Read More >>"> Tumpuan Tanpa Tepi (Chapter 41) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Tumpuan Tanpa Tepi
MENU
About Us  

GEJOLAK yang tumbuh berasal dari kekaguman, terawat oleh harapan hingga membusuk sebagai perasaan yang kian mendalam. Ibarat jatuh hati yang candu, entah sampai kapan. Memang siapa yang sengaja menyirami khayalan dengan ribuan angan.

Tak sadar kepada bunga yang ia tanam sendiri, Ergantha menjadi semakin penuh pengharapan. Kepada Adzkan yang jelas-jelas menyukai perempuan lain. Toh, perasaan Adzkan sepertinya bertepuk sebelah tangan. Kemungkinan memenangkan hati lelaki itu mencapai peluang dua puluh persen saja.

Tapi, tak apa!

Cantik, Ergantha memuji diri. Berkaca melalui ponsel mengambil satu dua selfie sebagai koleksi pribadi. Memeriksa Pashmina agar tampak rapi dan simetris, tetap saja bintik-bintik hitam di pipi memang susah diatasi.

Sejenak Ergantha berpikir apa ia melakukan operasi plastik saja, demi menghilangkan bintik-bintik hitam yang telah ada sejak lahir. Tapi itu sama saja tak bersyukur atas pemberian Allah. Ergantha bukannya tak bersyukur hanya saja kenapa harus terlahir dengan bintik-bintik hitam di pipi!

Memejamkan mata, mengusap dada, Ergantha melafazkan istighfar. Menghalau rasa kufur nikmat yang tumbuh secara perlahan. Kebiasaan mengumpat tengah ia arahkan untuk tak muncul kedaratan.

"Ngapain?" Terkaget dengan suara bass yang menggema Ergantha melotot kepada si Pengganggu. Siap mengucapkan sumpah serapah namun ia tahan begitu melihat Adzkan-si pelaku.

Belum apa-apa kebiasan bersumpah serapah sudah memberontak keluar untuk dibebaskan.

Sial! Eh! Astaghfirullah...

Menarik kursi di samping Ergantha, Adzkan menduduki diri. Jam makan siang hampir tak pernah Ergantha lewatkan untuk bisa berada di minimarket ini. Sebuah kebetulan yang sengaja diciptakan agar bisa bersapa bersama laki-laki favoritnya.

"Kamu baru pulang kajian?" Tanya Adzkan menyadari Ergantha mengenakan Pashmina.

"Abis dari kampus...Mau ngadem dulu sebelum pulang." Adzkan mengangguk tanpa berkomentar lebih lanjut, memakan makan siangnya-onigiri dan segelas coffee.

"Mas Adzkan enggak bosen makan onigiri terus?" Ergantha bertanya penasaran. Menopang dagu dengan sebelah tangan memandang wajah Adzkan dari samping.

"Saya lebih bosen kalau harus makan sendirian di rumah."

"Terus kenapa enggak makan di restoran atau di caffe yang deket-deket Bengkel."

"Hanya minimarket yang tidak ramai di saat jam makan siang... Dan minimarket ini yang paling dekat dari Bengkel."

"Aku pikir karena doyan onigiri." Komentar Ergantha menegakkan duduk, kemudian meneguk jus berbentuk kotak.

Ergantha bisa saja memandangi laki-laki ini terus menerus, meskipun manusia yang tengah ditatap tak terganggu sedikit pun-menatap lurus seakan Ergantha bukan sosok menarik. Ia harus sedikit berwibawa untuk mendampingi sifat Adzkan yang begitu lurus. Menjadi perempuan lembah lembut yang pandai dalam menjaga diri. Siapa tahu, Adzkan akan tersadar akan pesona Ergantha.

Ergantha menunggu Adzkan untuk berkomentar lebih jauh perihal penampilan barunya. Blouse dengan rok dipadukan dengan Pashmina yang senada. Harusnya, penampilan Ergantha menambah daya tarik bagi para laki-laki seperti Adzkan.

"Mas Adzkan enggak makan siang bareng Mas Pati?"

Ergantha berbasa-basi, tak mungkin ia menanyakan 'Gimana penampilan baruku?' Tak elegan dan terlalu terang-terangan. Mungkin nanti Adzkan sadar sendiri.

"Pati lebih suka makan di kantor-Kakak kamu itu gila kerja, tidak bisa jauh dari tumpukkan dokumen."

"Pencintraan!" Ralat Ergantha memutar bola mata. "Yang ngurus bengkel lebih banyak Mas Adzkan, masalah urgent juga selesai karena bantuan dari Mas Adzkan."

Bicara soal Pati, kakak laki-lakinya itu tak pernah sekalipun mengunjungi Ergantha selama tiga bulan ini. Selalu saja beralasan sibuk. Entah apa yang disibukkan, nyata urusan bengkel juga tak diurus sendiri. Adzkan saja bisa ia temui setiap jam makan siang, sedang kakak laki-lakinya menjelma menjadi workholic padahal hanya Pencintraan di mata Ergantha.

"Kamu kenapa selalu kesini saat jam makan siang?" Adzkan bertanya seraya memberikan sebungkus permen cokelat dari sakunya.

"Itu enak... Pemberian dari teman saya, sayang kalau saya tidak berbagi." Kata Adzkan menjelaskan.

Menahan senyum, Ergantha membuka permen cokelat yang bertuliskan Turki. Mengunyah pelan, dengan semeraut senyuman kecil, menahan ujung bibir yang akan melebar karena senang yang tak terkira.

Ini pemberian pertama Adzkan-permen cokelat!

Hanya diberikan sebungkus permen saja, bahagianya tak terkira. Apalagi kalau Adzkan memberikan seluruh hatinya hanya kepada Ergantha...

"Jadi kenapa kamu kesini di saat jam makan siang?" Tanya Adzkan kembali. Menyadarkan Ergantha yang tengah bereforia.

Satu-satunya alasan Ergantha mengunjungi Minimarket ini hanyalah karena ingin bertemu Adzkan-tak ada yang lain. Tak mungkin ia berterus terang, 'Aku kesini mau ketemu Mas Adzkan.'

Ew, Ergantha tak ingin dianggap gampangan.

"Emang enggak boleh?" Ergantha balik bertanya.

"Memangnya saya bilang tidak boleh?" Adzkan kembali melempar pertanyaan yang jelas sindiran untuk Ergantha yang tengah beralasan.

"Ini ritual healingku sebelum pulang ke Pesantren." Kata Ergantha berdalih.

"Kalau kamu kurang nyaman di Pesantren, nanti biar saya sampaikan ke Pati."

"Kegiatannya memang banyak, tapi masih bisa ke handle, kok. Kalaupun enggak betah aku bisa protes langsung ke Pati, enggak perlu lewat Mas Adzkan. Emangnya aku anak kecil!"

Ergantha tak suka di pandang remeh begini. Ia sudah menjadi mahasiswi bukan lagi anak SMA bau kencur yang tak tahu apa-apa. Sudah menjelma menjadi gadis dewasa, harusnya pandangan Adzkan terhadap dirinya tak lagi sama seperti dulu.

"Saya hanya berjaga-jaga, siapa tahu kamu terpaksa."

"Aku enggak kepaksa, Mas Adzkan tenang aja."

"Bagus kalau begitu." Adzkan berucap lega.

"Aku keliatan seperti anak kecil, ya?" Ergantha menyipitkan mata.

"Kamu memang masih seperti anak kecil." Balas Adzkan santai, seraya meneguk coffee.

"Aku udah 18 tahun, bukan anak kecil lagi, yang ada aku udah bisa buat anak kecil."

Adzkan tersedak mendegar ucapan Ergantha yang tanpa permisi. Terbatuk lama, coffee yang ia teguk memasuki aliran yang salah sebab ucapan perempuan yang selalu bertingkah diluar ekspektasi. Perempuan yang merasa dewasa ini seperti kotak Pandora dengan pesona yang sulit Adzkan jabarkan.

Gila, anarkis, dan sedikit semena-mena. Anehnya, perempuan anarkis seperti Ergantha seperti membawa hal baru yang sulit dijabarkan.

"Minum itu baca bismillah!" Ketus Ergantha mengejek, menyodorkan Tumblr miliknya.

"Kalau ngomong dipikir dulu, Ergantha." Balas Adzkan begitu menerima Tumblr tersebut.

"Emang bener, kan, aku udah bisa bikin-"

"Ergantha!" Potong Adzkan tanpa membentak. Menatap Ergantha penuh teguran.

"Makanya lain kali jangan sebut-sebut aku sebagai anak kecil. Mana ada anak kecil yang udah bisa bikin-"

"Ergantha!" Potong Adzkan sekali lagi dengan Ergantha yang akhirnya melepaskan tawa.

"Iya, iya... Aku, kan, cuma bercanda." Tawa renyah masih menggema di telinga Adzkan.

Tatapan mendelik dari Adzkan membuat Ergantha terkekeh. Ekspresi salah tingkah dengan wajah yang memerah membuat Ergantha jadi ingin menggoda Adzkan lebih jauh. Menyenangkan sekali bisa menggoda laki-laki yang memilki benteng penjagaan sekelas tembok Cina. Kalau begini, Ergantha bisa tambah cinta meskipun hanya bertepuk sebelah tangan.

Adzkan memang selalu membuatnya untuk menggunakan otak dengan maksimal. Berpikir, berlogika dan mencari balasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan sarkas yang terlontar. Menghabiskan waktu bersama Adzkan hal baru yang membuat dunia Ergantha menjadi berwarna. Ergantha juga jadi menginginkan cinta, mengharapkan cinta sampai menginginkan sesuatu yang belum tentu menjadi takdirnya.

Nyatanya, perihal kebebasan tak semenarik mendapatkan hati Adzkan sepenuhnya. Karena kebebasan hanya berbicara keinginannya, sedang perihal hati-antara ia dan Adzkan.

"Mulai sekarang aku pakai hijab-kemanapun." Kata Ergantha mengumumkan. Tak sanggup menunggu Adzkan bertanya.

"Bagus!" Singkat dan padat.

"Mas Adzkan enggak punya komentar apapun, gitu?"

"Kamu terlihat bagus mengenakan hijab."

"Cantik maksudnya?"

"Terlihat bagus."

"Ck! Pelit!"

"Lebih baik terhempas lebih dini daripada pengharapan kamu semakin menjadi."

"Emangnya aku berharap apa?"

"Memangnya saya tahu kamu berharap apa?"

Cih, selalu saja begini. Berdebat pada hal yang sama-sama mereka tak ingin ucapkan secara gamblang. Sudah minim menatap lawan bicara, minim dalam memuji, minim pula dalam memberi harapan. Meski begitu, harapan Ergantha terpupuk dengan sendiri. Bermodal dengan angan dan rasa yang semakin menjadi.

Tak apa kan, kalau ia berangan-angan meski kerap dihempaskan....

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags