Doa tidak tertolak pada dua waktu, yaitu ketika Adzan berkumandang dan ketika hujan turun." (HR. Al-Hakim)
Ergantha membaca sebuah tulisan yang tertempel di depan kaca rias. Doa-salah satu kegiatan yang ia akui dapat menenangkan. Ergantha bukanlah sosok agamis ataupun religius. Ia hanya mencoba melakukan apa yang dilakukan kebanyakan orang. Seperti mendekat kepada Tuhan, karena ingin didekatkan dengan seorang laki-laki.
Ergantha berdoa, semoga laki-laki kesayangannya bisa melupakan sosok Asih-agar ia leluasa membangun rumah dalam hati yang sudah kosong.
Mematut diri di cermin dengan sebuah Pashmina, tak lama kembali ia lepaskan. Pakai dan lepas, tiga puluh menit dilakukan. Kenapa susah sekali untuk meyakinkan diri untuk memakai pakaian tertutup. Kepalang menjadi manusia yang tak utuh membuat Ergantha tak yakin dengan jati diri. Apa manusia berdosa sepertinya pantas mengenakan pakaian tertutup...
Mengetuk pintu ruangan Ummu Fatih, Ergantha membutuhkan keyakinan dari seseorang yang ia anggap utuh.
"Saya ganggu enggak, Um?" Tanya Ergantha setelah mengucapkan salam. Menunjukkan diri dari balik pintu.
"Mau minta pelajaran tambahan?" Balas Ummu Fatih bercanda.
Ergantha menggeleng, berdigik ngeri, "Udah cukup, hari ini mau pakai jatah libur aja." Ummu Fatih lantas tertawa, mempersilahkan Ergantha untuk duduk di sofa.
Pati menitipkan Ergantha dengan banyak kekhawatiran. Mengira adiknya akan kabur, atau menyimpan minuman alkohol di dalam kamar. Padahal sejauh ini, Ergantha tak pernah mengeluh kepada Ummu Fatih. Ia hanya izin keluar disaat kuliah dan mengerjakan tugas kelompok. Tak ada sisi Ergantha yang pergi tanpa berpamitan.
"Um..." Panggil Ergantha ragu, menggigit bibir. "Saya mau tanya hal yang agak krusial."
Ummu Fatih menunggu, kiranya apa yang membuat Ergantha sampai menghampirinya sampai ke ruangan. Mengenakan Pashmina lengkap dengan blouse dan rok. Dalam kawasan pesantren Ergantha memang diharuskan berjilbab, beda ceritanya jika sudah diluar lingkungan pesantren. Berjilbab ataupun tidak akan menjadi urusan Ergantha sendiri.
"Apa tujuan berhijab itu untuk menutupi aurat sekaligus agar tidak mengundang nafsu?" Tanya Ergantha penasaran. Sejak beberapa hari ini ia sangat penasaran akan kewajiban dan esensi menutup aurat.
"Menutup aurat bukan tentang mengundang nafsu, melainkan semata-mata karena melakukan perintah Allah. Sama seperti kita menjauhi makanan haram karena itu perintah Allah." Kata Ummu Fatih menjelaskan.
"Hijab itu sebenarnya wajib, apa cuma wajib untuk beberapa aliran aja?" Wajah Ergantha terlihat kebingungan.
"Wajib, kata Al-Qur'an..." Tutur Ummu Fatih lembut.
"Bukan tradisi orang Arab?"
"Bukan juga tradisi orang Arab."
Ergantha mengangguk mencoba memahami, "Jadi perintah berhijab itu udah ada dari zaman nabi Adam?"
"Lebih tepatnya saat zaman Rasulullah... Dulu, para wanita di zaman Rasulullah belum ada yang memakai hijab. Sehingga setelah turunnya ayat perintah untuk berhijab, mereka para perempuan langsung mencari kain untuk menutup kepala. Malahan ada yang mengambil kain potongan sarung sebagai penutup."
"Dan tahu apa yang paling menarik?" Ergantha menggeleng penasaran. "Tidak ada satupun para wanita pada zaman itu yang mempertanyakan mengapa ayat tersebut turun... Alih-alih keberatan, mereka justru tunduk-patuh terhadap apa yang telah ditetapkan Allah dan rasul-Nya."
Patuh? Apa ia juga bisa patuh kepada Sang Pencipta, sebesar rasa cinta para wanita di zaman Rasulullah. Terenyuh dalam ketidaksempurnaan, sadar akan diri yang tak memiliki cinta kepada sang Pemilik. Ergantha merasa tersentil.
"Allah tidak membutuhkan kita para perempuan untuk berhijab, perempuan berhijab atau tidak, bukan menjadi masalah Allah." Ummu berbicara dengan nada lembut.
"Tapi hidup itu penuh pilihan, mau dicintai Allah, ingin menjadi hambaNya yang spesial, yang di ridhoiNya, maka laksanakan perintahNya."
"Kalau saya pakai jilbab, terus dilepas sesekali apa boleh?"
"Boleh, Ergantha. Ummu juga sering, kalau mau tidur sama mandi Ummu mana pernah pakai jilbab. Kumpul sama yang mahrom juga Ummu lepas jilbabnya." Ergantha tersenyum, diiringi oleh kekehan. Ummu Fatih memang tak pernah menjawab secara gamblang. Tak salah Pati memilihkan guru untuk Ergantha.
"Hijab itu perihal kemauan, bukan aturan. Karena fokusnya hanya pada perintah Tuhan bukan karena gertakan manusia."
"Kalau kamu mau berhijab, itu untuk diri kamu sendiri. Niatkan berhijab karena butuh dilihat oleh Allah, agar dicintai Allah dan diridhoi Allah."
Ergantha menunduk, merenungi ucapan Ummu Fatih. Benar adanya, Allah tak butuh ketaatan hambaNya. Allah juga tak butuh sholat dari para hambaNya. Seperti tersentil, Ergantha menyadari ketenangan yang ia butuhkan tak pernah berada jauh. Ia sendiri yang terlalu abai. Sibuk mempermasalahkan takdir yang kejam dipelupuk mata. Sibuk mencari pelarian yang justru menyesatkan.
"Kenapa orang-orang di zaman Rasulullah bisa punya rasa cinta sebesar itu?" Ergantha bertanya lagi. Pernyataan yang selalu bersemayam di kepala.
"Jika seorang Ibu memiliki rasa cinta yang besar kepada anaknya, maka rasa cinta Allah kepada para hambanya lebih dari itu... Bahkan untuk penzina dan pencuri sekalipun, Allah masih akan mengampuni selama mereka mau bertobat."
"Meskipun orang itu berzina berkali-kali?" Mata Ergantha membola.
"Meskipun ia berzina berkali-kali."
"Meskipun orang itu berzina berkali-kali dan mencuri?"
"Meskipun ia berzina berkali-kali dan mencuri."
Selama ini Ergantha pikir, ia tak pantas menjadi seperti Najwa ataupun sepantaran dengan Adzkan. Terlampau mengenal dunia yang sesat mana mau Tuhan mengampuni. Nyatanya, ia saja yang terlalu yakin akan hal yang tak berdasar. Tanpa tahu arti kasih sayang yang sesungguhnya.
"Kasih sayang Allah itu luas, saking luasnya Dia tidak pernah meninggalkan kita-hambaNya. Allah akan selalu menerima apapun kondisi hambaNya... Mungkin manusia akan meninggalkan kita, tapi Allah- tidak. Allah selalu menunggu kita, selalu menunggu hambaNya."
Ergantha terharu atas cinta yang baru ia tahu. Untuk cinta yang ia cari nyatanya tak pernah jauh berada dari nadi. Hangat sekaligus tersayat mengingat cinta yang ia abaikan dari Sang Pencipta.
Pada akhirnya, setiap orang memang berhak untuk kembali ke jalan yang lurus. Entah sudah seberapa dalam terjatuh ataupun selama apapun tersesat. Pulang, seperti perjalanan panjang untuk menemukan-menemukam tumpuan dengan landasan kembali kepada Sang Pencipta.
"Um, saya kayaknya mau pake jilbab aja."