TUMBUHAN yang bermekaran mengabarkan dunia penuh akan berita suka— Seakan mengejek para penghuni bumi pertiwi, sebab mereka jauh lebih hidup daripada kehidupan manusia.
Andai bisa menjadi tumbuhan yang tak memiliki ego, mungkin tak akan ada kesengajaan dalam rasa. Merasa diri tak pantas, tak berharga—tak memiliki kebebasan dalam pilihan. Tumbuhan saja pemilih mengenai habitat mereka, akan mati jika tak di tempatkan di tempat yang tak seharusnya.
Ergantha lebih menyukai dunia tumbuhan karena dunia para manusia begitu memuakkan.
Dulu sekali, ia pernah terjebak dalam kandang yang tak patut dihuni, beralas lantai yang dingin tanpa penghangat. Ia menanti hadirnya Superhero yang datang mengulurkan tangan—atau paling tidak, sosok pangeran yang membawanya kabur. Seperti dongeng Putri Disney yang penuh khayalan. Tersiksa diawal, bahagia diakhir. Klise memang, tapi bukannya semua manusia menginginkan hal yang sama— fairy tale ending!
Sayang, hidup bukan seperti kisah Cinderella, kehilangan sepatu digantikan oleh hadirnya sang pangeran.
Realita kejam, tak pandang bulu akan usia. Tak hanya dewasa yang menderita. Anak-anak dan remaja pun, tak kalah menjerit. Hanya saja, tak ada yang peduli, menganggap kekejaman dunia yang tercipta hanya untuk para dewasa, mengukur dari satu sisi yang tak mereka ingin mengerti.
Dan Ergantha... remaja yang berteriak akan kebebasan.
Sejak semalam, Pati sengaja tak kembali menemui Ergantha, ia rasa adiknya membutuhkan waktu. Saat sarapan pun, ia tak bertanya akan kehadiran Ergantha hanya memberi pesan kepada pada para pembantu bahwa makanan Ergantha harus di bawa sampai ke kamar.
Menjelang malam hari, Pati kembali ke rumah, mencoba mencari Ergantha di dalam kamar berhasil nihil. Semua pembantu tak berani menatap Pati, tukang kebun sampai supir yang ia tanyai, tak ada yang tahu. Sudah bertahun-tahun Pati meninggalkan rumah namun segalanya terasa berbeda. Sikap Ergantha, Papa, bahkan para pembantu mereka seperti robot yang ketakutan jika membuka mulut.
Terik berganti rembulan, Pati tak juga menemukan Ergantha. Ponsel Erganthata masih tertinggal di kamar. Mencoba mencari di beberapa Bar, Ergantha juga tak ada. Ia menelpon teman-teman Ergantha hasilnya pun sama.
Pati semakin tak terkendali, mentari kembali menerangi tanpa adanya Ergantha. Papa sedang berpergian ke luar kota sejak pertengkaran kemarin, sejak itu pula tak ada tanda-tanda keberadaan adiknya. Tidak mungkin Ergantha ikut dengan Papa, Pati tahu seburuk apa hubungan Papa dan adiknya itu.
"Den, sarapannya sudah Mbok siapkan...." Perempuan tua renta menyapa Pati yang tengah urung-uringan di ruang tamu.
Pati belum mandi dan ia harus berangkat ke Bengkel dengan perasaan yang jengkel. Siapa yang tak jengkel jika adik satu-satunya hilang entah kemana.
"Ergantha sering main kabur-kaburan begini, Mbok?" Mbok Min menunduk tak berani menatap Pati. Semua pembantu mendadak jadi bisu, tak paham bahasa manusia.
"Bapak biasanya tau tempet Non Ergantha." Salah seorang pembantu yang berusia lebih muda justru membuka mulut.
"Kamu tahu kemana?" Lagi, tak ada yang berani menjawab.
Pati berdecak kesal, tak berniat menyentuh sarapan yang tengah di hidangkan, berlalu ke kamar untuk mandi dan bersiap untuk bekerja. Nanti, ia akan benar-benar memberi Erganthata petuah jika sampai bertemu di rumah.
Berjalan menuju bagasi mobil, Pati mendengar kilasan pembantunya sedang berbicara bisik-bisik. Ia tak berniat menguping, tapi begitu nama Ergantha disebut langkah Pati mendadak terhenti.
"Kamu Jum, mulutmu jangan asal. Nanti di pecat bapak tahu rasa."
"Aku 'kan, cuma mau bantuin Non Ergantha, Mbok. Kalau bukan si Mas, siapa yang bebasin...."
"Kamu kayak ndak tau Bapak, Jum. Siapa aja disambar kalau marah."
"Kalau aku jadi Non Ergantha juga pasti stress. Wong sering dikatain sama bapak sendiri."
"Si Bapak juga kejam pisan, anak sendiri di kurung... Gusti... mending kabur, yo,"
"Hush, kalo ngomong hati-hati. Nanti didenger sama Bapak di pecat kalian."
Pati tak kuasa menahan keingin tahuannya. Ia membuka pintu gudang yang tersambung dengan bagasi. Tiga orang pembantu membeku melihat hadirnya Pati.
"Siapa yang dikurung?" Tak ada yang menjawab pertanyaan Pati.
"Kamu Juminten, 'kan? Pembantu baru?" Pati mendekati perempuan yang ia kisar berusia dua puluhan, "Kamu tau dimana Ergantha?"
"Di ruang bawah tanah, posisinya di gudang halaman belakang rumah, tapi kunci gudang di bawa Ba— "
"Jum!" Mbok Min menjeda ucapan Juminten pembantu muda yang susah di atur. Mulut Juminten terlalu gatal jika tak berbicara lebih lanjut.
"Den Pati buka pintunya pakai kapak atau dobrak saja... Kasihan si Non, enggak kuat dingin." Ungkap Juminten lugas tak mengindahkan teguran Mbok Min.
Pati mengupat, mengeluarkan seluruh sumpah serapah. Ia menjadi berang, mencari alat yang bisa menghancurkan pintu gudang. Mengambil kapak di Supriyanto—tukang kebun. Tak ada yang berani membantunya mendobrak Gudang itu, hanya Juminten perempuan lugas pembantu mereka.
Selama dua puluh enam tahun hidupnya, Pati tak tahu jika rumah ini memiliki ruang bawah tanah. Tanpa penerangan dengan suhu yang sangat rendah. Di tengah-tengah terdapat ruangan serba kaca, dan disanalah Ergantha terkurung. Berjongkok di dalam ruangan yang terkunci, rambut panjang yang tak tertata dengan kaki tanpa alas. Baju yang dikenakan masih sama, jaket Pati pun masih setia di tubuh kecil Ergantha.
Pati membuka paksa pintu ruangan kaca tersebut. Mencoba memanggil Ergantha.
"Tha..." Tubuh kecil yang memeluk lutut, Ergantha terlihat rapuh.
"Tha!" Teriak Pati lagi, seraya mencoba mendobrak pintu kaca. Jantungnya seperti meninggalkan tempat, melihat Ergantha yang terkurung seharian penuh.
"Ergantha!"
Wajah yang sedari tadi tertutup, mulai terangkat. Cukup lama Ergantha mengerjapkan mata menatap Pati. Sampai ia menyadari hadirnya Pati hal yang nyata. Kemudian terisak menutupi tangisan dengan kedua tangan kecilnya.
Ergantha teringat masa lalu akan gadis kecil yang menunggu kakak laki-lakinya. Kenangan pahit yang terbuka kembali. Kenangan kesepian yang ingin ia kubur dalam-dalam.
Pati berhasil menghancurkan pintu kaca tersebut, menghampiri Ergantha dan berjongkok di depan adiknya.
"Tha, siapa yang—" Pati bahkan tak bisa menyelesaikan pertanyaannya melihat penampilan Ergantha yang jauh dari kata baik-baik saja.
Ergantha terisak, dadanya terasa sesak. Ia ingin menyumpahi Papa dan kakak laki-lakinya, namun tak sanggup. Energinya terkuras karena dingin yang menyentuh sampai tulang.
"Tha, bilang sama Mas," Pati mencoba menyentuh Ergantha.
Ini menyedihkan untuk Ergantha, karena kedatangan Pati membuat Ergantha tenang dan ia membenci keadaan adanya Pati. Ergantha akan menjadi lemah jika ada yang memberi kehangatan, karena cepat atau lambat segala hal yang ia sukai akan menghilang secepat nafasnya berhembus.
"Kenapa baru sekarang..." Ergantha menutup wajah yang tengah menangis. Suaranya terlampau lemah.
"Aku nungguin Mas Pati begini udah tujuh tahun, kenapa baru sekarang..." Ergantha terisak, segala yang terucap bahkan terasa sakit tuk ia keluhkan.
"Tujuh tahun, Papa selalu begini?" Pati tahu pertanyaannya hanya basa-basi, sebab semua sudah terjawab melihat Ergantha yang tak berkutik.
"A—aku... benci Mas Pati." Ergantha tergagap, semakin terisak dengan badan yang bergemetar. Adik perempuannya yang selalu terkesan pembangkang kini terlihat seperti anak remaja yang kehilangan arah.
Pati mendekap erat tubuh Ergantha, memberi pelukan, bukan semakin tenang, adiknya malah semakin tersisak. Tujuh tahun yang ia lewatkan terasa mencekam bagi Ergantha.
Sudah pasti, ini bukan pertama kalinya Ergantha dikurung di ruang bawah tanah. Pati berjanji, begitu Papa pulang dari luar kota ia akan menuntut penjelasan.
Pati membiarkan Ergantha menangis di pelukannya, menyadari luka adiknya yang sempat terkena serpihan kaca sudah di balut rapi.
Lama Pati mencoba menenangkan, sampai Ergantha tak sadarkan diri setelah menangis tanpa henti di ruang bawah tanah.
Pati rapuh melihat Ergantha yang terluka, namun Ergantha, jauh lebih rapuh dari sekedar luka yang ia perlihatkan.