Loading...
Logo TinLit
Read Story - Tumpuan Tanpa Tepi
MENU
About Us  

DAGING yang sedang berakumulasi di dalam mulut terasa hambar. Tak ada juicy ataupun gurih. Dentingan jam yang bergerak seakan ikut serta merayakan hawa yang mencekam. Dinding ini pun tahu, kalau suasana makan malam bersama selalu jauh dari kata hangat.

Yah, dan Ergantha tak pernah suka bergabung untuk mencerna makanan dengan dua laki-laki ini.

"Bagaimana ujian kamu?" Papa bertanya di sela-sela Ergantha tengah berjuang menelan daging yang tak terkunyah dengan baik.

Suasana makan malam bersama sangat jarang terjadi, apalagi dengan kondisi aura yang tenang seperti ini. Ergantha bersiaga, entah apa yang Papa akan umumkan. Semoga saja tak ada sangkut pautnya dengan kehidupan Ergantha.

"Enggak ada yang istimewa." Ujar Ergantha

"Kamu sudah pikirkan mau kuliah dimana?" Intonasi basa-basi yang kian membuat Ergantha mual dan ketakutan dalam satu waktu.

"Melbourne, Ausie."

"Yakin kamu, di Melbourne? Bagaimana dengan nilai kamu?" Papa mengernyit dan Ergantha tak suka keraguan yang tertulis di dahi berkerut itu.

"Yakin." Meletakkan pisau dan garpu, Ergantha kemudian meneguk air. Ia tak boleh lengah terlihat lemah.

"Memangnya nilai kamu memadai sampai bisa diterima di tempat yang bergengsi?"

"Berdasarkan hasil konsul sama guru enggak ada masalah." Akui Ergantha berbohong. Jelas nilai akademiknya tak pernah naik dari tahun ketahun. Kalaupun tak bisa bersekolah di Melbourne, setidaknya ia hanya butuh keluar dari rumah sialan ini. Entah kuliah ataupun tidak. Toh, Ia hanya butuh kebebasan!

"Kampus di Jakarta enggak kalah bagus. Kenapa harus jauh-jauh ke Ausie, Tha?" Komentar Pati ikut membuka suara.

"Suka-suka aku, lah!" balas Ergantha menatap Pati tak suka.

"Enggak usah pake melotot kali, Tha." Kata Pati berlagak merinding.

Ergantha tak suka harus berinteraksi bersama dua laki-laki yang mengatasnamakan kata keluarga ini. Papa yang selalu acuh dengan Pati yang mencoba mengakrabkan diri.

"Dulu nilai sekolah kakak kamu dibawah rata-rata, tapi dia sadar dengan kapasitas otak yang tidak seberapa... Kenapa kamu sangat percaya diri bisa kuliah di Melbourne, padahal hanya berbekal bahasa asing...." Papa menggeleng terkekeh.

"Yang nilai raportnya bagus tapi enggak mengusai bahasa asing aja, enggak minder— justru bertekad kuat untuk kuliah sampai ujung negeri. Kenapa aku harus minder, padahal kunci segalanya terletak di bahasa."

"Seberapa persen keyakinan kamu sama pelafalan bahasa asing?" Tantang Papa.

"Apa perlu aku tunjukkin hasil EILTS?" meskipun nilai akademik tak pernah memenuhi, setidaknya Ergantha menguasai dua bahasa Asing—Inggris dan Mandarin.

"Kamu boleh kuliah di Ausie." Ujar Papa seolah mengizinkan.

"Enggak, enggak, enggak," sela Pati tak terima. "Ergantha sendirian kalau kuliah di luar negeri, Pa!"

"Siapa bilang Papa mengizinkan Ergantha pergi ke Ausie tanpa didampingi?" Ungkap Papa fokus mengiris daging. Pati tak mengerti kearah mana pembicaraan ini. "Sebelum ke Ausie, Ergantha akan menikah."

"Pa!" Tolak Pati tak setuju.

"Kamu lupa adab bicara dengan orang tua?!" Papa mengangkat wajah, melayangkan teguran kepada Pati. Ia tak suka Pati ataupun Ergantha tak memiliki hormat kepada yang lebih tua.

Pati menyenderkan punggung ke kursi, kini ia tahu mengapa Papa santai saja mendengar pilihan Ergantha.

"Ergantha masih kecil, Pa!"

"Sudah cukup dewasa, buktinya bisa menentukan Ausie sebagai pilihan."

"Ergantha belum siap, Pa. Dia terlalu muda."

"Kematangan seseorang tidak diukur dari umur— Adik kamu itu butuh pendamping, kelakuannya susah diatur."

"Justru karena tingkah Ergantha yang masih belum dewasa dia belum boleh menikah!"

"Memasuki dunia perkuliahan tapi tidak bisa menjaga diri—kamu punya solusi untuk adik kamu ini?"

"Aku yang akan menjaga Ergantha meskipun sampai harus ke Melbourne."

"Kamu mau ikutin Ergantha sampai kapan, Pati.... Bengkelmu itu belum ada yang punya progres signifikan. Kerja belum benar, buka cabang bengkel disana-sini, akan lebih baik teman kamu Adzkan yang mengambil alih."

Ergantha mencerna perdebatan sengit perihal masa depannya. Tadi ia tak salah dengar, 'kan, kalau Papa mengatakan menikah?

"Aku udah dewasa dan bisa jaga diri!" timbal Ergantha ditengah-tengah.

"Kelayapan ke Club, diam-diam menyimpan wine—itu yang kamu sebut jaga diri, Ergantha?!"

"Tapi aku enggak mau menikah, Pa!"

"Disini tidak ada yang meminta pendapat kamu!" Balas Papa tak kalah ketus.

"Sebentar lagi aku 18 tahun dan aku berhak nentuin apa yang aku mau!" Papa mendecih meremehkan Ergantha yang kian merasa berkuasa.

"Kamu itu terlalu dangkal, tujuan hidup juga masih seronok. Pergaulan semakin bebas, berani pulang mabuk-mabukan, pakaian kamu pun tidak ada yang benar— Jadi apa yang mau kamu tentukan, Ergantha— kamu mau seperti temanmu yang menjajakan diri untuk pria hidung belang?!"

"Pa!" Seru Ergantha dan Pati serentak dengan suara tak kalah tinggi.

"Karena sifat pembangkang kamu ini, Papa semakin yakin kalau kamu sepatutnya harus segera dinikahkan."

"Kenapa enggak Papa aja yang menikah lagi," balas Ergantha sarkas.

"Yang sopan kamu!"

"Papa insceure enggak bisa menemukan yang seperti mendiang Mama?" ejek Ergantha tak ingin kalah.

"Lihat, 'kan, Pati. Adik kamu ini bahkan tidak bisa menjaga ucapannya agar terdengar sopan."

Ergantha mendengus, memalingkan wajah. Ia tak tahan jika harus duduk bersama Papa. Segala petuah dari Pak Ustadz bahkan menghilang dalam sekejap, tersisa Emosi yang semakin tak terarah.

"Besok kita akan bertemu dengan calon suami kamu." Ergantha ingin mengumpat, melupakan sumpah serapah untuk laki-laki yang ia sebut tulang punggung keluarga. Pada akhirnya ia tak benar-benar akan menemui kebebasan.

"Apa karena aku pilih Ausie, jadi harus menikah?"

"Meskipun kamu pilih Jakarta kamu akan tetap Papa nikahi, Ergantha."

Sialan!

Berulang kali Ergantha ingin membunuh Papa di kepala kecilnya. Papa seakan menunjukkan bahwa Ergantha tak berkuasa akan apapun.

"Pada akhirnya masa lalu dan masa depanku Papa yang nentuin." Ergantha terkekeh sumbar menertawakan kehidupannya yang tak akan mengenal kebebasan.

Papa mengangguk mengiris danging dengan penuh penghayatan, "Karena kamu masih tanggung jawab Papa."

"Selama ini Papa enggak pernah mau tahu tentang hidup ku, sekarang tiba-tiba bilang aku tanggung jawab Papa!"

"Sejak dulu kamu memang tanggungjawab Papa."

"Aku bakalan lebih giat berdoa supaya Papa dipercepat ketemu Mama sebelum aku sempat menikah." Ergantha kemudian berlalu pergi meninggalkan acara makan malam yang penuh nista.

"Aturannya aku dulu yang nikah, Pa, bukan Ergantha." Pati mencoba menyadarkan Papa. Ia berpikir mungkin Papa tengah kesurupan sejak pulang dari Luar Kota.

"Naura Husman Gumara, cukup, 'kan, untuk kamu, Pati?" Pati semakin berdigik ngeri mendengar ide Papa. Kenapa ia jadi harus jadi terseret bersama hijabers yang tengah melejit di dunia Maya itu.

"Kayaknya Ergantha bener, Papa yang harus nikah dulu. Bukan Aku ataupun Ergantha," timbal Pati ikut meninggalkan ruang makan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags