ADZKAN Arkanu Maliki, laki-laki berwajah rupawan dengan proporsi yang menawan. Tak hanya tampan, laki-laki yang berhasil merebut perhatian Ergantha ini pun sangat sopan. Tak heran jika kakak laki-lakinya kini berubah haluan, sebab circle pertemanan Pati sekelas dengan Adzkan. Tampan dan berakhlak.
Ergantha tersenyum sumringah melafalkan nama laki-laki yang tak dikenalnya itu. Bermodal sebuah ilusi yang diciptakan sendiri, ia menyusun beberapa rencana pendekatan dengan bumbu untuk menggoda. Sayangnya laki-laki itu sangat susah untuk didekati.
Terhitung tiga hari ia berada di Bandung, justru tak pernah berpapasan dengan Adzkan. Ergantha hanya pernah mengobrol ringan dengan Najwa dan Pak Kurniawan selaku pemilik rumah.
"Bisa pakai khimarnya, Tha?" Tanya Najwa.
"Jilbabnya susah diatur." Balas Ergantha memperlihatkan jilbab yang ia kenakan tak serapi Najwa. Sudah tak simetris dan miring tak jelas arahnya. "Enggak ada yang instan aja, Kak?"
"Sebentar...." Najwa lantas membuka lemari mencari jilbab instan atau bergo yang dapat digunakan Ergantha.
Tak butuh waktu lama untuk bisa mengakrabkan diri dengan Najwa. Sebab, mereka hanya selisih tiga tahun—Pun, perempuan cantik ini begitu ramah kepada Ergantha. Harusnya, dulu Mama pergi meninggalkan Ergantha dengan seorang saudari perempuan bukan saudara seperti Pati, si titisan serigala berbulu domba, mungkin perasaan hangat ini akan selalu ada untuknya.
"Yang ini, gimana?" Ergantha mengambil Jilbab instan yang Najwa berikan. Berkaca dan memakainya dengan sentuhan terakhir. Ergantha menatap dirinya dengan hembusan nafas yang berat.
Kapan terakhir kali ia berpakaian tertutup seperti ini?
Ah, iya! Hanya saat lebaran. Itu pun hanya menggunakan penutup kepala berupa selendang.
Pakaian terbuka mungkin lebih cocok, karena Ergantha bukan gadis baik-baik seperti Najwa. Bukan juga gadis dengan pengetahuan agama yang mendalam. Ia tak pernah ingin repot mengurusi agama, perihal ada dan tiadanya Tuhan, juga tak pernah ia pertanyakan.
Ergantha bukan penganut agnostik ataupun atheis. Ergantha hanyalah Ergantha, gadis tak berharga yang kebetulan dapat terlahir di muka bumi.
"Kenapa, Tha? Gamisnya enggak nyaman?" Tanya Najwa.
Ergantha menggeleng, "Aneh aja, rasanya aku enggak cocok."
"Coba kamu lihat yang bener. Sisi bagian mana yang kelihatan enggak cocok?"
Ergantha tersenyum simpul. Penampilannya memang membawa aura yang berbeda. Ergantha sendiri tak tahu bagaimana menggambarkannya, hanya saja ia merasa tak pantas.
"Yuk, di bawah udah di tungguin." Ajak Najwa. Ergantha mengikuti Najwa dengan langkah berat. Hari ini ia harus mengikuti serangkaian acara kegiatan di Panti asuhan dengan paksaan dari Pati.
Memasuki mobil, Pati dan Adzkan sudah siap lebih dulu di bagian pengemudi, sedang ia dan Najwa menempati bagian menumpang.
Akhirnya Ergantha bisa bertemu dengan laki-laki itu.
"Cantik banget, Tha...." Goda Pati membuka percakapan. "Kamu harus sering-sering main sama Najwa supaya ketularan cantiknya." Ergantha mendengus, tak berniat menanggapi Pati.
Melihat suasana sepasang saudara yang tak akur, Najwa mengalihkan pembicaraan mereka. "Hadiah untuk anak Panti dibawa siapa?"
"Makkih." Jawaban Adzkan membuat Ergantha melarikan tatapan ke bangku pengemudi. Sayangnya, ia tak dapat puas menikmati wajah tampan Adzkan.
"Kenapa si Makkih enggak ikut kita, biasanya kalau ada Najwa selalu nimbrung." Sela Pati.
"Makkih jemput Asih." Timbal Adzakan.
"Jadi Makkih beneran mau serius sama Asih?" Adzkan mengangkat bahu tak ingin menggubris terlalu dalam pertanyaan Pati.
"Lo enggak sedih, Jwa?" Tanya Pati membalik badan menghadap Najwa.
"Kenapa harus sedih?" Ketus Najwa mencoba tak terpengaruh.
"Secara ritual ramadhan tahun depan terancam enggak ada." Najwa memutar bola mata memasang wajah sinis.
"Sesuatu yang berharga memang enggak akan terasa kalau belum ada drama mirip sinetron, Jwa." Kata Pati meledek Najwa.
Sepanjang perjalanan hanya diisi oleh Pati yang menggoda Najwa. Adzkan yang fokus menyetir dengan Ergantha yang tak bosan menatap dari belakang.
Entah apa yang salah, Adzkan seperti tak ingin terlibat dalam pembicaraan Pati dan Najwa. Ergantha jadi bertanya-tanya, apa yang tengah Adzkan pikirkan dengan wajah tampan yang tak pernah sirna.
Sesampai di Panti, Ergantha dikenalkan kepada beberapa sukarelawan. Tak banyak, hanya berisi orang dewasa yang berbeda generasi dengannya. Sosok Makkih dan Asih yang menjadi topik pembicaraan di dalam mobil akhirnya terlihat. Makkih si berwibawa dengan mata sipit, serta Asih si gadis lemah lembut terdengar dari tutur katanya.
Beberapa kali Ergantha menangkap pergerakan Adzkan saat tengah berbincang dengan Asih. Entah hanya perasaan atau kenyataan, terdapat smrik halus dari Adzkan. Laki-laki itu memang tak memandang Asih secara gamblang, namun sikap ramah dan sopan, terlampau menjengkelkan untuk ditonton oleh Ergantha.
"Kih, Lo beneran serius sama Asih?" Tanya Pati begitu mereka sedang beristirahat di gazebo. Berisikan beberapa sukarelawan.
"Kak Pati masih saja enggak berubah, enggak paham timing!" Seru salah satu sukarelawan.
"Sekedar bertanya, supaya beritanya enggak simpang siur." Pati membela diri, kembali menyudutkan pertanyaan kepada Makkih, "Jadi, kalian beneran taa'ruf? Apa udah masuk proses khitbah?"
Adzkan tersedak, Makkih melemparkan pandangan ke arah lain, serta Asih tersipu malu. Belum lagi dengan Najwa yang seakan menyibukkan diri dengan ponsel. Satu pertanyaan dari Pati membuat orang-orang ini tak nyaman.
"Gue ketinggalan berita apa nih? Dua bulan absen ke Bandung udah ketinggalan jauh." Seru Pati tak lelah.
Pati memang tak memiliki filter dalam bersua, padahal ia sudah berumur dewasa, masih saja tak tahu menempatkan topik pembicaraan. Ergantha jengah dengan perilaku kakak laki-lakinya. Ia yang baru mengenal Najwa dan Adzkan beberapa hari saja, sudah bisa membaca ada hal terselubung diantara mereka semua.
Seperti tatapan Adzkan yang tak biasa kepada Asih saat berbicara—tentu dalam mode menjaga pandangan. Belum lagi dengan gelagat Najwa yang jika berdekatan dengan Makkih.
Ada sebuah perasaan bersebrangan diantara mereka.
Pati memang tidak peka!
"Doain aja, nanti kalau Koh Makkih jadi nikah sama Teh Asih, pasti bakalan diundang kok." Cetus seorang sukarelawan.
Pati hanya mengangguk berpura-pura mengerti, mencoba menyerap jawaban yang tak terjawab dari sang pemilik jawaban.
"Gue pantau anak-anak dulu." Pamit Adzkan pergi menuju halaman belakang Panti .
Kesempatan ini Ergantha gunakan untuk mendekati Adzkan. Sebelum pergi, ia menyempatkan diri bergeser duduk di sebelah Pati.
"Sama saudara sendiri aja Mas Pati enggak peka, enggak heran kalau sama sahabat sendiri juga begitu!" Sarkas Ergantha lirih yang hanya dapat didengar oleh Pati.
Setelahnya Ergantha pergi menyusul Adzkan dengan Pati yang menggaruk kepala bingung, namun terselip rasa bahagia. Ergantha akhirnya berbicara dengan Pati meskipun mengenai hal yang tak dapat Pati mengerti.
Ini suatu mukjizat!
Mengikuti Adzkan kearah halaman belakang, Ergantha menemukan laki-laki itu tengah membasub wajah di keran yang ada di halaman. Lengan kemeja yang digulung sampai siku dengan celana kain di atas mata kaki.
Old but gold. Ergantha baru tahu jika ada sosok laki-laki berpakaian sederhana namun terlihat mewah dalam satu waktu. Percikan air yang mengenai wajah bahkan terlihat bercahaya begitu mengenai wajah Adzkan.
Ergantha mencoba mendekat, "Mas...." Cicitnya ragu.
Tak salah, 'kan, ia memanggil Adzkan sebagai Mas? Alih-alih dengan sebutan Akang seperti yang lainnya. Ia butuh panggilan khusus yang hanya untuk Ergantha seorang.
"Kenapa, Ergantha?" Adzkan yang baru saja selesai berwudu menengok sekilas kearah Ergantha.
"Kalau aku panggil Mas Adzkan, enggak apa-apa, 'kan?" Tanya Ergantha mencoba meniru sopan santun dari Najwa.
Adzkan mengangguk, "Senyaman kamu saja, Ergantha."
Ergantha terdiam, menormalkan detak jantung kampungan yang tak tahu tempat. Jika dilihat secara dekat, ketampanan Adzkan benar-benar bukan seperti ilusi.
Ergantha mengeluarkan sapu tangan dari tas dan memberikannya kepada Adzkan. "Buat ngeringin mukanya Mas Adzkan."
Adzkan menerima sapu tangan Ergantha. "Masih bersih kok." Adzkan mengangguk paham.
Adzkan pun lantas membawa Ergantha untuk duduk di kursi panjang yang terletak di pinggir halaman dengan suara iringan anak-anak Panti yang berlalu lalang. Ia pikir, Ergantha ingin membicarakan sesuatu.
"Aku mau tanya sesuatu, boleh?" Tanya Ergantha. Berulang kali ia harus menetralkan suara agar tak terdengar canggung.
"Ada yang membuat kamu tidak nyaman?" Tanya Adzkan. Mulutnya bertanya namun pandangan ia fokuskan kepapa anak-anak Panti yang tengah berlarian.
Ergantha menggeleng, tak lelah untuk menatap Adzkan, "Sejak kapan Mas Adzkan suka sama tunangan teman sendiri?"
"Siapa yang suka siapa?" Adzkan mengernyit tak paham.
"Mas Adzkan suka sama Teh Asih, 'kan?"
Adzkan terdiam, mencoba mencerna tuduhan gadis remaja berusia belia. Merasa dituduh tapi ia tak bisa mengelak. Adzkan memutar otak mencari jawaban yang pantas untuk diberikan.
"Udah berapa lama?" Ergantha kembali bertanya.
Bukannya mendapatkan Ilham, Adzkan justru semakin terjepit.
Ergantha menikmati wajah gelagapan dan panik dari Adzkan. Ia ingin tertawa namun harus bersikap elegan, demi mendapatkan perhatian laki-laki menawan ini.
Obrolan pertama mereka terkesan tak sopan. Tapi, peduli apa Ergantha?