EKSEKUSI, pembantaian, pemasungan. Kali ini, kekerasan yang akan bergerak. Jika dengan kata-kata bijak tak bisa diluruskan, kekerasan menjadi opsi yang tak terkalahkan.
Ergantha memang tukang pembangkang yang gemar berteriak kebebasan. Menuntut akan kesetaraan berujung persekusi dalam kegelapan.
Ia bisa memprediksi bukan lagi sumpah serapah yang Papa lontarkan. Ergantha tak pernah dipukuli namun dikurung serta tak diberi makan, pembalasan yang setimpal untuk anak yang tak bisa di berikan kekerasan fisik, begitu prinsip Papa—Pramana yang gila akan hormat.
Kepala Ergantha masih berdenyut, pusing karena minuman berakhol serta aura tak ramah dari Pati. Dalam hal ini, Pati bukan objek yang menakutkan. Jika Pati bisa melayangkan ribuan kekecewaan atau menamparnya, Papa bukan lagi tandingan biasa. Kemungkinan terburuk ia akan kembali mendekap di penjara yang Papa ciptakan—sesak, berdebu, tak berkemanusiaan.
"Kepala kamu pusing?" Suara Pati yang tak ramah menyadarkan Ergantha dari kemungkinan yang sedang ia perhitungkan.
"Adz, mampir ke minimarket yang di pertigaan." Tanpa mendengar balasan dari Ergantha, mobil ditepikan di sebuah minimarket.
Di dalam mobil, mereka tak hanya berdua. Ada sosok laki-laki yang Ergantha tak kenali siapa orangnya. Hanya terlihat dari belakang kepala serta bahu lebar yang terpampang dimata.
"Iya Jwa, ini akang udah mau pulang." Ergantha mendengar sayup-sayup percakapan dari kursi pengemudi.
Pati sendiri memasuki minimarket, meninggalkan Ergantha bersama dengan si pengemudi.
"Nanti akang yang nebus obat-obatnya..."
Suara laki-laki ini terdengar ramah di telinga, tapi Ergantha tak bisa mengingat dengan jelas.
"Mau akang beliin yang lain?"
Perempuan itu beruntung. Entah laki-laki di depannya ini adalah kekasihnya atau siapa pun itu yang jelas perempuan itu beruntung, sialnya Ergantha menginginkan itu.
Dulu sekali kakak laki-lakinya juga selalu bertanya apa yang ingin Ergantha makan. Dulu sekali, ia bisa mencicipi makan-makanan enak tanpa perasaan sesak.
Ergantha memejamkan mata berpura-pura tidur, tak kuasa menahan air mata. Selain berefek pusing, sepertinya alkohol dari Frans juga berefek melankolis. Dirinya tak pernah selemah ini, namun malam ini, ia ketakutan akan amarah Pramana—Sang Papa. Dan merindukan masa kecil disaat Mama, Papa, dan Pati masih memeluknya.
Sepertinya Ergantha ketahuan menangis, sebab laki-laki di bangku kemudi buru-buru menutup panggilan di seberang sana disusul Pati yang kembali memasuki mobil.
"Ergantha belum bangun?" Tanya Pati kepada Adzkan.
"Masih tidur, Ti."
Ergantha masih berpura-pura tertidur. Panggilan 'Ti' untuk kakaknya sedikit menggelikan. Perasaan Ergantha seketika menjadi hangat. Ia semakin tenggelam dalam suara berat dan aroma woody milik laki-laki di bagian pengemudi. Efek dari alkohol sepertinya semakin melebar kemana-mana.
"Jangan dipukulin." Seru laki-laki di depan pengemudi.
"Sumbu gue pendek." Balas Pati.
"Mau sumbu Lo sependek apapun, kekerasan enggak bisa dimaklumi."
"Gue bingung, Jwa walaupun ketus, dia nurut. Adek gue udah ketus mana susah dibilangin lagi!"
"Ukuran sepatu Lo sama gue aja beda, gimana ceritanya bisa ngatur punya saudara yang serupa."
Ergantha tersenyum dalam tidur pura-pura yang dilakoni, merasakan kehangatan akan pembelaan. Sudah lama ia tak merasakan ada orang yang berpihak kepadanya.
Lama mobil berjalan dengan percakapan antara kedua orang di bagian pengemudi, membuat Ergantha tak sadar jika mereka sudah sampai di rumah yang menunggu penghakiman untuknya.
Sial, ia belum sanggup menemui tuan gila hormat!
"Aku enggak mau turun, kepalaku masih sakit." Ergantha menyudahi kepura-puraannya, membuang gengsi mencoba memelas tanpa menurunkan derajat.
"Mas pikir kamu pingsan gara-gara dicekokin alkohol." Kata Pati menyindir.
"Kita ke hotel aja, Mas!" Pinta Ergantha kepada laki-laki di bagian pengemudi sebelum mereka memasuki gerbang keramat.
"Kamu pikir temen Mas supir kamu... Papa udah nungguin di rumah."
Tak perlu diragukan lagi, Pati—kakaknya pasti sudah melaporkan tingkah tercela Ergantha.
Ergantha berdecak kesal, keluar dan membanting kasar mobil milik orang asing itu. Kepalanya seakan terasa pecah gara-gara alkohol sialan tadi.
"Jangan main tangan," Sayup-sayup ia mendengar pesan laki-laki tadi kepada Pati.
Ergantha ingin ikut saja dengan sosok laki-laki bijak itu, sekalian dijadikan adik angkat atau apapun itu yang pasti ia tak ingin berada di rumah penuh keramat ini.
Sekujur tubuh Ergantha ketakutan mengingat kembali masa kelam berada di bawah penjara yang Papa ciptakan. Ia tak bisa menjadi pengecut, jadi Ergantha memasuki rumah dengan mengangkat dagu agar tak ditindas.
"Ngapain kamu pulang?!" Baru saja melangkahkan kaki memasuki ruang tamu, Papa sudah bersedekap berang.
"Sekalian nginep di Bar jahanam itu! Jadi perempuan susah di bilangin. Mau jadi apa kamu, hah?!"
Pati berdiri di samping Ergantha. Ia ingin membela namun Ergantha sungguh sangat keterlaluan, tak sepantasnya ia mengenal dunia malam disaat usia belum genap 18 tahun.
Cih, padahal Pati saja terjun dalam dunia malam saat di bangku SMP.
"Belum cukup hukuman yang Papa kasih? Mau di tambahin lagi? Biar sekalian Mbok Min bawa ke ruang bawah tanah. Mau?!" Papa mengancam dan Ergantha bertingkah tak peduli..
"Jawab Ergantha!"
"Kenapa enggak?!" Balas Ergantha tak ingin kalah. "Aku mau jungkir balik Papa juga enggak peduli. Kenapa enggak sekalian coret aku dari daftar anak!"
Anak? Mungkin sudah lama Ergantha tak dianggap anak.
"Kamu lihat, 'kan, Pati? Adik kesayangan kamu tidak ada hormat-hormatnya. Harusnya dia yang menggantikan posisi Mama kamu sekarang."
"Pa!" Pati menegur, Papa sudah keterlaluan.
"Kasihan Mama kalau hidup satu atap sama laki-laki yang isinya brengsek semua!" Sarkas Ergantha.
Sontak lemparan gelas mengenai lantai tempat Ergantha berdiri. Hampir saja pecahan tersebut mengenai dirinya. Papa memang kejam tapi tak pernah sampai kelepasan seperti ini.
Ergantha tak bisa menahan air mata, akibat syok dari lemparan gelas tersebut. Sialan memang. Ia menggigit bibir namun rasa sakit terkena belahan kaca di kakinya cukup menyedihkan. Heelsnya juga sialan. Jika menggunakan sepatu, kakinya mungkin terselamatkan dari pecahan gelas tersebut.
Segala hal di depannya sangat sialan!
"Mbok Min!" Teriak Papa memanggil salah seorang pembantu perempuan mereka.
"Bawa Ergantha ke bawah! Jangan di beri makanan apapun sampai saya mengizinkan. Sampai ada yang ketahuan kasih dia makan, saya pecat kalian!"
Setelah selesai memberi perintah, Pramana pergi meninggalkan kekacauan yang telah diperbuat. Pati masih mencoba mencerna apa yang tengah terjadi, ia tahu Papa kesal, namun melepari Ergantha dengan gelas serta ucapan yang keterlaluan cukup membuat ia tak mengenali Papa.
"Kamu enggak apa-apa?" Panik Pati, berjongkok menyingkirkan serpihan kaca yang mengenai kaki Ergantha.
"Ini, 'kan, yang Mas Pati mau lihat, serendah apa posisiku di keluarga ini?!"
Pati kembali berdiri, "Tha, Mas ngelaporin kamu ke Papa biar kamu enggak keluar jalur, Mas sayang sama kamu, ini semua—"
"Mas Pati sama brengseknya sama Papa! Jangan sok jadi pahlawan yang udah terlanjur enggak tau apa-apa!" Ergantha menatap Pati penuh amarah dengan air mata yang ia usap kasar.
Ergantha benci terlihat lemah dan air matanya justru tak jua terhenti.
"Biar Mas yang ngomong sama Papa." Pati pergi mengejar Pramana— Papa mereka.
Pati tak tahu saja, setelah ini ia akan kelimpungan mencari adiknya sendiri.