TAK pernah terpikir bahwa kehidupan Ergantha akan selalu berada di sekitar Pati. Di kala libur semester pun, ia harus mengikuti Pati. Semester depan ia akan naik kelas dua belas yang artinya kehidupan anak SMA akan segera terlepas.
Sebentar lagi, sedikit lagi, Ergantha akan terbebas dari kurungan dua orang brengsek—Papa dan Pati!
"Tha, turun." Ergantha berdecak kesal, ia tak suka harus ikut berlibur dengan Pati. Jika saja, tuan gila hormat di rumah tak memberi perintah mana mau Ergantha bersusah payah begini.
"Ini rumah temen Mas, kamu jangan aneh-aneh." Peringat Pati.
Ergantha tak menjawab, peduli apa dengan ocehan Pati. Lagi pula ia tak sempat mengemas pakaian dan barang lainnya. Hanya berbekal slimbag yang berisi ponsel dan dompet, karena tadi Ergantha di jemput dari rumah Arlin dengan pesan Papa yang memintanya mengikuti kemana Pati pergi selama Ergantha libur semester.
Dua laki-laki itu mungkin sudah berbaikan, mengambil sebuah kesepakatan sehingga Ergantha menjadi barang taruhan. Memilih mengikuti kemana Pati atau mengikuti kemana Papa pergi.
Tentu saja, pergi bersama Pati lebih baik. Ergantha hanya perlu diam meski Pati banyak tingkah. Sedang bersama Papa, ia harus menjadi robot ramah di depan semua kolega.
Berpura-pura bahagia terlalu memuakkan bagi Ergantha!
"Assalamualaikum." Pati mengetuk pintu rumah bergaya minimalis dengan aksen kayu yang dominan.
Halaman yang tak seberapa dengan kicauan burung yang cukup berisik. Terkesan nyaman meskipun bangunan rumah yang berdiri hanya sepetak. Tak lama, pintu berornamen kayu itu pun terbuka. Menampilkan seorang perempuan tinggi dengan kecantikan Nusantara.
"Waalaikum salam!" Judes dan ketus. Perempuan berhijab yang menyambut mereka ini tak menyadari hadirnya Ergantha.
"Kang Adzkan lagi di luar, Apih masih di Sekolah. Kak Pati tunggu diluar saja, kurang sopan bertamu ke rumah perempuan yang lagi sendirian."
"Judes amat! Makkih ngajuin lamaran lagi nih?" Ejek Pati.
"Males banget atuh ngobrol sama Kak Pati. Mulutnya kayak enggak pernah makan bangku sekolah."
"Jangan judes-judes, Jwa, gue kesini mau liburan sama adek gue. Disambut dong!"
Najwa yang baru menyadari Pati tak sendirian pun, merubah ekspresi tak senangnya.
"Adiknya Kak Pati?" Tanyanya ragu. Sebab pakaian perempuan ini terkesan minim, mengenakan celana hot pants dengan baju off shoulder disaat Bandung tengah di guyur hujan.
"Lo masih enggak percaya gue mau jadi akhi-akhi beriman dan beramal sholeh?"
"Siapa tahu Kak Pati resign, kegoda lagi sama bisikan Syaiton." Timbal Najwa.
Najwa mengulurkan tangan, berkenalan dengan Ergantha. Menampilkan senyuman ramah. Berbeda ketika ia menyambut Pati.
"Dia lebih bocah dari Lo, Jwa. Masih tujuh belas tahun. Kalau mau di nasehatin enggak usah sungkan." Kata Pati.
Najwa paham kemana arah pembicaraan Pati. Ia pasti ingin Najwa menegur dan menasehati cara berpakaian adik Pati. Jelas saja, pilihan cara berpakaian orang lain bukan berada di tangan Najwa.
Najwa menggengam tangan Ergantha, menampilkan raut prihatin, "Berat banget harus jadi adiknya Kak Pati. Pasti bawaannya bikin emosi." Ujar Najwa seakan berbelasungkawa yang disambut senyuman sungkan dari Ergantha.
"Gini nih kalau dua orang keras kepala ketemu. Cocok! Bedanya kalau Lo cuma keras kepala sama Makkih doang."
Lelah dengan ocehan Pati, Najwa mengajak Ergantha ke kamarnya meninggalkan Pati di teras rumah. Biar saja Pati bercengkrama dengan burung-burung milik Apih di luar sana.
Ergantha pun memasuki kamar Najwa. Nuansa putih tanpa ada ornamen hiasan yang berlebihan, dengan ranjang yang berukuran kecil. Beberapa note tertulis, beberapa bacaan bahasa Arab hingga agenda-agenda kecil terpampang di dinding meja belajar. Tak ada meja rias hanya ada kaca berukuran sedang yang mengisi kamar, serta dilengkapi dengan kamar mandi dalam.
Terlihat cukup nyaman, pikir Ergantha.
"Mau mandi dulu, Tha?" Tanya Najwa bersikap akrab. "Kalau aku panggil Tha, enggak apa-apa, kan? Mau panggil Ergantha, kepanjangan." Ergantha hanya mengangguk tanpa bersuara.
Ia tak ambil pusing dengan orang memanggilnya apa. Lagipula Najwa terlihat seperti mahasiwa yang tegah berada di akhir semester, terlihat dari jadwal bimbingan yang tertempel di dinding. Belum lagi dengan kata-kata motivasi agar segera lulus.
"Sebentar lagi Kang Adzkan pulang bawa makanan. Kamu mau ganti baju dulu?" Tanya Najwa yang tengah membuka lemari memilih pakaian yang sekiranya dapat Ergantha kenakan.
Ergantha menelaah baju yang sedang ia pakai, rasanya ia tak perlu berganti secepat itu. Bandung memang dingin, tapi ia hanya butuh tidur.
"Di rumah ini laki-lakinya agak resek. Hobi kasih siraman rohani dari subuh ketemu subuh." Najwa sungkan harus meminta tamunya mengganti pakaian. Namun tetap mengulurkan sepasang piyama lengan panjang untuk Ergantha. Sebab tak ingin mendapat teguran dari Adzkan—kakak laki-lakinya.
Mengambil sepasang baju tersebut, Ergantha bergegas ke Kamar Mandi, membersihkan diri dan segera ingin tidur, badannya benar-benar butuh beristirahat. Menempuh perjalanan delapan jam disertai dengan kemacetan di beberapa titik. Jika tahu tujuan Pati ingin ke Bandung, Ergantha akan menggunakan pesawat saja. Bersama Pati dalam waktu yang lama membuat Ergantha sesak.
Selepas mandi Ergantha tak menemukan siapa pun di dalam kamar. Memilih membuka jendela kamar agar ia bisa menikmati udara sore. Kamar Najwa menghadap ke arah depan. Ergantha pun dapat menikmati halaman sepetak dari atas kamar.
Terlihat seorang laki-laki sedang bercengkrama dengan Pati. Ergantha menajamkan penglihatan dan pendengaran. Ia tak salah menilai laki-laki itu dari suaranya.
"Gimana bengkel?" Tanya Pati.
"Aman. Ergantha jadi ikut?"
"Ikut, karena gue culik." Pati terkekeh sendiri.
"Jangan terlalu keras, Ti. Ergantha yang ada kabur."
Pati Menghela nafas kasar, "Beberapa hari yang lalu gue enggak sengaja nampar Ergantha."
"Gimana mau baikkan kalau Lo main tangan terus."
"Gue emosi,"
"Enggak ada kekerasan yang bisa dibenarkan."
"Ergantha bikin naik darah."
"Bukan Ergantha, tapi Lo yang enggak sabaran."
Ergantha yang menguping dari jendela kamar atas, melihat dari kejauhan mengukir sebuah senyuman. Ergantha ingat suara laki-laki yang kerap membelanya ini, laki-laki yang mengantarkannya pulang disaat Hangover sialan menimpa.
Jadi ini, laki-laki si yang beraroma Woody. Batin Ergantha.
Hampir 2 bulan ia bertanya-tanya keberadaan laki-laki tampan beraroma Woody. Ergantha pikir segalanya hanya ilusi, laki-laki yang kerap membelanya itu ternyata nyata. Ini membuat Ergantha menjadi semangat. Penyelasan mengikuti Pati sampai ke Bandung harus diralat. Seperti mendapatkan buah dari kesabaran, Ergantha semakin tak dapat menahan senyumnya.
Seketika ide untuk melakukan pendekatan tersusun di kepala kecil Ergantha, bermain-main dengan mangsa baru yang kini ada di depan mata. Lihat saja, Ergantha akan meenggoda sahabat Pati, membuatnya tergila-gila kepada Ergantha.
Ergantha akan menggunakan caranya untuk 'bersenang-senang!'
***********