BELAJAR—tugas—ujian. Kehidupan Ergantha tak jauh dari ketiga hal menyesatkan itu. Diharuskan memiliki nilai bagus dengan reward black cardnya akan kembali. Tapi Ergantha tak menyukai hal berbau teoritis, hidupnya sudah penuh menyesakkan dan memahami ilmu yang entah akan berfungsi sebagai apa, seperti tinggal di dalam ruang tertutup yang penuh asap.
Setelah ketahuan pergi ke Club malam, Ergantha pikir ia hanya akan mendapat hukuman ringan, ternyata ia harus mendekam di rumah begitu pulang Sekolah. Mobil beserta black card pun ditahan. Semua ini jelas karena Pati—kakak laki-laki yang sok super hero. Papa jelas akan mengikuti semua usulan dari Pati.
"Mampir ke Bengkel bentar, ya, Tha. Mas mau cek mobil Tante Hanin." Ergantha tak menyahut, masa bodoh Pati ingin mampir kemana.
Biasanya Pak Arman yang akan menjemput Ergantha, namun saat ini Pati yang menampakkan diri—dengan dalih supir mereka sedang sibuk. Sebuah alasan klise untuk Ergantha, karena ia tahu Pati pasti ingin memberikan kultum, memberikan sebuah dalil, membacakan beberapa potongan hadist. Padahal, Ergantha tak paham sama sekali dan jelas ia tak ingin tahu.
Harusnya Pati tetap menjadi laki-laki brengsek yang hobi menginap di luar rumah dengan begitu Ergantha akan lebih leluasa. Sayang, kakak laki-lakinya sadar disaat Ergantha sudah menemukan mimpi sesat.
"Mau tunggu disini?" Tanya Pati begitu mereka sampai di Bengkel miliknya. Ergantha tak menjawab, pura-pura memainkan ponsel.
Pati pun meninggalkan Ergantha—si adik keras kepala, tak ingin emosi lebih dulu karena ia harus menjadi contoh yang baik. Ia harus mengingat pesan Adzkan, 'dakwah terbaik itu melalui akidah dan tingkah laku.'
Pati berdoa, semoga sumbu pendeknya tak muncul ke permukaan.
"Duit segini mana cukup, Lo kerja enggak sih!"
"Kangen sama tendangan maut kita?"
"Apa Lo, mau cari mati, Huh? Dasar ceking pendek enggak ada otak! Kalau mau selamat ya kasi kita Jajan yang banyak dong!"
"Cantik, tapi enggak punya duit!"
Samar-samar Ergantha mendengar keributan kecil. Membuka jendela dan tak jauh dari mobilnya terparkir, sekumpulan anak mengenakan baju SMA seperti dirinya sedang mengeroyok salah seorang perempuan pegawai bengkel milik Pati. Sepertinya, karyawan bengkel itu pun, seusia dengan mereka.
Kumpulan gadis yang mengeluarkan sumpah seraparah itu mendorong pegawai bengkel, berlagak dewasa dengan mulut tanpa tata krama. Sudah tak memiliki malu dengan gaya yang selangit.
Ergantha menggerutu, Pati benar-benar tak memiliki jiwa kemanusiaan. Harusnya Pati memberikan keselamatan untuk para pegawai bukan malah membiarkan preman berkedok siswa mengganggu kehidupan.
Mencoba untuk tak peduli, Ergantha memasang earphone di telinga. Ia memang menyukai hal berbau kesesatan—wine, bir, bahkan melakukan beberapa hal yang tak seharusnya dinormalisasi. Hanya saja, moralnya menolak untuk merundung jiwa yang terkekang.
"Kalian butuh uang?" Terdengar suara laki-laki dewasa di tengah perundungan tersebut.
Tak terdengar balasan dari gadis-gadis tersebut. Lantas Ergantha membuka mata, melepas earphone, menurunkan kaca mobil dan melihat siapa laki-laki yang berbicara. Hanya punggung lebar yang di pertontonkan. Badan atletis berbalut kemeja dengan celana kain diatas mata kaki.
Old but gold. Sosok yang berhasil membuat gadis-gadis tak tau malu itu tak berkutik. Ada yang menunduk, ada juga yang curi-curi pandang.
"Sarah belum punya gaji, dia disini hanya sebagai pegawai part time. Lebih baik kalian mendaftar sebagai part time juga, daripada ngemis ke Sarah seperti ini."
Ergantha dapat menyaksikan, keempat orang yang mengeroyok gadis lemah itu menahan malu. Ia pikir, sudah tak ada dewasa bijak yang peduli dengan kehidupan para remaja. Seperti dewasa yang mengaku bermoral hanya pintar berkomentar tanpa mau berkorban.
Tak lama, Pati hadir di tengah-tengah mereka. Pati berdecak pinggang dan memberikan mereka tatapan yang tajam siap ingin memarahi gadis-gadis itu.
Cih, selalu saja menjadi pahlawan kesiangan!
Ergantha tak lagi menguping, sebab hadirnya Pati seperti polisi yang tak becus bekerja.
Bullying bukan lagi hal yang tabu untuk Ergantha, di Sekolahnya hal itu sudah menjadi hal yang mungkin akan dinormalisasikan dengan segera.
Ergantha memiliki segalanya—kekayaan, kekuasaan dan teman-teman. Meskipun paras tergolong biasa saja dan otak pas-pasan, tak ada yang berani menjadikan Ergantha target bullying. Ergantha pun tak ingin menjajah kehidupan orang lain—karena ia cukup tau rasanya terkekang. Ia juga tak hobi menjalani peran sebagai pahlawan, hanya berperan sebagai penonton—melihat korban bullying tanpa berniat membantu mereka. Karena hidup sudah sangat merepotkan.
Setelah kejadian di Bengkel, Pati kembali dan membawa Ergantha ke sebuah Restoran ternama.
"Tha, kamu enggak pernah bully siapapun di sekolah?"
Makanan mereka belum datang, dan Pati tak henti bertanya segala hal meskipun Ergantha tak berkenan menjawab.
"Mas yakin kamu bukan target bullying, Mas Pati cuma khawatir aja kalau kamu malah oknum. Seumpama kalau kamu enggak bisa bermanfaat buat orang lain, jangan sampai merugikan hidup mereka... Tanggungjawab di akhirat juga berat."
"Efek bullying itu parah, Tha. Belum lagi kalau bicara soal psikis... Nih ya, di dalam Surah Al-Hujurat ayat 11 juga udah di kasih tahu."
Ergantha cukup hafal, banyak petuah yang akan diberikan Pati. Semenjak menjadi "Pemuda Hijrah" kakaknya memang hobi mengambil quotes dari mana saja. Belum lagi dengan satu dua tafsiran Surah dari ayat suci Al-Qur'an.
"Di medsos selalu ramai kasus Bullying, anak seumuran kamu mikirnya apa sih, hobi banget bully temen sendiri. Pejalan kaki aja pakai di klitihin. Enggak usah lah ikut geng-gengan... Siapa tuh temen-temen kamu—yang bener kayaknya cuma si Arab sama si ketua OSIS."
Disaat Ergantha masih tak peduli dengan omongan Pati, Pati justru tak lelah membuka mulut. Menyampaikan segala aspirasi dengan ribuan ocehan yang tak henti.
"Eh, tapi jangan deket-deket banget sama si Ketua OSIS, enggak baik berikhtilat sama lawan jenis, Tha. Apalagi kalau urusannya enggak penting. Sama si arab juga enggak usahlah, kamu deketnya sama temen perempuan aja, tapi yang enggak aneh-aneh juga kelakuannya."
Pati belum tahu saja, si arab—Arjun jauh lebih anarkis dari wajah kearab-arabannya.
"Nanti kalau kuliah jangan jauh-jauh, Tha, biar Mas sama Papa bisa pantau. Jangan main pacar-pacaran, laki-laki cuma mau enak kamu paling cuma dapat mentahan."
Ergantha jengah, selera makannya jadi menghilang. Sudah hampir tiga puluh menit makanan mereka belum juga datang dan Pati tak hentinya berfatwa. Ia bukan anak Sekolah Dasar yang perihal pacar-pacaran saja perlu ditakut-takuti.
"Makanannya di bungkus aja! Aku udah enggak mood!" Ergantha berdiri dan pergi menuju parkiran mobil. Ia benar-benar tak tahan bersama kakak laki-lakinya.
Pati terkekeh begitu Ergantha meninggalkannya. Adik perempuannya yang keras kepala akhirnya membuka mulut, meskipun berisi kekesalan semata. Pati berjanji ia akan mencoba memperbaiki hubungan mereka, menyeret kembali Ergantha ke jalan yang benar.
Kali ini Pati tak akan meninggalkaan adik kesayangannya.
*********************