"TURUNIN gue di depan minimarket Senopati." Ergantha memasang seat belt. "Lo bawa jaket juga, 'kan?"
Dryl memberikan paper bag berisi jaket, masih enggan menjalankan mobil. Tak ada angin, tak ada hujan, Ergantha meminta untuk di jemput di depan restoran Jepang. Belum lagi dengan tampilan feminim dengan dress putih di atas mata kaki, layaknya bidadari yang menarik pribumi agar sadar diri.
"Lo lupa cara bawa mobil?" Ergantha mengernyit geram kepada Dryl yang tak juga berangkat.
"Lo bukan kabur dari blind date, 'kan?" penampilan Ergantha begitu menawan untuk kabur dari acara biasa, belum lagi semangat Ergantha yang terkesan berapi-api.
"Jalan dulu," pinta Ergantha.
"Jelasin, Tha." Dryl tak ingin kalah.
"Gue kabur dari blind date. Sekarang udah bisa jalan?!" Seru Ergantha tak ramah, si penumpang yang tak tahu malu.
Mereka menyusuri gemerlapnya Jakarta dengan kendaraan yang berlalu lalang. Tanpa banyak tanya Dryl menjadi pengemudi sekaligus sopir dadakan untuk Ergantha seorang.
"Lo mau ketemu siapa? Setahu gue daerah Senopati jauh dari rumah Rere ataupun Arlin." Dryl melirik sekilas kepada Ergantha yang sibuk merapikan rambut dan dandanan.
"Fokus aja sama jalanan, Lo udah lama enggak nyetir—Izin apa ke Opa Hamzah sampai dibolehin nyetir sendiri?"
"Ergantha lagi nyasar, lupa jalan pulang, Pak Pardi juga lagi anterin anaknya ke rumah sakit— setelah itu gue dapet izin tanpa harus main kucing-kucingan."
"Iya deh—Si paling jujur!"
"Kepercayaan itu mahal, sekalinya hilang bakalan enggak bersisa. Ibarat gelas yang kalau udah retak enggak bisa kembali seperti semula."
"Bagi keluarga Lo kepercayaan mungkin mahal, tapi bagi gue enggak ada harganya—Keluarga kita beda refrensi."
"Lagian perbedaan juga bukan sebuah perlombaan kok." Seru Dryl tak enak hati.
"Emang dasarnya Lo itu jadi anak baik sampai ke tulang-tulang." Ergantha memberikan gesture jempol kepada Dryl kemudian kembali mematut diri di cermin kecil miliknya.
"Sebenarnya Lo mau ketemu siapa?" tanya Dryl sekali lagi.
"Calon Imam!"
"Mangsa mana lagi kali ini yang ujung-ujungnya bakalan Lo ghosting...."
"Mangsa baru yang lebih menawan berkali-kali lipat. Tampangnya melangit, atitude membumi." Ujar Ergantha bersemangat.
"Yang punya Attitude enggak mungkin ngajak perempuan ketemuan malam-malam."
"Gue yang punya inisiatif, dia enggak tahu apa-apa," ralat Ergantha tak suka jika laki-laki favoritnya dinistakan.
"Udah mau lulus bukannya fokus cari tujuan kuliah, Lo masih aja main-main sama cowok yang enggak bener." Ada perasaan tak nyaman mengetahui Ergantha menemui seorang laki-laki.
"Sok tahu banget!" Sensi Ergantha. "Jangan ngejudge sembarangan, yang mau gue temui itu cowok baik-baik. Paham menjaga diri apalagi menjaga kehormatan perempuan."
Ergantha berbeda, tak biasanya ia membela seseorang terlebih itu laki-laki. Entah berasal dari perasaan sesaat yang pasti Dryl berharap tak ada kelanjutan hubungan Ergantha dengan laki-laki itu. Sudah tak jelas asal-usulnya dan belum tentu terbaik untuk Ergantha.
Dryl tak rela Ergantha memberi ruang khusus untuk laki-laki asing.
"Handphone Lo berisik, yakin enggak mau diangkat?" tanya Dryl mengalihkan.
"Handphone gue mode silent yang bunyi tuh hp Lo, Adryl!"
Ergantha mendengus, suasana hati Dryl sepertinya sedang tidak baik. Sejak tadi Dryl terus menanyakan hal tidak penting dengan respon dan petuah tiada guna. Ergantha jadi kesal sendiri, sengaja Kabur dari Papa dan Pati, Ia justru harus menghadapi mood swing Dryl yang menyebalkan begini.
"Lo kenapa sih, abis kena omel Opa Hamzah, enggak jelas banget dari tadi." Dryl tak merespon, memilih menepikan mobil di minimarket Senopati yang Ergantha tuju.
"Mau gue tungguin?" tanyanya kepada Ergantha.
"Enggak usah, gue pulang sendiri."
"Sorry." Ucap Dryl begitu Ergantha bersiap keluar. "Gue tungguin sampai selesai, sekaligus menjaga amanah Opa buat nganter Lo sampai depan rumah." Ergantha memutar bola mata.
"Lo selalu ngeselin!" Ujarnya berlalu meninggalkan Dryl.
Baru saja akan melangkah mendekat ke arah minimarket, Ergantha melihat pemandangan yang membuat kekesalannya semakin bertambah.
Senyuman dan tatapan yang selalu terjaga itu menampakkan sinar yang penuh kekhawatiran. Senyuman favorit milik Ergantha berganti menjadi kerutan kesedihan. Jika tadi ia hanya merasa kesal, kini api sekaligus jarum masuk kedalam ubun-ubun. Ergantha berjalan semakin mendekat, bersiap membawa laki-laki favoritnya menjauh dari godaan.
"Mana berkas yang Mas Adzkan mau titip?" Ergantha berdiri di antara mereka yang tengah duduk berhadapan. Sengaja memperjelas ucapan 'Mas.'
Asih—perempuan yang selalu berhasil membuat Adzkan menampilkan raut wajah khawatir. Perempuan itu menghentikan tangisannya, buru-buru mengusap air mata. Sedang laki-laki favorit Ergantha itu menatap heran akan kedatangannya.
"Mas Pati lagi sibuk, jadi aku yang kesini... Ini berkasnya, kan?" Ergantha mengambil laporan yang berada di tengah-tengah meja.
Beberapa jam yang lalu, Ergantha mengangkat ponsel milik Pati disaat kakak laki-lakinya itu sedang berada di toilet. Sengaja menggubris karena tahu itu berasal dari Adzkan. Mengatakan akan menyampaikan pesan kepada Pati untuk menemui Adzkan, justru ia sendiri yang menggantikan Pati kesini tanpa memberi tahu siapa pun.
"Kamu sendirian?" respon Laki-laki yang tak pernah betah menatapnya itu.
"Aku sama temen," jawab Ergantha namun tatapan ia layangkan kepada Asih tak lupa dengan aura permusuhan.
"Aku pamit dulu ya, Adz. Besok kalau sudah berada di Bandung kita obrolin lagi masalah ini." Pamit Asih buru-buru tanpa mengubris kehadiran Ergantha.
Ergantha kesal, marah dan ingin memaki. Kenapa Asih bisa membuat Adzkan menjadi khawatir, kenapa Asih bisa membuat Adzkan tersenyum dan sedih dalam satu waktu. Ergantha tak suka!
"Enggak baik buat perempuan dan laki-laki berduan, yang ketiga bisa jadi setan." Seru Ergantha senetral mungkin selepas kepergian Asih.
Perasaannya kian meluap dengan amarah yang tak jelas arahnya.
"Ergantha..." Panggil Adzkan memberikan isyarat agar Ergantha duduk namun Ergantha tak Sudi harus duduk di tempat yang pernah Asih tempati.
"Mas Adzkan masih suka, 'kan, sama Teh Asih—sama tunangan temen sendiri?!"
"Kamu tidak menyampaikan pesan saya kepada Pati?" Adzkan ikut berdiri melihat Ergantha yang terlihat marah, entah karena apa.
"Kenapa Mas Adzkan enggak pernah bisa jawab kalau menyangkut Teh Asih, masih cinta?!" Hilang sudah wibawa dan image yang ingin Ergantha bangun.
"Ergantha..." Tegur Adzkan tanpa meninggikan suara, melemparkan tatapan kearah trotoar dengan bahu yang ikut menegang.
"Kamu sengaja datang kesini tanpa memberi tahu Pati?" Tanyanya sekali lagi menatap Ergantha serius.
"Mas Adzkan beneran masih suka sama Teh Asih? Sekalipun dia udah punya tunangan, sekalipun dia bakalan nikah sama orang lain?"
"Urusan yang saya akan bicarakan dengan Pati itu penting, Ergantha!" Seru Adzkan tegas tanpa membentak.
"Jadi bener, 'kan, Mas Adzkan itu masih suka sama Teh Asih!"
Percakapan mereka kian bersebrangan dengan perasaan yang tak selaras. Adzkan melarikan pandangan kearah jalanan, membuang nafas meredakan emosi. Segalanya terasa tak berjalan lancar. Masalah bengkel Pati yang ternyata perlu peninjauan lebih lanjut, belum lagi dengan pernyataan Asih yang menyangkut Najwa, adik kandungnya.
Hadirnya Ergantha justru seperti membawa bumerang yang harus segera dihadapi.
"Tolong, jangan diteruskan... Apapun yang kamu pikirkan saat ini, jangan diteruskan, dan apapun yang kamu rasakan saat ini jangan diteruskan." Peringat Adzkan tanpa menatap Ergantha. "Sekalipun rasa yang saya miliki sepihak ataupun sudah sirna, itu akan menjadi urusan saya."
Wajah cemberut dengan kening yang tak pernah menyembunyikan kekesalan itu selalu terpahat rapi di wajah Ergantha, menjadi daya tarik akan rasa penasaran Adzkan atas apa yang tengah Ergantha pikirkan.
Sependek pemahaman Adzkan, ada perasaan yang berseberangan antara ia dan Ergantha. Awalnya ia ragu, menampik semua ilusi yang tak sepatutnya. Namun melihat reaksi Ergantha meledak begini, seperti mengabarkan perasaan yang tumbuh terlanjur hadir diantara mereka.
Ada sebuah batasan yang tak harusnya mereka lewati.
"Ck! Orang dewasa itu emang selalu ribet. Ditanya apa jawab apa—padahal tinggal Iya atau enggak." Ergantha menggigit bibir, ucapan terakhir Adzkan memberikan sebuah sinyal yang menggores.
"Memangnya salah kalau suka sama seseorang yang di hatinya masih berharap kepada orang lain?" tanya Ergantha menatap Adzkan terang-terangan.
"Rasa suka itu fitrah, tapi akan menjadi salah ketika eksekusinya tidak benar."
"Jadi eksekusi perasaannya Mas Adzkan udah bener, gitu? Dan aku salah?
"Ergantha...." Kali ini Adzkan justru membuat pelupuk mata Ergantha menjadi perih.
Air mata sialan!
"Aku mau pulang!" Ergantha berbalik, pergi meninggalkan Adzkan. Ia tak boleh terlihat cengeng begini.
Perasaan mereka memang tak sejalan, sebab Asih lebih dulu memenangkan pertandingan yang Ergantha belum mulai sama sekali. Ergantha pun tak serius menanggapi perasaan sialan ini. Tapi kenapa begitu menyakitkan jika Adzkan meminta menghentikan segalanya disaat mereka hanya bertepuk sebelah tangan.
Sebuah rasa yang sialan!