Loading...
Logo TinLit
Read Story - Chapter Dua – Puluh
MENU
About Us  

Sungguh ini situasi yang begitu menyebalkan. Apa – apaan sekumpulan manusia minus tanggung jawab ini? Semua ini hampir membuatku marah dan nyaris meluncurkan kata – kata kasar, apalagi ketika melihat Airra, semakin pusing. Melihat dan mengetahui bagaimana tekanan yang Airra terima membuatku geram. Sungguh, ini adalah tugas bersama dan tanggung jawab sekumpulan panitia, bukan tugas individu untuk merancang sebuah acara tunggal.

Menyelesaikan alur birokrasi bukanlah tugas dari sekretaris dan itu sangatlah jelas. Di mana seharusnya sekretaris sebagai koordinator dalam kegiatan ini, akan tetapi justru malah jadi seperti ini. Apakah semua sie humas dari organisasi ini selalu mengabaikan tugasnya?

Tidak, orang itu tidak. Dia melakukannya dengan sangat baik, tetapi, hei bukan hanya kamu orangnya!

“Kamu sendirian, Ren?”

Pertanyaan yang sudah tidak dapat ditahan akhirnya meluncur dengan begitu mulus dari lisanku.

“Enggak, cuma ini, kok, soalnya Mbak Lala lagi kelas.”

Tidak, tidak, tidak. Kamu melakukan terlalu banyak dan yang memiliki jadwal kelas maupun praktikum bukan hanya seorang. Aku sangat ingin memarahinya karena melakukan terlalu banyak. Akan tetapi, sorot tenang itu membungkamku yang pada akhirnya membalas dengan hembusan napas dan seulas senyum.

“Makasih, ya, udah dibantu. Besok jangan kamu terus, Ren.”

“Iya, Rin, makasih juga udah bantu dan maaf aku banyak tanya. Nggak paham soalnya,” balasnya lembut.

Semua komunikasi dan koordinasi ringan ini, tidak pernah kuanggap lebih. Jika ditanya mengapa, tentu saja karena ini kulakukan untuk membantu Airra, tidak lebih. Namun, aku menyadari satu hal, bahwa dari komunikasi ini justru membiasakan Narendra sedikit lebih intens berkoordinasi denganku alih – alih dengan Airra yang jelas memegang job sekretaris kegiatan.

.

.

.

Ini gawat, sungguh gawat!

Tampaknya aku akan menghadapi sarkasme Farzan begitu tiba di tempat proker Majlis Rohis I nanti. Pasalnya, beberapa hari lalu aku memang sudah izin tidak bisa mengikuti kegiatan dari awal karena di pagi hingga siang hari masih ada kegiatan lain di BEM. Farzan memang mengizinkan begitu aku berjanji akan datang paling lambat ba’da dzuhur, tapi lihatlah angka yang ditunjuk oleh arlojimu, Rin!

Benar, ini jam empat sore.

“Jam berapa, Rinka?”

Haduh, aku tidak berani membuka chat Farzan. Tetapi kalau tidak dibalas, pasti malah akan semakin tidak baik – baik saja. Pilihanku adalah tetap berangkat sekarang dengan konsekuensi menerjang hujan atau menunggu reda dengan konsekuensi teguran Farzan yang singkat, tapi enggan kudengar sebenarnya.

“Dek, kamu masih di kost kan?”

Notifikasi dari Rania membuatku menatap ke arah ponsel.

“Kamu kalau berangkat bareng aku sekalian ba’da maghrib gimana? Ini aku balik lagi ke kost nunggu tukang benerin pipa, habis itu kita ke sana.”

Tampaknya keberuntungan berpihak padaku. Ajakan itu jelas tidak aku tolak karena setidaknya ada alibi masuk akal dari keterlambatanku. Tetapi, ya, baru saja aku tiba di tempat pelaksanaan Majlis Rohis I di lantai dua, Farzan keluar dari ruang materi.

“Wah, siapa ini? Siapa, ya, yang bilang mau berangkat ba’da dzuhur?”

Refleks tawa canggung muncul dari mulutku mendengar sarkasme Farzan. Memasang ekspresi tidak bersalah dan senyum polos, aku membalasnya dengan, “lho, bener, Mas, walaupun jam setengah tujuh, tapi ini juga ba’da dzuhur, kan?”

“Heh, kebiasaan! Ba’da dzuhur jam satu atau setengah dua, kalau ini udah beda, Rin.”

“Lho, tapi aku nggak bilang berangkat jam segitu, Mas Farzan. Jadi, jam berapapun pokoknya tetap ba’da dzuhur,” balasku keras kepala.

Ekspresi dan kurva yang tergambar di wajah Farzan sudah menunjukkan tanda – tanda siap membalas kekeraskepalaanku. Untunglah, Fatih yang baru naik ke lantai dua lebih dulu menengahi, tahu jelas apabila perdebatan ini berlanjut malah membuang waktu mengingat kami sama keras kepalanya.

Namun, baru saja aku mendaratkan diri ke salah satu bangku, kemunculan Azam bersama Aisya dan Fani berhasil mencuri perhatian. Apalagi, ketika Aisya berdiri tepat di hadapanku dan pasti ada sesuatu yang akan diminta. Tepat, Aisya memintaku untuk mengikuti breafing outbound yang akan dilaksanakan esok hari. Hanya anggukan yang dia terima sebagai jawaban persetujuan, namun ketika aku hendak menyusul ke tempat breafing justru Aisya memintaku pula untuk memanggil Narendra.

Tunggu, dia tidak salah?

Narendra adalah orang yang menjadi operator untuk materi di dalam ruangan, sementara akupun belum melihat bagaimana isi di dalam sana semenjak sampai tempat ini. Mengapa pula bukan dirinya sendiri yang memanggil atau menghubungi Narendra? Memangnya Aisya tidak bisa menghubungi Narendra sendiri atau tidak bisakah Azam atau kader ikhwan lain yang melakukannya?

Terserahlah.

Hei, keterangan terakhir kali dilihat pada akun chatting – nya adalah siang tadi dan sekarang orang itu tidak online! Pertanyaannya, bagaimana untuk memanggil yang bersangkutan agar keluar ruangan sekarang. Tidak mungkin pula jika aku harus tiba – tiba masuk ruangan di tengah penyampaian materi, kemudian mendekat atau memberi kode ke Narendra yang posisi operator berada di depan peserta ikhwan. Kucoba cara lain dengan menghubungi kader ikhwan yang berada di dekat Narendra untuk meminta orang itu keluar agar bisa segera breafing, namun ternyata hasilnya sama saja. Tidak ada respon.

Eh, sebentar, jendela tepat di sebelah Narendra terbuka. Apakah sopan jika aku memanggil Narendra dari sana? Apalagi tidak ada orang yang bisa dimintai tolong sekarang. Orang – orang yang tadi bersama Azam sudah lebih dulu ke tempat breafing diikuti Farzan dan aku tidak tahu kemana Fatih pergi. Memanggil panitia yang lain pun hanya membuat ini semakin lama.

Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari lisan ketika sudah berada di dekat jendela. Pun Narendra masih tampak fokus pada monitor laptop – nya. Untungnya, hal tersebut tidak berlansung lama karena Narendra melihat ke arah jendela saat menyadari ada seseorang di sana.

“Ayo, ditunggu breafing sama Mbak Aisya di bawah.”

Hanya gerak bibir tanpa suara, namun Narendra berhasil menangkap maksud kalimat itu. Bibir bergerak mengatakan “sekarang” dengan kedua alis terangkat berhasil aku pahami sebagai kalimat tanya yang kutanggapi dengan beberapa anggukan.

“Tapi, di Pos Harta Karun banyak tikusnya besar – besar. Nggak mau,” ungkap Azizah setelah Eden selesai menyampaikan pembagian tugas.

Aisya tertawa kecil mendengarnya sebelum merespon, “atau kamu mau tuker, Zah? Tuker sama Rinka di Pos Estafet Air atau di Rumah Suara sama aku?”

Entah Eden yang merupakan ketua pelaksana atau ini hasil pembagian yang dilakukan Azam dan Fani, tetapi pembagian ini menempatkanku dan Eden di Estafet Air sebagai pos terakhir. Sementara pos pertama, Harta Karun, dipegang oleh Narendra dan Azizah, sedangkan Pos Rumah Suara dipercayakan pada Azam dan Aisya.

Sungguh, tidak mengerti apa yang terjadi saat ini karena tanpa sadar mataku menatap Narendra yang secara kebetulan berakhir temu pandang. Entah apa yang dipikirkan otakku, hingga tanpa sadar mengajukan tawaran pada Azizah untuk bertukar pos denganku karena dia sempat bilang ingin bermain air.

“Rinka mau, gimana, Zah?” tanya Farzan memastikan.

Azizah tampak berpikir, menimang – nimang kelebihan dan kekurangan jika dirinya bertukar pos denganku. Dia tidak suka para tikus besar, namun Pos Harta Karun ada di awal yang berarti pos tersebut akan selesai lebih dahulu karena jalur outbound dibuat satu rute. Di sisi lain, jika dia memilih Estafet Air, posnya berada paling dekat dengan tempat ini dan memudahkan untuk bersih – bersih diri, akan tetapi merupakan pos terakhir.

Momen berpikir Azizah ini sungguh membuatku tanpa sadar diam – diam melirik Narendra yang justru kali ini dia memilih bersandar dengan sorot mata menerawang langit – langit. Jangan bilang bahwa dia tidak memperhatikan apa yang ditimang oleh Azizah!

“Yaudah, deh, aku tetap di Harta Karun aja. Nggak papa, Rin, seenggaknya nanti selesai pertama. Eh, tapi nanti di sana bener nggak cuma sama Narendra, kan, Mbak? Ada panitia yang lain juga?” tutur Azizah.

“Iya, Zah, nanti aku juga nemenin di sana,” kata Fani.

Alhamdulillah. Makasih juga buat tawarannya, ya, Rin,” pungkas Azizah dengan nada cerianya.

Respon sebatas anggukan dan bibir yang mengukir kurva setulus mungkin. Sebab, terus terang, aneh rasanya ketika perasaan sedikit tak enak tiba – tiba menyusup dalam dada mendengar keputusan yang dituturkan Azizah. Bahkan, ketika dua pasang mata kembali bertemu, rasa tak enak itu semakin tidak menyenangkan.

Dan hal lain yang kini tak dapat dipahami adalah apa yang dilakukan oleh mataku sendiri. Semua orang dari pos pertama dan kedua telah kembali dan tengah menunggu sesi pos terakhir. Dapat dilihat bahwa seluruh panitia turut menyaksikan, sementara peserta yang sudah menyelesaikan pos ketiga mulai berbenah. Seharusnya, memang demikian. Akan tetapi, figur Narendra justru tidak dapat kutemukan di manapun dan hal tersebut beberapa kali membuat fokusku sempat buyar.

"Kamu kenapa, Rin?"

Pertanyaan Devi yang entah sejak kapan sudah berdiri di sebelahku cukup mengejutkan. Kebingungan yang tergambar jelas di wajah manis itu membuatku mengerjap beberapa kali. Aneh, lidahku mendadak kelu untuk memberi jawaban.

"Maksudmu, Dev?"

"Kamu kaya nggak fokus aja dari tadi. Atau pusing? Kalau iya, neduh aja, aku yang berdiri di sini," tuturnya lembut.

Tidak, sama sekali aku tidak merasa pusing atau apa. Bahkan, aku sendiripun tidak tahu sebenarnya sedang kenapa, hanya saja mata dan kepalaku seperti tidak sedang di sini. Ah, kamu ini mencari apa, Rinka?

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Love Rain
20961      2832     4     
Romance
Selama menjadi karyawati di toko CD sekitar Myeong-dong, hanya ada satu hal yang tak Han Yuna suka: bila sedang hujan. Berkat hujan, pekerjaannya yang bisa dilakukan hanya sekejap saja, dapat menjadi berkali-kali lipat. Seperti menyusun kembali CD yang telah diletak ke sembarang tempat oleh para pengunjung dadakan, atau mengepel lantai setiap kali jejak basah itu muncul dalam waktu berdekatan. ...
Teman Berakhir (Pacar) Musuhan
764      466     0     
Romance
Bencana! Ini benar-benar bencana sebagaimana invasi alien ke bumi. Selvi, ya Selvi, sepupu Meka yang centil dan sok imut itu akan tinggal di rumahnya? OH NO! Nyebelin banget sih! Mendengar berita itu Albi sobat kecil Meka malah senyum-senyum senang. Kacau nih! Pokoknya Selvi tidak boleh tinggal lama di rumahnya. Berbagai upaya buat mengusir Selvi pun dilakukan. Kira-kira sukses nggak ya, usa...
After Feeling
5983      1927     1     
Romance
Kanaya stres berat. Kehidupannya kacau gara-gara utang mantan ayah tirinya dan pinjaman online. Suatu malam, dia memutuskan untuk bunuh diri. Uang yang baru saja ia pinjam malah lenyap karena sebuah aplikasi penipuan. Saat dia sibuk berkutat dengan pikirannya, seorang pemuda misterius, Vincent Agnito tiba-tiba muncul, terlebih dia menggenggam sebilah pisau di tangannya lalu berkata ingin membunuh...
Dalam Waktu Yang Lebih Panjang
420      318     22     
True Story
Bagi Maya hidup sebagai wanita normal sudah bukan lagi bagian dari dirinya Didiagnosa PostTraumatic Stress Disorder akibat pelecehan seksual yang ia alami membuatnya kehilangan jati diri sebagai wanita pada umumnya Namun pertemuannya dengan pasangan suami istri pemilik majalah kesenian membuatnya ingin kembali beraktivitas seperti sedia kala Kehidupannya sebagai penulis pun menjadi taruhan hidupn...
Because I Love You
1391      771     2     
Romance
The Ocean Cafe napak ramai seperti biasanya. Tempat itu selalu dijadikan tongkrongan oleh para muda mudi untuk melepas lelah atau bahkan untuk menghabiskan waktu bersama sang kekasih. Termasuk pasangan yang sudah duduk saling berhadapan selama lima belas menit disana, namun tak satupun membuka suara. Hingga kemudian seorang lelaki dari pasangan itu memulai pembicaraan sepuluh menit kemudian. "K...
Solita Residen
1885      950     11     
Mystery
Kalau kamu bisa melihat hal-hal yang orang lain tidak bisa... bukan berarti kau harus menunjukkannya pada semua orang. Dunia ini belum tentu siap untuk itu. Rembulan tidak memilih untuk menjadi berbeda. Sejak kecil, ia bisa melihat yang tak kasatmata, mendengar yang tak bersuara, dan memahami sunyi lebih dari siapa pun. Dunia menolaknya, menertawakannya, menyebutnya aneh. Tapi semua berubah seja...
Menjadi Aku
520      403     1     
Inspirational
Masa SMA tak pernah benar-benar ramah bagi mereka yang berbeda. Ejekan adalah makanan harian. Pandangan merendahkan jadi teman akrab. Tapi dunia tak pernah tahu, di balik tawa yang dipaksakan dan diam yang panjang, ada luka yang belum sembuh. Tiga sahabat ini tak sedang mencari pujian. Mereka hanya ingin satu halmenjadi aku, tanpa takut, tanpa malu. Namun untuk berdiri sebagai diri sendi...
Memento Merapi
21544      2277     1     
Mystery
Siapa bilang kawanan remaja alim itu nggak seru? Jangan salah, Pandu dan gengnya pecinta jejepangan punya agenda asyik buat liburan pasca Ujian Nasional 2013: uji nyali di lereng Merapi, salah satu gunung terangker se-Jawa Tengah! Misteri akan dikuak ala detektif oleh geng remaja alim-rajin-kuper-koplak, AGRIPA: Angga, Gita, Reni, dan Pandu, yang tanpa sadar mengulik sejarah kelam Indonesia denga...
Aku Ibu Bipolar
51      44     1     
True Story
Indah Larasati, 30 tahun. Seorang penulis, ibu, istri, dan penyintas gangguan bipolar. Di balik namanya yang indah, tersimpan pergulatan batin yang penuh luka dan air mata. Hari-harinya dipenuhi amarah yang meledak tiba-tiba, lalu berubah menjadi tangis dan penyesalan yang mengguncang. Depresi menjadi teman akrab, sementara fase mania menjerumuskannya dalam euforia semu yang melelahkan. Namun...
Dolphins
631      404     0     
Romance
Tentang empat manusia yang bersembunyi di balik kata persahabatan. Mereka, seperti aku yang suka kamu. Kamu yang suka dia. Dia suka sama itu. Itu suka sama aku. Mereka ... Rega Nicholando yang teramat mencintai sahabatnya, Ida Berliana. Namun, Ida justru menanti cinta Kaisal Lucero. Padahal, sudah sangat jelas bahwa Kaisal mengharapkan Nadyla Fionica untuk berbalik dan membalas cintanya. Sayan...