MENJADI remaja melelahkan disaat dewasa kian menawarkan hidup yang menggiurkan. Hidup di tengah-tengah aturan otoriter dan kapitalisme yang mewadah tak lebih dari kata memuakkan. Tak ada yang tahu lelahnya menjadi seorang gadis remaja yang tidak memiliki kebebasan.
Banyak yang ingin mengulang masa putih abu-abu, banyak yang ingin kembali menjadi remaja yang tak banyak beban. Namun, Ergantha ingin menjadi si dewasa, agar terbebas dan tak menjalani peran anak ingusan yang tak dapat dipercaya.
Tahu apa yang paling memuakkan hidup sebagai anak remaja? Bernafas dengan rutinitas membosankan diikuti stigma 'tak dapat dipercaya.' Belajar-ujian, belajar-ujian. Siapa yang tak tercekik dengan rutinitas memakan lini masa itu.
Pun, tak ada yang menarik di Sekolah bertaraf Internasional, hanya dipenuhi sekumpulan remaja yang ambisius, bercita-cita tinggi, haus akan pencapaian, bermain-main dengan elegan, tak jarang keluar dari norma dan moralitas.
Minuman berakhol sudah seperti cemilan untuk mereka. Rokok dan kondom, tentu hal yang membanggakan. Jangan teriak norma, sebab remaja tak kenal filosofi batasan.
"Kemarin Lo gagal kabur lagi, Tha?" Arlin menanyakan absennya Ergantha di acara 'senang-senang' mereka.
"Mata-mata di rumah nambah satu, jadi gue kecolongan." Jawab Ergantha malas-malasan.
"Seharusnya Lo dateng Tha, Arjun sama Rere makin lengket, udah kaya perangko." Frans mengadu, dibalas lemparan kertas oleh Rere.
"Ih, amit-amit! Fitnah ya Frans, kena azab baru tau rasa!" Rere memasang wajah cemberut, memperbaiki riasan tipis melalui cermin kecil.
"Bohong dia beb, aku enggak pernah main sama siapapun." Arjun merangkul pundak Ergantha yang tengah duduk di sampingnya. Mengelus ringan, sehalus debu, menempeli Ergantha yang tak berminat menanggapi.
Ergantha memang tak pernah keberatan digoda oleh siapa saja. Yah, dia memang perempuan 'nakal.' Terlebih lagi Arjun memang kerap menggodanya.
"Ini sekolah Jun, Lo tahu diri dong!" Sentak Frans diikuti yang lainnya.
Mereka menghabiskan waktu bersama layaknya remaja yang tak kenal lelah. Dikala jam istirahat atupun dikala jam pelajaran kosong, basecamp di belakang gudang yang kini disulap menjadi tempat layak huni merupakan tempat ternyaman berbagi cerita. Mengingat Ergantha yang sangat susah diculik untuk 'bersenang-senang,' maka pertemuan di jam istirahat sangat diperlukan.
"Dapet hukuman apa, Tha?" Tanya Dyrl. Fokus membalik halaman buku yang ia tengah baca, terkesan tak peduli, namun selalu ingin tahu perkembangan hidup Ergantha.
"Black card gue dicabut sementara gara-gara Mas Pati." Timbal Ergantha mencoba tak ambil pusing.
Ergantha benci keberadaan kakak laki-lakinya di rumah. Pati kembali, artinya Papa mungkin akan melupakan kehadiran Ergantha sejenak. Namun Pati, pasti akan memata matai dirinya.
"Mas Pati, Tha?!" Respon Rere histeris, "Yang cakep tapi playboy itu? Rere mau dong, Tha, dikenalin."
"Mas Pati enggak bakalan mau sama Lo, Re, dia milih-milih juga kali." Frans menyahuti.
"Mending sama gue aja lah Re, jadi istri kedua-setelah Thata." Goda Arjun mengedipkan mata.
"Ogah! Huek!" Balas Rere berdigik ngeri.
Ergantha tak menanggapi pembicaraan mereka, tenggelam dalam rasa kekesalan perihal Pati yang kembali menetap di rumah. Jam terbang "bersenang-senang" pasti akan tersita. Tak ada lagi acara kabur-kaburan dan menikmati bir diam-diam. Membohongi Papa saja, butuh rencana yang sangat rapi dan Pati tak mungkin bisa dibohongi. Sebab, Kakak laki-lakinya itu senior dalam gelapnya dunia malam-sudah pasti, ia kalah telak.
"Pulang sekolah Lo enggak bisa ikut kumpul sama kita, dong, Tha. Padahal gue punya Pinot-noir di rumah." Frans menawarkan wine yang baru saja ia beli secara diam-diam.
"Duit dari mana Frans?" Tanya Arlin menyipitkan mata dengan menautkan tangan di dada.
"Lo lupa, sebagian tanah tempat Lo berdiri sekarang punya Harjiko Atmajaya!" Frans membusungkan dada, membanggakan nama belakangnya-investor terbesar di Sekolah ini.
"Bukannya Frans udah enggak punya apa-apa... Terakhir buat bayar makan aja, nebeng di Dryl." Timbal Rere mengikuti kecurigaan Arlinda.
Frans memang dalam masa hukuman kedua orangtuanya karena tertangkap basah memiliki barang haram yang selalu ia bawa kemana-mana. Teman sejati yang ia namakan 'proteksi diri.'
"Gue enggak mau ya, kalau barangnya diperoleh dari cara yang haram."
"Terus bekas gigitan yang di leher enggak haram, Lin." Sindir Dyrl tanpa melihat Arlinda.
Fokus membaca namun telinga dan mulutnya seakan tak ingin kalah berkontribusi.
Frans dan Arjun pun mengamati leher Arlinda secara terang-terangan. Mereka cukup dewasa untuk mengetahui arti tanda yang tak senonoh.
"Jaga mata, bukan muhrim!" Arlinda menatap tajam Frans dan Arjun.
"Ceileh, muhrim banget nih bahasa Lo." Celetuk Arjun.
"Apa gue bilang, enggak ada sejarahnya cowok baik-baik mau pacarin anak orang." Frans terkekeh meremehkan. "Kalau enggak brengsek, mana mau doi rugi. Seenggaknya bisa pegang, raba-" Perkataan Frans lantas terpotong karena Dyrl memukul belakang kepalanya menggunakan buku.
Lidah Frans memang mengandung belati!
Arlinda yang tak terima, merengut kesal, pergi meninggalkan mereka, diikuti oleh Rere yang mencoba membujuk. Ia tak terima jika kekasihnya dicap sebagai pria brengsek.
"Itu mulut kayak enggak pernah makan sambelado." Seru Arjun.
Mereka semua tahu Arlinda sangat sensitif. Ia tak suka jika kekasih tercintanya di jelek-jelekan. Padahal, kekasih tersayang Arlinda memang tak semenawan itu, dia saja yang sudah buta akan cinta.
"Fact!" Seru Frans tak merasa bersalah. "Bilangin lah, Tha, sama temen Lo, jadi cewek jangan polos banget. Gue walaupun sering jajan di luar juga masih pake otak, yang polos enggak gue sentuh. Modelan Bang Radit, brengseknya enggak pake otak, anak sekolahan masih aja mau dikibulin."
"Kalau Lo udah setua Bang Radit, gue yakin enggak ada bedanya," Balas Ergantha menyindir. "Lagian itu juga bukan ranah gue, Arlin pasti tau apa yang dia mau... Jadi, Pinor-noit di tunda kan, sampai Lo dan Arlin baikkan. Sekalian tunggu masa hukuman gue abis, baru Pinor-noit dibuka." Ergantha tersenyum senang, kemudian pergi meninggalkan mereka.
Arjun tertawa ringan dengan Frans yang berdecak kesal. Sedang Dryl, menatap lama punggung Ergantha, menghela nafas, syarat akan kekhawatiran.
Dyrl berpikir, jika saja dulu ia bisa memberikan solusi yang baik, mungkin Ergantha tak akan tergila-gila kepada Pinor-noit. Jika saja ia teman yang baik, mungkin Ergantha bisa menjadi lebih terarah.
Sayang, Dyrl tak cukup baik untuk Ergantha.
*************