Loading...
Logo TinLit
Read Story - Tumpuan Tanpa Tepi
MENU
About Us  

TAWA anak-anak menguasai Indra pendengaran. Suara langkah kaki yang menggema diantara rumput menjadi semakin ramai. Satu dua dari mereka bercanda dan bersorak serentak— seakan dunia begitu indah tuk dihuni. Tak ada raut sedih, kesepian ataupun ketakutan di wajah mereka. Hidup tanpa tumpuan kedua orang tua disisi namun senyuman hangat hadir di tengah-tengah.

Jika terlahir sebatang kara, apa ia juga sebahagia mereka. Pikir Ergantha.

Ergantha tak pernah menginginkan kehidupan orang lain selama 17 tahun hidupnya. Namun semenjak menginjakkan kaki di Bandung, kecemburuan akan kebahagiaan dan ketenangan yang dimiliki orang lain menimpa hati kecil Ergantha.

"Kak Ertata!" Panggil Tyo berlari menuju Ergantha yang tengah duduk sendiri mengamati anak-anak Panti.

Selama di Bandung, kehidupan Ergantha hanya diisi oleh kegiatan menjadi sukarelawan di Panti— lebih tepatnya bermain dengan anak-anak Panti.

"Kak Ertata suka es krim dari Tyo, ndak?" Erganta jadi teringat lima buah box Es krim pemberian Najwa yang merupakan titipan Tyo. Satu box saja Ergantha tak bisa menghabiskannya.

"Biasa aja, enggak ada yang spesial." Sinisnya menggoda Tyo. Ini hal yang menyenangkan untuk Ergantha. 

"Kang Adzkan nih, ndak jago milihnya—" Keluh Tyo cemberut, sedang Ergantha sendiri tak paham kenapa Adzkan disangkut pautkan.

"Kak Ertata mau es krim yang lain ndak? Nanti Tyo belikan!"

"Memangnya kamu punya uang?"

"Punya lah!" Tyo membusungkan badan menarik sesuatu dalam kantong celana. Mengeluarkan beberapa lembaran uang dua ribu dan recehan.

"Nih," lanjutnya memamerkan membuat Ergantha lantas tertawa.

"Yo, sini deh," Ergantha meminta Tyo mendekat duduk disampingnya namun Tyo justru memilih duduk menjauhi Ergantha.

"Atuh mah, jangan terlalu dekat. Nanti jantung Tyo ndak karuan." Ungkap anak laki-laki usia delapan tahun itu tersenyum malu.

"Aku cantik ya, Yo?" Ergantha kembali menggoda.

"Kak Ertata nanyea? Kak Ertata bertanyea-tanyea...."

Lagi, Ergantha dibuat tertawa. Tertawa lepas yang tak tahu kapan terakhir kali dirasakan, seperti beban dalam emosi terpisah dalam jiwa. Tak pernah terbayang hidup berdampingan bersama anak-anak ini membawa nuansa baru untuk Ergantha.

"Kamu pernah rindu sama Ibu kandung kamu enggak, Yo?" Seketika ia penasaran akan perasaan anak-anak yang telah ditinggal kedua orang tua mereka.

"Ibu kandung..." Tyo menjeda, menatap ke atas langit mencari jawaban. "Kan Tyo tiap hari ketemu Buk Menik di Panti— kenapa harus rindu."

"Bukan Ibu Panti, Tyo... Ibu kamu." Desis Ergantha gemas.

Tyo mengangguk paham,"Ah, Ibu yang lahirin Tyo, Ya?" Berpikir sejenak, Tyo menimang, "Tyo kan sudah punya Buk Menik."

"Ya kan, beda, Yo...."

"Memangnya Tyo harus punya berapa Ibu?"

"Memangnya kamu enggak sedih tinggal di Panti tanpa punya keluarga inti?"

"Tyo kan sudah punya keluarga, ada Buk Menik, Kak Pati, Dokter Makkih, Kang Adzkan, Kak—"

"Tau ah," potong Ergantha. "Kesel ngomong sama kamu!" Padahal Ergantha ingin mengulik lebih dalam— lebih sadis kehidupan siapa, ia apa mereka yang tengah hidup tanpa mengenal orang tua.

Tyo menggaruk rambut mencoba memahami maksud Ergantha. "Tyo seneng kok tinggal di Panti, walaupun sering  diledekkin."

"Siapa yang ngeledekin kamu? Ngomong apa mereka?"

"Ya ada, Kak."

"Siapa yang berani-beraninya ngatain kamu, nanti biar—"

"Stttt!" Tyo mengangsurkan jari telunjuknya di depan mulut. "Kak Ertata jangan berisik nanti Buk Menik tahu. Tyo ndak mau buat Buk Menik sedih."

"Kalau mereka main fisik, kamu harus lapor!"

"Kak Ertata tenang aja, nanti Tyo laporin ke Kang Adzkan."

"Ngapain kamu laporinnya ke Adzkan," tanya Ergantha tak paham.

"Ibu teman-teman Tyo, kan, suka pangling sama Kang Adzkan. Kalau Kang Adzkan yang bilangin, klepek-klepek mereka." Seru Tyo membanggakan Adzkan.

Ketampanan Adzkan memang tak perlu diragukan, Ergantha yang baru mengenalnya saja sudah silau dibuatnya.  Laki-laki tampan nan menawan itu justru hanya melihat Asih sebagai wanita, sosok gadis yang bahkan sudah memiliki tunangan.

Ya, Ergantha akui, Asih memang memilki kecantikan luar biasa. Ia saja yang sebagai perempuan merasa tersihir. Ergantha jadi sebal sendiri, kenapa perempuan baik-baik seperti Asih di berikan anugerah sempurna seperti itu.

Sedang ia, diciptakan tanpa hak istimewa. 

"Yo, Kalau kamu dikasi pilihan, ketemu Ibu kandung kamu atau tetap tinggal di Panti— kamu pilih yang mana?" dahi anak laki-laki berusia delapan tahun itu mengkerut, menjawab pertanyaan Ergantha cukup lama.

"Kenapa Tyo di suruh milih. Memangnya Ibu kandung Tyo masih Hidup?"

"Misal, Tyo, misalkan!"

"Ibu kandung Tyo, 'kan, enggak tahu ada dimana." Jawab Tyo tak segan.

Ergantha menyerongkan badan menghadap Tyo, "Oke begini, kalau hari ini Ibu kandung kamu di luar gerbang Panti, kamu mau ikut enggak?" Tyo melarikan pandangannya ke gerbang Panti menyipitkan mata.

"Itu Mang Daud, Kak. Astaghfirullah," Tyo menepuk Jidat. "Mang Daud itu laki-laki gimana mau jadi Ibu Tyo."

Ergantha mengalah, ia tak kuat bertanya hal yang lebih serius. Mungkin kehidupan anak-anak Panti tak jauh lebih baik dari kehidupan yang ia miliki. Dari tempat duduknya, Ergantha melihat interaksi dua insan yang tengah membicarakan hal serius. Berdesis tak suka, Ergantha harap ia bisa menjadi lebih berumur agar tak dianggap anak kecil semata.

"Tyo, Kang Adzkan kamu suka sama perempuan yang gimana?"

Lagi, Tyo menghadap Ergantha dengan kening yang mengkerut. "Tyo mana tahu, Kak. Tapi, kalau Tyo sih, sukanya yang seperti Kak Ertata."

"Emang kamu suka sama perempuan yang enggak jilbaban?" Tyo menggeleng, memasang wajah dengan cengiran khas anak-anak.

"Kak Ertata kenapa jarang pakai jilbab sih? Padahal kan kalau pakai jadi lebih cantik."

"Lebih cantik siapa, aku apa teh Asih?" Tanya Ergantha menyipit, rasanya ia butuh pengakuan.

"Kalau itu sih—" Tyo menjeda butuh waktu lama untuk menjawab.

"Awas aja kalau kamu berani jawab." Ergantha memasang wajah curiga.

"Teh Asih," jawab Tyo kemudian berlari meninggalkan Ergantha.

"Heh! Tyo, sini!" teriak Ergantha yang tak digubris oleh Tyo. Jadilah ia berlari mengejar anak kecil yang tak setia itu.

**************

Adzkan menarik smirk halus, perasaan hangat seketika memenuhi hatinya. Melihat Ergantha tengah bermain dengan anak-anak Panti.

"Kamu enggak lagi suka sama adiknya Pati, kan, Ad?" Adzkan yang sadar pertanyaan dari Asih lantas terkekeh.

"Ergantha sama seperti Najwa." Kata Adzkan menjelaskan.

"Rasa suka itu datangnya dari berbagai arah— apalagi karena rasa kasihan." Seru Asih mengingatkan.

Mereka berdua sedang membahas masalah sponsor untuk Panti. Namun, beberapa kali, Asih sadar akan tingkah Adzkan yang mendengar penjelasannya sekaligus memantau seorang gadis remaja—adik Pati.

Teman kecilnya ini tak pernah memberikan atensi lebih kepada seorang perempuan, selain adiknya sendiri. Belum lama ini, ketika mereka harus pergi mencari sponsor bersama yang lainnya, Adzkan lebih mengutamakan menemani Ergantha ke pemakaman. Asih hanya merasa temannya ini harus cukup berhati-hati. Sebab, Adzkan tak pernah jatuh cinta, tak mungkin sekalinya jatuh hati kepada perempuan yang seperti Ergantha.

Terlalu ekstrim.

"Enggak sampai situ kok, As. Aku masih tahu batasan. Lagipula, Ergantha sudah seperti adik sendiri."

"Sekalipun bagimu Ergantha sudah seperti adik sendiri, kenyataannya, kan, kalian enggak punya ikatan apapun— Enggak sedarah dan bukan mahram. Kalau bisa, jangan terlalu sering berduaan perginya. Syaitan dari jaman dulu udah jago memutarbalikkan fakta."

Adzkan mengangguk, tersenyum kecil menanggapi Asih. Jika saja, perempuan ini tahu, hati laki-laki yang ia nasehati sudah terpaut jauh untuknya— jauh dari beberapa tahun sebelumnya.

"Aku masuk dulu mau kasih tahu Buk Menik soal sponsor yang masuk." Asih berpamitan.

Selepas Asih pergi Adzkan kembali mengamati Ergantha. Jelas-jelas Ergantha hanya sebatas adik, sedang Asih terlampau menempati hati.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags