Prolog
Apa benar ia tak berhak bahagia? Berkali-kali lelaki berambut legam itu memikirkan hal itu di kepalanya. Ia merasa ia menjalani hari-harinya seperti manusia normal pada umumnya. Ia menuruti semua aturan, bersikap baik, dan berusaha untuk terus menjadi lebih baik.
Orang-orang bilang ia begitu tampan dan berbakat. Kendati begitu, ia tetap tak merasa kebahagiaan yang sebenarnya. Pendapat orang lain pada dirinya tak menciptakan sesuatu yang indah dalam hidupnya. Seberapa sering pun teman-temannya memuji ketampanannya atau keahliannya dalam melukis, Juna tak merasa dampak apa-apa.
Harapannya tak pernah terwujud. Hidupnya berjalan tak sesuai dengan apa yang ia inginkan sama sekali. Bagaimana mungkin ia bahagia dengan takdir yang selalu mempermainkannya?
Tak bohong, Juna lelah dengan semua kehidupannya. Tungkainya sudah mati rasa menahan beban kehidupan yang selalu datang. Begitu menderitanya ia sampai tak ingat kapan terakhir kalinya tertidur nyenyak. Setiap kali ingin terpejam, selalu saja ada suara mengganggu yang berteriak memaksanya bangkit. Setiap kali ia mencoba mendapatkan ketenangan, selalu saja bayangan buruk kejadian naas itu menghantuinya. Mengejarnya hingga untuk bernapas saja rasanya sulit.
“Sungguh, aku ingin ketenangan.”
Bab 1
Sekali lagi, ia berdecak kagum. Memuji betapa indahnya lukisan yang baru saja ia selesaikan. Memberikan pujian pada diri sendiri adalah satu hal biasa bagi Juna. Toh, siapapun yang melihat lukisan di depannya kini juga akan berpikiran sama dengan dirinya. Usai dengan kekagumannya pada lukisan, Juna merapikan semua alat lukisnya yang ada di atas meja. Kemudian, menyimpan kanvas lumayan besar yang tadi ia lukis ke dalam lemari kaca besar di ruangan itu.
Kegiatan rutinnya hari ini berakhir. Ia menyapu lagi seluruh sudut ruangan, kalau-kalau ada sesuatu yang belum pada tempatnya. Juna tersenyum kecil mengetahui, bahwa barang sudah tersusun rapi. Langkah lebar Juna mengantarkannya kembali ke kamar. Lelaki dengan pahatan tubuh sempurna yang dibalut kaos biru itu memutuskan untuk membersihkan diri dari percikan-percikan cat yang menempel di pakaian dan tubuhnya.
Juna tak menghabiskan waktu terlalu lama dalam bilik mandi. Wajah tampannya teramat segar begitu ia selesai membersihkan diri. Melihat garis-garis wajah Juna yang begitu indah, membuat setiap orang berpikir, 'tak salah Juna menjadi sosok primadona di sekolahnya.'
Pemuda tegap itu mengempaskan tubuhnya di atas kasur. Meraih ponselnya dan memutar lagu lembut untuk ia dengarkan. Kegiatannya pada hari libur itu berakhir. Juna harus mengistirahatkan dirinya untuk menyambut hari esok. Hari di mana ia mulai bersekolah lagi sebagai siswa kelas akhir.
***
Di depan mading sekolah para siswa berdesakkan melihat pembagian kelas. Koridor begitu ribut dengan sorakan-sorakan tak menentu dari manusia di sana. Belum lagi gerutu-gerutuan manusia lainnya, sebab mereka tak mendapatkan kelas yang mereka inginkan. Intinya, suasana di sana sangatlah riuh.
Beruntungnya, Juna tak ikut dalam desakan lautan manusia itu. Ia berdiri menyandar pada dinding, menunggu satu temannya yang ikut berdesakan melihat mading.
"Kita sekelas ternyata." Teman yang dimaksud adalah lelaki tampan dengan kulit putih. Lelaki itu mengibaskan tangannya di depan wajah untuk meredakan gerahnya setelah ikut dalam kerumunan siswa di depan mading.
"Iya, memang." Sahutan dari bibir Juna membuat temannya itu menganga.
"Kenapa nggak bilang dari tadi, sih? Kalo gitu 'kan, aku nggak perlu desak-desakkan di sana!" Ekspresi Juna yang tanpa dosa membuat dirinya semakin panas. Ditambah lagi Juna yang tertawa melihat dia bersungut-sungut. Benar-benar teman tidak berakhlak.
"Lagian, kamu main pergi aja. Padahal tadi Juna udah bilang kalo kita sekelas." Kali ini lelaki di sebelah Juna yang sibuk memainkan ponselnya sedari tadi menyahut. Menambah volume gelak tawa dari Juna.
"Ya, kenapa aku nggak ditahan aja, sih, Jayen? Aku terlalu semangat soalnya."
"Jayden, bodoh. Bukan Jayen," ucap pemilik nama yang tak terima namanya salah disebut.
"Suka-suka aku lah."
"Udahlah, mending langsung ke kelas." Dengan begitu, ketiga lelaki rupawan beranjak dari tempatnya dan melenggang menuju kelas mereka.
Persahabatan Juna, Jayden, dan Jarrel—lelaki yang ikut berdesakan melihat mading tadi—sudah terjalin sedari mereka kecil. Ketiganya sudah seperti saudara yang mengerti dengan baik satu sama lain. Kebersamaan mereka berhasil membuat siapapun iri begitu melihatnya.
Dalam kelas baru, merekapun memilih tempat duduk berdekatan. Pasalnya, posisi duduk yang dekat membuat mereka leluasa untuk mengobrol. Seperti kembar tiga, mereka memang tak bisa dipisahkan. Prinsip yang tertanam dalam diri mereka adalah 'satu sakit, semua sakit. Satu bahagia, semua bahagia.'
"Semoga wali kelas kita bukan yang galak." Harapan yang Jarrel ucapkan disetujui oleh Juna dan Jayden.
"Nggak kerasa aja udah kelas akhir. Sampai sekarang aja, aku nggak tahu mau lanjut kuliah di mana. Mau jadi apa. Hah .... " Jarrel berucap dramatis seraya menghembuskan napas panjang nan lesu.
"Nggak usah sok dramatis juga kali," celetuk Jayden.
"But, Jarrel bener, sih. Kita mestinya harus mulai mikirin kedepannya mau ngapain. Harus mempersiapkan diri juga, buat lanjut studi lagi," ucap Juna dengan raut kedewasaannya. Dua sahabat karibnya mengangguk setuju.
Di tengah keterdiaman, Jarrel mendadak berseru tertahan. "Dia sekelas sama kita juga?" Juna dan Jayden mengikuti arah telunjuk Jarrel. Mendapati gadis berkerudung dengan temannya berjalan menempati kursi di deretan paling ujung. Dua deretan setelah barisan tempat Juna, Jayden, dan Jarrel.
"Iya," ucap Juna.
"Wah, takdir kali, ya. Dari awal selalu sekelas."
"Sama siapa?" tanya Jayden.
"Sama Juna lah!" Jarrel menoyor kepala Jayden.
"Kita juga selalu sekelas. Bukan takdir namanya?" Ingin sekali Jarrel mencincang kepala Jayden dan melihat rupa otak lelaki bermata sipit itu. Menghadapi Jayden memang butuh kesabaran lebih. Lelaki itu bukan bodoh atau bego, tapi memang dasarnya suka mencari topik perdebatan. Membuat Jarrel darah tinggi setiap harinya.
"Jelas beda! Secara 'kan Juna suka sama Jeera dari awal. Terus mereka sekelas, satu organisasi, satu bidang olimpiade. Nah, 'kan takdir namanya." Entah dari kapan Jarrel berkacak pinggang dan menatap Jayden dengan kesal.
"Belum tentu takdir. Kita sama Jeera itu beda, sangat berbeda." Juna yang sedari tadi mengabaikan perdebatan keduanya, kini berdehem setelah Jayden berbicara. Jarrel menepuk pundak lelaki di sebelahnya itu dan melotot padanya. Bisa-bisanya Jayden berucap seperti itu di depan Juna. Sementara Jayden hanya mengedikkan bahu. Tak ada yang salah dari ucapannya. Dia hanya mencoba mengingatkan lagi tentang perbedaan yang begitu kentara di antara Juna dan gadis yang lelaki itu cintai.
Suasana hati Juna dengan cepat berubah. Ia menatap meja dan pandangannya tak dapat digambarkan. Jemarinya sesekali mengetuk meja, membuktikan ia sibuk dengan pikirannya. Ucapan Jayden memang tak ada yang salah. Namun, Juna merasa sakit jika diingatkan selalu mengenai perbedaan itu. Perbedaan yang membuat ia mati-matian menyembunyikan perasaannya selama dua tahun lebih.
Setiap kali Juna berangan-angan memiliki gadis yang amat ia cintai itu, selalu saja kenyataan menampar dirinya jatuh. Kenyataan, bahwa mereka selalu berdekatan, tapi perbedaan membuat mereka begitu jauh.
"Apa mungkin aku bisa sama dia?" Tak ada yang menjawab, baik Jarrel maupun Jayden. Keduanya paham, bahwa Juna sedang berperang dengan hati dan pikirannya.
Pikiran itu masih menguasai Juna, bahkan sampai guru yang mengajar dijam pertama masuk ke kelas dan memperkenalkan dirinya serta sistem pembelajarannya, Juna masih sibuk dengan isi kepalanya. Sedikit sekali ia memperhatikan pria dewasa di depan kelas yang memperkenalkan dirinya sebagai Pak Juli itu.
"Juna!" Panggilan menggelegar itu membuat Juna tergagap di bangkunya.
Pak Juli berjalan ke arahnya dan berdiri garang di sebelah meja Juna. Dengan tatapan menusuknya Pak Juli berkata, "Coba jelaskan lagi sistem pembelajaran kita selama satu tahun ke depan."
Susah payah Juna menelan ludahnya. Ia sama sekali tak menangkap apapun yang Pak Juli jelaskan tadi. Pikirannya tak berada dalam kelas ini. Bagaimana mungkin ia bisa menjelaskan kembali sistem pembelajaran yang Pak Juli pakai nanti.
"Cepat, jelaskan!" Sementara, Jarrel dan Jayden tak berani berkutik. Aura dari guru mereka ini terasa mencekam dan berhasil membuat keduanya tunduk.
"Siapa yang bisa membantu teman kalian ini?" Pak Juli memindai satu-satu anak kelas itu. Sampai satu suara berani menyahut, "Saya, Pak!" Suara itu membuat Juna menoleh cepat. Ia hafal suara serak yang tegas itu.
Gadis yang menyita pikirannya beberapa saat lalu mengacungkan tangan. Mengalihkan perhatian Pak Juli darinya. Juna sama sekali tak melepas pandangannya dari gadis bak bidadari itu. Bagaimana dia menjelaskan apa yang Pak Juli minta, bagaimana senyum menawannya yang mengakhiri penjelasannya, dan bagaimana cara dia berbicara pada guru itu, segalanya membuat Juna semakin kagum.
"Berterima kasihlah karena sudah dibantu." Ucapan tegas Pak Juli kembali menarik Juna ke alam nyata.
"Terima kasih, Jeera." Secercah senyum diberikan pada Juna untuk balasan ucapan terima kasihnya. Hal kecil itu rasanya berhasil mengundang bunga-bunga indah bermekaran dalam hati seorang Arjuna.
Senyum itu dapat membuat Juna lupa dengan segala pikiran beratnya tentang perbedaan tadi. Berkat gadis dengan senyuman indahnya, Juna kembali menguasai diri dan fokus pada pembelajaran sampai akhir. Jarrel dan Jayden hanya bisa menggelengkan kepala melihat betapa bucinnya sahabat mereka satu itu.
***
Bab 2
"Di rumah Juna aja." Usulan Jarrel diangguki oleh keempat orang lainnya termasuk tuan rumah.
Mereka duduk membentuk kelompok di salah satu sudut kelas. Atas perintah guru bahasa Indonesia, kelompok beranggotakan lima orang itu berdiskusi mengenai tugas yang harus mereka selesaikan. Hasil keputusan bersama menyatakan, bahwa mereka akan menyelesaikan tugas di rumah Juna. Alasannya sederhana, rumah Juna seperti hotel bintang lima yang akan membuat mereka nyaman dalam mengerjakan tugas.
Juna tak mempersalahkan keputusan itu. Bahkan, ia sangat setuju, sebab ada pujaan hatinya. Takdir begitu baik untuk membiarkan Juna dan Jeera dalam satu kelompok. Dikarenakan posisi duduk mereka yang berhadapan, Juna jadi leluasa untuk mencuri pandang pada gadis cantik itu.
Jujur saja, Juna sulit mendeskripsikan kecantikan yang ada pada diri Jeera dengan tepat. Intinya, mata legam yang sedikit sipit, kulit putih nan halus, serta tahi lalat di ujung mata kirinya, menjadikan Jeera sebagai pemegang tahta paling atas sebagai gadis tercantik.
Juna jatuh hati bukan hanya pada wajah indah itu, juga pada hati Jeera yang teramat baik. Memandang Jeera membuat siapa saja rasakan sejuk di hatinya. Begitu gadis itu berbicara dengan suara halus yang sirat akan ketegasan, maka siapa saja akan mengetahui betapa banyak wawasan yang dia punya.
"Ya udah, jam 4 sore di rumah Juna." Juna mengangkat bibirnya membentuk senyum ketika Jeera menyebut namanya.
"Sampai ketemu nanti," ujar Juna yang dibalas senyuman oleh Jeera dan teman di sampingnya.
Dua gadis di kelompok itu pamit pergi. Memutuskan untuk pulang, karena bel pulang sudah berbunyi sepuluh menit lalu. Tersisalah triple J dan beberapa siswa dalam kelas itu.
"Dasar bucin," celetuk Jarrel yang sejak tadi memperhatikan pandangan lembut Juna pada Jeera.
"Jomblo diam aja. Nggak usah banyak komen." Balasan sinis itu bukan dari Juna, melainkan Jayden. Jarrel melemparkan tatapan sinis pada sahabatnya yang tentu tak berpengaruh apa pun.
"Emang Kamu nggak jomblo? Ngatain orang aja," kesal Jarrel.
"Aku 'kan nggak sewot kaya situ," sindir Jayden yang kali ini benar-benar membuat Jarrel melotot padanya.
"Debat aja kalian terus. Aku mau pulang." Juna bangkit dari duduknya, dengan tas yang ia sandang sebelah bahu, lelaki tampan itu melenggang pergi. Jayden dengan santainya menyusul Juna. Meninggalkan sahabatnya yang sudah amat emosi. Jarrel menggerutu, merutuki sobat karibnya itu dengan segala macam sumpah serapah. Begitu Jayden keluar kelas, dia berteriak, "Dasar, Jayen ngeselin!"
Mereka berdua selalu saja berdebat. Entah tentang hal kecil maupun hal besar. Kepala Juna dibuat seakan pecah, jika mereka sudah adu mulut. Ketahanan Juna menghadapi dua orang itu, membuktikan betapa sabarnya lelaki berkulit putih itu.
Begitu sampai di parkiran, Juna menaiki motor besarnya, disusul Jayden, dan terakhir Jarrel. Dengan kendaraan pribadi, mereka meninggalkan gedung dua tingkat itu dan melaju di jalan raya ke tempat tinggal masing-masing. Jarak sekolah dan rumah Juna tak begitu jauh. Lima belas menit berkendara, Juna sudah memarkirkan motornya di dalam garasi. Melewati pintu samping, Juna masuk dan melangkah ke kamarnya.
Rumahnya lengang, tak ada yang patut ia sapa begitu pulang ke rumah. Paling hanya ada dua pembantu yang membersihkan rumah, mereka pun jarang sekali kelihatan oleh Juna, sebab besarnya rumah lelaki itu dan kemungkinan dua pembantunya sedang bersih-bersih di ruangan lain. Juna terbentuk sebagai seorang yang mencintai kebersihan dan kerapian. Begitu sampai di kamar luasnya, langsung saja ia masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri.
Wajahnya segar ketika ke luar dari ruang mandinya. Ia mengenakan setelan kaos putih dan celana santai hitam. Dirinya menuju balkon kamar dan duduk di salah satu kursi sembari memainkan ponselnya. Dua jam lagi sebelum janji pertemuan kelompok di rumahnya. Si tampan menghabiskan waktunya dengan bermain ponsel. Bukan game, hanya scroll media sosial yang tak begitu menarik. Terpaksa juga ia melakukan hal itu, sebab tak ada hal lain yang bisa ia lakukan. Tidur tak mungkin, melukis juga tak punya cukup waktu, mau keluar rumah juga Juna malas.
Beberapa menit melihat ponsel, Juna meletakkan benda pipih itu di meja dan masuk kembali ke ruangan. Keluar dari kamarnya, lelaki itu berjalan santai menuju dapur. Perutnya sudah berteriak ingin diisi. Seusai makan, akhirnya ia putuskan untuk duduk di sofa ruang tengah. Menghidupkan layar lebar di depannya dan memilih siaran yang menurutnya asik.
Juna pikir baru sebentar ia menonton televisi ketika Jarrel dan Jayden masuk ke rumahnya tanpa permisi dan mengagetkannya. Dengan santainya dua manusia itu ikut duduk di dekatnya, mengambil camilan di atas meja, dan menonton televisi sembari mengunyah makanan ringan itu.
"Biasakan permisi dulu kalo masuk rumah orang," omel Juna yang masih menetralkan jantungnya setelah dikejutkan oleh dua sahabat minus akhlak.
"Kita udah manggil kamu, kok. Karena nggak ada jawaban, makanya kita langsung masuk. Eh, taunya si tuan rumah lagi asik nonton," ujar Jarrel sembari mengunyah kue cokelat yang toplesnya berada di pangkuannya.
"Bentar lagi kayanya Jeera sama Chaca datang. Kita mau pakai ruangan yang mana?" Jarrel memandang Juna, lalu beralih ke Jayden yang barusan bertanya. Dia berkata, "Tuan rumahnya 'kan si Juna, ngapain kamu yang sibuk? Terserah Juna dong mau di mana."
"Orang cuma nanya, 'kan nggak salah juga," balas Jayden tak mau kalah. Sebelum Jarrel sempat buka suara membalas ucapan Jayden, Juna segera berdiri dan bergegas ke arah pintu. Membuat Tom & Jerry batal debat.
"Mau ke mana, Jun?"
"Jeera udah datang," jawab Juna sambil lalu.
"Giliran Jeera datang aja geraknya cepat."
***
Jayden yang berada di sisi kanan Juna menyenggol lelaki itu yang sedari tadi menatap ke depan. Butuh senggolan lebih keras di sikut Juna agar sahabatnya satu itu sadar dan menoleh padanya.
"Jangan diliatin terus. Ntar dia sadar dan nggak nyaman," ingat Jayden seraya melirik Jeera di seberang meja.
"Iya." Juna memandang Jeera sekali lagi. Gadis itu tengah fokus menulis. Sejak tadi Juna memperhatikan Jeera, semakin mengagumi sosok bermata indah itu. Juna memutus pandangannya, mengingat ucapan Jayden yang benar adanya.
"Habis ini ngapain, nih?" tanya Jarrel yang duduk di kursi sembari bermain game di ponselnya.
"Dari tadi kamu nggak ada kerjaan. Bantuin nulis kek," sungut Chaca yang juga sedang menulis.
"Ya udah, sini, biar aku yang nulis." Jarrel beranjak dari kursi dan menghampiri Chaca.
"Ga perlu!" Chaca berucap sambil menjauhkan bukunya dari jangkauan Jarrel. Juna terkekeh, begitupun Jayden ketika melihat Jarrel dengan ekspresi absurdnya.
"Perempuan emang susah dimengerti," keluhnya setelah menghela napas panjang.
Jeera yang sedari tadi fokus menulis menolehkan kepalanya pada Jarrel dan tertawa pelan melihat lucunya ekspresi lelaki itu. Tentunya hal itu tak luput dari pandangan Juna. Ia tersenyum tipis melihat tawa Jeera. Selanjutnya, mereka kembali berbincang ringan dengan sesekali diselingi candaan oleh Jarrel, juga perdebatan lelaki itu dengan Chaca yang mengundang tawa tiga insan lainnya.
Pukul enam tepat tugas kelompok mereka terselesaikan. Chaca buru-buru pergi karena panggilan mendesak dari ayahnya. Gadis itu tak enak pada sahabat yang dia tinggalkan. Dengan wajah memelas Chaca menggenggam tangan Jeera dan berucap, "Maaf, ya, Jeera. Aku harus pergi."
Jeera tersenyum dan mengangguk. "Nggak pa-pa, urusanmu pasti mendesak. Ntar aku pulang naik taxi saja."
"Ah, makasih udah ngertiin aku, Jeera. Kamu emang sahabat terbaik. Aku pergi dulu." Chaca berlari menghampiri mobilnya dan melaju cepat meninggalkan halaman luas rumah Juna. Jeera hendak berbalik masuk ke rumah ketika mendadak Juna berdiri di pintu dan hampir saja Jeera menabrak tubuh tegap itu.
"Bikin kaget aja," keluh Jeera seraya mengelus dadanya.
"Maaf," ucap Juna, "aku kira kamu udah pergi dan ninggalin ini." Juna memberikan tas selempang biru muda pada Jeera.
"Baru aja mau aku ambil. Makasih, ya." Juna mengangguk kecil.
"Aku antar kamu aja, ya?" Juna menawarkan diri begitu melihat Jeera sibuk menghubungi supir taxi online.
"Nggak usah, deh. Aku nunggu taxi online aja di depan." Baru saja Jeera hendak pergi, hujan turun tiba-tiba dengan begitu derasnya. Terpaksa gadis cantik itu mengambil langkah mundur.
Jeera menghembuskan napas panjang. Diliriknya jam tangan kecil yang melingkar manis di pergelangan tangannya menunjukkan pukul enam lewat sepuluh menit. Sudah waktunya untuk beribadah, tapi hujan lebat ini bisa saja membuatnya terlambat.
"Udahlah, biar aku antar. Tunggu di sini." Juna masuk kedalam dan berlari mengambil kunci mobilnya. Melewati Jarrel dan Jayden yang sibuk bermain game.
"Mau ke mana, Jun?" teriak Jarrel dari tempatnya.
"Ngantar Jeera!" balas Juna yang juga berteriak.
Mobil dinyalakan dan Juna bawa melaju dari garasi ke depan pintu utama. Juna keluar dengan payung lebar di tangannya. Berlari kecil menuju Jeera yang tetap berdiri di tempatnya tadi.
"Ayo!" seru Juna disela derasnya hujan yang menghantam tanah.
Juna mengiring Jeera untuk masuk ke mobilnya. Kemudian, memutari mobil dan duduk di belakang kemudi. Mobil itu melaju di antara guyuran hujan menuju rumah Jeera yang alamatnya sudah gadis itu katakan sebelumnya. Memecah suasana canggung, Juna menghidupkan musik klasik dan ikut bersenandung sesekali. Di sampingnya, Jeera menatap keluar jendela, menikmati air yang terus berjatuhan dari langit.
"Em, Jeera," panggil Juna memberanikan diri. Gadis itu menoleh dan melempar pandangan bertanya.
"Nggak pa-pa, sih, suasananya canggung banget." Juna tertawa hambar diakhir ucapannya.
Jeera juga terkekeh mendengar penuturan Juna. "Lagipula, nggak tahu mau bicarain apa," katanya.
"Aku penasaran sesuatu, sih." Jeera memandang sejenak pada Juna, sebelum melihat lurus ke depan lagi.
"Tanya aja."
"Kamu ... kenapa pakai hijab?" Takut membuat Jeera tersinggung, Juna buru-buru menyambung pertanyaannya, "maksudku, aku banyak lihat muslim yang nggak pakai kerudung kaya kamu. Jadi, aku penasaran, kenapa kamu memilih pakai hijab?"
"Ya, karena agamaku mewajibkan setiap umatnya yang perempuan buat pakai hijab. Untuk mereka yang nggak pakai hijab, itu urusan mereka sama Allah. Aku atau siapapun juga nggak bisa menghakimi mereka. Tugasku, menasehati sesama muslim ke jalan yang baik."
Juna mengangguk paham setelah penjelasan Jeera. Ia mengerti pribadi Jeera yang taat pada keyakinannya. Rasanya, Juna masih ingin bertanya tentang Islam yang Jeera anut. Tapi, waktu mereka bersama habis ketika Jeera memberi tahu letak rumahnya pada Juna.
"Makasih, ya, udah repot-repot nganterin aku," ucap Jeera sebelum keluar dari mobil.
"Sama sekali nggak. Makasih juga udah ngerjain tugas Bahasa Indonesia tadi." Mendengar itu Jeera pun tertawa geli.
"Itu 'kan tugas kelompok," katanya. Juna ikut tertawa juga, menampilkan gigi-gigi rapinya. Waktu yang terlalu singkat bagi Juna, tapi ia bersyukur juga. Setidaknya hari ini dia bisa mendengar Jeera berbicara lebih dan dapat mengagumi wajah indah itu lebih lama.
Juna menunggu saat-saat ia bisa bersama Jeera lagi. Entah kapan itu, Juna selalu berharap ada masanya untuk ia berdua dengan Jeera.
***
Bab 3
Selepas mengganti bajunya yang lembab sebab guyuran hujan, Juna bergabung dengan dua sobatnya di sofa depan tv. Jayden dan Jarrel masih setia bermain game sambil sesekali berdebat tentang hal-hal kecil.
Entah mengapa, Juna tak berkeinginan untuk ikut dalam permainan itu. Memang dari dulu lelaki bermata sipit itu tak punya hasrat untuk bermain game. Inginnya lebih besar untuk melukis dibandingkan menatap televisi berlama-lama. Sementara dua manusia di sampingnya sibuk dengan aktivitas mereka, Juna memilih memainkan ponsel. Melihat-lihat gambar indah yang mungkin nantinya bisa ia lukis.
"Yeay! Akhirnya aku bisa menang dari Jayen!" Jarrel berteriak riuh sambil melompat-lompat di atas sofa. Tingkah bak monyet itu membuat Juna risih dan melotot ke arah Jarrel.
"Biasa aja, lah," ketus Jayden yang menekuk wajahnya.
Mengabaikan dua manusia yang terganggu karenanya, Jarrel malah semakin tinggi melompat. Menggeleng-gelengkan kepalanya seperti berdisko. Belum lagi kepalan tangannya yang meninju-ninju udara. Lengkap sudah Jarrel seperti orang kesurupan.
"Woi! Kamu kaya orang kesetanan asli," marah Juna pada teman gilanya itu.
"Kalian berdua sama aja, ngga bisa banget liat orang bahagia," sungut Jarrel yang sudah berhenti dari aksi melompatnya.
Dia kembali bersandar di sofa dengan napas terengah dan sedikit keringat di pelipisnya. Jayden menoyor kepalanya secara tiba-tiba. Membuat lelaki berparas menawan itu mendelik ke arahnya.
"Apaan, sih! Pake noyor pala orang segala," sungut Jarrel sembari mengusap kepalanya.
"Habisnya, kamu gila banget." Ucapan Jayden berhasil membuat Jarrel menghadiahinya tinjuan di lengan.
Mata tajam Jayden melirik sinis pada manusia yang sudah berani meninju lengannya. Dia berdiri, mengambil ancang-ancang untuk balas dendam. Sayangnya, hal itu terpaksa dibatalkan karena ponsel yang berdering di sakunya. Jarrel menghela napas amat lega ketika Jayden berbalik untuk menjawab panggilan masuk. Di sampingnya, Juna terkekeh geli.
"Makanya, jangan cari gara-gara sama Jayen," ucapnya.
"Ya, dia yang mulai duluan, kok," balas Jarrel tak terima.
"Ngalah aja kek kali-kali," Juna meletakkan ponselnya di atas meja. Ia melihat Jarrel dan Jayden bergantian lalu melanjutkan ucapannya, "cape liat kalian berantem tiap hari."
Jarrel terbahak mendengar kejujuran Juna yang tiba-tiba itu. Mukanya sampai merah saking kuatnya dia melepas tawa. Masih dengan tangan yang memegang perutnya, Jarrel berkata, "Ya udah, nggak usah diliat kalo kita berantem." Juna mendengus sebal.
"Eh, aku pulang duluan. Ada urusan." Jayden kembali pada dua sahabatnya untuk pamit.
"Mendadak banget. Urusan apa?" tanya Juna.
"Sama Mama." Juna dan Jarrel mengangguk paham. Sahabat mereka satu itu meraih kunci motornya di atas meja, sekali lagi berpamitan pada Juna dan Jarrel, lalu bergegas pergi.
"Anak bos besar emang beda, ya. Sibuk mulu," celetuk Jarrel begitu Jayden sudah tak ada dalam pandangan mereka lagi.
Juna mengangguk setuju. Jayden sebagai anak pertama, selalu sibuk mengurus perusahaan orang tuanya. Anak yang berbakti, pikir Juna. Jayden bahkan tak mempermasalahkan waktunya yang tersita karena mengurus keperluan perusahaan.
"Orang tua kamu ... ngga ada kabar?" Jarrel amat berhati-hati dengan topik sensitif ini, sebab emosi Juna tak stabil jika sudah menyangkut keluarga.
Bibir yang semula sedikit melengkung ke atas berubah datar seperti garis lurus. Mata legamnya tak lagi menghadirkan pancaran sinar kehidupan. Menyangkut hal keluarga, Juna tak memiliki hasrat untuk membicarakan hal itu.
"Buat apa juga nungguin kabar dari mereka," sarkas Juna.
Rasanya, tak ada kesenangan sedikitpun yang hadir di hati Juna kala ia bicarakan keluarga. Apalah arti keluarga bagi Juna? Dari kecil, tak pernah sedikitpun ia dapatkan kehangatan keluarga yang selalu teman-temannya perbincangkan.
Melihat pancaran kasih dan sayang dari manik orang tua pada sahabatnya, membuat sisi lain dirinya merasa terbebani. Inginnya juga kuat untuk mendapatkan kasih sayang yang sama dari orang tuanya. Tapi, sudahlah. Ia berusaha beradaptasi saja dengan semuanya. Bagaimanapun, bagi Juna rasanya mustahil juga merasakan hangatnya pelukan orang tua.
"Mau ke rumah aku? Bunda pasti seneng kalo kamu ke sana." Jarrel tahu Juna akan berlarut dalam masa lalunya setelah ini. Bodohnya dia yang menanyakan topik sensitif itu malam-malam begini. Maka dari itu, Jarrel coba mengajak sobatnya ini menginap di rumahnya. Setidaknya, dapat membawa lelaki itu keluar dari pikiran masa kelamnya.
"Nggak, deh. Lain waktu aja." Penolakan halus itu ditanggapi anggukan paksa dari Jarrel. Bagaimana jika Juna larut terlalu dalam dan melakukan hal-hal tak terduga?
"Kamu pulang sekarang?"
"Ngusir aku?" tanya Jarrel balik dengan raut sinisnya. Juna tertawa kecil seraya mengangguk.
"Aku mau tidur," ucap Juna. Jarrel tak sepenuhnya percaya pada ucapan itu. Matanya menyipit melihat Juna, mencuragai kebohongan lelaki putih itu.
"Jangan nyusahin orang." Juna mengerti maksud perkataan itu. Ia mengangguk kecil dan mengangkat dua jarinya membentuk peace. Jarrel bangkit dari sofa empuk yang rasanya tak ingin sekali dia tinggalkan. Berpamitan dengan sepatah-dua patah kata, lalu meninggalkan ruangan utama berdesain megah itu.
Setelah Jarrel benar-benar pergi dari rumahnya, Juna berbalik masuk dan melangkah ke kamarnya. Diliriknya jam dinding yang menunjukkan pukul delapan lewat lima belas menit. Masih terlalu cepat untuk segera tidur. Bunyi perutnya yang menyapa pendengaran, membuatnya sadar bahwa ia belum makan malam. Juna memilih untuk makan di luar saja. Sekaligus menghirup udara malam selain dalam rumahnya.
Begitu ia turun menuju garasi, panggilan dari seorang pelayan paruh baya yang bekerja di rumahnya menghentikan langkahnya. Juna menoleh dan mendapati wanita itu sedikit terengah. Mungkin karena berlari mengejarnya di tangga. Wanita dengan celemek yang masih melekat di tubuhnya mengatakan, bahwa makan malam sudah dihidangkan di atas meja.
"Makanannya untuk Bibi aja. Juna pengen makan di luar." Jelas sekali mata wanita kepala empat itu berbinar. Berkali-kali dia ucapkan terima kasih yang dibalas anggukan dan senyum manis dari Juna.
Juna melanjutkan langkahnya yang terhenti. Biasanya, ia akan mengendarai motornya untuk keluar rumah. Tapi, kali ini Juna memilih pergi dengan mobil saja. Lebih ingin menikmati jalanan kota Jakarta.
Mobil silver yang Juna kendarai bergerak pelan. Musik barat dengan melodi lembut menemani perjalanan Juna malam itu. Ia berkeliling sampai menemukan tempat yang pas baginya. Juna turun dari mobil yang menepi di depan bangunan lumayan besar. Tempat ini sangat sering Juna datangi setahun belakang. Berkat rekomendasi Jayden, tempat ini menjadi tempat favorite Juna untuk membeli sate. Tempatnya bersih dan rapi. Semua pelayannya ramah dan memberikan pelayanan sangat baik pada setiap pelanggan.
Juna memesan tiga bungkus sate. Bukan untuknya semua, juga untuk bibi-bibi baik di rumahnya. Karena banyak pelanggan yang datang malam ini, jadilah Juna harus menunggu lebih lama dari biasanya. Sekitar dua puluhan menit Juna baru keluar dari tempat itu. Dahinya berkerut melihat keramaian di jalan. Segera saja ia menuju keramaian itu. Tapi, Juna tak bisa melihat apa yang terjadi karena banyaknya orang yang seakan membentuk benteng pertahanan.
Mengabaikan rasa penasarannya, Juna akhirnya berbalik untuk kembali ke mobilnya. Langkahnya terhenti ketika seseorang menepuk pundaknya dan berkata, "Kamu yang punya mobil 'kan? Tolong bawa korban kecelakaan itu ke rumah sakit." Pria dewasa berkulit gelap itu menunjuk seseorang yang tengah di bopong oleh dua orang warga.
"Tapi-"
"Lukanya butuh penanganan secepatnya. Tolong, ya, Nak?" Juna mengangguk pasrah. Tak apalah, kali ini ia menunda dulu mengisi perut keroncongnya demi menyelamatkan seseorang.
Korban kecelakaan itu di bawa mendekat ke mobil. Dan begitu kagetnya Juna sampai-sampai matanya melotot ingin keluar. Lihatlah seseorang yang bersimbah darah itu, yang menjadi korban kecelakaan tabrak lari, yang harus ia bawa ke rumah sakit secepatnya. Itu ....
"Jeera!"
***
Sejak tadi Juna mondar-mandir di koridor rumah sakit yang lengang. Ia menggigiti kuku telunjuknya berkali-kali. Hatinya tak tenang sebelum melihat dokter keluar dari ruangan dan mendengar penuturan dari ahli itu. Bagaimana Juna bisa tak khawatir? Kondisi Jeera sangat memprihatinkan ketika ia membawanya ke rumah sakit ini. Gadis itu tak sadarkan diri dengan darah yang menghiasi kaki dan pelipisnya. Juna benar-benar berdo'a agar gadis pujaannya baik-baik saja.
"Wali pasien atas nama Jeera?" Juna begitu lega akhirnya bisa melihat dokter dengan jubah kebesarannya berdiri di hadapannya saat ini.
Juna mengangguk. "Bagaimana keadaannya, Dok?"
"Pasien mengalami luka dalam di bagian pelipis yang sudah kami jahit. Ada luka-luka kecil juga di bagian kakinya.”
“Apa kondisinya separah itu, Dok?” tanya Juna memastikan. Ia tak tega mengetahui gadisnya dalam kondisi yang buruk.
“Pasien memiliki pertahanan tubuh yang cukup kuat. Luka-luka itu tidak separah yang kamu bayangkan. Dia mungkin bisa pulih lebih cepat.”
Dokter yang masih memiliki pasien untuk ditangani itu berlalu setelah mengingatkan Juna untuk mengurus administrasi juga. Juna mengangguk dan berucap terima kasih. Ia mengintip ke ruangan Jeera, di mana gadis itu masih setia menutup matanya.
Lelaki itu memutuskan untuk melunasi dulu pembayaran rumah sakit. Lalu, ia masuk ke ruangan tempat Jeera berada dengan plastik hitam berisi sate di genggamannya. Juna mendudukkan dirinya pada sofa dalam ruangan serba putih berbau khas rumah sakit. Memastikan keadaan Jeera yang masih bernapas baik dan menutup matanya, Juna menghela napas. Kemudian, bersiap melahap satenya. Tak bisa lagi ia abaikan perutnya yang meronta ingin diisi.
Saking laparnya lelaki bersurai legam itu, dalam waktu lima menit sate itu sudah ludes. Ia meneguk air dari botol mineral yang ada di meja. Betapa leganya Juna ketika perutnya sudah kenyang. Ia melihat lagi pada Jeera yang masih belum juga membuka kelopak matanya. Wajah Jeera yang pucat dilingkari oleh hijab berwarna cokelat tua. Hati Juna damai dan sejuk melihat wajah tentram Jeera.
Juna bingung harus bagaimana. Ia tak mungkin menginap di sini, juga tak mungkin meninggalkan Jeera sendiri. Tapi, Juna tak juga tau bagaimana menghubungi keluarga gadis berhijab itu. Ia berjalan dan kembali duduk di sofa. Matanya menangkap tas kecil yang diletakkan di meja. Bodoh sekali, Juna! Pasti ada ponsel Jeera dalam tas yang tadi dibawa bersamanya. Cepat-cepat Juna memeriksa keberadaan ponsel dalam tas itu.
Berhasil! Ia menemukan benda pipih berwarna gold. Untungnya ponsel itu tak terkunci oleh kata sandi atau sensor wajah dan sebagainya. Juna memeriksa riwayat panggilan. Matanya menyipit melihat riwayat panggilan yang kosong. Beralih ke kontak yang tersimpan, Juna semakin terheran.
Tak ada kontak disimpan dengan nama 'mama' atau 'papa.' Hanya ada dua kontak tersimpan dalam ponsel Jeera. Chaca, sahabat gadis itu. Juga Bi Inah, yang mungkin keluarga dekatnya.
'Apa kita berada di posisi yang sama, Jee?' batin Juna.
***
Bab 4
Juna menekan ikon panggil pada kontak Bi Inah. Lelaki itu tak perlu menunggu lama agar sambungan tersambung. Suara serak wanita menyapa indra pendengarannya.
["Halo, Non, ada apa telepon Bibi malam-malam gini?"]
Juna menarik napas sejenak lalu berucap, "Ini Juna, temannya Jeera." Dapat Juna dengar Bi Inah ber-oh panjang. Wanita itu minta maaf sudah salah memanggil, dan menanyakan keberadaan Nona-nya.
"Jeera kecelakaan, Bi. Dia di rumah sakit sekarang." Bi Inah benar-benar terpekik kaget di seberang telepon. Dengan panik ia bertanya di mana dia bisa menemui Jeera.
"Rumah sakit pusat kota, Bi. Ruangan lavender." Sambungan itu terputus, setelah Bi Inah berkata dia akan segera menuju rumah sakit itu.
Juna bersyukur ada keluarga Jeera yang bisa ia hubungi. Tapi, mendengar sebutan Bi Inah tadi membuat Juna berpikir, bahwa tak mungkin wanita itu keluarganya. Mungkin pembantu yang sudah sangat dekat dengannya, begitulah pikir Juna.
Kembali disandarkannya tubuh pada sandaran sofa. Sesekali melirik Jeera yang masih juga belum sadar. Sembari menunggu kedatangan Bi Inah dan kesadaran Jeera, Juna memilih memainkan ponselnya. Sekedar membaca artikel tentang pameran lukisan dunia, juga artikel lain yang berkaitan dengan seni.
Decitan pintu ruangan membuat Juna duduk tegap. Wanita gempal dengan pakaian seadanya itu berjalan cepat menghampiri ranjang Jeera. Juna ikut berdiri dan mengambil tempat di belakang wanita yang Juna tebak berusia sekitar setengah abad.
Bi Inah mengusap dan menciumi punggung tangan Jeera penuh kasih. Kentara sekali wanita itu teramat khawatir. Setelahnya, Bi Inah berbalik, memandang Juna yang berdiri dengan senyum ramah di wajahnya.
"Nak Juna yang bawa Non Jeera kemari?" Juna mengangguk.
"Terima kasih, ya, Nak." Sekali lagi Juna mengangguk dan melebarkan senyumannya.
Juna menuntun Bi Inah untuk duduk di sofa. Mereka duduk berdampingan, dengan pandangan yang fokus tertuju ke ranjang Jeera. Juna menatap ke sampingnya, menangkap raut murung Bi Inah. Bibir wanita itu melengkung ke bawah, matanya yang sipit berkedip cepat seakan menahan sesuatu yang mendesak ingin keluar, dan jemari gempalnya saling bertautan dengan remasan yang kuat.
"Kata dokter, bagaimana kondisi Non Jeera?" tanya Bi Inah yang tak melepas pandangannya dari Jeera. Tanpa ada yang dikurangi atau ditambahkan, Juna menceritakan dengan lengkap tentang kondisi Jeera yang diberitahu dokter padanya.
Bertambah cemaslah wanita di samping Juna itu. Berkali-kali Juna dengar Bi Inah menghembuskan napas dan gerakan tubuhnya amat gelisah.
"Berdoa'a saja agar Jeera lekas sadar, Bi." Bi Inah melirik Juna sekejap, lalu mengangguk cepat.
Menit berlalu dengan kesunyian, sebelum akhirnya Bi Inah buka suara. "Non Jeera perempuan kuat dan hebat," ungkapnya membuka cerita. "Non Jeera ditinggal ibunya ketika dia baru saja duduk di sekolah dasar. Jadi, dia hanya tinggal dengan ayah dan adiknya yang masih kecil. Dia tumbuh sebagai kakak yang baik. Baru sekali itu Bibi lihat anak sekolah dasar yang sikapnya begitu dewasa." Bi Inah tersenyum mengenang masa lalu itu.
"Sayangnya, keadaan keluarga itu tidak begitu baik. Ayahnya mabuk-mabukkan dan sering membawa perempuan-perempuan tak benar ke rumah. Dia pun sering memukuli Non Jeera ketika emosinya sedang tidak stabil." Wanita itu kini kembali memasang wajah sedihnya.
"Waktu Non Jeera masuk SMP, dia kembali kehilangan. Adik laki-laki yang amat ia sayangi meninggal karena kecelakaan tabrak lari. Non Jeera sangat terpuruk waktu itu."
"Bibi rasa, sejak itu Non Jeera perlahan berubah. Dia jadi lebih pendiam dan sering melamun. Ditambah lagi kekerasan dari ayahnya yang semakin menjadi, Non Jeera benar-benar menderita. Bibi selalu ngajak Non Jeera buat nginap di rumah Bibi, tapi dia nggak mau. Katanya, dia pengen di kamarnya aja."
Juna mengalihkan pandangannya dari Bi Inah ke arah Jeera. Ternyata, gadis pujaannya juga menjalani hidup yang berat. Siapa yang akan menyangka, Jeera yang dikenal penuh senyum, penuh semangat, dan selalu tegas itu punya cerita penuh luka dalam catatan hidupnya.
"Jeera benar-benar perempuan hebat, ya, Bi," ungkap Juna. Bi Inah mengangguk seraya tersenyum. Dia lalu menoleh pada Juna dan berkata suatu hal yang mengejutkan bagi Juna.
"Kalau Nak Juna yang berada di sisi Non Jeera, Bibi percaya Non Jeera akan bahagia."
Rasanya ada kehangatan yang menyelimuti hati Juna ketika mendapat ucapan dari Bi Inah. Senyumnya mengembang dan ia terkekeh kecil.
"Kenapa Bibi bisa se-percaya itu?"
"Lihat saja sekarang, kamu masih di sini nungguin Non Jeera. Padahal, udah ada Bibi yang jagain Nona. Kamu punya rasa 'kan sama Non Jeera?" Bi Inah tersenyum lebar mendapati Juna dengan ekspresi gugupnya. Untung saja Juna tidak sedang makan atau minum sekarang, karena ia bisa menyemburkannya ketika Bi Inah menebak perasaan hatinya itu. Sungguh, Juna tak menyangka Bi Inah bisa menebak dengan tepat perasaannya.
"Kamu nggak mau pulang?" Juna menggeleng ragu. Takut-takut jika pilihannya salah bagi Bi Inah.
"Sudah kabari orang tua kamu? Nanti mereka susah nyariin kamu." Juna terdiam. Lagi-lagi, topik yang paling ia hindari harus ditanyakan oleh wanita paruh baya di sampingnya ini.
"Juna nggak punya siapa-siapa yang harus dikasih kabar, Bi." Juna rasa, Bi Inah paham dengan ucapannya. Wanita itu buru-buru minta maaf dan berusaha mencari topik pembicaraan lain. Juna bersyukur akan hal itu.
Tak banyak hal yang bisa Juna perbincangkan dengan Bi Inah. Ia bingung ingin membicarakan topik apa, sebab yang ia kuasai hanya tentang seni dan hal berkaitan dengan itu. Sementara, Bi Inah lebih suka bicara tentang gosip-gosip terbaru atau mitos-mitos yang ada pada suatu daerah.
Waktu terasa lama sekali berjalan. Padahal, sekarang baru pukul sembilan lewat seperempat. Juna memilih bangkit dan berjalan ke sisi ranjang. Bi Inah masih di tempatnya, membaca salah satu majalah kesehatan yang ada di atas meja.
Juna memandangi wajah Jeera yang pucat. Mata indah itu terpejam damai. Juna terus berdo'a dalam hati agar pujaan hatinya lekas membuka mata. Ketika hendak berbalik kembali ke kursinya, Juna menangkap lirihan yang amat pelan. Dengan cepat ia menoleh pada Jeera lagi. Gadis berkerudung itu menggumamkan sesuatu yang tak jelas. Juna memanggil Bi Inah yang dengan cepat menghampiri Nona-nya. Langsung saja Bi Inah memeluk Jeera yang kini sudah membuka matanya.
"Non Jeera ... ya ampun, Bibi khawatir banget, Non," ucap Bi Inah seraya mengelus puncak kepala Jeera dengan penuh kasih.
Gadis itu tersenyum yang menjadikan wajah pucatnya sedikit berseri. Jeera menyadari hadirnya Juna dalam ruangan itu. Dia menoleh ke arah Juna di kaki ranjang sebelah kiri.
Melihat arah pandang Jeera, Bi Inah menjelaskan sebelum Nona-nya bertanya. "Nak Juna yang bawa kamu ke rumah sakit. Dia juga yang ngabarin Bibi kalau kamu kecelakaan." Jeera tersenyum kecil, juga sedikit menundukkan kepala sebagai sikap yang menunjukkan rasa terima kasihnya. Juna membalas senyuman itu dengan senyum hangatnya juga.
"Em, aku panggilkan dokter dulu, ya. Buat cek kondisi kamu," ujar Juna. Jeera mengangguk, dan Juna segera pergi selepas pamit juga pada Bi Inah.
***
Juna senang mendengar penuturan baik dari dokter. Begitupun Bi Inah dan Jeera. Bi Inah masih berucap betapa khawatirnya dia dengan Jeera, sementara gadis itu terus-terusan mengatakan tak apa.
“Jangan terlalu memaksakan diri, ya. Kondisi tubuh kamu memang lebih baik dari sebelumnya, tapi luka-luka di tubuh kamu belum membaik sama sekali.” Jeera mengangguk paham mendengar pesan dari dokter. Dokter itu pergi setelah mengingatkan Jeera sekali lagi untuk tidak lupa meminum obatnya.
“Makasih, ya, Bi, udah nemenin Jeera di sini.” Bi Inah lekas memeluk Jeera untuk kesekian kalinya.
“Iya, Non. Bibi pun harus berterima kasih dengan Nak Juna yang udah bawa Non Jeera ke sini dan jagain Non juga sebelum Bibi datang.” Sekali lagi, pandangan Jeera dan Juna bertemu. Gadis itu tersenyum kecil sebelum kembali menundukkan pandangannya.
“Makasih, Juna” Ucapan itu membuat hati Juna menghangat. Bahkan, rasanya banyak kupu-kupu beterbangan dalam perutnya. Ia mengangguk kecil sebagai balasa atas ucapan terima kasih Jeera.
Malam semakin larut, dan Juna memutuskan untuk pulang. Ia berpamitan dengan Bi Inah yang mengucapkan terima kasih berulang kali. Kemudian, ia tersenyum pada Jeera.
“Aku pulang dulu, Jee.” Jeera mengangguk dan balik tersenyum. Juna melangkah menjauh, hingga hilang di balik pintu ruangan.
Senyum tampannya bahkan tak luntur sampai ia masuk ke dalam mobilnya dan melajukan kendaraan itu menuju rumah. Lagu bahagia yang dimainkan dalam mobil, membuat Juna semakin melebarkan senyumnya. Malam itu, Juna yakini ia akan tidur dengan hati yang hangat.
Bab 5
Rasanya lama sekali waktu berganti. Sejak tadi Juna duduk di kursi sembari mengobrol dengan dua sahabatnya, tapi nyatanya waktu hanya berjalan beberapa menit. Beberapa kali ia melirik jam di dinding dengan gerak gelisah. Guru yang mengajar di jam pertama tak kunjung masuk. Ingin sekali ia bolos hari ini, sebab pikirannya tak tenang.
Semalam ia pulang amat larut, setelah memastikan Jeera baik-baik saja bersama Bi Inah. Pagi-pagi sekali, Juna sudah sampai lagi di rumah sakit, sekedar bertanya kabar Jeera. Gadis itu memang mengatakan bahwa ia baik-baik saja, tapi wajah pucatnya tak bisa membohongi Juna. Apalagi, Bi Inah harus bekerja di rumah besar Jeera, jadilah gadis pujaan hati Juna itu tinggal sendiri dalam ruangannya. Meski ada perawat yang mengecek keadaan Jeera secara berkala, tetap saja Juna tak bisa tenang sekarang. Ia ingin pembelajaran segera selesai agar bisa menghampiri bidadari-nya.
"Ngapain, sih, Jun? Gelisah banget dari tadi," celetuk Jarrel yang menyadari kegelisahan temannya itu. Juna baru ingin bersuara menjawab pertanyaan Jarrel, tapi terpaksa ia urungkan karena guru muda masuk ke kelas mereka.
"Anak-anak, saya dapat kabar buruk dari kepala sekolah. Salah satu teman kelas kalian menjadi korban tabrak lari dan sekarang menjalani perawatan di rumah sakit." Seisi kelas jadi riuh, kecuali Juna tentunya.
"Siapa, Bu?" tanya salah seorang siswa berkacamata.
"Hajeera." Kini kelas semakin ribut. Banyak mulut menggumamkan kedukaan mereka. Pasalnya, Jeera adalah teman istimewa bagi mereka. Gadis itu menonjol dalam segala bidang, maka kabar yang mereka dapat hari ini sangat berpengaruh.
Di tempat triple J berada, Jarrel menyikut Juna yang sejak tadi diam saja. "Jeera masuk rumah sakit, lho. Kamu nggak khawatir gitu?" tanyanya.
"Dasar, Jarrel bego! Jelaslah orang khawatir. Pake nanya lagi." Bukan Juna yang menyahut, tapi teman debatnya Jarrel. Jarrel berdecak sebal dan melayangkan tinjunya ke arah wajah Jayden, tak mengenai wajah tampan itu, sebab Jarrel tak mau dirinya dibalas dan jadi babak belur oleh si badan kekar.
Usai melemparkan tatapan membunuh yang tak berpengaruh pada Jayden, Jarrel melirik Juna yang seakan tak bernyawa. Ditepuknya pundak lelaki itu agar roh-nya kembali kedalam tubuh.
"Masih niat hidup 'kan, Jun?"
"Aku yang bawa Jeera ke rumah sakit semalam." Jarrel membuka mulutnya lebar, serta matanya yang membola.
"Kenapa nggak cerita, sih?" protesnya. Juna diam saja dengan tampang menawannya itu. Sedikit tersenyum kaku untuk meluluhkan Jarrel yang emosi.
"Ketua kelas!" Triple J terpaksa berhenti mengobrol dan menoleh pada wanita di depan kelas yang sedari tadi bicara, tapi tak mereka gubris.
"Iya, Bu," jawab Jayden selaku leader kelas.
"Nanti kamu ajak dua teman untuk menjenguk Hajeera. Bawakan buah atau makanan lain untuk dia juga." Jayden mengangguk sopan dengan senyum mengembang di wajahnya.
Setelahnya, guru itu keluar lagi. Katanya, kelas mereka kosong sampai jam istirahat nanti.
"Jangan ribut dan tetap di dalam kelas." Begitulah pesan guru muda tadi. Tentunya, tak dipatuhi seisi kelas. Kelas jadi sangat ribut. Jayden tak berusaha menghentikan rusuhnya kelas mereka, karena dia pun tak ingin suasana yang sunyi-sunyi saja.
Kembali lagi pada Jarrel yang menatap marah sahabat karibnya. Juna tak tahan ditatap seperti itu, maka ia ceritakan segala kejadian yang ia lalui semalam secara detail tanpa terkecuali.
"Jadi, sekarang Jeera sendiri di rumah sakit?" pasti Jarrel yang mood-nya sudah kembali baik.
"Dia nggak sendiri. Ada dokter, perawat, pasien lain, satpam, tukang masak, tukang bersih-ber—"
"Diem, Jayen! Aku nanya Juna bukan Kamu!"
"Iya, dia di ruangannya sendiri." Juna menjawab, sebab tak tahan mendengar perdebatan yang akan semakin panjang lagi jika tak dihentikan.
"Ya udah, ke sana aja sekarang." Jayden berdiri dari kursinya dan menatap temannya bergantian.
"Ngapain melongo? Ayo!" Dengan begitu, Juna dan Jarrel mengikuti bapak leader mereka ke parkiran. Mengambil alih kendaraan masing-masing, dan melaju menuju rumah sakit.
***
Juna memimpin arah ke ruangan Jeera berada. Ia mengetuk pintu dan minta izin untuk masuk.
"Ngapain pake izin segala? 'kan tinggal masuk," ujar Jarrel yang hobinya protes.
"Biar sopan," sahut Juna yang melangkah masuk ketika Jeera mengizinkan mereka.
Ternyata, tak hanya Jeera yang ada di ruangan itu. Sudah ada sahabatnya yang sibuk berceloteh tentang banyak hal. Tiga lelaki menawan itu memilih duduk di sofa.
"Ini buat kamu, ya." Jayden selaku ketua kelas yang baik meletakkan sekeranjang buah di atas meja dekat ranjang Jeera. Gadis itu tersenyum seraya mengucapkan terima kasih.
Suasana dalam ruangan itu tak canggung seperti yang awalnya Juna duga. Berkat adanya Jarrel dan Chaca yang berkepribadian terlalu ceria, mereka yang ada dalam ruangan itu melepas tawa tanpa canggung. Anggapan Juna, dia dan dua temannya tak begitu dekat dengan Jeera ataupun Chaca. Mereka hanya kenal sebagai teman sekelas selama tiga tahun. Tapi, melihat bagaimana Jarrel dan Chaca bercanda, agaknya kenyataan yang ada perlu diragukan. Mereka seperti sepasang kekasih, sungguh!
Waktu bergulir begitu cepat ketika Juna tak menghitung waktu. Jayden juga sudah memberi kode padanya untuk segera pulang. Namun, Juna enggan sekali untuk meninggalkan ruang inap. Lagipula, mereka masih asik berbincang.
"Kamu di sini sendirian terus, ya?" Jeera mengangguk untuk pertanyaan Jarrel.
"Nggak takut, Ra?"
"Jeera nggak penakut kaya kamu." Jayden menyahuti ucapan Jarrel.
"Siapa yang penakut? Kamu aja kali yang penakut. Dasar, anak mama!" Jayden melotot pada Jarrel. Sementara tersangkanya itu memeletkan lidah mengejek.
"Kamu juga anak bunda! Dikit-dikit bunda, ada masalah dikit, manggil bunda. Semuanya sama bunda," sarkas Jayden.
"Heh! Anak mama diem aja, dah. Aku aduin mama ntar." Jarrel memang tak mau kalah debat dengan partner cekcoknya itu.
Sementara mereka berdua melanjutkan perdebatan, Juna diam saja sembari memperhatikan Jeera. Gadis itu melihat perdebatan Jayden dan Jarrel juga, tapi wajahnya amat murung. Berbeda dengan Chaca di sebelahnya yang tertawa puas menonton debat tak berpanggung itu. Terlintas lagi kata-kata Bi Inah di pikiran Juna. Tentang keluarga Jeera yang tak begitu baik. Juna agaknya bisa menebak sebab Jeera berwajah sendu.
"Coba, deh, nggak debat sekali aja. Cape ni telinga dengerin kalian debat," ujar Juna pada dua sahabatnya yang sama-sama keras kepala.
"Dia yang mulai," sungut Jarrel.
"Kenapa kamu mau ngeladenin?" balas Jayden tak mau disalahkan.
"Udahlah, kalian itu sama aja." Kali ini Chaca bersuara untuk memisahkan perdebatan temannya. Untungnya, Jayden dan Jarrel menurut untuk tidak lagi melanjutkan perdebatan mereka. Pembahasan beralih ke topik lain, dengan Chaca dan Jarrel sebagai penghidup suasana.
Sampai tiba waktunya Jayden mengajak Juna dan Jarrel untuk pulang. Sebagai ketua kelas yang baik, Jayden memberi kata-kata semangat untuk salah satu anggota kelasnya itu. Jarrel pun demikian. Setelahnya, Jayden dan Jarrel keluar dengan Chaca ditarik paksa oleh Jarrel.
Ketika Juna menghampiri gadis pujaan hatinya, ingin sekali ia mengucapkan banyak hal. Juna tahu selama ia dan teman-temannya di sini tadi, Jeera menahan sakitnya, yang harusnya tak perlu dia lakukan. Juna tahu, Jeera merindukan hadir sebuah keluarga, saat perdebatan Jarrel dan Jayden tadi. Juna memperhatikan gadisnya dengan baik.
"Kalau sakit, nggak usah disembunyiin." Jeera menatap sedikit terkejut pada Juna.
"Kalau merasa terbebani dengan topik pembicaraan kita, bilang aja, Jee. Aku juga dengan senang hati nerima curhatan kamu tentang apa pun. Cerita aja, ya, kalo ada masalah." Juna mengakhiri ucapannya dengan senyuman teduh.
Jeera mengalihkan pandangannya pada selimut yang menghangatkan tubuhnya. Mengapa ada rasa hangat yang menyelimuti hatinya saat Juna mengucapkan kata-kata itu?
"Aku pulang dulu," pamit Juna. Jeera mengangguk, masih dengan matanya yang menatap selimut. Ketika Juna berbalik dan mulai melangkah, Jeera bersuara, "Terima kasih, Juna."
***
Bab 6
Malam ini cuaca cerah sekali. Juna bisa melihat bintang-bintang indah yang bertebaran menghiasi langit gelap di atas sana. Semilir angin lembut menyapa wajah tampannya. Lelaki berbalut kaos putih itu sangat menikmati malam yang indah ini.
Sedari tadi ia tersenyum menatap ponsel di genggamannya. Setiap kali ada notifikasi pesan masuk, dengan cepat akan dibukanya. Bertambah lebar lah senyum tercetak di paras menawan itu.
Siapa lagi yang bisa membuat seorang Raigalen Arjuna senyum-senyum sendiri, selain Jeera? Hanya gadis itu satu-satunya yang selalu berhasil membuat Juna menarik garis bibirnya. Isi pesan Jeera tak berbau romantis sedikitpun. Mereka hanya bertukar kabar, lebih tepatnya Juna yang menanyai kabar Jeera. Namun, seperti itulah sosok yang sedang jatuh cinta. Pesan sesingkat apa pun akan membuat ia berbunga-bunga.
Juna memutuskan untuk menjenguk Jeera malam ini. Sudah ia katakan pada gadis itu, bahwa ia akan pergi ke sana. Juna beranjak dari kursi di balkon kamarnya, bergegas mengganti pakaian dengan yang lebih rapi, lalu melangkah cepat keluar kamar.
Ketika langkah Juna menapaki anak tangga terakhir, ia berhenti. Tubuhnya membeku, matanya tak mengerjap sama sekali, pandangan itu lurus ke depan, ke arah pintu yang menyuguhkan suatu pemandangan tak biasa.
Dua pria dewasa membawa koper-koper besar masuk ke rumah, pelayan wanita yang biasa menemani Juna di rumah pun ikut membawa beberapa barang lain dari arah luar. Selanjutnya, sepasang suami dan istri melangkahkan kaki mereka ke rumah megah yang sudah Juna tempati belasan tahun. Juna tak tahu bagaimana perasaannya saat ini. Segalanya terasa berkecamuk dalam hatinya. Sungguh tak bisa ia definisikan.
Orang-orang itu masih tak menyadari keberadaan Juna di anak tangga terakhir. Wanita berparas anggun dengan balutan gaun merahnya sibuk memberi perintah-perintah tentang peletakan barang bawaannya. Sementara si suami memilih duduk bersandar di sofa ruang utama. Selepasnya, dua pria pembawa koper berlalu pergi. Tersisa dua pelayan wanita yang membereskan barang-barang sesuai aturan si nyonya. Dalam posisinya yang bersandar di sofa, pria itu bertanya, "Di mana Arjuna?"
Barulah salah satu pelayan wanita memandang ke arah tangga, dan mendapati Juna yang berdiri kaku di sana. Pria berkemeja hitam yang awalnya duduk bersandar, kini menegakkan tubuhnya. Melihat Juna dengan tatapan tak berarti.
"Dari kapan kamu di sana?" Juna tak menjawab pertanyaan dari pria itu.
"Kamu bisu atau tuli?" Kini keadaan senyap, sebab aura dingin yang menguar dari si pria berkemeja hitam.
"Ngapain kalian di sini?" Suara Juna bergetar. Menahan sesuatu yang bergejolak, seakan itu bisa meledak kapan saja.
Juna tetap tak bergerak dari tempatnya, ketika pria itu bangkit dari tempatnya dan berjalan angkuh ke arah Juna. Pria yang lebih tinggi dari Juna itu melempar tatapan sinis.
"Kamu nggak berubah sama sekali," Juna menatap balik iris mata kelam di hadapannya. Tak menyahut sampai pria dewasa itu melanjutkan ucapannya, "tetap anak pembangkang pembawa sial!" Bersamaan dengan nada suara yang meninggi, sebuah tinjuan kencang mendarat di pipi kanan Juna.
Saking kuatnya hantaman itu hingga membuat Juna terhuyung dan terhempas ke samping. Kepala Juna berdenyut hebat. Ia rasakan saraf-saraf matanya ikut sakit. Tak direncanakan, air matanya menggenang begitu saja akibat dari rasa sakit di bagian wajah kanannya.
Seruan tertahan memenuhi ruang utama yang begitu megah itu. Dua pelayan wanita amat tak tega melihat tuan muda mereka diperlakukan sedemikian rupa. Namun, tak ada yang bisa mereka lakukan untuk menghentikan aksi si tuan besar.
"Bibi ke belakang aja, gih," pinta si wanita bergaun merah dengan ekspresi biasa saja. Terpaksa dua pelayan itu pergi meninggalkan ruang utama untuk diisi hanya oleh keluarga kecil yang tak harmonis.
Juna bangkit dari posisi terjatuhnya, kembali berdiri dengan rasa sakit yang berusaha ia tahan dengan menekan pipinya.
"Kalian juga nggak berubah," desis Juna.
Tangan pria itu kembali terangkat untuk menampik wajah Juna, tapi tertahan oleh si wanita.
"Udah, Pa, terserah dia aja." Wanita itu menarik suaminya menjauh, pergi meninggalkan Juna sendiri.
Tak menghabiskan waktu untuk terus meratapi nasib buruknya, Juna memilih keluar dari rumah megahnya. Membawa mobilnya melaju di jalanan Jakarta.
Lima tahun terakhir ia hidup tanpa kasih sayang orang tua. Tak ada ayah yang mengajaknya berjalan. Tak juga ada ibu yang menemaninya belajar. Juna melakukan semua hal sendiri. Dan itu tak mudah baginya. Susah payah ia berusaha untuk selalu kuat. Untuk selalu mengingat kata-kata, bahwa lelaki itu kuat dan tak mudah menyerah. Untuk terus hidup dan berharap akan ada keajaiban yang menanti di depan.
Perlahan, ia sadar. Betapa tingginya harapan yang ia punya. Mustahil baginya untuk rasakan hangatnya pelukan orang tua. Tak akan ada cerita yang bisa ia bagikan pada ayah atau ibu kandungnya. Melihat dirinya saja, mereka sudah muak dan benci. Bagaimana untuk sekedar menanyakan ceritanya tentang hari ini? Juna tahu, ayah dan ibunya tak akan sudi melakukan hal itu.
Bohong, jika Juna tak merindukan kedua malaikat dunianya itu. Namun, tak ada daya baginya untuk menuntut pada mereka. Juna hanya tak ingin terlihat lemah di depan mereka, maka ia berusaha untuk membalas setiap ucapan sang ayah.
Sakit sebenarnya, mengucapkan kata-kata yang begitu tak sopan pada ayah, tapi hanya itu yang mampu Juna lakukan. Berharap, hal yang ia lakukan juga mampu menekan hatinya untuk tak merasa rindu lagi pada mereka.
***
Dorongan dari hatinya membawa Juna ke rumah sakit. Ia sudah berada tepat di depan pintu ruangan Jeera saat ini. Diketuknya pintu tiga kali, lalu dari dalam Jeera menyahut dan memberi izin Juna untuk masuk.
Gadis itu tengah memakan potongan apel di piring ketika Juna tersenyum menyapa. Ia menghampiri Jeera dan bertanya, "Gimana kabar kamu?"
"Udah lebih baik." Juna lega mendengar itu.
"Mau?" Jeera menyodorkan piring di pangkuannya pada Juna. Dengan halus Juna menolak. Membiarkan gadis itu menghabisi buah kaya vitamin yang baik untuk tubuhnya.
"Bi Inah nggak ke sini?" Juna membuka obrolan, setelah ia menempatkan dirinya pada kursi di samping ranjang Jeera.
"Kayanya nggak, deh."
"Sampe besok kamu bakal sendiri berarti?" Jeera mengangguk wajar.
"Ngga ada yang perlu dikhawatirkan, sih. Perawat rutin masuk ke ruangan, makanan juga selalu ada. So, aku sendiri di sini pun nggak masalah," ucap Jeera dengan senyum manis di wajahnya. Agaknya raut khawatir Juna terlalu kentara sampai Jeera berucap demikian. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal, lalu tersenyum kikuk menanggapi ucapan Jeera.
Jeera hendak meletakkan piring kosong ke atas meja, dengan gesit Juna mengambil alih piring itu. Ia tahu Jeera kesusahan melakukan hal itu dengan kondisi seperti sekarang.
"Makasih," ujar Jeera yang dibalas anggukan kecil oleh Juna.
"Eh," Jeera memfokuskan pandangannya pada wajah Juna, lalu bersuara, "kamu habis ngapain? Kok, wajah kamu memar?"
Juna mengerjap cepat sembari memegang memar di wajahnya. Ah, ia lupa jika tinjuan kuat tadi meninggalkan bekas.
"Ng-nggak pa-pa, kok. Kepentok pintu doang."
"Kepentok pintu?" Juna mengangguk cepat berharap gadis di depannya percaya.
Nyatanya, Jeera tertawa kecil mendengar jawaban itu. Membuat Juna heran dan bertanya-tanya mengapa Jeera malah tertawa?
"Kamu nggak jago bohong. Jujur aja, deh, Jun." Juna tak lagi berkata-kata. Ia lupa kalau Jeera adalah gadis istimewa dengan segudang keahlian. Tentunya, kebohongan Juna akan dengan mudah ia ketahui.
Juna tetap diam untuk beberapa waktu. Sampai Jeera memintanya kembali untuk bercerita dengan jujur. Juna masih menimang-nimang untuk berbagi kisahnya atau tidak. Lelaki berparas menawan yang malam itu mengenakan kemeja biru langit menghela napas sebelum berkata, "Kamu aja nggak mau cerita jujur sama aku. Gimana aku mau cerita sama kamu?"
Jeera sedikit terkejut dengan pernyataan dan pertanyaan itu. "Memangnya harus gitu?" tanyanya. Juna mengangguk. Kemudian meneruskan, "Malam ini berbagi kisah, mau?"
Sempat terdiam sejenak, sebelum akhirnya Jeera mengangguk setuju. Juna tersenyum teduh. Malam ini mungkin akan jadi malam berkesan baginya. Ini waktu untuk mengenal dan jadi semakin dekat dengan gadis pujaannya.
***
"Mama aku udah nggak ada sejak aku kecil banget," kata Jeera mengawali ceritanya, "aku tinggal sama papa dan Regan, adik aku. Aku ngerasa udah nggak punya semangat hidup lagi setelah mama pergi. Seakan nggak ada sosok yang bisa aku banggain, tapi untungnya ada Regan. Dia yang bikin aku kuat lagi buat menghadapi hidup." Juna tak melepaskan pandangannya dari wajah Jeera yang tertunduk.
"Waktu aku udah bener-bener baik lagi, Allah kasih cobaan kedua buat aku. Aku kehilangan Regan." Agaknya sesi bercerita malam itu membuat Jeera kembali mengingat masa lampaunya.
Wajah cantik itu dibasahi air mata. Dia tetap tertunduk, isakannya pun tak terdengar, hanya air mata yang bisa Juna lihat. Ia tak tega melihat Jeera seperti itu.
"Jee, kalo kamu nggak mau lanjutin, nggak usah. Aku nggak bermaksud bikin kamu kaya gini. Maafin aku." Juna merasa amat bersalah sudah menuntut Jeera untuk cerita tentang hidupnya.
Ia berdiri dan mendekati Jeera. Tangannya terulur untuk membawa gadis itu ke dalam dekapannya, tapi suara Jeera menghentikan pergerakan lelaki itu. "Maaf, jangan terlalu dekat." Juna bingung, tapi tetap mengangguk. Dengan kikuk Juna mundur dan kembali ke tempat duduknya. Ia berpikir, di mana letak kesalahannya. Kenapa Jeera melarangnya untuk mendekat dan memeluk gadis itu?
Di hadapannya, kini Jeera sudah mampu menguasai dirinya lagi. Gadis itu telah menghapus jejak-jejak air mata di pipinya. Wajah manis yang seputih mutiara itu terangkat dan tersenyum secerah biasanya lagi.
Jeera adalah satu-satunya orang dengan akting terhebat yang Juna kenal. Secepat kilat Jeera kembali cerah, setelah berurai air mata beberapa menit lalu.
"Maaf, ya, udah bikin kamu ngelihat sisi lemah aku," katanya.
"Ngapain minta maaf? 'kan nggak ada salahnya juga." Jeera mengedikkan bahu dan tertawa kecil.
"Selama ini aku nggak pernah cerita sama siapapun bahkan, sama Chaca aja nggak. Aku always nyimpen sendiri, sedih sendiri, nangis sendiri. Jadi, rasanya beda aja, malam ini aku nangis, tapi ada kamu di sini." Sekali lagi Jeera tertawa. Tawa kecil yang Juna anggap bukan sepenuhnya tawa suka.
"Maaf, Jee, karena aku, kamu jadi sedih." Juna benar-benar menyesal telah mengajak Jeera bercerita malam ini.
"Nggak masalah. Sekarang, aku ngerasa sedikit lega. Setidaknya, ada orang yang dengerin cerita aku."
Juna menatap mata indah yang berair itu amat teduh. Bibirnya membentuk senyum. Begitupun dengan gadis pemilik bola mata indah, juga ikut tersenyum pada Juna. Desir angin mengisi kesunyian yang tercipta di antara dua insan itu. Baru saja Juna ingin buka suara, pintu ruangan terbuka dan menampilkan wanita paruh baya yang datang dengan senyum lebarnya.
Juna menunduk sopan dan tersenyum menyambut kedatangannya. Bi Inah mengusap puncak kepala Juna penuh kasih. Kemudian, menghampiri Jeera dan memeluk gadis yang dia anggap anak sendiri.
"Gimana keadaan kamu?" tanya Bi Inah setelah melepas pelukannya.
"Makin baik, kok, Bi." Jeera menampilkan senyum manis di wajahnya. Bi Inah tersenyum lega dan berucap syukur. Dipeluknya Jeera sekali lagi seraya mengecup puncak kepala berbalut kerudung itu.
Bi Inah memandang Juna dan bertanya, "Sudah lama kamu di sini?"
"Lumayan, sih, Bi." Bi Inah mengangguk-anggukkan kepalanya.
Juna yang semula duduk di bangku samping ranjang, berpindah untuk mendudukkan diri di sofa. Membiarkan Bi Inah duduk lebih dekat dengan Jeera.
Bi Inah adalah wanita penuh semangat dan sangat suka bercerita. Berkat pribadinya itu, ruang inap yang ditempati Jeera dilingkupi gelak tawa. Bi Inah benar-benar membuat Jeera dan Juna terhibur malam itu.
Di sela tawanya, Juna mencuri pandang pada gadis pujaan hati. Lelaki bermata sipit itu tersenyum melihat sang bidadari melepas tawanya. Baginya, Jeera semakin cantik dalam rupa bahagia seperti itu. Ingin sekali Juna membuat tawa itu bertahan untuk waktu yang lama.
Ia kembali pada kenyataan, saat Bi Inah memanggil namanya. Sedikit tergagap Juna menyahuti panggilan itu.
"Bibi minta tolong sama kamu buat jagain Non Jeera kalau Bibi ngga bisa datang." Juna mengangguk cepat. Tanpa diminta pun, Juna dengan senang hati meluangkan waktunya untuk kemari.
"Nggak usah, Jun. Ngerepotin kamu banget," sahut Jeera. Gadis itu memandang Bi Inah dengan teduh.
"Bi, Jeera nggak pa-pa, kok, sendirian di sini. Bibi nggak perlu khawatir."
Bi Inah ingin kembali bersuara, tapi Juna lebih dulu menanggapi ucapan Jeera. "Nggak masalah, Jee. Bi Inah khawatir kalau kamu sendirian di sini. Begitu juga aku. Nggak masalah, aku bakal datang ke sini setelah selesai kelas."
Juna memberi senyum hangat pada Jeera. Gadis itu menunduk. Juna tahu, Jeera sangat tidak suka merepotkan orang lain. Namun, bagaimanapun dalam keadaan sakit seperti itu, wajar jika Jeera butuh teman selama dia di rumah sakit.
Bi Inah membenarkan ucapan Juna. Wanita paruh baya itu berkata, bahwa semuanya juga untuk kebaikan Jeera. Berkat ucapan Bi Inah, Jeera akhirnya luluh dan setuju untuk ditemani Juna selama Bi Inah tak ada.
Jarum jam terus berdetak. Jarum yang lebih panjang menunjuk angka sebelas. Bi Inah berdiri dari duduknya, lalu menghampiri Jeera. Menciumi dahi gadis cantik itu, selepasnya berlalu pergi meninggalkan ruangan.
Malam sudah larut. Bi Inah sudah kembali ke rumahnya untuk mengurus keluarga kecilnya pula. Namun, Juna masih tak beranjak dari tempatnya. Masih setia duduk dan sesekali bercakap dengan Jeera.
"Kamu nggak ada kisah yang mau diceritain?" tanya Jeera ketika mereka kehabisan topik untuk dibicarakan.
Juna berlagak berpikir sejenak. Kemudian, menatap Jeera dan menggelengkan kepala. "Kayanya aku nggak punya apa-apa yang mau diceritain," ucapnya.
"Awalnya 'kan yang ngajak cerita kamu. Aku udah ceritain tentang aku. Masa kamu nggak cerita, sih!" Jeera mengomel dengan wajah tertekuk. Dalam hatinya merutuki Juna yang lupa perkataannya sendiri saat awal datang tadi.
Melihat gadis pujaan hatinya dalam ekspresi tak menyenangkan, malah membuat Juna gemas sendiri. Betapa ingin ia menghampiri gadis itu dan mencubit kedua pipi gembungnya. Ah, biarlah khayalan itu berlalu bagai angin.
Juna terkekeh kecil. Ia berdiri dari sofa, lalu memilih duduk di kursi samping ranjang. Sejenak ia hanya menatap wajah cantik Jeera, lalu berkata, "Cerita aku rumit banget. Waktunya nggak bakal cukup kalo cerita malam ini. Lain waktu, ya?"
Jeera melirik Juna. Gadis itu mengangguk kecil dan kembali menunduk. Hening di antara mereka. Jeera yang sibuk memainkan jemarinya dan Juna yang menghabiskan waktunya hanya dengan memandang paras indah gadis di depannya.
"Em, kamu nggak dicariin kalo masih di luar jam segini?" Jeera memecah keheningan yang terjadi beberapa saat.
Juna menggeleng. "Nggak ada siapa pun yang bakal peduliin aku."
Jeera menatap lelaki yang baru saja menjawab pertanyaannya. Wajah itu sendu. Jelas sekali ada gurat kesedihan di sana. Jeera menanti apa yang akan Juna ucapkan selanjutnya, tetapi lelaki itu hanya diam. Sampai ia berdiri dan pamit pulang.
"Istirahat yang cukup. Besok pulang sekolah aku bakal ke sini." Hanya itu yang Juna ucapkan. Ia pergi tanpa menatap manik mata Jeera.
Mata Jeera terus menatap punggung tegap yang menjauh dan hilang di balik pintu. Dia terdiam sembari memikirkan raut Juna tadi. Lelaki itu pasti punya beban berat sampai ia berwajah semurung itu ketika bicara soal keluarga.
Jeera menghela napas. Dia merebahkan tubuhnya dan bersiap tidur. Pikirannya masih membayangi wajah Juna. Mendadak saja pikiran bodoh menyapanya. Wajah Juna yang tersenyum, jauh lebih tampan dari pada ketika dia murung. Jeera tersipu memikirkan itu.
"Aish, Jeera! Ngapain mikirin Juna, sih?" gumam gadis yang pipinya kini dijalari warna merah. Dia meraih bantal dan menutupi wajahnya. Senyum indahnya menemani gadis itu terlelap.
***
Bab 7
Juna mengendarai mobilnya dengan pelan sekali. Pikirannya kacau, dan hatinya tak tenang. Andai saja Juna bisa menginap di rumah sakit tempat Jeera di rawat, maka akan ia lakukan hal itu. Ia tak akan memikirkan banyak hal ketika ia bersama Jeera. Hatinya akan selalu tenang ketika bicara dengan gadis pemilik bola mata indah itu. Namun, hal itu tak bisa terjadi. Ia menghormati agama yang Jeera yakini. Gadis itu memberi tahunya bagaimana batasan laki-laki dan perempuan dalam agamanya, dan Juna menghormati itu.
Dalam suasana yang begitu buruk, Juna menepikan mobilnya di depan halte bus yang tak befungsi lagi. Tak ada satupun lampu yang menyala untuk menerangi halte bus itu. Agaknya, pemberhentian bus di sini tidak efektif, sehingga dipindahkan ke tempat yang lain.
Juna menaruh kepalanya di kemudi. Ia pejamkan matanya dan berusaha menghalau bayang-bayang masa lalu. Juna tak mampu mengingat kenangan masa lampaunya. Sakit pada hari itu bahkan, masih dapat ia rasakan dengan jelas sekarang. Ia benar-benar tak ingin bayangan itu kembali menghantuinya, dan ia melalui hari-hari menyedihkan lagi.
Berkecamuk dengan hati dan pikirannya sendiri, membuat Juna meneteskan air mata. Seberapa kuatpun ia menghapus ingatan itu, tetap saja tak bisa. Hari buruk itu adalah hal yang selalu ingin ia lupakan, tapi tak pernah bisa.
Juna membiarkan air matanya jatuh begitu saja. Ia menyerah pada hatinya. Ia membiarkan bayangan hari buruk itu kembali menggerogoti pikirannya dan merobek hatinya. Juna hanya mampu menangis ketika rasa sakit itu kembali datang, terasa begitu nyata. Wajah lelaki yang senantiasa ia rindukan, kini berada di hadapannya.
Juna menatap mata yang begitu mirip dengannya itu. Lelaki itu memandangnya dengan sedih. “Kenapa kamu pergi?” lirih Juna dengan air mata yang belum berhenti mengalir.
“Kenapa kamu sampai segininya, Jun?” Lelaki itu mendekat dan menyentuh pipi Juna. Juna biarkan itu terjadi, dan ia masih tak berusaha menghentikan tangisnya. Ini yang ia rindukan. Kenapa sulit sekali mendapat sentuhan kasih sayang seperti ini, Tuhan?
“Kamu harus bisa berdamai dengan diri sendiri, Juna. Aku pergi bukan karena kamu, tapi inilah takdir aku. Kamu harus berhenti nyalahin diri sendiri, Jun.”
“Kamu nggak ngerti! Papa sama mama selalu lampiasin perasaan mereka ke aku! Mereka selalu salahin aku atas kepergian kamu. Kamu nggak ngerasain gimana rasanya nggak dianggap oleh orang tua sendiri. Kamu nggak ngerti gimana sulitnya aku berjuang untuk terus hidup sampai sekarang. Kamu nggak paham sama penderitaan aku selama ini. Kamu ngga ngerti itu semua!” Juna berteriak dengan seluruh tenaganya. Meluapkan semua yang ia rasakan selama ini.
“Juna,” suara itu mengalun lembut, “aku emang nggak ngerasain apa yang selama ini kamu rasain. Aku memang ngga paham betapa sulitnya kamu jalanin hidup setelah kejadian hari itu. Tapi, Jun, kamu harus tau kalau aku nggak pernah mau kamu seterpuruk ini. Aku selalu minta kebahagiaan buat kamu. Selalu pengen kamu dapat yang terbaik dalam hidup kamu.” Juna menatap mata lelaki di hadapannya yang menyatakan ketulusan. Juna menghentikan tangisnya, dan merasakan lelaki itu menepuk pelan puncak kepalanya.
“Kamu kuat, Jun! Aku percaya itu.” Juna hanya diam.
Kelebat bayangan itu perlahan hilang. Juna menundukkan kepalanya, masih merasakan rindu yang belum terobati sepenuhnya. Lama ia termenung, sebelum ponselnya berdering dan menarik dirinya kembali ke kenyataan.
Juna mengangkat telepon dari sahabat karibnya. Lelaki di seberang telepon berteriak nyaring menanyakan tugas yang akan mereka kumpulkan besok. Juna yang masih dalam suasana kacau, hanya diam mendengarkan. Tak berniat menyahut sama sekali.
[“Jun! baik?”]
“Aku kangen Juan.”
***
Jarrel bergegas pergi menuju tempat Juna berada. Mengabaikan hari yang sudah lewat tengah malam, Jarrel mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Sampai di tempat yang begitu sunyi dan gelap, Jarrel mendapati mobil Juna terparkir di antara suasana kelam itu. Buru-buru dia turun dari motornya dan menghampiri mobil Juna.
“Jun!” Jarrel mengetok jendela mobil dengan kencang. Dia terus melakukan hal itu sampai pintu mobil terbuka dan Jarrel menyentak pintu itu agar memberi ruang untuknya melihat Juna.
Juna tetap terduduk dengan pandangan menunduk. Jarrel menyentuh pundaknya, lalu merematnya pelan. Sahabatnya begitu mengenaskan malam ini. Jarrel mencoba mengajak Juna bicara. Dirangkulnya bahu Juna, lalu berbisik, “Jun, ayo pulang,” tak ada reaksi apapun dari Juna, “kamu perlu istirahat, Jun.” Lelaki bermata sembab itu menoleh pada Jarrel. Tak ada pancaran apapun dari mata itu, hanya tatapan kosong.
“Mereka pulang … aku ngga mau pulang ke rumah itu,” ujar Juna.
Jarrel mengerti maksudnya. Dia mengangguk dan mengatakan akan membawa Juna pulang ke rumahnya saja. Juna setuju, lalu menarik dirinya untuk pindah ke kursi penumpang. Ia biarkan Jarrel mengendarai mobilnya menuju rumah sahabat karibnya itu.
Tak ada percakapan sama sekali selama perjalanan mereka. Juna yang masih harus menenangkan dirinya, memilih untuk memejamkan mata. Jarrel yang mengerti kondisi sahabatnya, hanya fokus pada kemudi dan membiarkan Juna memiliki waktunya sendiri.
Mobil menepi di halaman rumah Jarrel yang luas. Keduanya turun dan langsung masuk ke rumah. Tak ada sambutan dari siapapun mengingat waktu sekarang adalah waktunya orang normal untuk tidur. Jarrel memimpin jalan menuju kamarnya. Mereka memasuki kamar bernuansa hitam putih dengan aroma coffe. Jarrel membiarkan Juna untuk langsung berbaring di kasur king size miliknya. Dia memutuskan turun ke bawah untuk mengambil beberapa minuman. Kemudian, kembali ke kamar dan meletakkan minuman itu di meja.
“Tidur, Jun?” tanya Jarrel yang melihat Juna memejamkan matanya.
Juna membuka matanya, lalu menggeleng. Ia duduk dan mengambil coffe latte di atas meja. Jarrel ikut duduk di sebelahnya dengan coca cola di tangannya. Suasana diam untuk beberapa waktu, sampai Juna mulai buka suara, “Makasih, Bro.” Ia menepuk pundak Jarrel sembari tersenyum kecil. Menanggapi itu Jarrel tersenyum dan mengangguk.
“Sobat emang harus gitu ‘kan? Selalu ada.” Ucapannya ia akhiri dengan satu alis yang diangkat seperti menggoda. Juna terkekeh. Beruntung sekali memiliki sahabat humoris seperti dua sobatnya.
“Aku nggak tau kapan bakal pulang. Nginep di sini setahun bisa nggak?” tanya Juna dengan tampang seriusnya.
“Of course, Brodi! Asalkan bayar uang sewa.” Juna berdecih mendengarnya, sementara lelaki humoris itu tersenyum bangga.
“Kamu nyamperin aku pake apa tadi?” Pertanyaan Juna membuat Jarrel teringat motor yang ia tinggalkan di dekat halte sepi tadi.
Dia menepuk dahinya sebelum menjawab pertanyaan Juna, “Motor.”
“Astaga, gimana mau sekolah besok?”
“’Kan ada kamu. Ya, pake mobil kamu lah.” Juna menghela napas berat melihat temannya yang memberi cengiran lebar.
Mereka masih berbincang sebentar tentang banyak hal. Dari mulai hal wajar sampai pembahasan tak wajar seperti, kenapa mereka tidak diciptakan dengan sayap saja? Jarrel terlalu malas untuk berjalan kesana-kemari. Malam semakin larut, Juna memutuskan untuk tidur. Jarrel juga tertidur setelah ia meneguk sekaleng coca cola lagi.
Sudah beberapa menit berlalu sejak Juna memilih berbaring dan memejamkan matanya, tapi kini ia tak kunjung tertidur. Ia melirik pada Jarrel yang sudah tertidur pulas, bahkan sampai mendengkur. Juna menatap langit-langit kamar, membiarkan pikirannya hanyut ke masa lampau.
“Juan …. “
***
Juan dan Juna, saudara yang begitu mirip. Siapapun yang baru mengenal mereka, akan sangat sulit untuk membedakan kakak-beradik itu. Keduanya tumbuh dalam keluarga kaya yang menjunjung tinggi kehormatan keluarga. Keduanya disekolahkan di sekolah terbaik dengan pendidikan tinggi. Tak cukup hanya belajar di sekolah, mereka juga mendapat les privat khusus setelah pulang sekolah bersama guru internasional. Keseharian Juan dan Juna adalah belajar dan terus belajar. Begitulah orang tua mereka mendidik anaknya.
Dalam aturan keluarga, mereka tak boleh bergaul dengan anak-anak yang tak se-level dengan keluarga mereka. Tak boleh menolak undangan untuk hadir dalam acara keluarga, dan tak boleh terlalu bebas. Artinya, semua kehidupan mereka ada dalam aturan orang tua. Masa depan mereka akan ditentukan oleh orang tua mereka.
Juna adalah anak laki-laki baik yang begitu menurut pada aturan-aturan itu. Ia sangat takut untuk melanggar, bahkan jika itu tak diketahui orang tuanya. Segala aturan dan permintaan dari orang tuanya, akan selalu Juna lakukan.
Sangat berbanding terbalik dengan Juan. Anak sulung itu sangat keras kepala. Ia suka menghabiskan malam bersama teman-temannya di tongkrongan mereka. Jika orang tuanya tak ada di rumah, itulah kesempatan emas bagi Juan untuk melakukan apapun semaunya.
Melihat tingkah kakaknya, Juna sebenarnya takut. Takut jika nanti orang tua mereka tau dan memberi hukuman pada Juan. Juna selalu mengingatkan Juan, meski lelaki itu lebih tua darinya satu tahun. Bukannya mendengarkan pesan Juna, Juan malah mengajak adiknya untuk ikut bersenang-senang. Tentunya Juna menolak hal itu dengan alasan takut melanggar aturan.
“Jun, kamu juga harus ngelakuin hal-hal yang buat kamu bahagia. Sesekali ngelanggar aturan tuh ngga pa-pa,” ujar Juan saat Juna masih mencoba menahannya agar tak pergi malam itu.
“Mama sama papa bakal marah kalo tau ini.”
“Buktinya sampe sekarang mereka nggak tau, Jun.” Juan akhirnya mampu membungkam Juna.
Begitulah setiap saat. Juan selalu berhasil menjawab apapun yang Juna katakan. Lelaki itu tetap pergi, berapa kalipun Juna menahannya. Juna menghela napas melihat Juan yang menghilang di balik pintu besar rumah mereka. Juna pun akhirnya berbalik, lalu melangkah kembali ke kamar.
Ia merebahkan diri di atas kasur besarnya. Diraihnya ponsel di atas nakas, berniat menghilangkan rasa bosannya dengan menonton film di benda pipih itu. Sayangnya, pesan masuk dari ibundanya membuat Juna duduk tegak dan mengurungkan niatnya menonton film.
Secepat kilat Juna mengambil jaket dan kunci motornya. Ia mengumpat ketika di anak tangga terakhir, helmnya malah tertinggal di kamar. Kembali ia berlari ke kamar mengambil pelindung kepala itu, lalu melesat ke garasi dan mengendarai motornya di tengah jalanan temaram. Dalam hatinya Juna berulang kali mengutuk kakak laki-lakinya yang keras kepala. Kalau tau begini akhirnya, pastilah Juna tadi mengerahkan segala upayanya untuk menahan Juan agar tetap di rumah.
Dari balik kaca hitam helm yang Juna kenakan, ia melihat Juan yang duduk bersama teman-temannya di satu pondokan kecil. Juna menepikan motornya di seberang tempat itu. Masih dengan helm di kepala, Juna berteriak memanggil kakaknya dari seberang jalan. Melihat sama sekali tak ada yang mendengar panggilannya, Juna berlari kecil menyeberangi jalanan sengang itu. Naasnya, ia tersandung dan terjerembab di aspal yang agak lembab. Ponsel dan kunci motor yang tadinya berada di genggamannya, kini terlempar ke sisi lain jalanan.
“Ssh …. “ Sedikit meringis, Juna kembali berdiri dan berjalan memungut kunci motor dan ponselnya.
Detik itulah yang menjadi kutukan bagi Juna, karena dari arah belakang, sebuah mobil tanpa lampu melaju cepat sekali ke arah Juna. Ketika ia berbalik, dan menyadari dirinya dalam bahaya, semuanya sudah terlambat. Juna hanya menutup matanya erat-erat. Ia rasakan seseorang memeluk tubuhnya dari depan, lalu bunyi dentuman memekakkan telinganya. Tubuhnya serasa melayang di udara untuk beberapa detik, sebelum akhirnya ia rasakan badannya remuk menghempas jalanan keras.
Ia memaksa matanya terbuka untuk melihat apa yang terjadi. Di sela teriakan histeris yang ada di sekitar, ia mengenali suara ibunya. Suara malaikat dunianya yang memanggil sang kakak. Penglihatannya sempat jelas, dan ia menangkap sosok tubuh terkapar di seberangnya. Di sana jugalah ibunya berjongkok sembari terus menangis histeris. Juna ingin ke sana, menghampiri ibunya dan memeluk wanita baik itu, tapi badannya tak mau diajak kerja sama. Detik selanjutnya, ia pun kehilangan kesadaran.
***
Juna terbangun dengan napas terengah. Hari buruk beberapa tahun silam kembali menjelma sebagai bunga tidurnya. Ia menepis keringat di dahinya, lalu melirik jam dinding yang menunjukkan hari masih jam lima pagi. Juna menghela napas, entah jam berapa ia tertidur semalam, dan sudah terbangun sepagi ini.
Malas untuk kembali tidur, Juna memutuskan untuk mandi. Untungnya rumah Jarrel adalah rumah kedua baginya, jadi ia tak perlu risau mencari seragam sekolah yang akan dipakai, karena ia meninggalkan satu seragam di rumah sahabatnya. Sepagi itu, Juna sudah siap dengan seragamnya. Bahkan, Jarrel saja masih bergumul dengan selimutnya.
Juna memilih berjalan di sekitar kediaman Jarrel. Menghirup udara pagi yang segar sedikit membantu Juna merilekskan otaknya. Di salah satu toko yang belum buka, Juna memilih duduk di bangku yang ada di sana. Ia memeriksa ponselnya, kalau-kalau ada pesan penting yang masuk. Pemuda itu tersenyum miris, siapa juga yang akan mencarinya yang hilang baru semalam.
Baru saja Juna hendak memasukkan kembali ponselnya ke saku, notifikasi masuk berhasil mengurungkan aksinya. Pesan masuk itu dari gadis pujaan hatinya. Senyum Juna jadi secerah mentari pagi. Dibukanya pesan itu, yang ternyata Jeera memberi tahunya bahwa gadis itu diperbolehkan pulang hari ini. Dibandingkan membalas pesan dari Jeera, Juna lebih suka bertemu langsung. Ia segera berlari kembali ke rumah Jarrel untuk mengambil mobilnya, lalu melaju menuju rumah sakit. Pemuda itu bahkan melupakan sahabatnya yang masih tertidur di kamarnya. Begitulah seseorang yang dimabuk cinta.
Sampai di parkiran rumah sakit, Juna membuka obrolannya dan Jeera, lalu menekan ikon panggil pada kontak Jeera. Tak butuh waktu lama untuk terhubung dengan gadis cantik itu.
“Jee,” panggil Juna dengan suara rendahnya.
[“Iya. Kenapa, Jun?”]
“Kamu di mana? Udah pulang?” Sembari menelepon, Juna terus berjalan menuju ruang inap Jeera.
[“Belum. Ini lagi siap-siap mau pulang.”] Tepat setelah Jeera menjawab pertanyaan Juna, lelaki itu sudah sampai di depan pintu ruangan yang terbuka. Ada suster dan Bi Inah yang mengemas barang-barang Jeera.
Juna menyapa suster dan Bi Inah dengan ramah, lalu menghampiri Jeera yang masih menempelkan ponselnya di telinga. Juna tersenyum melihat ekspresi kaget Jeera. Keduanya memutuskan sambungan telepon dan saling berbalas senyum.
“Kok nggak bilang-bilang kalo kamu mau ke sini?” tanya Jeera membuka obrolan.
“Kejutan!” Juna membentang kedua tangannya, memperagakan kejutan yang ia maksud. Jeera tertawa renyah melihat itu.
Juna pun ikut tertawa. Tawa Jeera bahkan lebih damai dari pada udara pagi ini. Juna melihat barang-barang Jeera yang sudah dikemasi. “Kamu pulang naik apa, Jee?”
“Taxi, sih.”
“Aku antar aja, ya?” tawar Juna.
“Eh, kamu kan mau sekolah. Ntar ngerepotin kamu.” Jeera mencoba menolak tawaran itu dengan halus. Tentunya ia tak ingin jadi beban untuk Juna.
“Ngga pa-pa, sama aku aja.” Tanpa menunggu jawaban Jeera lagi, Juna mengangkat barang-barang Jeera untuk dibawa ke mobilnya.
“Ayo, Bi,” ajak Juna.
“Ah, Bibi harus ke rumah dulu, Nak. Kamu tolong jaga Non Jeera baik-baik, ya.” Juna mengangguk cepat. Sudah pasti Jeera nomor satu baginya.
“Ayo, Jee, butuh bantuan?” Juna bertanya khawatir melihat Jeera yang masih sempoyongan berjalan.
Gadis itu menggeleng dan berkata yakin, “Bisa sendiri, kok.” Keduanya pun berjalan berdampingan menuju mobil Juna yang terparkir di parkiran. Sementara, Bi Inah sudah pamit untuk pergi lebih dulu.
Usai menata semua barang Jeera di bagasi, Juna duduk di belakang kemudi dan melajukan mobilnya membelah jalanan kota. Ini kali kedua Juna mengantarkan Jeera ke rumahnya, tapi kali ini suasananya jauh berbeda. Tak ada lagi kecanggungan di antara keduanya. Obrolan mereka santai dan mengalir begitu saja.
Dari obrolan santai itu Juna tau bahwa, gadis berkerudung cokelat di sebelahnya adalah penikmat coffe latte sama seperti dirinya. Jeera suka brownies dengan topping cokelat putih, dan suka donut dengan topping cokelat putih juga.
“Kebanyakan orang suka cokelat, tapi aku lebih suka cokelat putih, sih. Itu lebih enak,” ucap Jeera tentang kesukaannya.
“Aku suka semua cokelat. Cokelat hijau, biru, merah, semuanya aku suka,” balas Juna berceloteh.
“Emang ada, ya?” Jeera melirik Juna dengan pandangan cemoohnya.
“Ada, dong.”
Jeera terkekeh, lalu lanjut bertanya, “Trus dari semua cokelat, kamu paling suka yang mana, Jun?”
Juna menoleh pada Jeera yang kini juga memandangnya. Untuk beberapa detik, pandangan mereka beradu. Bibir Juna bergerak menjawab pertanyaan Jeera, “Aku lebih suka kamu.” Jawaban tak terduga dari Juna membuat Jeera terpaku. Dia terkekeh sebelum memalingkan wajahnya ke depan.
Juna menahan senyumnya. Merasa malu juga setelah keceplosan mengungkapkan perasaannya. Ia yang bicara, ia juga yang malu. Juna melirik Jeera yang hanya menatap ke depan. Karena tak ingin suasana berubah canggung lagi, Juna memberanikan diri untuk bicara.
“Eh, Jee, sorry, maksudnya ngga serius.”
“Iya, iya, tau kok,” balas Jeera diiringi kekehan khasnya. Setelahnya, secara ajaib suasana dalam mobil itu kembali seperti biasa, santai dan asik. Seakan apa yang Juna katakan tadi memang hanya sebuah bualan.
Juna berpikir, apakah Jeera benar-benar tak menginginkan ucapan itu darinya? Atau Jeera tak nyaman jika Juna merasakan hal yang lebih daripada sekedar teman? Banyak sekali pertanyaan yang berputar di otak Juna.
***
Bab 8
Dari rumah Jeera, Juna langsung melajukan mobilnya ke sekolah. Kini ia sudah berada di parkiran sekolah tepat ketika bel masuk berbunyi nyaring. Sebelum keluar dari mobil, ia memeriksa barang dalam mobilnya, takut-takut jika nanti ada yang tertinggal olehnya. Juna menyerngit melihat sebuah dompet yang bukan miliknya ada di bawah jok penumpang. Ia meraih dompet itu, tapi sebuah kartu keluar dari sana. Ketika Juna lihat, itu adalah kartu tanda kependudukan milik Jeera. Ia memperhatikan foto Jeera di KTP itu, lalu tersenyum manis setelahnya. Jeera manis sekali dalam foto itu. Juna juga melihat tanggal lahir dari sang gadis pujaannya. Sejenak, ia terpaku. Tanggal lahirnya sama dengan seseorang dalam hidupnya.
Entah Juna harus bagaimana di hari itu. Antara senang dan juga sedih di hari ulang tahun seseorang yang sama-sama berarti dalam hidupnya. Membuang sejenak kebimbangannya, Juna menyimpan dompet itu dalam tasnya. Ia keluar dari mobil dan berlari kecil menuju kelasnya.
“Dari mana kamu? Tau nggak orang cape nyariin.” Baru saja Juna duduk di tempatnya, Jarrel sudah menyemburnya dengan pertanyaan.
“Habis ngantar Jeera pulang,” jawab Juna tak bersalah.
“Gimana keadaannya?” Giliran Jayden yang bertanya.
“Udah lebih baik.”
“Coba, deh, kalo mau pergi tuh bilang-bilang. Biar orang nggak stres nyariin.” Jarrel masih setia mengomel tentang kepergian Juna yang tanpa sepengetahuannya.
“Tumben banget kamu peduli,” celetuk Juna.
Jarrel mengangkat dagunya dan membusungkan dada. Berlagak seolah dia adalah pahlawan yang mendapat penghargaan. “Aku ‘kan emang selalu peduli,” ujarnya membanggakan diri.
“Jijik,” sembur Jayden sambil menoyor kepala sohibnya itu. Juna yang melihatnya tertawa. Dan menit berikutnya, Juna biarkan Jarrel dan Jayden dalam rutinitasnnya berdebat tentang semua hal.
Juna kembali memikirkan hari ulang tahun Jeera tiga hari lagi. Kembali ia ingat, kegiatan yang biasa ia lakukan pada tanggal itu. Sama sekali tidak mengenakkan. Juna menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. Menghembuskan napas panjang, Juna menetapkan hatinya untuk melakukan hal berbeda di tanggal ulang tahun gadis itu. Sedikit membuat kenangan manis di hari itu mungkin tak masalah, pikirnya.
Guru yang mengajar di jam pertama masuk ke kelas, dan pembelajaran pun dimulai. Juna menyimak semua materi dari guru tersebut sambil sesekali mencatat hal-hal penting di bukunya. Sementara dua temannya, masih Juna dengar sesekali mereka berdebat. Juna jadi geleng-geleng kepala sendiri. Di tengah pembelajaran pun mereka masih setia berdebat. Sungguh tak habis pikir.
Waktu berlalu begitu saja, sampai akhirnya bel pulang berbunyi. Juna membereskan barang-barangnya. Ia berniat mengembalikan dompet Jeera setelah ini. Bersamaan dengan Jarrel dan Jayden, Juna keluar dari kelas dan menuju parkiran. Ia melihat motor Jarrel yang sudah terparkir seperti biasanya di parkiran.
“Kapan kamu ambil motor?” tanya Juna sebelum ia masuk ke mobil.
“Ya tadi pagi lah. Si Jayden yang nganter. Kamu, sih, nggak setia kawan!” cerocos Jarrel yang sudah mengenakan helmnya.
“Untung aja tu motor nggak dimaling,” sahut Jayden yang kini sudah berada di atas motornya.
“Ya kalo motor aku ilang, aku tinggal nebeng sama kalian aja.” Jarrel menjulurkan lidahnya ke arah Jayden, memancing perdebatan lagi.
“Ogah bawa kamu. Mending bonceng cewe.”
“Masih ada Juna yang setia,” ucap Jarrel sambil merangkul Juna yang sudah jengah dengan perdebatan sahabatnya.
“Eleh, tadi aja bilangin Juna nggak setia kawan,” ejek Jayden lagi.
“Tadi ya tadi, sekarang beda lagi.”
“Woi, belum lagi nyampe semenit kamu bilang gitu.”
“Pokoknya beda!” geram Jarrel.
“Udah, udah. Mending pulang,” erai Juna pada akhirnya. Juna melepaskan diri dari Jarrel dan masuk ke mobilnya.
“Aku mau ke rumah Jeera dulu,” info Juna pada dua sahabatnya yang masih saling melempar tatapan tajam.
“Bucin emang susah,” gumam Jayden sebelum ia menyalakan motornya dan bersiap pergi.
“Aku juga otw cari cewe,” celetuk Jarrel. Dia ikut menyalakan mesin motor, lalu melaju keluar dari parkiran, diikuti Jayden di belakangnya.
Juna terkekeh mendengar tanggapan dari dua sahabatnya. Ia menyalakan mesin mobilnya, lalu berlalu keluar dari parkiran. Membelah jalanan ibu kota, Juna ditemanai lagu santai dalam mobilnya. Sampai ia akhirnya tiba di depan rumah Jeera. Juna keluar dari mobil dan berdiri di depan pagar yang menjulang tinggi. Ia menekan bel di tiang pagar dan menunggu seseorang membukakan pagar.
Tak lama, wanita paruh baya membukakan pagar untuk Juna. “Oh, Nak Juna!” serunya. Juna mengangguk ramah pada Bi Inah. Ia mengutarakan maksud kedatangannya yang ingin mengembalikan dompet Jeera.
Bi Inah menuntun Juna untuk masuk dan menunggu Jeera di rumah saja. Juna mengikuti langkah Bi Inah masuk ke dalam rumah yang besar. Ia duduk menunggu di ruang tengah Jeera yang didesain sangat bagus.
Berlalu beberapa menit, Juna melihat Jeera turun dari lantai atas. Senyum di wajah tampan Juna otomatis saja terbentuk. Jeera cantik dalam balutan hijab matchanya. Gadis itu duduk di seberang Juna dan menawarkan Juna untuk memakan kue yang ada di meja.
“Nih, dompet kamu jatuh di mobil aku.” Juna memberikan dompet cokelat itu pada pemiliknya.
“Ah, ternyata jatuh di mobil kamu. Aku cariin ini tadi,” Jeera mengambil dompet itu dan berucap, “makasih, ya.”
Juna mengangguk menanggapinya. Jeera membuka obrolan dengan menanyakan materi pelajaran hari ini. Tentu dengan senang hati Juna menjelaskan secara singkat tentang apa saja yang dipelajari di sekolah tadi. Keduanya hanyut berbincang sambil melahap kue kering yang dengan bangga Jeera katakan itu buatan Bi Inah. Hari itu, Juna bahagia sekali bisa berbincang lama dengan pujaan hatinya.
Mereka menghabiskan waktu cukup lama untuk berbincang santai. Melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya, Juna rasa ia sudah cukup lama duduk dalam rumah gadis yang dicintainya. Maka, ia putuskan untuk pamit pulang.
"Makasih, ya, Juna, udah repot-repot kembaliin dompet aku," ulang Jeera sekali lagi sebelum Juna pulang.
"Iya, santai aja. Aku pulang dulu, ya. Cepet balik ke sekolah lagi, Jee, banyak yang kangen soalnya." Juna mengiringi candaannya dengan kekehan ringan.
Jeera pun turut tersenyum mendengar ucapan Juna. Dia mengangguk, lalu mengacungkan jempolnya kepada Juna tanda mengerti.
"Yaudah, kamu masuk dulu, gih."
"Aku liatin kamu pergi aja dulu," usul Jeera.
"Udahlah, sana masuk," ucap Juna yang tak menerima penolakan dari gadis di hadapannya.
Akhirnya, Jeera mengikuti ucapan Juna. Dia melambaikan tangan pada Juna sebelum kembali masuk ke dalam rumahnya. Juna tersenyum hangat. Perasaannya bahagia sekali setelah bertemu dan berbincang dengan Jeera. Ia berjalan menuju mobilnya, baru akan masuk ke dalam mobil, sebuah suara menghentikan langkahnya.
"Kamu siapa?" Suara bariton itu milik seseorang yang kini berada di hadapan Juna dengan seragam kantornya yang tak begitu rapi.
Juna masih diam untuk beberapa saat. Ia masih bingung ingin bereaksi bagaimana kepada seseorang yang belum ia kenali ini.
"Ngapain kamu di rumah saya?" Barulah Juna sadar, bahwa yang berdiri di hadapannya saat ini adalah ayah dari gadis pujaannya.
Juna memberi senyum seramah mungkin, dan sedikit menunduk sebagai permintaan maafnya yang sempat linglung sejenak. "Saya Juna, Om. Temennya Jeera," ujar Juna memperkenalkan diri.
"Ada perlu apa kamu ke sini?" Nada dingin dari suara ayah Jeera membuat Juna berhati-hati.
"Saya ke sini buat ngembaliin barang Jeera, Om." Dapat Juna lihat pria di hadapannya menautkan alis.
"Barang apa? Kenapa bisa ada sama kamu?"
Juna merasa sedang diinterogasi sekarang. Ia mencoba tetap tersenyum, lalu menjawab, "Kemarin saya ngantar Jeera pulang dari rumah sakit. Trus dompetnya ketinggalan di mobil saya, Om. Hari ini saya kembalikan dompetnya ke Jeera, Om."
Juna berdo'a agar ia tak salah pilih kata untuk berbicara dengan pria pemilik mata tajam di hadapannya ini. Ia harap dirinya tidak membuat kesan buruk untuk pertemuan pertama. Ayah Jeera menghembuskan napas berat. Juna gugup untuk sekedar mendengar tanggapan dari ceritanya.
"Saya ingatkan kamu hari ini. Jauhi anak saya!" Perintah itu begitu jelas di telinga Juna. Ia tidak lagi tersenyum sekarang. Titah ayah Jeera membuatnya tak menentu.
"Jangan coba-coba dekati Jeera! Sekolah saja yang benar, lihat diri sendiri, sudahkah pantas untuk mendekati anak gadis orang?" Menusuk sekali ke hati Juna. Ia diam, tak tahu lagi apa yang harus ia katakan dan lakukan.
"Jangan sampai saya melihat wajah kamu lagi," sinis pria dewasa itu sebelum berlalu pergi memasuki rumahnya.
Sama sekali tak Juna sangka akan berakhir seperti ini pertemuan pertamanya dengan ayah dari gadis yang ia cinta. Belum lagi Juna mulai serius memperjuangkan Jeera, tapi dinding kokoh sudah dibangun mengelilingi Jeera. Bagaimana ia harus bertindak?
***
Bab 9
Juna berjalan menyusuri koridor sekolah yang masih amat sepi. Menunduk melihat lantai keramik yang ia pijak, tapi sesungguhnya pikirannya tak benar-benar ada di situ. Kilas pertemuan dengan ayah Jeera kemarin membuat pikirannya tak menentu.
Sepulang dari rumah Jeera, Juna melajukan mobilnya menuju rumah Jarrel. Seharian itu ia diam tanpa banyak bertingkah. Bahkan, tak ia pedulikan Jayden dan Jarrel yang ribut merusuh karena game yang mereka mainkan.
Ia hanya berbaring dan memejamkan matanya. Mencoba tidur untuk menghilangkan kekacauan hati dan pikirannya saat itu. Namun, berapa jam ia lewatkan sia-sia. Ngantuk tak kunjung menyapa dan mengantarkannya pada dunia mimpi. Ia tak ingat jam berapa ia tidur semalam, dan pagi ini ia datang ke sekolah sebelum alarm Jarrel berbunyi. Juna biarkan dua sobatnya itu masih terlelap di kamar besar Jarrel. Juna ingin waktu sendiri untuk merenungkan kembali perkara hatinya.
Di kelas yang masih kosong, ia mendudukkan dirinya di tempat biasa. Menaruh kepalanya di atas tangan yang bertumpu di meja, Juna kembali mengingat perkataan ayah Jeera kemarin.
"Apa aku dipandang nggak pantas buat Jeera?" tanyanya pada diri sendiri.
"Apa baiknya aku mundur aja? Tapi, aku bahkan belum berjuang buat dapetin Jeera." Juna menghembuskan napas berat.
Sungguh ia tak tahu bagaimana harus bertindak. Jika nanti ia menjadi seperti hanya seorang kenalan dan teman sekelas saja dengan Jeera, apa artinya perbincangan dan kepeduliannya pada Jeera seminggu belakang. Juna sudah terlanjur menganggap kedekatan mereka sebagai seorang teman akrab. Bagaimana bisa ia bersikap seolah-olah Jeera tak begitu penting? Memikirkan itu, Juna kembali membuang napas gusar.
"Apa yang kurang dari aku?" Lagi, Juna memikirkan ucapan ayah Jeera tentang intropeksi diri.
"Apa yang harus aku ubah biar ayahnya anggap aku pantas buat anaknya?" Tak dapat jawaban tak membuat Juna berhenti bertanya pada dirinya sendiri.
Kini ia sandarkan kepalanya di kursi. Memandang langit-langit kelas sembari mengingat lagi kenangan yang ia buat bersama Jeera. Garis tipis di wajahnya tertarik membentuk lengkungan. Hanya hal-hal yang berkaitan dengan Jeera yang dapat membuatnya tersenyum lagi.
"Oi! Gila kamu senyum-senyum sendiri." Suara itu menyentak Juna kembali ke kenyataan. Sudah berdiri di depannya dua sahabat karibnya, memandangnya dengan tampang masam.
"Apa?" tanya Juna.
"Nanya lagi," jawab Jarrel dengan cemberut.
"Jam berapa kamu berangkat? Main ninggalin kita aja," timpal Jayden yang kini duduk di kursinya.
"Kalian keliatan tidur nyenyak banget, yaudah aku berangkat duluan aja. Sekalian menikmati pagi yang cerah," jelas Juna pada sahabatnya.
"Alah, alasan aja terus," cibir Jarrel.
"Maaf, deh." Juna akhirnya mengalah. Memandang dua sahabatnya dengan senyum menawan.
"Traktir makan siang, ya," ujar Jarrel yang wajahnya kini berubah jadi cerah, mengalahkan cerahnya mentari pagi di luar ruangan.
Juna berdecak. Pasti selalu ada imbalan dari permintaan. Ia mengangguk, menolak juga pasti sobatnya akan memaksa untuk mengiyakan. Anggukan Juna mengundang tawa dari Jarrel dan Jayden. Siapa yang tidak senang dengan traktiran 'kan?
Setelahnya mereka mengobrol sembari menunggu pelajaran dimulai. Bersama orang-orang yang ia sayang, membuat Juna sedikit melupakan risaunya hati yang ia rasakan. Juna bersyukur punya sahabat baik yang selalu mengerti keadaannya, selalu memberi kepedulian dan waktunya, selalu menjadi pendengar ceritanya, dan juga sebagai pemecah masalah yang ia alami. Setidaknya, setelah keluarga benar-benar tak lagi berarti bahagia baginya, masih ada dua sahabat yang akan menjadi rumah bagi Juna.
Obrolan tripple J itu berhenti ketika guru yang mengajar di pelajaran pertama memasuki kelas mereka. Memulai pembelajarannya dengan cek kehadiran siswa, lalu menanyakan tugas minggu lalu.
Selalu saja ada yang tak mengumpulkan tugas dengan banyak alasan. Berlanjutlah pagi itu mereka mendengarkan ceramah panjang Bu Siska perkara tugas. Di sela penyampaian nasehatnya, seseorang mengetuk pintu kelas yang tentunya menjadi perhatian seluruh siswa. Tak terkecuali tripple J.
"Maaf, Bu, saya terlambat datang," ucapnya dengan sedikit menunduk.
"Oh, Jeera. Sudah sembuh, Nak?" Bu Siska menghampiri Jeera di depan pintu dan menggiringnya masuk kelas.
"Alhamdulillah sudah lebih baik, Bu." Bu Siska tersenyum seraya mengusap punggung siswi kesayangannya. Dia mempersilahkan Jeera duduk di tempatnya, sebelum dia lanjutkan lagi ceramahnya yang sempat terpotong.
Di tempatnya, Juna tak lagi fokus dengan apa yang disampaikan Bu Siska. Matanya hanya fokus pada Jeera yang memperhatikan Bu Siska di depan kelas. Pikiran Juna terbentur antara peringatan ayah Jeera dan kedekatannya dengan Jeera. Ia kembali bingung saat ini.
"Jun, Juna!" Juna tersentak mendapat panggilan itu. Ia melirik ke belakang, memandang Jayden dengan tampang bertanya.
"Aku nanya, ada catatan materi kemarin nggak? Kamu mikirin apa, sih?" Juna mengerjapkan matanya cepat. Mengulum bibir lantas menggeleng.
"Aku nggak mikirin apa-apa." Jayden menghela napas. Sudah jelas Juna tak pandai berbohong. Dia menebak ada yang tak beres dengan sahabatnya, dan dia yakin itu.
"Catatannya ada nggak?" ulang Jayden. Mungkin ia akan menanyakan hal tentang Juna pada jam istirahat nanti.
"Oh, ntar," Juna memeriksa tasnya, lalu mengeluarkan buku catatan miliknya. "Nih,"ucapnya sambil mengulurkan buku itu pada Jayden.
"Sip, thanks bro."Juna mengangguk pada Jayden. Sementara Jayden menyalin catatan, dan Juna masih sibuk dengan pikirannya, Jarrel malah asik tertidur dengan buku besar yang menutupi wajahnya.
***
Seperti pada umumnya, kantin akan selalu ramai begitu bel istirahat berbunyi. Untungnya masih ada tempat tersisa untuk tripple J duduk. Jarrel bertugas memesan makanan untuk mereka bertiga. Dengan malas, lelaki tinggi itu bangkit dari bangkunya dan berbaur dengan keramaian.
Menunggu Jarrel memesan makanan, Jayden teringat akan menanyakan hal yang mengganggu pikiran Juna. Dia bertampang serius dan bertanya pada Juna apa penyebabnya tak fokus selama di kelas.
"Nggak ada apa-apa," jawab Juna.
"Nggak mungkin kamu melamun gitu aja. Pasti ada sesuatu, Jun." Sejenak Juna terdiam. Bukan tak ingin berbagi cerita, hanya saja Juna masih bimbang untuk cerita saat ini.
Di tengah keterdiaman itu, Jarrel datang dengan heboh seperti biasa. Jayden dengan senang hati menghadiahinya sebuah toyoran di lengan, mengundang pelototan tajam dari pemilik lengan.
"Diem, Rel. Orang mau cerita," titah Jayden pada Jarrel si hyperactive.
"Eh, iya? Mau cerita apa?" Juna memandang kedua sobatnya yang menatapnya dengan rasa ingin tahu.
"Aku kemarin nganter barang Jeera yang ketinggalan di mobil," ujar Juna memulai ceritanya.
Cerita mengalir dari mulut Juna tentang hari kemarin yang tak baik. Mengeluhkan kerisauan hatinya dan kebingungannya untuk bersikap. Hal-hal yang membebani hati dan pikirannya ia ungkapkan pada sahabatnya yang setia mendengarkan.
"Apa memang nggak ada kesempatan buat dapetin Jeera?" Pertanyaan penutup dari Juna itu lebih seperti pertanyaan pada dirinya sendiri, sebab Jayden dan Jarrel pun tak tahu ada atau tidaknya kesempatan itu.
"Pasti ngga mudah buat kamu ngejauhin Jeera, sedangkan kalian udah dekat dari sejak kecelakaan itu. Ditambah rasa yang kamu simpan buat dia. Kayanya, kamu nggak perlu milih buat menjauh, deh," ujar Jayden.
"Iya, Jun. Soal ayahnya kesampingin dulu lah. Kamu masih bisa ngobrol tanpa ketahuan ayahnya. Buktiin aja pelan-pelan kalo kamu tu pantas banget buat Jeera." Kali ini Jarrel berubah menjadi mode sang penasehat.
"Walaupun nanti aku sama Jeera ketemu dan ngobrol tanpa sepengatahuan ayahnya, tapi aku nggak bisa abaikan larangan ayahnya gitu aja," ucap Juna.
Jayden dan Jarrel sama-sama mengerti sahabat mereka. Sosok hangat yang baik hati dan penurut sekali dengan aturan. Susah sekali bagi Juna untuk mencoba melawan aturan yang sudah ada untuknya. Sama seperti beberapa tahun belakang.
"Kalau kamu nggak yakin sekarang, jeda aja sebentar. Pikirkan lagi apa pilihan yang baik buat kamu," ujar Jayden menenangkan.
"Jun, kebahagiaan kamu itu yang terpenting. Sesekali ngga pa-pa buat egois dan lakukan hal yang buat kamu bahagia. Kaya aku," timpal Jarrel dengan memberikan senyuman terbaiknya, ditambah alis matanya yang dinaik-turunkan.
Juna tersenyum dan mengangguk. Sahabatnya adalah yang terbaik. Ia akan menuruti usulan sobatnya. Memberikan waktu sejenak untuk tenang dan membuat pilihan yang tepat.
Jayden dalam diam memandang Juna dan ikut tersenyum. Dia pun turut bahagia jika sahabatnya bahagia. Dia menghela napas. Melihat Juna selalu tersenyum jika bicara tentang Jeera, membuat Jayden tak tega untuk terus mengingatkan sahabatnya itu tentang perbedaan di antara mereka. Mungkin, Jayden akan membiarkan kisah mereka bergulir saja, tanpa harus melulu diingatkan soal perbedaan yang ada.
***
Bab 10
Ditemani musik lembut, Juna mengendarai mobilnya dari rumah Jarrel. Malam ini ia memilih untuk pulang, beristirahat dengan tenang di dalam kamarnya. Itupun kalau tak ada keributan nanti. Malam sudah larut ketika Juna dan dua sahabatnya selesai bermain game. Lelaki itu terpaksa mengikuti kemauan mereka untuk menghindari permintaan aneh-aneh lainnya.
Tiba di rumah megahnya, Juna berdiam diri sejenak di dalam mobil. Menghembuskan napas, lalu menciptakan wajah datar, barulah Juna turun dari mobilnya. Setiap langkah menuju pintu utama ia terus merapalkan do'a. Meminta pada Tuhan agar diberikan ketenangan malam ini.
Tak ada satupun orang ketika Juna membuka pintu besar rumahnya. Sempat ia berpikir orang tuanya sudah pergi, sebelum ia menyadari masih ada barang-barang ibunya yang berserak di meja ruang tengah.
Kemungkinan kedua adalah bahwa, orang tuanya pergi untuk beberapa urusan, dan mungkin akan kembali nanti. Tak lagi Juna pusingkan hal itu. Ia melanjutkan langkah ke kamarnya di lantai dua.
Juna membersihkan dirinya lebih dulu, sebelum akhirnya berbaring di atas kasurnya dengan kaos putih dan celana santai berwarna cream. Keadaan sunyi melempar lagi pikirannya untuk kasus kemarin. Usai dua sohibnya memberi petuah bijak saat di sekolah tadi, Juna terus memikirkan apa yang akan ia pilih.
Sepanjang hari memikirkan pilihan yang tepat, bukan sesuatu yang sia-sia. Juna sudah memutuskan pilihannya. Ia tak mau kehilangan Jeera, dan belum ingin menyerah secepat ini dengan keadaan yang menolak hadirnya dalam hidup Jeera.
Diraihnya ponsel di atas nakas, lalu membuka room chatnya dengan Jeera. Ia mengetikkan sesuatu dan mengirimnya pada Jeera. Tak Juna harap Jeera membalasnya sekarang, karena ia tahu sekarang sudah sangat larut.
Juna tersenyum kecil selepas pesannya terkirim pada gadis pemilik bola mata indah itu. Kini, ia sudah sangat yakin sekali dengan pilihannya. Pada Tuhan ia meminta agar pilihannya tak membawa kesengsaraan bagi hidupnya ataupun Jeera. Masih dengan senyum yang melekat di wajahnya, Juna perlahan memejamkan matanya. Berharap pada hari penting besok, semuanya berjalan sempurna.
***
Hari libur adalah waktu istirahat yang paling nyaman bagi Juna. Ia masih bergelung dengan selimut saat ini. Enggan sekali rasanya untuk bangkit dan memulai hari. Juna meraih ponselnya, memeriksa notifikasi masuk dengan mata sipitnya yang bertambah sipit saat ia baru terjaga dari tidurnya.
Matanya dipaksa melebar ketika melihat pesan masuk dari Jeera. Senyum terbit di muka bantalnya, menjadikannya cerah mengalahkan sinar mentari di luar sana. Dari berbaring, Juna menjadi duduk tegak sambil membalas pesan Jeera.
Semalam ia katakan keinginannya untuk mengajak Jeera jalan-jalan hari ini. Gadisnya setuju untuk itu dan mengatakan akan menunggu Juna di rumahnya sore nanti.
"Apa ayahnya ada di rumah?" Juna hampir lupa pada persoalan ayah Jeera, saking bahagianya ia.
Juna memilih bertanya langsung pada Jeera untuk memastikan. Tak Juna sangka balasan dari Jeera ia dapatkan dengan cepat. Gadis itu bilang ayahnya pergi keluar kota untuk beberapa hari. Juna menghembuskan napas lega. Nasib baik berpihak padanya kali ini.
Mengawali harinya yang bahagia, Juna bangkit dari tidurnya dan memutuskan menyegarkan diri di bilik mandi. Ia keluar setelah beberapa menit berlalu. Sambil bersiul kecil, Juna merapikan penampilannya di depan kaca.
Kemudian, melangkah keluar kamar dan berjalan riang menuju ruang lukisnya. Dengan suasana hati yang bahagia seperti ini, rugi sekali jika Juna tak tuangkan dalam lukisan. Juna menyiapkan semua alat lukisnya di balkon ruangan. Ia akan duduk di sana sampai tiba waktunya untuk menjemput Jeera. Dikuncinya pintu ruang lukis untuk mencegah gangguan dari luar, lalu menghidupkan musik santai guna menemani hari cerahnya.
Pada kanvas putih di depannya, Juna menggerakkan kuas di jemarinya untuk menciptakan bentuk-bentuk indah. Beragam campuran warna menghiasi kanvas putih itu.
Selama menciptakan objek di atas kanvas, wajah Juna dihiasi senyum menawannya. Sesekali ia turut menyanyikan lirik dari lagu yang mengalun lembut menyapa telinganya. Suasana hatinya sangat membantu Juna dalam melukis. Ia tak perlu memakan waktu lama untuk menyelesaikan objek lukisannya.
Memandang lukisan yang ia buat dalam waktu 6 jam, Juna tersenyum lebar. Tak sia-sia ia duduk di bangkunya selama berjam-jam. Lukisan ini sangat indah di matanya, dan ia yakin orang lain juga akan menilai lukisannya begitu.
Juna masuk ke ruangan, menuju lemari kaca dan mengambil kanvas lainnya dari sana. Dibawanya ke balkon dan ia sandingkan dengan lukisan yang baru saja ia ciptakan. Lagi, Juna tersenyum puas.
Objek dalam lukisan itu sempurna di mata Juna. Seperti dewi yang menjelma di malam purnama. Dalam lukisan itu Juna membuat detail matanya yang selalu ia kagumi. Juna memandang lukisannya sampai puas, lalu menyimpan kembali lukisan berharga itu.
Ia kembali ke kamarnya setelah membersihkan ruang lukisnya. Sebentar lagi ia akan menjemput pujaan hatinya, maka bergegas ia mandi dan berpenampilan rapi.
Juna turun ke bawah, menuju dapur untuk memakan beberapa roti. Kemudian, ia lanjut melangkah ke arah garasi. Menyalakan mobilnya dan bergerak keluar dari rumah megahnya.
Di gerbang yang menjulang tinggi, Juna berselisih dengan mobil orang tuanya. Ia sempat terhenti beberapa detik, sebelum akhirnya melajukan mobilnya meninggalkan rumah. Juna tak mau merusak moodnya hari ini.
Tak begitu lama sampai Juna memarkirkan mobilnya di depan rumah Jeera. Begitu ia turun, Jeera sudah berjalan menuju pagar dengan senyum indah di wajahnya.
"Hai," sapa Juna setelah Jeera keluar dari pagar rumahnya.
"Hai juga, Jun. Langsung pergi aja?" Juna mengangguk.
Jeera menutup kembali pagarnya, lalu mengikuti langkah Juna. Lelaki tegap itu membukakan pintu untuk Jeera yang membuat gadisnya terkekeh kecil. Memastikan Jeera duduk dengan aman, Juna memutari mobil dan duduk di belakang kemudi. Ia melirik Jeera sekilas. Cantik sekali gadis dalam balutan kemeja biru dan rok navy di sampingnya ini.
"Berangkat, ya," ucap Juna yang mulai melajukan mobilnya.
Perbincangan hangat meliputi mereka berdua. Seperti biasa, tak ada canggung dalam pembahasan apapun. Pada perjalanan kali itu, Juna banyak bertanya tentang keyakinan Jeera. Tak ragu Jeera jelaskan pada lelaki sipit di sebelahnya tentang Islam yang ia anut.
Jam-jam yang mereka habiskan selama perjalanan jadi tak terasa dengan obrolan hangat yang mengalir begitu saja dari keduanya. Sampai akhirnya mobil Juna berhenti di salah satu bangunan besar yang mewah sekali dengan lampu-lampu emas mengelilinginya.
Keduanya turun dari mobil. Juna melihat Jeera yang terpukau dengan desain bangunannya, ia tersenyum. Dipanggilnya Jeera dan diajaknya untuk segera masuk. Mengikuti langkah Juna, keduanya duduk di salah satu kursi mewah dalam ruang itu.
"Mau pesan apa, Jee?" Juna menyodorkan daftar menu di restaurant itu pada Jeera.
"Aduh, Jun, samain kaya kamu aja, deh. Aku nggak paham makanan mahal," ujar Jeera dengan kekehannya.
Juna tertawa kecil melihat Jeera. Ia memenuhi keinginan Jeera. Mewakili Jeera, ia pesankan makanan yang sama untuk mereka berdua.
"Kamu ngapain ngajak aku ke restaurant mewah gini?" tanya Jeera dalam nada candanya.
"Sesekali, Jee. Ngga apalah."
"Habis ini langsung pulang?"
"Kamu mau ke mana?" Juna balik bertanya. Jeera berpikir sejenak. Mengingat-ingat ke mana baiknya mereka pergi setelah makan malam ini.
"Nggak tau, deh." Jeera menyerah. Ia tak tahu tempat yang bagus untuk dikunjungi, karena ia bukan tipe orang yang suka jalan-jalan.
"Ntar dipikirin lagi. Makan aja dulu, " ucap Juna yang ditanggapi anggukan oleh Jeera.
Keduanya melahap makanan mereka sembari mengobrol ringan. Setelahnya, kembali ke mobil untuk melanjutkan perjalanan. Juna menghentikan mobilnya di sebuah toko bunga, lalu mengatakan pada Jeera agar tak turun dari mobil.
Ia membeli buket bunga mawar untuk Jeera. Juna melirik ponselnya, lalu tersenyum. Ia ingin menciptakan kenangan indah di hari ulang tahun Jeera. Juna membuka room chat Jeera, lalu menekan ikon panggil di sana.
["Kenapa, Jun?"]
"Jee, kamu tutup mata dulu, deh."
["Apaan? Kamu mau ngapain?"] Juna terkekeh mendengar nada suara itu.
"Ada sesuatu. Tutup mata dulu. Nggak aneh-aneh, kok." Juna menggenggam buket bunga itu dengan senyum lebar di wajahnya. Ia berjalan mendekati mobil, lalu kembali bertanya pada Jeera.
"Udah tutup mata?"
["Iya, ini aku tutup mata."]
Juna mematikan sambungan telepon, lalu masuk ke mobil dengan cepat. Ia menaruh buket bunga di bangku belakang. Dinyalakannya mesin mobil, dan membawa kendaraan itu kembali melaju.
"Jangan dibuka dulu matanya, kita mau ke suatu tempat." Dapat Juna dengar Jeera menghela napas panjang. Ia terkekeh mendengarnya.
Mobil Juna berhenti lagi. Ia turun lebih dulu, lalu mengambil buket bunga di bangku belakang. Kemudian, membuka pintu untuk Jeera.
"Kamu bisa buka mata sekarang." Jeera menurutinya.
Juna tersenyum pada Jeera yang masih duduk di dalam mobil. Gadis itu terpaku memandang Juna dengan buket besar di tangannya. Di belakang Juna, bianglala berputar dengan lampu gemerlap yang menawan. Jeera perlahan membentuk senyum di wajahnya.
Juna mengisyaratkan pada Jeera untuk turun dan berdiri di hadapannya. Jeera beranjak dari bangku, lalu berdiri menghadap Juna.
"Selamat ulang tahun, Jee," ucap Juna sembari mengulurkan buket bunga pada Jeera.
Jeera menerima buket itu dengan senyuman di wajahnya yang bertambah lebar. Wajahnya bahagia sekali di bawah sinar purnama malam itu. Jeera mencium aroma bunga sejenak, lalu kembali memandang Juna.
"Makasih banyak, Juna." Hati Juna turut menghangat melihat senyum Jeera yang lebih indah daripada dewi bulan di atas sana.
Melihat Jeera bahagia dengan apa yang ia beri, membuat Juna ikut merasakan hal yang sama. Ia senang mengetahui hadiahnya diterima dengan baik oleh Jeera. Pilihannya tak salah untuk terus berusaha mendapatkan Jeera, sebab gadis di sampingnya inilah sumber kebahagiaannya.
***
Bab 11
Secerah purnama di langit malam, wajah Juna tak luput dari senyum menawan yang terukir di sana. Hari ini begitu bahagia rasanya. Apalagi ditemani Jeera sang pujaan hatinya.
Selepas mengantarkan Jeera kembali ke rumahnya dengan selamat, Juna kembali melajukan mobil mewahnya. Ia singgah di salah satu toko alat musik, sebelum kembali pulang. Menempuh jalanan ibu kota dalam waktu sepersekian menit, akhirnya Juna memberhentikan mobil di garasi luas rumahnya. Ia turun dengan kotak besar yang ia dekap. Juna tersenyum tipis melirik ke kotak yang ia bawa. Ini akan jadi hadiah terbaik pada seseorang yang ulang tahun hari ini, selain Jeera.
Begitu pintu rumah terbuka, Juna mendapati kedua orang tuanya duduk santai di atas sofa. Senyum Juna raib seketika. Berganti wajah kakunya yang menatap lurus pada sang ayah yang kini berdiri dan berjalan mendekat.
"Dari mana kamu?" Juna tak menyahut.
"Kamu tuli atau bisu? Jawab saya!" Bahkan bentakan dari pria di hadapannya kini tidak membuat Juna membuka mulutnya untuk bersuara.
"Dasar anak bodoh! Inilah mengapa saya membenci kamu lahir dalam keluarga ini. Anak bodoh yang bahkan tidak tahu cara menjawab pertanyaan ayahnya." Juna mengeraskan rahang, membiarkan emosinya tertahan.
"Anak tidak tahu diri yang malah membuat Juan meninggal! Dia itu satu-satunya yang bisa diandalkan dalam keluarga ini, tapi kamu membunuhnya! Anak bodoh seperti kamu tidak bisa menggantikan kakakmu yang cerdas itu. Andai saja Juan di sini sekarang, dia akan malu punya adik seperti kamu."
Saking besarnya emosi yang tercampur aduk di dalam hati Juna, matanya sampai berkaca-kaca, napasnya memburu cepat, dan tangan yang menggenggam kotak besar di dekapannya terkepal kuat.
Ibu Juna yang sedari tadi hanya diam, perlahan beranjak dari tempatnya dan menghampiri sang suami. Mengelus pelan pundak pria itu agar tak terlarut dalam emosi.
Juna membuang muka, terlalu kasar kata-kata yang tertuju padanya. Lelah, benar-benar lelah Juna hadapi situasi seperti ini. Juna lebih memilih untuk berbaring di kamarnya, dibanding dengan mendengar kata-kata pedas dari ayahnya. Ia baru saja ingin melangkah pergi, tapi ayahnya menghambat lagi.
"Benar-benar pembangkang!" hardik ayahnya. Pria itu bergerak cepat mendekati Juna, lalu memukul rahang anak lelakinya itu.
Lagi, Juna mendapat luka fisik dari orang yang harusnya memberinya kasih dan sayang. Juna jatuh tersungkur, bersamaan dengan kotak besar yang menghasilkan bunyi retak ketika menghantam lantai.
"Pa! Udah, Pa, udah." Ibu Juna menahan suaminya yang hendak kembali memukul Juna guna melampiaskan amarahnya.
Juna mengangkat wajahnya. Memandang orang tuanya bergantian dengan matanya yang berair. Perlahan, ia bangkit, lalu memungut kotak dan isinya yang tak utuh lagi. Ia menelan ludah susah payah. Juna menatap ayahnya yang masih setia dengan wajah merahnya. Pria itu sama seperti singa marah yang siap mencabiknya kapan saja.
"Kalau Papa nggak sudi punya anak kaya Juna, kenapa nggak bunuh aja Juna dari dulu?"
"Kamu!"
"Kenapa Papa biarin Juna hidup sebagai anak bodoh?! Juna nggak minta lahir bodoh, Pa! Juna juga mau jadi kebanggaan Papa kaya Juan! Papa pikir Juna nggak berusaha? Juna mati-matian belajar buat dapetin perhatian Papa!" Luapan emosi dari hati Juna yang lelah, tidak sekalipun menyentuh perasaan ayahnya. Masih dengan wajah marahnya, pria itu kembali menampar Juna.
"Pa!" Lagi-lagi si wanita mencoba menahan pergerakan suaminya.
Juna berdecih. Menyadari bahwa ia benar-benar bodoh, mengeluarkan emosinya di depan pria berhati dingin ini. Tanpa mengucapkan apapun lagi, Juna melangkah pergi. Ia menulikan telinga dari panggilan ayahnya.
Juna melangkah cepat menaiki tangga. Masih mendekap kotak besar berwarna biru, Juna memasuki kamar di seberang kamarnya. Ia mengunci pintu kamar agar tak ada siapapun akan mengganggunya. Diletakkannya kotak biru itu di atas meja. Juna diam, bersandar pada pintu.
Tubuhnya merosot begitu saja. Terduduk di lantai dengan pandangannya yang pilu menatap langit-langit kamar kelam. Juna melepas tangisnya, membiarkan dirinya malam itu rapuh begitu saja. Ia menangis tanpa suara.
Meski beberapa tahun lalu ayahnya juga melontarkan ucapan yang menyakitkan, tetap saja perkataan yang berulang pada hari ini masih menimbulkan luka. Juna tidak terbiasa dengan keadaan pahit ini. Malam ini lebih menyakitkan daripada hari-harinya yang kosong selama bertahun-tahun.
Juna melepas emosinya lewat tangis malam itu. Pikiran liar mengacau otaknya. Berbisik agar Juna melakukan hal gila untuk meluapkan segala emosi. Suara-suara itu semakin keras mendorong Juna seiring dengan kerasnya tangis lelaki rapuh itu.
"Arrgh!" Juna berteriak mencoba menghentikan suara aneh itu dalam kepalanya. Ia menjambak rambutnya dan membenturkan kepalanya ke tembok seperti orang kehilangan akal.
Napasnya memburu, matanya bengkak dan berwarna merah semerah darah. Juna bangkit, terseok menggapai meja di dekatnya. Ia mengacak alat tulis di atas meja itu untuk mencari benda yang ia inginkan, lebih tepatnya, yang suara itu inginkan.
Di sela pena dan pensil, Juna menemukan benda kecil itu. Kilaunya membuat Juna tersenyum miring. Digenggamannya benda itu, lalu menggoreskannya pada pergelangan tangannya.
Suara dalam kepalanya bersorak senang. Semakin semangat mendorong Juna untuk menggores cutter itu lebih dalam. Cairan merah segar merembes dari pergelangan tangan Juna. Namun, lelaki itu tak merasakan apa-apa. Tak hanya pada pergelangan tangan, Juna juga menyayat bagian lengannya yang lain. Tangan putih Juna terlihat sangat mengerikan dengan darah yang mengucur dari setiap sayatan yang ia ciptakan.
"Juan, kita bakal ketemu setelah ini 'kan?" Juna bertanya dengan suara seraknya.
Kekehan kecil keluar dari mulutnya. Ia melihat hasil ciptaannya, dan tersenyum miring. Juna melempar benda itu sembarangan, lalu berjalan ke arah kaca. Ia menatap pantulan dirinya dalam cermin itu. Ia masih bisa melihat dirinya dalam ruangan yang temaram itu.
"Bodoh. Kamu manusia bodoh! Kamu gila, Juna! Dasar bodoh!" Teriakannya menggema dalam ruangan penuh sesak itu.
Tinjunya menghantam cermin. Memecahkan benda rapuh itu menjadi beribu bagian. Juna meraih salah satu pecahannya dan menggenggam benda itu dengan kuat. Cairan kental menghiasi kepalan tangannya, tapi Juna tetap tak melonggarkan cengkraman itu.
Juna baru akan melanjutkan aksi gilanya ketika ponselnya berdering dan membuat gerakannya terhenti. Juna lepaskan pecahan cermin di genggamannya, lalu meraih ponsel di dalam sakunya. Panggilan masuk itu dari gadis pujaan hatinya, Hajeera.
Juna seakan tertampar kembali ke kenyataan. Ia merasakan sakit diseluruh luka yang ia ciptakan tadi. Juna meringis melihat darah yang ada di tangannya. Mengabaikan sejenak rasa sakitnya, ia menjawab panggilan dari Jeera.
["Jun, kamu belum tidur?"]
"Hm, belum. Kenapa, Jee?" Juna berusaha menetralkan suaranya seperti biasa.
["Itu, aku mau minjem catatan materi olimpiade kamu. Besok tolong bawain, ya."]
"Iya, Jee, aku bawa besok."
["Oke, makasih, Juna. Tidur, Jun. Udah malem tau."] Di seberang sana Jeera terkekeh kecil.
"Iya, kamu juga tuh." Garis tipis di wajah Juna tertarik sedikit. Mendengar tawa renyah gadisnya membuat hatinya menghangat.
Panggilan terputus usai Juna mengucapkan selamat tidur untuk Jeera. Ia terduduk di kasur dengan tangan yang dipenuhi cairan merah. Juna memandang hasil karyanya miris. Mengutuk dirinya sendiri yang sudah bertingkah gila.
Juna beranjak untuk menyalakan lampu. Kemudian, membuka lemari dalam kamar itu untuk mencari perban dan obat merah. Berhasil mendapatkannya, Juna duduk di tepi kasur dan mulai mengobati luka yang ia buat.
"Kamu liat ini, Juan? Aku udah gila beneran." Juna tertawa sendiri usai berkata seperti itu.
"Happy Birthday, Juan. Kado kamu udah rusak karena papa. Padahal itu gitar terbaru dan termahal." Juna terdiam. Kecelakaan naas itu kembali membayangi pikirannya.
"Harusnya kamu nggak perlu nyelamatin aku malam itu. Biar aja aku yang mati. Toh, nggak ada yang bakal sedih sama pemakaman aku." Sakit sekali mengingat bagaimana perlakuan dan perkataan orang tuanya setelah kematian kakaknya.
Lelaki yang amat patuh pada aturan itu sangat tertekan dengan keadaan sulit yang tercipta. Ia menjadi sosok yang amat sulit mengendalikan emosi. Juna tidak setenang yang orang pikirkan. Ia tidak sempurna seperti apa yang orang harapkan dari seorang most wanted sekolah. Ia cacat. Batinnya tak utuh. Pikirannya tak sempurna. Hanya raga menawannya yang tersisa.
"Kapan Tuhan ambil aku?" Juna bertanya lirih pada malam yang sunyi, pada langit yang berubah hitam, dan pada Tuhan tempatnya bergantung.
***
Bab 12
Sulit sekali rasanya Juna bernapas ketika ia terjaga di antara kesunyian. Ia menekan dadanya dan memaksakan diri untuk bangkit. Melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 1 malam, ia ternyata hanya tidur beberapa menit. Merasa tenggorokannya kering, Juna bangkit perlahan dan berjalan menuju dapur.
Ia kira tak ada orang yang masih menyibukkan diri di dapur, nyatanya Juna melihat ibunya duduk di meja makan sembari mengaduk teh. Juna ingin berbalik saja, tapi ia tidak bisa mengabaikan tenggorokan keringnya yang ingin dibasahi.
Akhirnya, ia tetap melangkah melewati ibunya. Mengambil gelas dan mengisinya dengan air dingin dari kulkas. Juna meneguk habis air dalam gelas itu. Benar-benar melegakan. Ia mengisi ulang airnya dan kembali meneguknya hingga tak tersisa. Ketika Juna meletakkan gelasnya di bak cuci piring, namanya dipanggil oleh si ibu.
Juna menoleh. Wanita itu mengisyaratkan dengan kepalanya untuk menyuruh Juna duduk di hadapannya. Beberapa detik terpaku, akhirnya Juna berjalan mendekati meja dan mengambil tempat di hadapan ibunya.
Tak ada yang terdengar, selain deru napas keduanya. Juna memandang ibunya, mendapati wanita anggun itu juga menatap kedalam matanya. Juna mengerjap cepat, sebelum kembali menunduk. Entah mengapa rasanya Juna gugup saat ditatap oleh ibunya. Berada dalam situasi canggung seperti ini sangatlah tidak Juna sukai. Ingin memulai percakapan, tapi Juna takut akan memicu perdebatan.
Sekali lagi Juna mengangkat wajahnya. Masih sama, wanita itu masih menatapnya seperti tadi. Juna tak mengerti apa yang tersirat dalam tatapan itu. Garis wajah ibunya mengingatkan Juna tentang rentang waktu lama yang tidak ia lewati bersama dewi di hadapannya ini.
“Udah lama, ya.” Suara ibunya halus menyapa telinga Juna. Ia terpaku sejenak, masih tidak mengerti apa yang ibunya maksudkan.
“Udah lama kamu nggak duduk di depan mama kaya gini.” Juna mengerti.
Anggukan kecil Juna berikan sebagai tanggapan pernyataan ibunya. Benar sekali, entah sudah berapa lama ia tidak makan bersama di meja makan. Bahkan, duduk berhadapan seperti sekarang saja sudah lama sekali.
“Masih sering tidur di kamar Juan?” Juna mengangguk lagi. Memang, ia suka tidur di tempat kakaknya itu. Apalagi ketika rindu menerpanya di saat-saat tertentu.
“Mama tadi mau masuk ke kamar Juan, tapi dikunci.”
“Em, iya, Ma. Juna tidur di sana tadi.” Ibunya mengangguk sembari membentuk garis tipis melengkung di wajahnya. Juna merasa hatinya menghangat. Senyum tipis itu termasuk hal yang ia rindukan selama ini.
Juna tak tahan untuk terus bermuka murung. Ia juga menarik bibirnya untuk membentuk senyum menawan. Juna berdo’a agar ibunya bersikap seperti sampai seterusnya. Juna ingin selalu melihat senyum manis itu.
Ibunya berdiri, lalu berjalan mendekati Juna. Tangan wanita itu terulur mengusap puncak kepala putra bungsunya. Hati Juna bertambah hangat. Ia memandang ibunya dan tersenyum lebar. Rindunya sedikit terobati dengan sikap ibunya malam ini. Juna berdiri, mengambil tangan ibunya dari atas kepala, lalu menggenggamnya. Perbedaan tinggi membuat wanita anggun itu mendongak sedikit ke atas untuk melihat putranya.
“Mama nggak kangen Juna?” Seolah pertanyaan itu adalah pedang tajam yang menusuk jantung, ibunya tersentak. Matanya membola, dilanjutkan dengan kerjapan cepat. Dia menarik tangan dari genggaman Juna.
Juna dilanda kebingungan. Ia tak merasa pertanyaan yang ia lontarkan itu salah. “Kenapa, Ma?” Ia memberanikan diri untuk bertanya. Wanita itu memandang Juna takut. Dia melangkah mundur, menjauh dari tempat Juna.
“Ma,” lirih Juna. Ia tetap diam di tempat. Khawatir dengan ibunya yang kini memegangi dada dan kepalanya.
“Mama kenapa?” Melihat bagaimana wanita itu terduduk dan mulai menangis, rasa khawatir Juna bertambah besar.
Ia berjalan mendekat, mencoba mengulurkan tangan untuk mengusap punggung ibunya. Namun, tangannya ditepis cepat. Wanita itu berteriak padanya, mendorong dirinya hingga teduduk. Juna benar-benar tak tahu apa yang terjadi.
“Maafin mama, Juan …” Juna terdiam di tempatnya. Memfokuskan pandangan dan pendengarannya pada ibundanya.
“ … kamu tetap jadi satu-satunya anak mama.” Juna merasa ada hantaman besar di dadanya. Bertanya-tanya pada diri sendiri, siapa sosoknya dalam hidup orang tuanya?
Juna berdiri, lalu menatap nanar pada ibunya. Malaikat dunianya itu mengangkat kepala, memandang Juna.
“Kamu,” lirih ibunya.
“Harusnya nggak pernah lahir ke dunia.”
Juna menelan ludahnya susah payah. Ia masih tak yakin yang ia dengar itu keluar dari mulut ibunya. Kembali Juna berjongkok di depan ibunya, dan mengusap punggun tangan lembut milik dewinya.
Sekali lagi wanita itu menarik tangannya. Dia menatap Juna emosi. Ibunya bangun dari duduknya, lalu menunjuk tepat di hadapan wajah Juna. “Kamu pembunuh.” Detik itu juga rasanya Juna ingin hilang saja dari dunia. Ucapan ibunya itu membuat Juna kembali berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Selama ini Juna benar, untuk berpikir bahwa tidak ada satupun manusia yang bisa menerima dirinya dengan baik.
Juna memandang ibunya dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Juna mengharap belas kasihan sang ibunda, sedikit saja. Sayangnya, hal itu mustahil ia dapatkan. Ibunya kembali memegangi kepalanya sembari berteriak histeris. Di tempatnya, Juna hanya membisu. Hatinya tersayat melihat ibunya yang selalu meneriakkan nama si kakak. Pilu menghantam dadanya melihat kenyataan bahwa ibunya sama sekali tidak bisa lepas dari kejadian masa silam, sama sepertinya. Melihat bagaimana kejadian lampau itu begitu merusak hidup sang ibunda, membuat Juna benar-benar membenci dirinya.
Ketika dari arah kamar ayahnya datang menghampiri dan mendorong Juna menjauh, Juna tetap membisu dengan air mata yang sudah jatuh membasahi pipinya. Juna melihat bagaimana ayahnya memeluk sang ibu, lalu membawanya pergi. Juna sadar ayahnya juga mengucapkan kata-kata jahat sebelum menjauh. Ucapan itu tak jauh beda dari apa yang ibunya ucapkan. “Kamu yang merusak semua ini, dasar pembunuh!” Begitulah.
Juna terduduk di lantai yang dingin. Ia sudah lelah menghadapi semua ini. Hatinya sudah hancur, jiwanya tak lagi baik, dan raganya amat rapuh. Juna hanya ingin hilang dari dunia yang jahat ini. Ia memeluk lututnya sendiri, meletakkan kepalanya pada lengannya, dan membiarkan lukanya jatuh dalam kebisuannya.
***
Juna tak ingat kapan ia terlelap semalam. Ia mendapati dirinya terbangun di lantai ruang makan yang dingin dengan tubuhnya yang terasa remuk. Susah payah Juna berdiri dan berjalan menuju kamarnya. Jam dinding yang tergantung di dalam kamarnya itu masih menunjukkan pukul setengah lima pagi. Juna melihat pada luka yang ia buat semalam. Sedikit perih, tapi tidak Juna pedulikan. Ia memilih untuk membersihkan diri dan membasuh luka-luka. Kadang Juna berharap mandi bisa membasuh juga luka di hatinya. Ia akan lebih sering mandi jika begitu.
Lelaki bermata sipit itu mengenakan hoodie hitam dan celana mocca sebagai setelannya di pagi selasa. Juna merebahkan dirinya di atas kasur, menutup matanya yang masih terasa berat. Ia merasa tubuhnya panas dan sulit sekali untuk bergerak. Juna memejamkan matanya semakin rapat, sebab mendadak kepalanya sakit seakan dihantam sesuatu. Juna menyerah. Ia terlelap dengan deritanya.
Mata Juna kembali terbuka ketika suara-suara ribut masuk dalam pendengarannya. Juna mengerjap beberapa kali sebelum matanya sempurna terbuka. Ia mendapati teman-temannya ada di kamarnya. Menyadari Juna sudah bangun dari tidurnya, Jarrel dengan sikap jenakanya seperti biasa menggoda Juna dengan candaannya.
“Udah kelar mimpinya, Tuan Muda?”
“Ngapain kalian berdua di sini?” Bukannya menanggapi Jarrel, Juna malah balik bertanya.
“Jenguk orang sakitlah, ngapain lagi.”
“Dari mana tau aku sakit?” Juna memandang dua temannya yang sekarang berada di kasur juga.
“Jeera nanyain kamu karena nggak masuk sekolah. Trus dia juga nyaranin buat ngecek ke rumah. Yaudah, akhirnya kita samperin. Eh, ternyata orangnya lagi sakit,” jelas Jayden pada Juna.
“Emang firasat ayang nggak pernah salah.” Jarrel menimpali.
Penuturan sahabatnya membuat Juna duduk tegap. Memastikan bahwa pendengarannya tak salah, Juna menanyakan kembali perihal Jeera yang bertanya tentangnya. Dengan muka lelah menghadapi kebucinan sobatnya, Jayden mengangguk meyakinkan bahwa Juna tak salah dengar.
“Jeera sama Chaca nunggu di bawah,” celetuk Jarrel.
“Kenapa nggak ke sini aja?”
“Jeera bilang nggak enak masuk ke kamar cowo.” Juna mengangguk paham. Dirinya memutuskan untuk menguatkan diri bangkit dan berjalan turun ke bawah. Dipegangi Jayden, akhirnya lelaki yang sedang demam itu berhasil menapaki kakinya di lantai bawah.
Jeera bangkit dari duduknya kala melihat Juna datang dengan tertatih. Kentara sekali wajah khawatir Jeera melihat lelaki berkulit putih itu sakit. Mata Jeera juga menangkap pergelangan tangan Juna yang ditempeli beberapa plaster luka. Jeera menatap Juna yang ternyata melempar senyum menawan padanya. Melihat kehangatan itu, Jeera merasa lega dan ikut tersenyum.
“Kamu sakit dari kapan, Jun?” Jeera bertanya ketika Juna sudah duduk di sofa diikuti kedua temannya. Dia pun ikut duduk di seberang Juna.
“Semalem aku baik-baik aja, sih. Baru tadi pagi nggak enakan.” Percakapan pun mengalir di antara mereka berlima.
Juna merasa lebih baik ketika bersama dengan orang-orang terdekatnya seperti kini. Obrolan mereka sederhana, tapi untuk sosok seperti Juna itu sangat berarti. Candaan Jarrel selalu mengundang tawa. Perdebatan lelaki itu dengan Chaca pun selalu menjadi lucu di mata tiga orang lainnya.
“Jam berapa, sih, sekarang? Udah laper, nih,” keluh Jarrel yang sedari tidak berhenti bicara.
“Bener juga. Cari makan gih, Rel.” Jayden ikut berkomentar, sekaligus memberi titah pada sahabatnya.
“Enak aja. Beli sendiri sana!”
“Urusan beli makan aja debat. Susah banget elah.” Juna sangat lelah menghadapi dua manusia yang tak pernah akur ini.
“Cepetan, Rel, beli makan sana!” Jarrel baru saja hendak membalas ucapan Jayden lagi, tapi dirinya terlebih dahulu ditarik berdiri oleh Chaca.
“Kamu yang laper, malah nyuruh orang yang beli makanan.” Chaca terus mengomeli Jarrel sembari menarik tangan lelaki itu menuju luar. Kepergian mereka diiringi tawa renyah dari tiga manusia yang setia duduk di dalam rumah.
“Aku juga keluar, deh, mau cari angin.” Jayden mengabaikan tatapan tajam yang Juna lemparkan padanya. Lelaki itu melengos pergi meninggalkan Juna bersama gadisnya.
Detik berikutnya setelah Jayden benar-benar hilang dibalik pintu, Jeera memandang pergelangan tangan lelaki di seberangnya. Juna yang sadar arah pandangan Jeera, menyembunyikan tangannya ke belakang. Ia tersenyum pada Jeera, memberitahu Jeera bahwa ia baik-baik saja.
Jeera tak sebodoh itu untuk percaya pada senyum yang Juna ciptakan. Dia bertanya, “Semalem kamu nggak baik-baik aja, ‘kan?”
Juna terdiam. Senyumnya seketika luntur mendapat pertanyaan seperti itu. Juna menatap dalam ke mata indah Jeera untuk beberapa detik. Juna malu mengakui dirinya rapuh di hadapan gadis yang ia cintai. Ia tak mau menunjukkan sisi lemahnya saat bersama gadis pemilik bola mata indah itu.
Sekali lagi ketika Juna menatap mata Jeera, gadis itu menampilkan ekspresi teduhnya. Begitu menenangkan hingga Juna ingin sekali memeluknya dan menumpahkan semua luka yang ia rasa selama ini.
“Jun, aku bakal dengerin cerita kamu, kok. Jangan ragu buat cerita, ya.” Sungguh, Juna ingin sekali meluapkan semua yang ia rasa sekarang pada Jeera. Namun, ini bukan waktu yang tepat. Juna butuh waktu khusus untuk menceritakan hidupnya pada Jeera.
“Aku nggak bisa cerita sekarang, Jee.” Jeera mengangguk mengerti.
“Kapan kamu mau cerita, kabari aja. Aku nggak sibuk, kok,” Jeera terkekeh diujung ucapannya, mencoba mencairkan suasana yang begitu serius itu.
Keduanya kembali mengobrol tentang hal biasa, sampai teman-teman mereka datang dengan tas belanja berisi makanan. Kelimanya antusias melihat betapa menggiurkannya makanan yang ada di atas meja. Siang itu mereka habiskan dengan makan dan mengobrol. Keseruan mereka berakhir ketika Chaca ditelepon orang tuanya dan harus pulang. Jeera pun ikut pulang. Tiga kaum adam itu mengantar dua teman gadis mereka sampai ke pintu.
“Jee,” panggil Juna ketika gadis itu baru akan melangkah pergi. Jeera berbalik dengan tatapan bertanya pada Juna.
“Nanti malam ada waktu untuk cerita, ‘kan?”
Jeera mengangguk cepat untuk pertanyaan itu. “Aku udah bilang kalo aku nggak sibuk,” katanya diakhiri senyum.
Juna terkekeh mendengar jawaban gadis cantiknya. Bahkan sampai Jeera dan Chaca benar-benar pergi, Juna masih terus tersenyum. Dua sobatnya sudah memaklumi betapa bucinnya sahabat mereka. Dua manusia tak pernah akur itu memutuskan untuk pulang juga.
“Jun, kalo ada masalah, datengin kita aja.” Jayden berucap sembari menepuk pelan pundak Juna.
“Bener. Kamu nggak sendirian di dunia ini,” tambah Jarrel dalam mode seriusnya.
Juna bersyukur memiliki orang-orang yang sayang padanya. Ia mengangguk untuk pesan-pesan dari sahabatnya. Selepas keduanya pergi, Juna kembali ke rumah dan menuju langsung ke kamarnnya. Ia merebahkan dirinnya di atas kasur dan menatap langit-langit kamar. Memikirkan hari ini sedikit membuat Juna lupa akan lukanya semalam. Dikelilingi oleh orang-orang baik yang sayang padanya adalah sebuah obat terbaik untuk luka yang sudah tercipta.
Menghabiskan harinya sebelum malam, Juna memutuskan untuk pergi ke ruangan lukisnya. Mengambil peralatan lukis dalam lemari, lalu memilih tempat di balkon untuk melukis. Ditemani semilir angin menenangkan, Juna hanyut dalam pikirannya tentang lukisan. Tiap detik ia maknai dengan baik sekali. Lukisan yang ia buat akan ia berikan sebagai hadiah untuk seseorang yang sudah mendengarkan ceritanya nanti.
***
Juna sudah siap dengan baju kaos hitamnya dipadu dengan celana senada. Diraihnya jaket denim yang tersangkut pada gantungan di sebelah lemari, lalu mengenakannya. Juna pergi meninggalkan rumah besar itu dengan mobil kesayangannya.
Ia sudah menelepon Jeera satu jam yang lalu. Menanyakan kembali apa ia bisa datang atau tidak ke rumah gadis itu. Jeera lebih memilih untuk bertemu di luar saja. Katanya, suasana di luar jauh lebih baik daripada rumahnya.
Juna menepikan mobilnya di depan pagar rumah Jeera. Juna baru saja hendak menghubungi Jeera untuk mengabari ia sudah tiba di depan rumah si gadis. Ternyata, gadis pemilik rumah itu sudah membuka pagar dan melambai pada Juna. Jeera masuk ke dalam mobil dan memberi senyum terbaiknya seperti biasa.
“Udah lama nunggu?” Jeera bertanya begitu dia sudah menempatkan diri dengan nyaman pada bangku mobil Juna.
“Baru aja nyampe.”
“Oh, pas banget dong. Aku juga baru keluar, trus liat mobil kamu udah di depan.” Juna mengangguk menanggapi ucapan gadis di sampingnya.
Mobil mulai bergerak maju meninggalkan rumah Jeera. Malam itu cuaca cerah. Banyak bintang-bintang bertebaran di langit, menemani bulan yang cahayanya secerah senyuman gadis pujaan hati Juna. Gadis berkerudung hitam itu memandu jalan menuju tempat yang akan mereka tuju. Ditemani musik yang mengalun lembut, dua insan dalam kendaraan roda empat itu bercakap-cakap santai.
Di pinggir jalan mobil berhenti oleh instruksi Jeera. Gadis itu turun lebih dulu, diikuti Juna di belakangnya. Jeera menunjuk ke depan, ke arah di mana pantai indah menyapa penglihatan. Tanpa sadar, Juna menarik bibirnya membentuk senyuman. Pantai yang membentang di depan sana sangat indah di bawah terpaan purnama.
“Ayo, Jun! Lebih dekat lebih indah,” seru Jeera membuyarkan tatapan kagum Juna pada pantai indah itu.
Juna berlari kecil untuk menyamai langkahnya dengan Jeera. Mereka melangkah bersama menginjak pasir pantai yang lembut. Jeera melirik Juna yang masih mengagumi ciptaan Tuhan yang amat indah. Wajah lelaki di sampingnya terpahat sempurna. Tak bohong, Jeera mengagumi ciptaan Tuhan yang satu ini juga.
Lagi-lagi berkat instruksi Jeera, mereka berdua duduk di salah satu sisi pantai. Membiarkan pasir putih tanpa alas menjadi tempat nyaman mereka. Keduanya memandang langit, mengagumi lagi langit yang begitu indah dengan bulan dan bintang yang menghiasinya.
Di tengah keterdiaman keduanya, Jeera membuka percakapan, “Kamu udah bener-bener baik?”
Juna menoleh pada gadis di sampingnya. Keduanya beradu pandang beberapa detik, sebelum Juna kembali memilih memandang langit di atasnya. Juna menghela napas. Kejadian-kejadian yang ia alami selama ini kembali terputar bagai kaset rusak di kepalanya, kacau.
Juna sudah berjanji dari awal untuk menceritakan kisah hidupnya pada Jeera. Maka, malam di pantai yang indah itu, disaksikan dewi malam dan bintang utara, Juna mengisahkan hidupnya pada Jeera, membiarkan gadis itu masuk melalui pintu hati yang selama ini Juna tutup rapat-rapat.
Ia ceritakan bagaimana dirinya yang selalu dibandingkan dengan si kakak yang jelas lebih unggul darinya. Bagaimana orang tuanya selalu mengandalkan si kakak, tanpa peduli dirinya. Bagaimana kecelakaan naas malam yang lalu itu membuatnya semakin dibenci orang tuanya. Bagaimana ia melanjutkan hidup tanpa kasih sayang dua malaikat dunianya. Bagaimana ia berjuang untuk tetap waras dan terus belajar untuk bisa menarik perhatian orang tuanya. Sampai pada titik rendahnya, Juna keluhkan apa yang ia rasa. Ia lelah, tak sanggup lagi menahan tekanan dalam hidupnya.
“Jun,” Jeera menatap Juna dengan teduh, lalu melanjutkan, “makasih, ya, udah bertahan sampai ke titik ini.”
Kata-kata itu … Juna tak tahu harus merespon seperti apa, hatinya benar-benar menghangat karena kata sederhana dari gadis tenang di sampingnya. Ini pertama kalinya seseorang mengucapkan terima kasih begitu tulus. Ini pertama kalinya Juna merasa benar-benar menjadi orang istimewa yang kehadirannya disyukuri.
Jeera masih menatap Juna dengan senyuman hangat di wajahnya. “Kamu udah kuat banget untuk bisa duduk di sini sekarang. Nggak banyak orang yang bisa bertahan sejauh ini kaya kamu. Percaya, deh, Jun, Tuhan kasih ujian yang berat banget buat kamu, karena Tuhan tau kamu lebih kuat dari apa yang kamu pikirin. Tuhan tau kamu bisa hadapin cobaan-cobaan dalam hidup kamu. Tuhan itu sayang kamu, Jun. Dia mau kamu jadi lebih kuat lagi. See, sekarang kamu beneran jadi orang terhebat yang aku kenal.” Juna menarik bibirnya untuk ikut tersenyum.
“Jun, banyak orang yang sayang dan cinta sama kamu. Kamu harus ingat itu selalu.” Juna mengangguk untuk pernyataan itu.
“Makasih, Jee,” ucapnya tulus. Jeera mengangguk sembari tersenyum. Dari tas kecilnya, Jeera mengambil cokelat putih yang dia ikat dengan pita. Jeera mengulurkan makanan manis itu pada Juna seraya berkata, “Cokelat katanya bisa balikin mood.”
Juna terkekeh menerima pemberian itu. Ia membuka bungkusannya, mematahkan bagian pertama dan mengulurkannya lagi pada Jeera.
“Sebagai tanda terima kasih udah dengerin cerita aku malam ini,” ujar Juna menjawab tatapan heran dari Jeera. Jeera tersipu, tapi tetap menerima suapan cokelat putih dari Juna.
Senyum di wajah Juna semakin lebar melihat wajah cantik Jeera diterpa sinar sang dewi malam. Bahkan, Juna merasa Jeera jauh lebih bersinar daripada bulan di atas sana. Ingin sekali Juna menghentikan waktu agar ia bisa lebih lama bersama gadis bak bidadari. Ingin ia dekap dewinya itu agar tak menjauh dari tempatnya. Juna benar-benar jatuh dalam pesona Jeera.
“Jee,” panggil Juna. Ketika gadis yang dipanggil menoleh padanya, Juna menatap bola mata yang indah itu. Mendadak jantungnya berdegup kencang. Ia merasa tangannya juga tiba-tiba menjadi sedingin es batu.
Melihat Jeera yang menatapnya dengan pandangan bertanya, Juna berusaha menenangkan dirinya. Menghembuskan napas pelan, lalu berbicara dengan kesungguhannya, “I fall in love with you.”
***
Bab 13
Juna berjalan santai melalui koridor-koridor yang masih lengang. Ia berangkat lebih pagi daripada biasanya untuk melakukan sesuatu. Melangkah masuk ke kelas, Juna tidak langsung menempati tempatnya, melainkan terus menuju tempat duduk pujaan hatinya. Ia mengeluarkan kotak putih yang sudah ia isi penuh dengan cokelat putih, kesukaan sang gadis.
Setelah meletakkan kotak itu di laci Jeera, Juna berbalik menuju tempatnya. Mendudukkan diri di kursinya dan membiarkan kepalanya terjatuh di atas meja. Juna kembali memikirkan kejadian di mana ia menyatakan perasaannya pada Jeera. Malam itu ia tidak bisa membaca ekspresi yang Jeera tunjukkan. Gadis itu hanya diam dalam waktu cukup lama. Sampai akhirnya, dia tersenyum dan minta untuk pulang saja.
Esok harinya, Juna sama sekali tak bisa menghubungi gadis itu. Juna bisa saja mendatangi rumah Jeera dan menanyakan maksud sikap gadis itu, tapi ia tahu batasan. Ia sadar ia bukan siapa-siapa yang bisa mendesak Jeera. Ia hanya teman sekelas yang kebetulan punya beberapa kesamaan dengan Jeera, dan itulah yang membuat keduanya dekat.
Menunggu waktu yang terus bergerak, Juna hanya terdiam tanpa melakukan aktivitas apapun. Ketika teman kelas yang lain berdatangan, Juna menegakkan kepalanya dan tepat sekali matanya beradu dengan manik indah si gadis di depan mejanya. Sepersekian detik Juna terpaku sebelum Jeera menyapanya dengan hangat. Gadis itu menyodorkan kotak bekal pada Juna, tentu menciptakan tanda tanya besar dalam benaknya.
“Belum sarapan ‘kan?” Juna menggeleng untuk pertanyaan itu.
“Ini kamu yang buat?” tanya Juna sembari mengintip isi kotak bekal berwarna kelabu. Juna mendapati Jeera mengangguk, mengatakan itu buatannya sendiri.
“Makasih, ya.” Jeera tersenyum menanggapi ucapan Juna. Setelahnya, Jeera bergerak untuk duduk di tempatnya. Dia melihat ke lacinya yang ternyata juga terdapat kotak. Mengikuti perasaannya, Jeera melihat ke arah Juna. Lelaki itu tersenyum lebar, lalu mengacungi jempolnya. Tingkah itu menciptakan tawa kecil di wajah Jeera.
Mendapat semangat besar di awal harinya, Juna memperhatikan pelajaran hari itu dengan baik. Mencatat materi, bahkan sampai yang tak perlu pun ia catat. Aktif bertanya, bahkan untuk hal-hal kecil sekalipun. Tingkah Juna benar-benar membuat dua sobatnya melongo.
“Kamu kenapa, sih, Jun? Kebanyakan minum vitamin?” tanya Jarrel pada temannya yang sibuk menyalin materi di papan tulis ke dalam bukunya.
“Nggak.”
“Kesambet setan?”
“Nggak.”
“Trus apa? Dapet uang asuransi gede? Mobil baru lagi? Atau dapet kucing yang berubah jadi cewe cantik?” cerocos Jarrel yang sudah kehabisan kesabaran dengan segala hal yang Juna lakukan hari itu.
“Lagi bahagia aja.” Jawaban dari Juna membuat Jarrel dan Jayden saling berpandangan, semakin mengkhawatirkan teman mereka.
“Kamu yakin bahagia aja? Bukan bahagia banget?”
“Kamu sampe nyalin semua yang ditulis di papan, lho, Jun.” Jayden ikut menimpali ucapan Jarrel.
Juna menghentikan kegiatan menulisnya. Pandangannya beralih dari buku ke arah dua temannya. Bibirnya tertarik membentuk lengkung sempurna. Bukannya senang, Jarrel dan Jayden malah merasa ngeri dengan pemandangan di depan mereka.
“Temen kamu gila, deh, Jay.” Jarrel bergidik dan memutar tubuhnya membelakangi Juna.
“Bukan temen aku, sih.” Jayden berdiri dan memilih tempat duduk paling belakang.
Juna semakin melebarkan senyumannya melihat reaksi dari dua karibnya itu. Mereka tidak mengerti saja bagaimana bahagianya Juna pagi ini. Ingin sekali jam pelajaran cepat berakhir agar dirinya bisa menyerahkan waktunya untuk bersama dengan Jeera.
Dalam pikirannya kini, banyak sekali hal yang ingin dia bincangkan dengan si gadis. Detik-detik sebelum bel berbunyi, Juna menggoyang-goyangkan kakinya dengan cepat di bawah meja. Jemarinya bertaut menyalurkan perasaan. Sampai akhirnya bunyi nyaring membuat Juna bernapas lega. Ia bangkit bersamaan dengan guru yang beranjak keluar dari kelas. Juna melangkah cepat menuju meja pujaan hatinya.
Juna memamerkan senyumnya ketika Jeera melihatnya dengan pandangan bertanya. Juna mengajak gadisnya makan bersama di rooftop, ia ingin menghabiskan waktu berdua saja. Jeera terkekeh dan mengiyakan ajakan makan bersama itu.
Rooftop adalah tempat sempurna untuk mendapatkan ketenangan. Angin sepoi-sepoi menerpa wajah dan menyejukkan. Pada bangku panjang yang ada di atap, Juna dan Jeera duduk dengan makanan masing-masing. Keduanya benar-benar menghabiskan waktu untuk makan berdua sambil sesekali mengobrol ringan.
Ketika kotak bekal sudah tak berisi lagi, Juna menaruhnya di bawah bangku. Ia menatap Jeera beberapa saat sebelum menundukkan pandangannya. Jantungnya berdegup kencang melihat indahnya pesona dari gadis di sampingnya itu. Juna benar-benar ingin memiliki pujaan hatinya itu.
“Jee,” panggilnya pelan.
Jeera menoleh dan mereka bertemu pandang. Indahnya bola mata milik si gadis tak bisa dipungkiri oleh siapapun yang melihatnya. Juna melihat kedalam manik itu, mencoba menafsirkan apa yang sedang gadis itu pikirkan tentang dirinya. Sayangnya, hampir satu menit hanya saling diam dan bertatapan tak membuat Juna mengerti dengan Jeera.
“Kamu …. “ kata-kata berikutnya seakan tertahan di tenggorokan Juna ketika mendadak bayangan buruk menghampiri pikirannya. Juna menelan ludah setelah memutuskan tatapannya.
“Kenapa, Jun?” Lelaki rupawan itu menggeleng pelan. Mengapa hatinya kini terasa begitu sakit?
Juna kembali menoleh pada Jeera yang kini menatap ke depan, menikmati terpaan angin di atas atap. Lelaki itu mengepalkan tangannya kuat, menyalurkan emosi yang mendadak berubah. Ia memutuskan berdiri, lalu tanpa menoleh pada Jeera, Juna mengajak gadis itu turun dan kembali ke kelas.
Jeera yang jelas bingung dengan perubahan seketika itu hanya bisa menurut dan mengekori Juna di belakang. Sama sekali tak ada kata yang terucap untuk membuka obrolan mereka di sepanjang jalan menuju kelas. Jeera juga tak berani memulai, melihat Juna yang ekspresinya jauh dari kata baik.
Di depan kelas, Juna tak berhenti. Langkahnya bahkan semakin cepat menjauh dari kelas. Tersisa Jeera yang terpaku, tak tahu apa yang terjadi dengan lelaki yang tadinya tersenyum cerah.
Juna melangkah menuju toilet. Ia berdiri diam di depan wastafel, menatap pantulan dirinya di cermin lebar dalam toilet sekolah itu. Juna menyalurkan emosi dari pikiran buruk yang membayanginya dengan mencengkram erat wastafel di depannya. Ia berteriak, mengeluarkan emosinya.
“Kenapa kita harus terlahir berbeda!”
“Kenapa besar banget perjuangan buat milikin kamu?”
“Kenapa … kenapa aku bisa jatuh cinta sama kamu?”
Juna tak tahu lagi harus bagaimana dengan keadaannya sekarang. Bebannya sangatlah berat. Kehidupannya tak pernah terasa berwarna sebelum ia bertemu Jeera. Gadis itu yang bersinar dalam hidupnya. Gadis itu yang membuat Juna memiliki semangat untuk bertahan di
dunia kejam ini. Gadis itu yang menjadi alasan Juna selalu bangkit dari setiap keterpurukan yang ia alami. Tapi mengapa begitu sulit memilikinya?
Juna menatap lama sekali pada bayang dirinya di dalam cermin. Ia tersenyum miris mengetahui betapa menyedihkannya dia saat ini. Bertanya pada takdir, beban apalagi yang harus ia tanggung? Tantangan kehidupan bagaimana lagi yang harus ia jalani? Tidakkah cukup dunia mempermainkannya selama ini?
Cepat sekali emosinya berubah-ubah hari ini. Belum sampai waktu pulang sekolah saja rasa bahagianya sudah tenggelam. Semangatnya raib seketika. Sungguh, Juna merasa lelah dengan hidupnya.
Menyadari ia takkan bisa fokus dalam belajar, Juna memilih untuk tidak lagi masuk kelas. Keluar dari toilet, ia menyelinap lewat jalan belakang di dekat gudang. Mengendap-endap menuju parkiran. Ketika akhirnya Juna berhasil duduk di belakang kemudi, ia menyalakan mesin dan membawa kendaraan roda empat itu melaju keluar dari gerbang belakang yang tak pernah terkunci.
Juna terbang bersama pikiran yang berantakan menuju tempat tinggalnya. Ia keluar dari mobil dan berjalan begitu saja masuk ke istananya. Tak ada sinar dalam tatapan matanya. Dengan kehampaan itu Juna terus melangkah menuju kamarnya. Mengunci pintu dan menutup tirai jendela. Ia membiarkan dirinya terkurung dalam ruang redup itu.
Di atas kasur ia berbaring dengan tangan yang menutupi dua matanya. Sebut saja dirinya tolol karena cinta, sebab begitulah kenyataannya. Ia bahkan tak bernafsu untuk melakukan apapun karena pikirannya terperangkap dan berputar-putar tentang gadis itu.
Juna mengumpat ketika ponselnya berdering membuat pikirannya semakin berantakan. Ia duduk dengan raut wajah yang kesal sekali. Meraih ponselnya dengan sebal lalu menjawab panggilan pengganggu itu.
[“Jun, kamu nggak masuk kelas?”] Seketika dirinya terhenyak mendengar suara Jeera lah yang merupakan pengganggu waktunya.
[“Jun?”]
“Nggak.” Juna sendiri kaget dengan perubahan nada suaranya saat bicara dengan Jeera. Ia bisa bayangkan Jeera yang sama kagetnya mendengar jawaban cepat itu.
[“Kamu baik-baik aja, kan?”] Juna terkekeh. Ia sangat buruk sekarang. Haruskah ia jujur dengan apa yang ia rasakan saat ini?
[“Jun, kalo ada apa-apa cerita aja.”]
“Ini semua karena kamu, Jee.” Diam lama setelah Juna mengucapkan hal itu.
Juna sendiri tak tahu dorongan dari mana yang membuatnya bicara ngelantur pada Jeera. Anehnya, hatinya sedikit merasa lega karena berhasil mengatakan kata pembuka untuk obrolan yang mungkin akan berlangsung panjang.
[“Apa yang salah, Jun?”]
“Aku nggak tau apa yang kamu lakuin sampe aku sedalam ini jatuh sama kamu. Aku nggak ngerti apa-apa soal cinta. Yang aku tahu, cinta itu bahagia. Orang bilang aku pintar di segala hal, sayangnya mereka salah. Aku bodoh soal hati. Terlalu bodoh sampai aku nggak liat perbedaan yang jauh banget antara kita.” Juna menjeda kalimatnya sejenak. Bisa ia dengar deru napas Jeera di seberang sana.
“Aku nggak tau apalagi yang bisa aku lakuin buat aku bisa milikin kamu, Jee. Kamu nggak ngerti gimana tersiksanya aku mendam rasa sama kamu selama ini. Jee, aku sayang kamu. Aku-“
[“Cukup, Jun.”] Juna terdiam. Baru kali ini Jeera memotong ucapannya.
Beberapa saat hanya suara napas masing-masing yang bersahutan di dalam panggilan. Belum meluapkan semua yang ia rasakan, Juna kembali menarik napas dan mulai berbicara.
“Perasaan kamu gimana, Jee? Apa cuma aku yang punya rasa? Apa cuma aku yang pengen kita lebih dari temen? Karena itu, malam dimana aku nyatain perasaan aku ke kamu, kamu cuma diem aja, ya?”
[“Nggak gitu, Jun-“]
“Terus apa?”
[“Kamu nggak bisa paham, Jun. Kita rumit. Aku nggak bisa yakin kita bisa lebih dari temen.”]
“Karena semua perbedaan ini, kan? Kamu takut sama apa yang memisahkan kita, kan?”
[“Udahlah, Jun. Aku nggak mau bicarain ini lebih jauh.”] Juna membuang napas kesal. Apa maksud perkataan itu? Apa Jeera menolaknya? Atau membiarkan mereka dalam ketidakpastian?
“Mau kamu apa, Jee? Kita sebagai temen aja?” Tak ada jawaban dari seberang. Juna mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali, tapi tetap saja tak ada jawaban. Akhirnya Juna ikut diam. Sampai panggilan diakhiri sepihak oleh Jeera.
Kekesalannya memuncak, membuat benda pipih di genggamannya terlempar menghantam dinding dan tergeletak di lantai. Juna tak mengerti sama sekali bagaimana pikiran Jeera. Apa gadis itu benar-benar tak menyukainya? Ini hanya rasa yang tak terbalaskan? Mengapa cinta yang ia rasa begitu sakit?
Lelah memikirkan cinta yang begitu rumit, Juna memilih untuk bergulung dengan selimut. Memejamkan matanya paksa agar tertidur dan menemui mimpi yang ia harap merupakan hal indah.
Bab 14
Memimpikan jika dirinya bisa hidup bersama Jeera, maka Juna adalah orang paling bahagia di dunia. Sifat gadis itu yang tenang, Juna yakin mampu menyeimbangi dirinya yang terkadang terlalu emosional. Tatapan teduh dari bola mata indahnya, Juna yakin mampu membuat segala permasalahan dan beban kehidupan di pundaknya luruh begitu saja.
Ah, andai Tuhan berbaik hati memberinya kesempatan agar bisa bersama pujaannya. Juna akan menjadi manusia paling beruntung di dunia ini. Kesempatan itu akan ia manfaatkan sebaik mungkin. Akan ia ciptakan banyak kenangan bahagia bersama gadis itu, agar bisa disimpan ketika akhirnya perpisahan menghampiri.
Perpisahan, ya … mengapalah harus ada kata pisah di dalam hidup. Juna tak sanggup memikirkan bagaimana momen perpisahan itu. Sudah cukup ia merasakan pahitnya kata itu ketika malam naas memaksa Juna berpisah dengan sang kakak. Juna tak mau kehilangan lagi. Ia sudah lelah merasa sendiri. Sebentar saja, ia ingin bahagia.
Itu harapan dari lelaki yang tertidur sejak beberapa jam lalu. Berikutnya, ia terpaksa membuka matanya ketika ketukan pintu menghasilkan bunyi mengganggu. Juna bangkit dari kasurnya dengan keadaan setengah sadar.
“Iya, sabar,” ucap Juna pada seseorang yang mengetuk pintunya tidak sabaran.
“Maaf, Tuan muda, ini berita mendesak.” Juna sedikit terkejut melihat salah satu pelayan di rumahnya yang mengetuk pintunya seperti dikejar monster.
“Kenapa?”
“Tuan dan nyonya … mereka pergi ke Jerman tadi pagi. Na-naik pesawat jam delapan tiga puluh,” Juna tak sabar mendengar apa yang sebenarnya ingin disampaikan padanya. Wanita itu memamerkan ponselnya pada Juna. “Ini berita jatuhnya pesawat yang ditumpangi tuan dan nyonya, Tuan muda.”
Seketika Juna kehilangan keseimbangannya. Ia sampai harus memegangi dinding untuk tetap berdiri tegak. Ini tidak mungkin. Ini bagian dari mimpi buruknya saja, kan? Juna ingin bangun secepat mungkin jika ini bukan kenyataan.
Sayangnya, apa yang ia dengar, yang ia lihat, semuanya adalah nyata. Wanita itu mengusap-usap punggung tuan mudanya, memberikan energi untuk si tuan agar ia bisa tetap bertahan.
“Bi, kenapa semuanya pergi?” Dengan matanya yang sudah berair, Juna menatap si wanita paruh baya dengan pilu. Memohon jawaban untuk pertanyaan menyakitkan yang ia lontarkan.
“Tetap kuat, Tuan muda. Kami masih ada di sini, menemani Tuan muda.” Kata-kata itu tak berarti. Tak berdampak sama sekali pada kepiluan Juna yang kehilangan semuanya.
Juna akhirnya terjatuh setelah berusaha kuat untuk tetap berdiri. Ia meringkuk memeluk lutut. Membenamkan wajah yang dibasahi air mata di antara dua lututnya. Pundaknya naik turun, meski suara tangisnya tak keluar. Ia kesakitan dan tak berdaya.
Berita duka itu membuat suram seisi rumah. Si pelayan yang membawa kabar pada Juna memilih menuntun si tuan untuk beristirahat di kamar. Memberikan minuman hangat untuk membantu menenangkannya.
Juna yang ditinggal sendiri di dalam kamar sama sekali tak merasa baik. Bayang-bayang keluarga selalu mendatanginya. Ayahnya yang dulu masih bersikap hangat. Ibunya yang dulu selalu menyajikan masakan lezat. Kakaknya yang dulu selalu mengajaknya bermain. Semua kenangan indah itu Juna simpan sebelum rentetan kejadian menyakitkan mengikisnya.
Ia ingin kembali ke masa-masa itu. Dimana ia bisa merasakan bahagia, meski sebentar. Dimana ia masih merasakan arti keluarga, meski keluarganya mengekangnya dengan aturan. Ia merindukan ayahnya, sikap tegas lelaki itu ketika menyuruhnya belajar. Ia merindukan omelan ibunya setiap kali nilainya di bawah sang kakak. Ia paling rindu kakaknya, yang sangat tulus menyayanginya.
Di mana ia bisa mendapatkan kenangan itu lagi? Di mana tempat ia bisa menemui keluarganya?
“Argh!” Juna terduduk memegangi kepalanya yang berdenyut.
Matanya masih merah setelah menangisi hidup, bahkan sisa air mata masih jelas di pipinya. Ketika kepalanya serasa dihantam batuan besar, Juna hanya bisa meringis dan berharap rasa sakit itu pergi. Sakit itu semakin parah sampai Juna harus memukul kepalanya dengan kepalan tangan, berharap bisa mengusir sedikit rasa sakit.
Masih dalam usahanya mengatasi rasa sakit, salah satu pelayan membuka pintu kamar untuk mengantarkan makanan. Melihat keadaan Juna, si pelayan bergegas menaruh nampan yang ia bawa di atas meja, lalu menghampiri Juna. Pelayan itu dengan cepat memanggil supir yang bekerja untuk keluarga Juna, meminta untuk mengantarkan tuannya ke rumah sakit.
Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Juna merasa melihat sosok kakaknya duduk menemani. Raut wajah lelaki itu begitu cemas. Melihat kekhawatiran yang jelas terpancar dari mata si kakak membuat hati Juna menghangat. Kepedulian serta kasih sayang seperti inilah yang ia rindukan. Juna tersenyum, sebelum pandangannya mengabur dan akhirnya kesadarannya hilang.
***
Juna merasa dirinya begitu ringan dterpa angin. Melayang dan terbawa ke tempat amat indah. Banyak bunga bermekaran di taman yang kini ia pijak. Bunga yang beragam warna itu mengeluarkan aroma begitu wangi. Menentramkan hati dan menenangkan pikiran.
Melihat dirinya sendiri, Juna menyadari ia kini mengenakan kemeja putih dan celana senada. Tanpa alas kaki, kakinya menginjak rerumputan di bawahnya. Juna memandang taman luas itu. Entah bagaimana ia bisa sampai di tempat seindah ini. Membayangkan ia di sini bersama orang-orang yang ia sayang, pasti amat menyenangkan.
Bicara tentang yang disayangi, Juna ingat ia baru saja menerima kabar duka. Lantas, mengapa ia berdiri di sini sekarang? Dengan panik Juna berlari ke sembarang arah. Berharap menemukan jalan keluar yang bisa membawanya menemui orang tuanya. Jatuh bangun dirinya, terengah napasnya, letih sudah kakinya, tapi ia masih tetap di dalam kawasan luas itu. Juna menyerah. Ia terbaring di atas rerumputan. Menatap langit putih di atasnya.
Samar-samar ia mendengar seseorang memanggil namanya. Juna bergegas untuk duduk. Kepalanya celingak-celinguk mencari sumber suara. Sayangnya, tak ada satupun orang di tempat ini selain dirinya. Juna memilih berdiri, lalu berjalan entah menuju mana. Seiring langkahnya, suara itu semakin jelas.
Langkahnya terhenti ketika ia mengenali suara yang memanggil namanya. Suara dari sosok yang ia kagumi. Juna ragu untuk melanjutkan langkah. Takut, jika ia datang untuk panggilan itu bukan kebahagiaan yang menunggunya. Beberapa saat ia hanya terdiam. Perlahan, Juna kembali melangkah. Bukan ke arah suara, melainkan sebaliknya. Ia ingin pergi. Ia tahu ia tak mungkin bisa memiliki yang ia inginkan. Pikirnya, lebih baik ia menyusul keluarganya saja. Berkumpul bersama di atas sana untuk mengulang kembali masa-masa bahagia mereka.
Juna semakin mempercepat langkahnya sampai berlari. Entah di mana ujung tempat ini, ia hanya ingin pergi sejauh mungkin dari dunia kejam yang ia tempati. Dalam pelariannya Juna tersandung, terjatuh hingga tak sadarkan diri.
Ketika matanya terbuka kembali, Ia mendapati diri terbaring dibalut selimut di kamarnya. Juna memaksa diri untuk duduk. Melihat ke meja di samping tempat tidur, ada makanan dan obat di sana. Itu semua pasti dari rumah sakit, pikir Juna.
Juna baru hendak turun dari kasur ketika pintu terbuka oleh pelayan. Si wanita dengan gesit menghampiri Juna.
“Tuan ingin makan?” Juna menggeleng. Ia belum nafsu makan saat ini.
“Tuan ingin saya ambilkan sesuatu? Kata dokter kemarin, tuan harus banyak istirahat agar tidak kelelahan,” jelas si wanita.
“Kemarin?” Juna melihat jam tangannya yang menampilkan fitur tanggal juga. Ternyata, hari sudah berganti.
Kembali terputar memori hari kemarin. Berita duka itu tak bisa dilupakan begitu saja. Juna berdiri tergesa-gesa. Mengabaikan perkataan si pelayan yang menyuruhnya untuk istirahat saja.
“Juna mau cari mama, Bi! Juna mau peluk mama papa. Juna mau liat mereka!” Susah payah si pelayan menahan tangan tuan mudanya agar tak melangkah keluar dari kamar.
“Tuan muda tenang dulu. Semuanya sudah diurus asisten tuan dan nyonya. Acara pemakaman akan diadakan besok di sini.” Juna terpaku. Benar-benar kehilangan kesempatan untuk melihat wajah orang tuanya untuk yang terakhir kali.
Juna menunduk dalam. Berbalik dan kembali duduk di kasurnya. Ia menatap lantai dengan tatapan kosong. Banyak bayangan beterbangan di kepalanya, membuat ia semakin tertekan.
“Tuan!” Juna tersentak. Kembali pada kenyataan ketika panggilan yang entah keberapa mengusik telinganya.
“Maaf, Tuan muda, apa tuan perlu sesuatu?” Juna menggeleng lemah. Tak berminat untuk meminta apapun lagi.
“Bibi keluar aja. Juna mau istirahat.” Meski tak sepenuhnya percaya dengan Juna yang sama sekali tak meyakinkan, si pelayan tetap menuruti titah sang tuan muda.
Begitu punggung pelayan itu tak terlihat lagi oleh Juna, ia berdiri dan mengunci pintu kamarnya. Ia tak ingin diganggu untuk saat ini. Dirinya memilih duduk di kursi berlengan yang biasa ia gunakan untuk duduk santai. Kursi itu menghadap ke cermin yang baru saja ia beli sebagai ganti yang telah rusak beberapa waktu lalu.
Lama sekali Juna termenung tanpa melakukan apapun. Sama sekali tak ada binar kehidupan dalam bola matanya. Badannya bersandar pada sandaran kursi dengan tangan yang terkulai di sisinya. Bibir pucat yang pecah-pecah semakin membuat dirinya begitu mengenaskan.
“Apalagi tujuan aku hidup?” Itu adalah sebuah pertanyaan paling menyedihkan yang keluar dari mulut seorang Arjuna. Keputus asaan begitu kentara di wajahnya saat ini.
Juna memandangi seluruh isi kamarnya dengan hampa. Tak ada lagi hal asik yang bisa ia lakukan kedepannya. Semua sudut ruangan ini tak lagi bermakna ketika Juna kehilangan tujuan untuk bertahan hidup. Tak ada lagi alasan untuknya tetap bernapas di dunia ini. Tak ada orang tua yang harus ia curi perhatiannya, tak ada kakak yang harus ia banggakan, tak juga ada kekasih yang harus ia jaga. Lantas, bukankah lebih baik ia menyusul pergi?
“Juna lebih baik pergi, ‘kan, Ma? Pergi ke pelukan mama.” Hatinya begitu nyilu membicarakan hal itu. Juna bergerak ke meja belajarnya. Mengambil secarik kertas dan pulpen bertinta biru.
Jemarinya bergerak di atas kertas itu, merangkai kata dalam keheningan. Juna menuliskan kata demi kata dengan hati-hati. Meluapkan semua yang ia rasakan dalam frasa yang tersusun itu. Juna menulis dengan ketulusannya, jujur dengan apa yang ia rasa. Lelaki bermata sipit itu sampai menitikkan air mata karena terbawa perasaan.
Ia membubuhkan tanda tangan di akhir suratnya. Ia biarkan surat itu terbuka di atas meja belajar kesayangannya itu. Juna menarik diri dari kursi, berjalan gontai menuju lemari. Tangannya terulur mengambil sesuatu di balik kotak-kotak alat lukisnya. Cukup lama Juna menatap benda itu sebelum ia menempelkan ujungnya di pergelangan tangan.
Hilangnya motivasi hidup mendorong Juna juga ingin menghilang dari dunia. Ia berdiri, menempatkan diri di depan cermin. Bibirnya membentuk senyum miring yang mewakili kepiluannya. Tangannya yang menggenggam benda berkilau ditekannya ke pergelangan tangan satunya. Cairan merah menyembur dari sayatan yang ia ciptakan, tapi ia tak berhenti. Mengabaikan rasa sakit yang menjalari tubuh, Juna tetap menggesek benda itu tanpa ampun sampai pandangannya mengabur.
Ia terduduk dan benda itu terlepas dari genggamannya. Ketika perlahan kesadarannya menurun, sayup ia mendengar pintu kamarnya diketuk dan suara familier memanggil namanya. Juan sudah tak peduli. Ia akan segera pergi, menemui keluarganya.
***
Bab 15
Hidup tidak melulu tentang kebahagiaan. Banyak hal tidak berjalan sesuai keinginan. Jalan kehidupan tak melulu mulus. Banyak sekali kerikil yang menghadang sebelum bisa sampai ke tujuan sesungguhnya. Kerikil itu bisa jadi rasa kecewa, pengkhianatan, atau bahkan kehilangan.
Banyak hal yang mendorong manusia untuk berhenti berjalan. Benar-benar menyerah karena begitu banyak kerikil atau batuan yang menghalangi jalannya menuju kebahagiaan. Segelintir manusia menolak kuat dorongan itu, memilih bertahan dan tetap berjuang. Merekalah orang-orang kuat. Mencoba tidak terhasut dengan pilihan manusia lain untuk menghilang dari muka bumi.
Pada masa tertentu, ketika semua berjalan tak sesuai keinginan, semua hal menentang kebahagiaan yang ingin dicapai, dan menekan dari segala sisi untuk berhenti, seseorang tak bisa bangkit saat itu. Mendekam di antara sunyinya malam. Berjuang sendiri mengusir suara-suara dalam kepalanya. Meraba-raba keberadaan seseorang yang mungkin bisa membantunya keluar dari masa keterpurukan itu. Fase itu begitu sulit.
Syukur jika masa itu bisa terlewati dan menempa seseorang menjadi lebih kuat dari sebelumnya. Jika gagal, maka dirinya tinggal nama dan kenangan.
Kehidupan yang Juna harapkan tak jauh beda dengan apa yang orang lain harapkan. Ia ingin bahagia dengan keluarganya, mendapat kasih sayang dari mama, dibanggakan oleh papa, dan bersenang-senang dengan kakak. Ia ingin pendidikannya berjalan mulus, cita-citanya terwujud, juga menginginkan seseorang yang ia cintai berdiri mengarungi kehidupan di sisinya.
Tak rumit sebenarnya, tapi sebelum mencapai tujuan itu, begitu banyak batuan yang menghalangi. Juna masih bisa bangkit setelah kehilangan untuk pertama kalinya, lalu dikecewakan orang tuanya, sampai ia benar-benar berjuang sendiri. Ia kuat untuk bisa bertahan sejauh ini. Namun, kehilangan untuk kali kedua membuatnya terpuruk. Juga tidak bisa memiliki apa yang ia inginkan membuatnya semakin merasa sendiri.
Juna lelah dengan semua yang terjadi pada hidupnya. Ia hanya ingin istirahat. Istirahat yang bisa membuatnya lupa dengan semua hal yang pernah terjadi kepadanya. Ia ingin tenang.
Sosok Raigalen Arjuna kini terbaring di ranjang rumah sakit. Dua sahabatnya menemani dengan raut khawatir yang jelas sekali. Ada juga pelayan rumah yang menunggu dengan cemas. Di ujung ruangan, Jeera dan Chaca berdiri berdampingan.
Jayden dan Jarrel mendapat kabar duka dari orang tua mereka, lalu memutuskan untuk melihat keadaan sahabatnya. Sayangnya, saat itu Juna dilarikan ke rumah sakit karena sakit kepala yang melandanya. Jadilah lelaki itu mengunjungi Juna lagi di keesokan harinya. Di mana mereka mendapati pintu kamar Juna terkunci.
Berkali-kali mengetuk pintu dan memanggil Juna, tak ada jawaban sama sekali. Mereka memikirkan kemungkinan terburuk pada saat-saat Juna terpuruk. Dengan cepat Jarrel berlari ke bawah dan meminta kunci cadangan pada pelayan.
Benar saja, keduanya mendapati Juna terbaring dengan pendarahan di pergelangan tangannya. Jayden bergerak cepat berusaha menghentikan pendarahan yang terjadi, lalu keduanya membawa sahabat mereka ke rumah sakit.
Untungnya Juna masih bisa diselamatkan. Jayden dan Jarrel menghela napas lega karena hal itu. Jarrel menghubungi Jeera, memberi kabar tidak mengenakkan ini pada sosok yang sobatnya cintai. Alhasil, mereka semua berkumpul dalam ruang inap Juna. Menanti kapan lelaki itu akan membuka kelopak matanya.
Menunggu dalam keheningan terasa lama sekali. Sama sekali tak ada obrolan selama masa tunggu itu. Ketika bunyi jarum jam menguasai ruangan, semua orang hanya diam. Keterdiaman masing-masing orang tentunya menyimpan kecemasan dengan keadaan Juna. Percobaan bunuh diri itu membuat orang di sekitarnya khawatir.
“Ah, jari Juna gerak!” Keadaan yang semula diam menjadi hidup setelah teriakan Chaca yang melihat pergerakan pada temannya.
Dokter di panggil dan semuanya menunggu di luar ruangan. Beberapa saat setelahnya, mereka diperbolehkan masuk.Kondisi Juna tidak begitu parah. Istirahat yang cukup dan tidak bergerak terlalu banyak dapat membantunya pulih lebih cepat.
Jayden dan Jarrel melangkah masuk, mendapati sahabat mereka tersenyum kikuk. Wajah putih yang bertambah pucat itu kelihatan lelah sekali. Keduanya menghampiri Juna, memeluk lelaki itu sesaat dan menepuk pelan pundaknya.
“Kamu beneran mau ninggalin kita, ha?” Jayden melotot ke arah Jarrel. Padahal sudah dia katakan untuk tidak membahas apapun ketika Juna baru sadar. Sementara Juna hanya terkekeh. Bernapas saat ini adalah keajaiban baginya.
“Kita masih mau main game di rumah kamu tau,” ucap Jarrel menimpali pertanyaan yang tak terjawab sebelumnya.
“Kalian masih bisa main tanpa aku.” Perkataan lirih itu mendapat balasan jitakan di kepala Juna. Lelaki itu meringis sembari memegangi kepala yang disakiti Jarrel.
“Woi! Juna baru sadar udah kamu jitak aja,” semprot Jayden pada teman gilanya itu.
“Nggak masalah. Juna ‘kan kuat.” Jarrel menyengir tanpa dosa.
Melihat itu Jayden menggeleng-gelengkan kepala. Sobatnya memang tidak punya kewarasan lagi. Seiring obrolan Jarrel yang mencoba mengalihkan pikiran Juna dari hal-hal buruk, Jayden tersadar ada orang lain yang menunggu di luar ruangan.
Jayden menyenggol Juna, “Ada Jeera diluar.”
Ekspresi Juna tak bisa dibaca. Ia hanya memberi tanggapan dengan sebuah anggukan kecil. Tak bersemangat seperti sebelum-sebelumnya. Jayden kembali bertanya apa Juna ingin mereka masuk, dan lelaki itu kembali mengangguk. Jayden akhirnya keluar, memanggil Jeera dan Chaca yang masih menunggu. Ada si wanita pelayan rumah juga, tapi Jayden mengatakan padanya untuk pulang dan kembali mengurus rumah. Juna bisa mereka jaga. Karena sudah mengenal Jayden dengan baik, si wanita mengikuti instruksi teman tuan mudanya itu.
Jayden memimpin dua gadis teman sekelasnya untuk masuk ruangan. Juna memandang mereka sebentar dan tersenyum tipis. Lebih terlihat seperti sebuah formalitas saja. Jeera memberanikan diri mendekat. Bertanya tentang kondisi Juna saat ini.
“Kamu bisa liat sendiri gimana kondisi aku ‘kan?” Jeera menelan ludah susah payah ketika mendapat jawaban dingin dari Juna. Tiga orang lain dalam ruangan itu pun terkejut mendengar Juna bicara seperti itu pada seseorang yang ia sayang.
Jarrel dengan watak humorisnya berusaha mencairkan ketegangan di antara mereka. Melontarkan bualan yang biasanya mengundang tawa, tapi tidak dengan situasi saat ini. Jeera sama sekali tak menanggapi ocehan Jarrel, apalagi Juna.
Masih mencoba memperbaiki hubungan pertemanannya selepas panggilan hari itu, Jeera kembali berkata, “Kamu butuh sesuatu? Kalo ada apa-apa, cerita aja, Jun. Aku khawatir sama kondisi kamu.”
“Aku butuh jarak.” Jeera terdiam. Begitupun tiga orang lainnya. Jayden ingin mengajak dua temannya keluar, tapi ia ragu meninggalkan Juna dengan kondisi yang sedang tidak baik. Ia takut sahabatnya satu itu tidak bisa mengendalikan emosinya.
“Maksud kamu gimana?”
“Kurang jelas?” Jeera sama sekali tak melihat sosok Juna yang selama ini dia kenal. Lelaki di depannya benar-benar berbeda sama sekali dengan teman kelas yang beberapa waktu menyatakan perasaannya.
“Kamu butuh jarak? Artinya kita menjauh satu sama lain?” Juna mengangguk untuk memperjelas apa yang ia mau.
“Ada yang salah, Jun? Kita masih bisa temenan setelah itu ‘kan?”
“Omong kosong! Kamu tau perbedaan keyakinan nggak bisa buat kita sama-sama.”
Jayden sudah merapat ke ranjang tempat Juna bersandar di atasnya, jaga-jaga jika lelaki itu kelepasan. Di sisi satunya, Jeera berdiri dengan mata yang berkaca-kaca. Ia tak pernah membayangkan Juna bicara sekasar itu padanya.
“Tapi, Jun, kita masih bisa temenan.”
“Temenan? Kamu mau buat aku tambah sakit lagi? Temenan sama orang yang kita cinta jauh lebih sakit daripada cinta dalam diam. Apalagi tau kenyataan, sampai kapanpun aku sama kamu nggak bisa nyatu.” Tak ada lagi yang bisa Jeera ucapkan untuk membalas perkataan Juna. Lelaki itu benar adanya. Mereka berbeda, sampai kapanpun tak akan pernah bisa menyatu.
Keduanya saling menatap tanpa bicara. Membiarkan mata mengungkapkan segala yang mereka rasa. Jeera tak sanggup lagi bicara. Pertahanannya runtuh ketika melihat Juna memalingkan wajah darinya. Jeera berbalik, mendapati Chaca menatapnya teduh. Bendungan di kelopak matanya tak sanggup bertahan, air mata tumpah membasahi pipi si gadis. Chaca memilih untuk membawa Jeera keluar dari ruangan.
Selepas kepergian dua gadis dari ruangan, keadaan menjadi semakin hening. Jarrel pun tak berani bersuara melihat ekspresi Juna yang tak menyenangkan. Beberapa menit berlalu dengan keheningan. Juna menatap dua sobatnya bergantian.
“Kalian nggak pulang?”
“Nggak lah. Kita nemenin kamu di sini,” sahut Jayden cepat.
“Kenapa nggak pergi aja? Semua orang milih pergi.” Keduanya tau arah bicara Juna. Lelaki itu masih dalam keadaan emosi yang tak stabil.
“Sampai kapanpun kita nggak akan pergi. Kamu bakal selalu punya kita kapanpun kamu butuh.” Kali ini Jarrel dalam mode seriusnya ikut menimpali.
Juna hanya diam dengan tatapan kepedihan yang bisa terbaca oleh dua sahabatnya. Jayden merangkul pundak Juna. Memberikan energi positif pada Juna. Jarrel memilih berdiri di sisi lain ranjang, lalu menepuk pelan punggung Juna. Tanpa bicara, mereka sama-sama memberikan kekuatan untuk Juna agar lelaki itu bertahan lebih lama lagi.
“Takdir hidup aku buruk banget, ya. Semua orang yang aku sayang perlahan hilang. Juan, mama, papa, bahkan Jeera pun nggak bisa aku genggam. Sakit, Rel, Jay. Apa dosa aku di kehidupan lalu banyak banget sampe di kehidupan sekarang aku mengenaskan kaya gini?” Perkataan Juna jelas meluapkan apa yang selama ini ia rasakan.
“Nggak seburuk itu, Jun. Sekali lagi, kamu harus bisa bertahan.” Tak ada tanggapan apapun untuk ucapan Jayden.
“Kata sabar atau semangat nggak akan berdampak apapun buat kamu sekarang ‘kan? Kita berdua nggak bisa ngerangkai kata puitis atau apapun itu untuk nguatin kamu, tapi kamu pasti tau kita nggak bakal pergi. Percaya, Jun, sampai kapanpun kita bakal ada buat kamu.” Jarrel ikut berucap meyakinkan Juna.
“Ngelupain kejadian menyakitkan nggak akan mudah, Jun. Jangan dipaksa. Cukup bahagiain diri kamu sendiri. Biarin waktu yang beresin semua yang udah lalu. Percaya sama kita, Jun. Kita bisa bahagia sama-sama.” Kali ini Juna menatap Jayden yang baru saja melontarkan rangkaian kata yang menyentuh hati. Sobatnya tersenyum, meyakinkan perkataannya.
Juna beralih memandang Jarrel, dan lelaki itu mengangguk menyetujui apa yang Jayden katakan. Perlahan tapi pasti Juna menarik sudut bibirnya membentuk senyuman. Jayden tersenyum lebih lebar melihat sinar kehidupan kembali mengisi iris mata milik Juna. Saking senangnya Jarrel dengan senyuman Juna, lelaki itu memeluk sahabatnya tanpa aba-aba. Jayden terkekeh, tapi juga ikut memeluk dua sahabatnya. Kehangatan memenuhi ruangan itu.
Epilog
Juna tersenyum memandangi lukisan yang baru saja selesai dibuat. Sudah lama sekali rasanya ia tidak melukis pada kanvas berukuran besar. Seingatnya, ketika duduk di bangku SMA adalah kali terakhir menggerakkan jari di atas kanvas besar. Melukiskan seseorang yang menyita hati dan pikirannya dulu.
Kata-kata Jayden saat itu benar, tentang waktu yang perlahan menyembuhkan goresan demi goresan di hati. Juna mengharapkan kebahagiaan, dan ia berusaha untuk mendapatkan hal itu sejak hari ia dirawat di rumah sakit.
Sangat sulit pada awalnya. Susah payah ia menyibukkan diri demi melupakan rasa kehilangannya, juga melupakan sosok yang pernah ia cintai. Juna sadar, banyak tantangan yang harus ia lewati untuk bisa bersama gadis itu, bahkan ayah si gadis saja tidak setuju dengan kehadirannya. Juna tak berani menentang, ia tak mau sakit lebih dalam lagi. Jadi, ia memilih melupakan.
Juna mencoba menerima semua yang terjadi dalam hidupnya. Tidak lagi menyalahkan takdir atas setiap hal yang terjadi dalam perjalanannya. Juna terbentuk dari medan pertempuran lalu, menjadikan ia sosok yang lebih hebat lagi.
“Ma, Pa, Juna hidup dengan baik di sini.” Juna berucap sambil memandangi lukisan yang ia buat. Pada kanvas berukuran besar itu, ia melukis keluarganya. Benar-benar keluarga bahagia seperti impiannya.
“Juan, makasih untuk kasih sayang kamu. Aku bakal jadi lebih kuat untuk tetap hidup.” Senyumnya bertambah lebar mengingat bagaimana rupa kakak lelakinya yang memiliki senyum menawan.
Juna merapikan alat lukisnya, menaruhnya ke dalam kotak dan menyimpannya di bawah meja. Kanvas berisi lukisan keluarga itu ia bawa masuk ke kamarnya. Pada paku yang sengaja ia tanamkan di dinding, Juna menggantung kanvas itu di sana. Juna puas dengan lukisannya. Ia senang mengetahui setiap akan tidur dan terbangun lagi, potret keluarga itu akan jadi hal pertama yang ia lihat. Dengan begitu, hari-harinya akan bahagia seperti senyumnya dalam kanvas yang ia lukis.
Meski banyak hal tak bisa Juna dapatkan, bahkan kehilangan hampir semuanya, ia tetap ingin bahagia. Kehilangan memang membuatnya terpuruk hingga ingin berhenti menjalani hidup. Namun, kehilangan juga yang membuatnya sadar betapa pentingnya menikmati waktu sekarang, menjaga apa yang dimiliki sekarang, sebelum akhirnya hilang dan sulit dilupakan.
Juna beralih pada lemari kaca di kamarnya. Ia memandang lukisan yang dulu ia buat sebagai hadiah untuk seseorang yang sudah mendengarkan ceritanya, tapi sampai sekarang lukisan itu masih abadi dalam kamarnya. Juna tersenyum, mengingat kepingan indah yang pernah ia cicipi sebelum hadirnya rasa sakit yang meretakkan hati.
“Apa kabar, Jee? Semoga bahagia, ya.”
***