DI religius agaknya memiliki stigma yang berlebihan. Mencampur adukkan kehidupan dunia dengan agama yang sejatinya tak perlu disatukan dalam waktu bersamaan. Dunia dan akhirat dua hal yang berbeda—tak perlu dicampur adukkan.
Begitu, pikir Ergantha saat dahulu kala.
Padahal Islam sendiri sudah mengatur segalanya, mulai dari lapisan kehidupan bermasyarakat, berpolitik sampai perihal kecil. Makan dan minum saja sudah di atur. Pun, masuk dan keluar kamar mandi ada aturannya. Begitu rinci dan mendalam. Alih-alih berlebihan, justru menjelma menjadi acuan.
Lambat laut Ergantha menyadari, sebuah pemikiran yang dulu ia genggam tak memiliki nilai apapun. Mengukur beberapa hal dengan otak kecilnya, mengira bahwa dunia tak berkaitan dengan akhirat—sedikitpun.
Ergantha memang belum menjadi manusia seutuhnya. Terkadang berat meninggalkan dosa yang terlampau menyenangkan dan memberikan pengalihan dari ribuan problematika kehidupan. Sebaliknya, menjadi baik dan benar, justru terasa melelahkan.
Tak ada yang mudah, begitu Ummu Fatih mengingatkan Ergantha.
Jam makan siang kali ini Ergantha habiskan dengan berkeliling Mall seorang diri kemudian mengisi perut di lantai tiga— food court area. Seminggu ini tak ada kebetulan yang disengaja bertemu Adzkan seperti sebelum-sebelumnya di Minimarket. Laki-laki favoritnya itu kini tak pernah mengunjungi minimarket di saat jam makan siang—memunculkan banyak praduga.
"Maaf aku telat, As." Suara bass mengalun tak jauh dari tempat duduk Ergantha.
"Enggak apa-apa, aku juga belum lama datengnya." Balas seorang perempuan yang terdengar lembut, menyadarkan Ergantha bahwa terdapat ada dua orang yang tengah bercengkrama di balik mejanya.
Ergantha baru saja menyelesaikan makanannya, namun tak kunjung ingin pergi. Menunggu percakapan dua sejoli dari balik punggung.
"Gimana keadaan kamu?" Parfum Woody dengan suara bass ini sangat ia kenali.
Adzkan, laki-laki di balik punggung Ergantha sudah pasti Adzkan. Posisi duduk mereka yang terhalang sekat, membuat Ergantha dapat mendengar dengan samar.
"Sekali lagi aku minta maaf mewakili Najwa dan semuanya." Ungkap Adzkan.
"Enggak ada yang berubah meskipun kamu minta maaf ribuan kali, Adz... Makkih cintanya sama Najwa juga di luar kuasa kamu."
"Sebagai kakak laki-lakinya Najwa aku rasa sudah sepatutnya untuk minta maaf dengan benar ke kamu. Seandainya Najwa lebih cepat-"
"Adz..." Asih memotong, "Aku sudah ikhlas, jangan salahin diri kamu terus."
Pantas saja Adzkan tak bisa move on dari Asih. Perempuan yang menjadi rival Ergantha ini terlampau bersinar dengan adab dan tutur kata yang lembut. Layaknya perempuan yang digemari oleh banyak lelaki.
"Aku sudah ridho sama pernikahan Najwa dan Makkih." Ucap Asih lembut. "Aku minta maaf kalau sempat berkata buruk."
"Aku paham, As." Ucap Adzkan menenangkan.
Cih, mereka berdua terdengar seperti sepasang sejoli dalam melodrama yang terdengar menyebalkan di telinga Ergantha.
"Kita masih temenan, kan?" Asih bertanya.
Jangankan hanya sebatas teman, yang lebih Adzkan juga pasti mau! Ergantha membatin sendiri. Mendecih kecil sarat akan kekesalan.
Adzkan seperti laki-laki yang hobi tersakiti oleh perasaan seorang diri. Ergantha tak suka hal itu, terlebih jika laki-laki itu menyimpan perempuan lain teramat dalam. Kenapa susah sekali Adzkan untuk hijrah cinta dari Asih, kalau begini Ergantha jadi semakin sulit dipandang menarik!
"Kata Buk Menik Minggu ini kamu berangkat ke Singapure?" Asih bertanya, namun tak kunjung ada balasan yang terdengar dari Adzkan.
Suara beberapa pengunjung yang baru saja datang membuat Ergantha tak dapat mendengar dengan seksama percakapan mereka. Berisik dan gaduh!
Ergantha hanya berharap semoga tak ada percakapan penting dari dua sejoli yang tak diharapkan bersama itu. Tak ada pembicaraan serius yang Ergantha harapan tak terjadi.
"Sekali lagi selamat ya, Adz... Sukses buat karir kamu." Hanya itu yang dapat Ergantha dengar dari percakapan terakhir mereka.
Asih pergi dengan Adzkan yang masih berdiam seorang diri. Menopang dagu Ergantha menatap gelas kosong yang sudah ia habiskan. Menimbang menyapa Adzkan atau membiarkan laki-laki itu sendirian. Duduk saling memunggungi begini mungkin lebih baik. Tiga puluh menit berlalu sampai dengan Adzkan pergi lebih dulu. Ergantha menutup diri dengan buku menu agar keberadaannya tak diketahui.
Beberapa kali menghembuskan nafas, Ergantha menekuk wajah. Adzkan dan Asih, nama mereka saja cocok. Tampan dan cantik, Soleh dan Solehah, berakhlak dan pandai menjaga diri. Seperti pasangan yang memang sudah ditakdirkan. Membayangkan Adzkan bersanding dengan Asih terasa seperti goresan.
Ergantha berharap Adzkan membalas perasaannya, tapi apa itu mungkin?
Enggan berlarut-larut dalam kesedihan, Ergantha memilih mengelilingi Mall sekali lagi. Memasuki toko buku melepas penat dan segala rasa yang akan meledak seorang diri.
"Ergantha..." Menggigit bibir, Ergantha berharap ia salah dengar.
"Ergantha..." Suara itu kian mendekat yang pada akhirnya membuat Ergantha berbalik badan. Menyembunyikan gelagat anehnya, Ergantha mencoba memasang wajah datar.
"Mas Adzkan kenapa masih disini?" Ergantha bertanya menetralkan suara gugup.
"Memangnya saya harus berada dimana?" Adzkan balik bertanya. Otak Ergantha tak bisa berpikir, kenapa ia jadi takut ketahuan padahal Adzkan tak tahu apapun.
"Yah—makan siang di Minimarket!" Jawab Ergantha lugas, mati-matian menutup kegugupan.
"Saya tidak seaddicted itu terhadap makanan minimarket." Adzkan tersenyum simetris yang mana membuat Ergantha terpesona tanpa sadar.
Manusia tampan yang tak bisa Ergantha raih itu terlihat semakin menawan. Mematahkan hati sekaligus memberi ribuan angan. Tampan, bersinar dan menawan.
Ergantha terkagum terhadap penciptaan Tuhan yang terlalu silau untuk dipandang begitu lama. Merapalkan doa untuk mendapatkan pendamping seperti Adzkan suatu hal yang rutin ia lakukan. Mengejar sepertiga malam, menyisipkan laki-laki ini dalam setiap doa. Meski ia tahu patah hati tak pernah jauh dari pelupuk.
"Apa boleh seorang perempuan melamar seorang laki-laki?" Ergantha bertanya tiba-tiba tanpa permisi.
Tersenyum asimetris, Adzkan menautkan kedua tangan di depan dada. Menatap Ergantha sekilas, "Kamu mau melamar siapa?"
"Ada laki-laki yang cintanya bertepuk sebelah tangan, tapi susah move on."
"Kamu mau melamar hanya karena rasa kasihan atau hanya ingin menjadi selingan?"
"Enggak apa-apa aku jadi selingan, lagian cinta juga datang karena terbiasa."
"Kamu harus punya alasan yang jelas, jangan hanya karena rasa cinta saja."
"Aku enggak suka dia sedih, aku kesel kalau dia terlalu dekat sama perempuan lain. Aku risih tiap kali menjadi saksi bisu perasaannya yang enggak berbalas apapun. Apa itu enggak cukup buat melamar seseorang? Apa itu juga enggak cukup buat menyampaikan rasa suka aku kalau aku mau dia?"
Melihat tatapan Ergantha yang terkesan serius, Adzkan memutuskan pandangan mereka terlebih dulu. Mengusap leher menaruh buku yang sempat ia pegang tadi kembali ke rak.
"Kamu sekolah yang bener dulu, Ergantha."
"Emang aku anak bocah!" Ketus Ergantha yang membuat Adzkan terkekeh.
Beberapa jam yang lalu perasaan kalut menaungi diri Adzkan. Kini berubah layaknya musim semi yang bermekaran. Sebab karena Ergantha. Yah, Ergantha, gadis kecil yang awalnya dianggap sebagai adik. Gadis pemberontak yang kerap ia temui mabuk-mabukan, merokok, bahkan mengenakan pakaian yang tak pernah Adzkan ingin pandang.
Perempuan ini justru menjelma menjadi racun yang tak ia sadari. Penawar dari duka yang tengah ia tutupi.
"Mas Adzkan mau langsung pulang?" Adzkan mengangguk. Mereka berjalan beriringan, keluar dari toko buku bersama-sama.
"Kamu masih ingin jalan-jalan disini?"
"Aku juga mau pulang."
"Kalau begitu saya akan telepon Pati supaya dia bisa mengantar kamu pulang."
Tak ada basa-basi Adzkan yang akan menawarkan Ergantha tumpangan. Ergantha tak kecewa karena ia tahu, laki-laki ini tak akan menawarkan jika tidak dalam kondisi mendesak. Daya tarik ini yang membuat Ergantha semakin tak bisa mengarahkan perasaannya.
Mereka menunggu datangnya Pati di area luar dengan hujan yang mengguyur kota Bandung. Adzkan masih menemani Ergantha dalam bisu. Hujan dan Adzkan seperti perpaduan yang menjelaskan perasaan Ergantha—menyedihkan.
"Aku suka syair dari Ali bin Abi Thalib." Kata Ergantha membuka suara, suasan hujan begini ia jadi teringat syair-syair cinta.
"Cinta itu enggak bisa dinanti, ambil dia dengan penuh keberanian atau lepaskan dengan keridhoan." Ergantha mengutip salah satu syair dari Ali bin Abi Thalib. Menunduk dan menendang kecil sembarang. "Apa tindakan yang paling tepat menurut Mas Adzkan?"
"Ikhtiar paling standar itu doa dan paling baik itu melamar kemudian merencanakan pernikahan." Balas Adzkan menatap mobil yang tengah berlalu lalang.
"Dan jika Allah menginginkan dua orang untuk bersatu, maka ia akan menggerakkan hati keduanya, bukan salah satunya." Datar dan tepat mengenai hati Ergantha.
Mungkin mereka tak ditakdirkan bersatu, sebab hanya hati Ergantha yang bergerak tak tentu. Hanya Ergantha yang bereforia disaat takdir belum berpihak kepadanya.
Hanya Ergantha yang sadar bahwa perasaannya tak sekedar mengagumi, lagi.