Read More >>"> Tumpuan Tanpa Tepi (Chapter 29) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Tumpuan Tanpa Tepi
MENU
About Us  

ERGANTHA tak menghiraukan ucapan Papa yang meminta dirinya menikah disaat belum genap 18 tahun. Jelas saja Ergantha tak akan sanggup.

Ergantha pikir, ucapan Papa hanya basa-basi jenis makanan busuk. Keesokan hari saat sepulang Sekolah, Pak Arman sudah menjemput Ergantha untuk langsung menuju ke salon, tentunya atas perintah Si Tuan gila hormat. Hair do hingga dress tersiap dengan apik. Ergantha ingin melarikan diri satu waktu ia juga sadar diri, bisa apa jika hari ini ia menunda keinginan Papa. Segala halnya pasti akan terjadi disaat Papa sudah memutuskan.

Tapi nanti, ia akan menggagalkan segalanya. Tunggu saja!

Adanya notifikasi di ponsel Pati membuat hati Ergantha sedikit menghangat, seperti sepucuk hadiah di tengah kesialan tak berujung. 

"Kenapa kamu enggak kabur?" Bisik Pati yang baru saja kembali dari toilet. Mereka tengah menunggu kehadiran keluarga dari pihak laki-laki di Restoran bernuansa Jepang di sebuah ruang privat. Terkesan elegan namun mencekik, layaknya tampilan Ergantha hari ini.

"Kabur ke Club' aja kamu bisa, Tha. Mas heran kenapa kemampuan kabur-kaburan kamu enggak dimanfaatin pas begini," bisik Pati kembali. Pati tak paham kenapa Ergantha tak memberontak sedikit pun. Jelas ini bukan gaya Ergantha.

"Aku juga heran, kenapa Mas Pati enggak bisa belaga jadi sok pahlawan disaat genting begini." Sindir Ergantha. Pati hanya berdecak tak menimpali.

Tak lama kedatangan beberapa orang mengintrupsi, sepasang suami-istri bersama dua orang putranya. Entah laki-laki yang mana Papa akan jodohkan. Ergantha cukup mengenal keluarga bertitle ini.

Dua laki-laki paruh baya itu bersalaman layaknya sahabat yang tak pernah bertemu. Padahal mereka berdua saingan sengit dalam bisnis konstruksi.

"Wah, gimana-gimana... Project Esterland Island di Singapure saya dengar banyak investor yang tertarik sama Project Pak Pramana bersama Pak Kinayaki."

"Esterland Island enggak ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan Harjiko Atmajaya."

Dua pengusaha yang saling merendah ini tak hentinya membicarakan Project perusahaan mereka masing-masing. Ergantha menatap sinis laki-laki yang tengah ia kenal betul itu. Laki-laki penakut itu bahkan tak mengangkat wajah sedikit pun.

"Saya sampai lupa pertemuan ini untuk mempersatukan anak-anak kita... Kamu kenal Frans, 'kan? Dia ini satu sekolah dengan kamu, Ergantha."

Barulah Frans mengangkat wajah begitu mendengar Papinya menyebutkan Sekolah mereka yang sama. Membeo dan melotot begitu yang di hadapannya kini Ergantha.

"Kamu kenal, Frans, 'kan?" sekali lagi Ergantha ditanya oleh pihak seberang.

"Kenal Om." Jawab Ergantha sopan. Mereka tak hanya kenal namun berteman dalam dunia kesesatan.

"Jadi begini, kebetulan Om sama Papa kamu sudah berteman sejak lama. Jadi kami berniat-"

"Boleh saya bicara sama Frans berdua?" Potong Ergantha.

"Yang sopan, Ergantha," tak ada nada bentakan namun Ergantha cukup paham nada tak senang dari Papa.

"Saya butuh bicara sama Frans, sebelum menindaklanjuti acara reuni Om sama Papa." Ergantha tak mengindahkan tatapan tajam dari arah Papa.

Tak ingin mendapat jawaban yang lama, Ergantha memberi gesture agar Frans ikut keluar bersamanya tanpa menunggu izin dari pihak manapun. Keluar dengan punggung yang terasa digerogoti oleh tatapan horor dari Tuan gila hormat, Ergantha tetap tak mau ambil pusing.

Sampai di halaman Parkir Restoran, terdengar suara helaan nafas dari Frans.

"Gue enggak tahu harus sujud syukur kayak gimana..." Ujar Frans lega.

"Lo suka kalau kita dipaksa kawin?"

"Nikah, Tha. Bukan kawin!" Frans mengguyur rambut menampilkan wajah yang tak terurus.

"Lo habis buat kesalahan apalagi?" Tanya Ergantha.

"Kegep punya ko*dom," Ergantha berdigik ngeri. "Bukan punya gue, Tha. Sumpah! Lo tahu, gue enggak sampai ranah itu mainnya." Ergantha menatap tak percaya.

"Demi Tuhan, Tha! Bukan punya gue!"

"Enggak usah bawa-bawa Tuhan!" Cerca Ergantha.

"Tapi beneran bukan punya gue, Tha. Bima titip beli, pas si Bima mau ambil ke rumah, tas gue enggak sengaja kesenggol sama pembantu. Isinya jatuh semua, gue udah kasi tahu keluarga kalau bukan punya gue, eh si Bima juga enggak mau ngaku. Tai banget itu anak!"

Ergantha memutar bola mata, "Udah tahu cara mainnya si Bima, Lo masih aja betah jadi babu grup mereka. Sekalian aja Lo jadi personil tetap di Geng mereka."

"Enggak gitu, Tha. Gue kan cuma—"

"Yang bokap Lo tahu, Lo salah—case close!"

Frans berdecak kesal, "Kepala gue mau pecah pas denger Bokap mau jodohin dan nikah dalam waktu dekat..."

Dipaksa menikah di usia muda seperti dilempari bom Nagasaki—terjepit dan mematikan. Belum-belum merasakan esensi sebuah kebebasan namun mereka harus terjerumus kedalam kubangan penjara yang tak jauh lebih baik dari sebelumnya.

Lama-lama Ergantha bisa gila mengikuti semua keinginan Si Tuan gila hormat.

"Ngomong-ngomong, Lo buat salah apa lagi, Tha?"

"Gue enggak perlu buat salah— apapun yang gue lakuin enggak pernah bener di mata Papa."

"Enggak mungkin Om Pramana seabsurd itu minta anaknya buat nikah." Frans mengulik lebih dalam.

"Cuma karena mau lulus SMA gue dipaksa buat kawin."

"Nikah, Tha! Telinga gue jijik banget denger Lo sebut kawin—tapi gue beneran belum siap nikah, Tha, sekalipun sama orang yang udah gue kenal."

"Jangan kepedean, gue juga enggak sudi!" Ketus Ergantha melarikan pandangan ke arah mobil yang sangat ia kenal.

"Kalau gitu kita bisa ngomong ke orang tua masing-masing atau kalau orang tua masih kekeh kita bisa susun plan B. Kalau tetap enggak berhasil kita buat plan sampai Z sekalipun. Pokoknya—"

"Lo denger gue 'kan, Tha?" Frans menyadari Ergantha yang tak berfokus kepada pembicaraan mereka.

"Gue pulang duluan, bilangin karena sakit perut," seru Ergantha berniat melarikan diri.

"Lo mau kabur?" Frans tak siap jika harus masuk kembali seorang diri.

"Perut gue melilit, mual kalau keseringan makan bareng sama Mas Pati di tambah Papa. Salam aja sama bokap nyokap Lo." Ergantha berlalu tak menghiraukan Frans, ada yang lebih penting untuk hatinya yang semakin tak terarah.

"Ini rahasi kita, Tha. Jangan sampai Dryl ataupun si Arjun tahu!" Teriak Frans.

"Iya, iya, bersisik!"

"Lo mau kemana, Hei?!"

"Nyamperin calon Imam!"

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags