Kembali menghela napas atas kumpulan panitia di dalam perpustakaan yang merupakan ruang istirahat panitia akhwat. Saat ini, Narendra beserta Eden dan Radit sedang melaksanakan shalat jumat. Kemungkinan pula mereka akan kembali ke kampus untuk memastikan keberangkatan peserta usai shalat. Sebenarnya, tidak masalah menurutku apabila mereka memutuskan demikian, namun guyuran hujan yang tak kunjung mereda membuat resah.
Hampir setengah jam menunggu reda, hingga pada akhirnya bersama panitia akhwat mulai membersihkan ruang istirahat seluruh peserta beserta ruang materi dan ruang makan setelah notifikasi personal chat masuk dari Narendra. Dia memintaku untuk mengkoordinasi ruangan sementara dirinya mengkoordinasi peserta di kampus. Jikalau seseorang bertanya di mana Hafizah saat ini, sejujurnya aku enggan menjawab karena ekspresi mataku pasti akan menyakitkan jika sudah tidak senang.
Namun, beruntung Aina menjawab pertanyaan itu. Mengatakan bahwa Hafizah baru bisa datang sore nanti karena beberapa hal. Alhamdulillah, dia menjawabnya.
"Rin, buku – bukunya mau ditaruh di mana?" tanya Aina.
Aku yang baru saja membalas pesan Narendra mengenai kondisi di sini, mendongak ke arah Aina. Pandangan menyapu isi ruangan mempertimbangkan tempat manakah yang paling memungkinkan. Pada akhirnya, sudut dekat papan tulis kuputuskan sebagai tempat peletakkan buku – buku agar ruangan menjadi lebih luang.
"Rinka, habis ini yang mana lagi?" Distya yang baru saja selesai menyapu mendekat padaku.
"Bentar," ucapku menggulir riwayat percakapan dengan Narendra, "ini, kan, udah selesai, ya. Nah, kata Narendra, utamain ruang materi dulu aja. Soalnya begitu peserta dateng, kan, pembukaan."
Begitu aku menatap seluruh panitia akhwat ternyata mereka menampakkan gesture menunggu. Aku tersenyum sebentar, sebenarnya merasa tak enak mengambil banyak keputusan yang beberapa kulakukan tanpa izin langsung dari Narendra dan Hafizah. Kupikir, jika penanggung jawab sie acara belum hadir, keputusan akan diambil alih anggota sie acara mengingat sie tersebut yang bertanggung jawab terhadap rundown.
Sebelum membuka suara, aku menatap kembali pada Distya. Berharap akan ada arahan yang disampaikan, namun ekspresi wajahnya telah menjawab.
"Buat meja sama kursi dipinggirin kayak yang ruang ikhwan, ya. Bentar, aku foto dulu," ucapku sebelum penataan ruang materi.
.
.
.
"Rin, menurutmu mendingan Ekspektasi Orientasi atau pretest dulu?"
Saat ini seluruh panitia beserta peserta sudah tiba di tempat kegiatan. Namun, peserta sedang mengikuti pengecekan perlengkapan dengan LO peserta didampingi Farzan dan Narendra. Namun, sebagian besar panitia yang lain sudah berkumpul di ruang materi. Dan tentunya mendapat pertanyaan tersebut dari Distya membuatku mengernyit. Sungguh tidak habis pikir.
"Lho, nggak tahu. Aku cuma sekre, bukan sie acara!" seruku tak habis pikir.
Nyatanya, jawaban ketidaktahuanku membuat seluruh panitia di ruangan menoleh. Namun, baik Distya maupun anggota sie acara yang lain, tidak ada yang berniat menjawab. Seluruh ekspresi wajah mereka menampilkan kebingungan.
Baiklah, Rinka!
"Menurutku, mending EO dulu aja biar peserta punya gambaran sama ekspektasi acara. Nggak logis soalnya kalau tetiba pretest," jawabku mantap.
"Oke, jadi EO dulu, ya, Rin?" Distya memastikan.
Di waktu bersamaan, Narendra akhirnya datang. Aku langsung berkata, "iya, kan, Ren, mending EO dulu baru lanjut pretest?"
Keterkejutan di wajah Narendra tidak bisa disembunyikan. Sontak membuatku tersenyum, pasalnya orang ini baru saja tiba dan langsung kutanyai.
"Iya, Rin. Aku ikut kamu aja," respon Narendra.
"Lho?"
Wajah kami yang sama – sama mengernyit, refleks berlanjut saling melempar senyum geli.
.
.
.
Sepanjang mengenal Narendra sebagai ketua pelaksana MR, aku sangat menyadari betapa bertanggungjawabnya dia. Setiap hal yang Narendra lakukan tidak ada yang tidak totalitas, sampai koordinasi pun dia lakukan secara langsung alih – alih menggunakan ponsel. Benar, terlampau dijamah sendiri, sehingga membuat Narendra bolak – balik ke berbagai tempat, nyaris seluruh tempat pelaksanaan malah.
"Ren, kamu nggak mau koordinasi pakai hp aja?" tanyaku gemas seraya menyerahkan nampan yang diminta Narendra.
Pemuda berbalut kemeja hitam itu justru tersenyum dan berkata, "iya, Rin, nanti. Hp – ku lagi di – charge. Makasih, ya."
Baiklah, perkataan Narendra memang aku percayai. Namun, ternyata aku terlampau percaya. Aku sudah melihat Narendra mengoperasikan ponselnya dan dia masih melakukan koordinasi atau menghubungi orang – orang dengan cara mendatangi langsung.
Astaghfirullah!
"Ren, tolong kalau mau apa – apa pakai hp aja. Kamu jadi bolak – balik terus," gemasku.
Justru Narendra tersenyum geli mendapat protesku. Setelah menerima sapu yang aku bawakan dari dapur, dia berujar, "lama, Rin. Enakan langsung, biar cepet."
Bibirku mengerucut lalu melatahkan istighfar dengan nada gemas tepat di hadapan Narendra. Namun, dia malah kembali menampilkan senyum seperti sebelumnya. Mata yang semula menyorot lelah, sedikit berbinar.
"Nggak papa, nggak papa."
.
.
.
Sesungguhnya, aku tidak terlalu mengerti maksud kedatangan Hafizah bersama Aisya yang baru saja tiba. Baiklah, Aisya memang langsung menjadi observer bersama Distya, namun Hafizah yang tidak turut melakukan koordinasi lapangan dengan Narendra dan malah merebahkan diri di ruang panitia membuatku diam – diam menghela napas. Ketika ponselku berbunyi dan menampilkan deretan chat Narendra, kembali kutengok Hafizah. Rasanya ingin berkata siapa wakil Narendra di sini, namun rasa segan karena Hafizah katingku membuat urung.
Pada akhirnya, setiap pertanyaan dan ajakan diskusi dari Narendra selalu kujawab segera. Di kondisi yang memerlukan pengambilan keputusan cepat dan tepat seperti ini, rasanya tak ada waktu mengejar – ngejar orang tanpa kesadaran diri akan amanahnya sendiri. Tindakan yang berkoordinasi langsung dengan Narendra tanpa melalui wakil ketua pelaksana, tidaklah dibenarkan, namun ada rasa tak tega di hati melihat ketuplak yang sedari awal kegiatan tidak hentinya berlalu – lalang.
Dini hari sebelum pelaksanaan jelajah malam, aku berhasil bangun sekitar sepuluh menit lebih awal dari jadwal sesi koordinasi dengan alumni. Namun, kesadaran yang masih setengah membuatku enggan untuk langsung keluar ruang istirahat, apalagi udaranya begitu dingin. Dengan sedikit terseok, aku mendekat ke tempat pengisian daya ponsel untuk mengecek sudah ada atau belum banjir mengingatkan waktu koordinasi yang biasanya dilakukan panitia ikhwan. Group memang masih sepi, namun layar ponsel yang tertiba berubah menampilkan notifikasi panggilan telepon dengan foto profil familiar langsung membuatku terbelalak. Kesadaranku seketika kembali, namun panggilan tersebut telah dimatikan sebelum sempat kuangkat.
Setelah itu, eksistensi tak jauh dari ruang istirahat justru membuat mataku menyipit. Dari jendela besar ruang istirahat, tergambar suasana sekitar yang masih gelap dengan seseorang berbusana hitam berdiri di dekat ruang makan dan seolah sedang menuju kemari. Dahiku mengernyit begitu menyadari sosok hitam itu adalah orang yang sama dengan yang meneleponku sesaat lalu.
Sorot mata yang tampak lebih jelas ketika dirinya lebih dekat dengan penerangan, membuatku merasa seperti oh, aku mengerti. Respon atas dua anggukan kepalaku adalah anggukan mantap sekali, hingga pada akhirnya dia berbalik untuk pergi.
Di tengah kegiatan membangunkan panitia akhwat, tiba – tiba pikiran random muncul di kepala. Narendra tidak mengatakan apapun, namun aku merasa mengerti. Dipikirkan kembali, apakah tadi Narendra meminta atau mengingatkanku melakukan ini? Tidak, tidak ada satu kata atau kode apapun kala tadi melihat sosoknya.
Lantas, mengapa kamu seolah mengerti dan justru kalian saling bertukar anggukan?
.
.
.
Momen diskusi dengan alumni terus terang membuat kepala pening. Mengesampingkan seluruh keberatanku karena keputusan tertinggi detail kegiatan di tangan alumni alih – alih Farzan dan Narendra, topik yang tiba – tiba dibahas membuatku tertegun. Rasanya dadaku panas dan berdebar hebat, bukan sensasi yang sama seperti di dekat Narendra, bukan. Perasaan ini dengan caranya sendiri membuatku marah dan sakit hati secara bersamaan.
"Kadiv sama Wakdiv Kaderisasi nggak dateng?"
Pertanyaan itu jujur membuatku terluka. Bahkan refleks aku meremat jaket Gea yang duduk di depanku. Pasalnya, bukan rahasia umum lagi bahwa kedua pemimpin divisi tersebut telah menghilang dari organisasi sejak proker MR II lalu, tanpa kabar. Seolah menelantarkan anak – anak kaderisasi mereka yang notabene termasuk kader aktif.
"Ya Allah, nggak tahu kenapa nggak dateng?" Perempuan muda yang kebetulan duduk tak jauh dari tempatku itu menggeleng tidak percaya.
Diam – diam kuperhatikan raut Narendra dari balik bahu Gea. Jika dia perempuan, rasanya aku ingin memeluk atau setidaknya memberikan tepukan bahu untuk menenangkan. Kemudian, mengatakan bahwa dia tidak sendiri dan aku beserta orang – orang yang masih peduli ada di sini untuk membantu.
"Anak ADK mana?"
DEG!
Hanya ada lima tangan terangkat kala divisi tersebut dipanggil. Benakku terus berusaha menenangkan diri sendiri agar tetap kuat karena ada empat anak ADK tepat di sekitarku. Aku harus baik – baik saja agar mereka juga demikian.
"Ketua sama wakil ketuanya juga nggak dateng?"
"Wakilnya dateng, Mbak," jawab Devi mewakili.
"Saya wakilnya, Mbak," jawabku masih mengulas senyum.
Perempuan itu mengangguk cukup puas sebelum lanjut bertanya, "ketuanya nggak dateng? Apa ketuanya juga nggak aktif juga sama?"
Air liurku mendadak terasa sangat pahit dan hal tersebut membuatku cukup gugup. Bingung harus menjawab seperti apa. Namun, usapan lembut di paha kananku yang dilakukan Devi beserta usapan serupa di bahu dari Aulia membuat gugupku sedikit redup. Bahkan Gea juga memutar posisi duduknya agar sedikit condong padaku. Baik Gea maupun Airra, mereka mengukir senyum yang seolah mengatakan kita bersama dan pasti baik – baik saja.
Aku menarik napas panjang, lalu menjawab, "nggak dateng, Mbak," dengan suara yang kusadari sedikit bergetar.
"Kenapa?"
"Agak nggak bisa dihubungi, Mbak, soalnya lagi sibuk magang juga," jawabku segera.
Jawaban yang tidak sepenuhnya bohong, namun aku tidak tahu harus menjawab seperti apa lagi.
.
.
.
"Udah, yang tadi udah," ucap Radit dengan nada jenaka.
Aku menatapnya bersungut – sungut.
"Apaan, sih, emang udah, kok," jawabku ketus.
Aku yang sedang berdiri damai berdua dengan Airra menunggu persiapan pemberangkatan jelajah malam malah diinterupsi dengan kedatangan Radit. Maksud Radit memang bergurau, tapi rasanya sebal mengingat perasaan tadi.
"Eh, pos satu kamu nggak, sih? Sama Arga, kan?" tanya Radit yang hanya kujawab dengan anggukan.
Namun, selanjutnya Radit malah bertukar senyum dengan Arga yang berdiri di sebelahnya. Senyum menyebalkan yang sontak membuat dahiku mengernyit. Seolah akan ada perkataan tidak beres setelah ini.
"Sulit, sulit. Kasihan peserta di pos satu udah dapet kakak – adek julid."
Sudah kuduga!
Perkataan Radit ternyata mengundang senyum dari Narendra dan Galih yang sebelumnya datang bersama Arga. Namun, membuatku mendengus judes.
"Lho, malah mantap dong. Langsung sikat, biar nggak lelet, ya, nggak, Rin?" balas Arga.
"Walah, cakader langsung deg serangan mental pos satu," imbuh Airra di luar dugaan.
"Iya, iya, langsung aja biar kuat tahan banting," kataku dengan nada pura – pura marah.
.
.
.
Kupikir rangkaian kegiatan ini telah selesai, akan tetapi satu hal terlupa adalah sesi evaluasi. Sebelumnya, Narendra ternyata sudah meneleponku berulang kali, namun tidak satupun kuangkat karena sedang di kamar mandi. Tepat ketika keluar dari kamar mandi, mataku yang buram menangkap seseorang menoleh dari dekat ruang materi. Tampak seperti Narendra.
Benar dan panggilan dari Narendra langsung datang sesaat setelah aku masuk ke ruang panitia. Komunikasi kami terkait menghubungi pihak penjaga tempat kegiatan dan bersih – bersih sebelum penutupan senantiasa berlanjut. Sejujurnya, di tengah padatnya kegiatan MR III, Narendra yang tengah membereskan trash bag sangat mencuri perhatianku.
Aku tengah menemani Airra di dapur dan ternyata dari tempat ini dapat melihat dengan jelas Narendra yang tengah merapikan sampah. Dua ekor ayam yang tiba – tiba datang karena insting sisa makanan mendekat dan mengacak susunan rapi sampah yang sudah dilakukan Narendra. Orang itu awalnya hanya mengusir ayam dengan suara – suara, namun ketika dia membanting dan melempar beberapa kotak bekas makan pada ayam tersebut, senyumku mengembang. Bahkan, aku dan Airra sampai tertawa.
"Narendra kelewat capek, Rin, sampai kayak gitu," komentar Airra.
"Iya, tapi lucu, tahu. Dari awal dia tenang banget, ternyata punya sisi kaya gitu," kekehku.
Setelah tak sengaja menemukan sisi Narendra yang juga bisa kehilangan ketenangannya, kala bertemu pandang dengannya jujur bibirku tak kuasa menahan senyum. Ternyata, dia masihlah manusia.
"Rin, Mbak Aisya ada?"
Aku yang tengah berdiri dekat pintu ruangan panitia akhwat cukup heran dengan kedatangan Narendra. Namun, langsung kupanggilkan Aisya karena tampaknya ada hal penting yang harus segera didiskusikan sekarang.
"Kayak gitu gimana, Ren?"
Aisya mengusulkan sesi evaluasi setelah memulangkan seluruh peserta dan dilakukan di kampus. Akan tetapi, usulan tersebut membuatku mengernyit. Merasa tidak setuju karena panitia pasti sudah lelah jika harus menunggu lebih lama lagi, padahal besok sudah Hari Senin. Saat ini, Aisya berdiri membelakangiku dan tidak berhadapan langsung dengan lawan bicara, sementara Narendra yang berdirinya agak serong justru berhadapan langsung denganku. Oleh karena itu, aku dapat melihat dengan jelas kala Narendra menaikkan kedua alisnya menunjukkan gesture bertanya.
Tentu saja gelengan kepala adalah jawaban yang Narendra dapat dariku. Barulah ketika Aisya mengatakan untuk sesi evaluasi dilakukan bersamaan dengan sesi Evaluasi EO, aku langsung mengangguk. Dan Narendra mengukir senyum tipis mendengarnya.
"Iya, Mbak, lebih baik barengan biar pulangnya sekalian. Kasihan pasti capek, besok ada yang kuliah pagi juga," tutur Narendra lembut.
Dipikirkan kembali, mengapa jadi seperti turut memberikan suara atas keputusan yang Narendra ambil, ya? Aku hanya sekretaris, bukan wakilnya.