main coret saja namaku sampai aku harus mengerjakan tugas tambahan dua kali lipat padahal hari itu aku harusnya latihan vokal. Gara-gara kamu, aku jadi tertinggal.”
Casey gembar gembor akan ikut ajang pencarian penyanyi paling terkenal di Inggris dan bicara soal latihan vokal pada pelatih ternama sampai kemarin. Sepertinya cewek itu tidak main-main karena sekarang dia betul-betul kelihatan kesal sudah melewatkan les yang berharga. Violet mendesah panjang dan tampak letih. Suara Casey terdengar berisik dan cewek itu memang doyan mengoceh. Lagi pula, Violet merasa kalau dia tidak punya kesalahan sampai pantas diomeli begini.
“Itu salahmu sendiri yang nggak setor tugas. Nggak adil kalau kamu dapat nilai tanpa mengerjakan bagianmu, sementara anak-anak lain berusaha keras. Harusnya kamu juga ngerti itu.” Violet mendesak maju tapi Casey justru mendorong gadis itu sampai terhuyung.
“Nggak ada yang keberatan kalau kamu nggak cari gara-gara. Kamu memang sok berkuasa. Dasar cewek preman.”
Violet merasa darahnya menggelegak. Tadinya, dia mau diam saja karena tidak ingin dapat masalah baru. Masalah cermin yang pecah itu saja sudah membuatnya dipanggil kepala sekolah kemarin sebelum dia pulang dan kalau dia tidak bersikap baik, bisa-bisa ayahnya dipanggil.
“Kamu bilang apa tadi?”
Casey tersenyum meremehkan sambil menunjuk wajah Violet. “Cewek preman. Itulah kamu. Kasar dan nggak berpendidikan. Nggak heran kalau ayah ibumu bercerai. Kudengar ibumu kabur dari rumah sama—”
Saat tersadar, Violet sudah menarik rambut Casey dan membuat cewek itu tersungkur di lantai. Cewek-cewek lain menjerit sementara para cowok memperhatikan dengan antusias. Jarang sekali ada perkelahian di antara murid-murid perempuan di sekolah ini. Beberapa orang bahkan merekam kejadian itu dengan ponsel.
“SAKIT! LEPAS!” Casey menjerit, tampak kesakitan karena rambutnya ditarik kuat-kuat oleh Violet yang sudah menindih tubuhnya. Wajah Violet kelihatan seram dan membuat orang-orang tidak berani ikut campur.
Casey berusaha mencakar wajah Violet dengan kuku-kukunya yang panjang dan dipoles cat merah muda tapi lawannya justru mencengkeram lengan cewek itu dengan keras. Dia bahkan mampu menyeret Casey hingga cewek itu berdiri di kedua kaki yang tampak gemetar.
“Ungkit tentang ibuku lagi dan kamu bakal tahu akibatnya,” desis Violet lalu mendorong Casey yang sempoyongan lalu jatuh terduduk dengan muka merah padam.
Cewek itu mengusap kepalanya dan kelihatan merasa terhina saat Violet menjatuhkan rambutnya yang patah karena dijambak. Apalagi, Violet membuang helai-helai itu dengan raut jijik. Beberapa cewek berusaha menyembunyikan tawa karena tahu bagaimana sayangnya Casey pada rambut mahal yang katanya dirawat di salon terkemuka di London itu. Dia nyaris menyombongkannya setiap hari—kalau sedang tidak membual soal perawatan kuku-kukunya atau lipstik dari merek terkenal yang harganya bisa mencapai puluhan pound.
“Kamu yang bakal merasakan akibatnya, Vi! Kamu tahu, kan, siapa ayahku?” teriak Casey.
Violet mengibas-ngibas celana panjangnya dan memandang lurus pada Casey yang kelihatan murka. “Lalu?”
Casey menggeram marah dan bangkit sambil dibantu oleh teman-temannya. Violet tidak mengindahkan tatapan tajam mereka dan membalikkan badan, menuju ke pintu keluar.
Ruang klinik terbuka jadi begitu Violet selesai mengendap-ngendap, dia masuk ke dalam dan menutup pintu. Ruangan itu sepi dengan ranjang kosong yang selimutnya sudah terlipat rapi. Sebuah nakas putih berdiri di salah satu sisi tempat tidur dan kursi logam dengan bantal bersarung kulit kelabu terletak di sisi lain. Meja kayu yang berat ditempatkan tidak jauh dari pintu dengan lemari-lemari berpintu kaca diletakkan di bagian belakangnya.
Miss Sonya tidak tampak jadi Violet menjatuhkan diri di ranjang lalu menghadap ke jendela. Hari ini agak mendung dengan awan-awan menggantung, sepertinya siap memuntahkan hujan kapan saja. Violet merasa bosan jadi dia turun kembali dari ranjang dan mulai melihat-lihat isi lemari kaca.
Pintu lemari itu dikunci jadi Violet hanya bisa melihat label-label botol obat dari luar. Hanya obat-obatan yang biasa diberikan pada murid kalau mereka merasa pusing, mual atau sakit perut. Beberapa vitamin penambah darah yang mudah didapat bahkan ada juga obat penghilang rasa nyeri ketika murid cewek sedang haid berjajar rapi di rak bagian atas.
Poster-poster tertempel di dinding dengan tulisan besar-besar dan ilustrasi yang menjelaskan pertolongan pertama pada beberapa kasus seperti luka bakar, tersayat, terkena cairan berbahaya seperti asam sulfat. Ketika asyik membaca, Miss Sonya muncul di ambang pintu. Dia mendongak dan kaget melihat Violet yang berdiri di depan dinding.
“Bukankah kelas harusnya sudah mulai?” tanya wanita itu sambil meletakkan tumpukan kertas di atas meja kerjanya.
Violet menunjuk tangannya. “Saya belum ganti perban.”
Sejenak Miss Sonya kelihatan ragu tapi akhirnya menyuruh Violet duduk di kursi. Dia kembali ke depan lemari, membuka kuncinya dan menarik keluar perban baru yang masih bersih juga larutan salin dalam botol. Dia duduk di depan Violet dan mulai melepas perban secara perlahan. Wanita itu terlihat serius saat memandang luka di tangan Violet. Miss Sonya mengenakan sarung tangan plastik yang baru dibuka dari kemasan dan menuang cairan antiseptik pada kain kasa yang dijepit dengan pinset. Violet meringis saat kain kasa itu menyentuh kulitnya meski Miss Sonya melakukannya sepelan mungkin.
“Kamu tidak pergi ke rumah sakit?”
“Nggak,” sahut Violet singkat ketika Miss Sonya selesai membersihkan luka dan kini melepas sarung tangannya. Dia membuangnya ke tempat sampah logam dan menggunting perban baru dalam ukuran lebih pendek. Setelah mengoles krim antibiotik, Miss Sonya memasang perban dan merekatkannya dengan plester medis.
“Kamu harus menjaga agar lukanya tidak terkena kotoran dan tetap bersih sampai mengering. Harusnya kamu bersyukur karena luka itu tidak perlu dijahit,” ujar Miss Sonya sambil membereskan barang-barang dan melepas jas putihnya.
Violet tidak menyahut dan bersandar pada leher kursi.
“Kamu tidak kembali ke kelas?”
“Saya masih merasa pusing.”
Violet tahu kalau Miss Sonya tidak percaya karena sekarang dokter itu memandangnya lurus-lurus dengan tatapan penuh pertanyaan.
“Saya dengar apa yang terjadi kemarin juga pagi ini. Apa kamu mau membicarakannya?”
Violet menggeleng, cepat dan tegas. “Tidak ada yang perlu dibicarakan, Miss. Saya cuma butuh istirahat.”
Sunyi sesaat sebelum akhirnya Miss Sonya mengangguk pelan. Dia menunjuk ke ranjang. “Berbaringlah sampai kamu merasa lebih baik. Saya akan menutup tirainya, jadi kamu bisa beristirahat dengan nyaman. Oke?”
Violet menurut dan mendesah lega saat meletakkan tas di atas nakas dan naik ke ranjang. Meski dia tidak bisa tidur sepenuhnya, Violet merasa lebih tenang karena tidak harus bertemu dengan teman-teman sekelasnya. Cewek itu bisa mendengar kesibukan Miss Sonya yang mengetik di komputer, membuka-buka halaman buku, dan kadang-kadang bicara dengan seseorang di telepon selama beberapa saat.
Setelah berdiam diri untuk beberapa lama, Violet mengintip dari balik tirai dan memastikan kalau Miss Sonya pergi untuk menggantikan Mr. Darwin mengisi kelas PSHE. Gadis itu meraih tas dan menarik keluar sebuah buku bersampul kulit warna hitam dengan pita berwarna senada menjuntai keluar di sela-sela halaman.
Sejak perceraian orang tuanya, Violet mulai menulis di buku harian dan kadang-kadang membawa benda itu ke sekolah. Meski merasa tidak aman, dia juga tidak tenang meninggalkan benda itu di rumah karena terpikir soal ayah atau adiknya yang bisa saja tiba-tiba masuk ke kamar lalu menemukan bukunya.
Violet membeli buku itu di Lock pada akhir pekan ketika sedang jalan-jalan bersama beberapa temannya. Saat cewek-cewek lain tertarik pada pernak-pernik dan peralatan tulis berwarna pastel, Violet menemukan buku dengan halaman bergaris-garis itu di rak yang terletak pojok ruangan. Tampak kesepian dan tinggal satu-satunya. Harganya bahkan sangat murah karena sudah terlalu lama tidak laku.
Buku itu cukup tebal dengan halaman mencapai tiga ratus lembar. Selain halaman bergaris, ada beberapa halaman kosong yang bisa digunakan untuk menggambar. Halaman itu masih kosong karena Violet tidak tahu harus menggambar apa. Lagi pula, dia juga tidak pandai di bidang itu. Nilai pelajaran seninya termasuk pas-pasan.
Violet menarik bolpoin dari tas dan mulai menulis sambil mengingat wajah Casey. Kalau dibayangkan sekarang, Violet ingin tertawa. Tampang Casey benar-benar kelihatan payah. Tadinya, dia kira cewek itu cukup kuat karena masuk di tim pemandu sorak. Mungkin Casey bisa masuk bukan karena punya badan yang prima atau bakat menari.
3 Februari
Casey benar-benar sudah di luar batas karena menyebut soal Mom. Dia boleh saja menjelek-jelekkan aku tapi kalau dia berani menghina Mom satu kata saja, mulutnya bakal robek. Dia harusnya bersyukur karena aku tidak menghajarnya habis-habisan dan kejadian tadi berlangsung di sekolah. Aku menahan diri karena tidak tahan ditatap murid-murid lain. Entah apa yang mereka pikirkan soal aku sekarang. Mungkin mereka tambah tidak menyukaiku—meski itu juga tidak memberi banyak perubahan. Aku tahu, kok, kalau selama ini dibenci meski secara halus. Satu dua kali, aku mendengar cewek-cewek membicarakan aku di toilet. Kayaknya mereka nggak suka karena melihatku dekat dengan beberapa cowok. Padahal, cowok-cowok itu yang meminta nomor teleponku duluan. Tapi, tetap saja. Mereka cuma ingin mendengar apa yang mereka mau dengar, meski itu kebohongan.
“Violet, kamu masih tidur?”
Violet kaget dan nyaris melempar buku hariannya. Dia memasukkan benda itu ke dalam tas tepat saat Miss Sonya melongokkan kepala.
“Kepala Sekolah Aiken ingin bertemu denganmu. Sepertinya dia ingin bicara soal keributan tadi pagi. Casey Stone sudah ada di kantornya sekarang.”
“Oh.”
Violet turun dari ranjang dan mengenakan sepatu kets lagi. Dia tersenyum, berterima kasih pada Miss Sonya sebelum keluar dari ruangan.