Ego yang tertanam jauh dalam dada seringkali menyeruak memenuhi sel dalam diri. Pada akhirnya, dia menyebabkan diri hanya fokus pada diri sendiri. Angan pribadi, kebanggaan akan prestasi, dan nilai diri di atas individu sekitar. Atensi hanya melihat bahwa tujuan di sini memanglah memenuhi hawa di dada. Menggapai asa yang telah ditahan dan dibendung sedari lama. Sehingga, sosok di hadapan tidak mencuri perhatian, tidak menarik atensi, dan mustahil mengalihkan fokus.
Hanya salah satu dari deretan pemuda di hadapanku. Sekilas pandang yang bahkan tak terlalu kuingat bagaimana dirinya memperkenalkan diri. Sebatas ingatan samar akan sosok berbalut kemeja hitam berdiri di hadapan. Apakah menarik atensi?
Ayolah, aku bahkan tak acuh pada apapun di sekitarku jikalau hal tersebut tak memberi keuntungan untukku. Eksistensimu bahkan tak sanggup mengalihkan fokusku. Bahkan caramu memperkenalkan diri ketika games, sungguh tidak menarik minat barang sesaat.
“Perkenalkan, saya Adinata Narendra … Teknik Mesin 2021.”
Ah, jadi itu namanya. Jika tidak salah ingat, dia orang yang biasanya tak menggunakan virtual background selama pengkaderan online. Bahkan, ketika sesi pekernalan terus berjalan, aku hanya fokus untuk mengingat urutan nama karena memang aturan dalam permainan ini untuk menyebutkan kembali nama kader sebelum dirimu memperkenalkan diri.
“Perkenalkan, saya Nayaka Rinka dari Jurusan Akuntansi 2021.”
Hingga ketika sesi perkenalan sampai pada giliranku, ya, aku sangat tahu bahwa nama yang baru keluar dari lisan sangatlah tidak asing. Bahkan, sejujurnya aku sangat tahu bahwa tidak ada yang tidak mengetahui nama itu sepanjang hampir setahun masa pengkaderan. Sungguh, siapa memangnya yang tidak me – notice calon kader yang selalu mengambil banyak atensi di dalam forum dengan tanggapan dan pertanyaannya?
Sombong, ya?
Tidak, tentu saja bagiku tidak demikian. Tapi, harus diakui, bahwa aku memang cukup tinggi hati karena telah lebih dahulu memulai start pengkaderan organisasi mahasiswa baik dari himpunan maupun Badan Eksekutif Mahasiswa. Sehingga, tanpa sadar, sedikit arogansi lepas dari kendali dan terpancar dari sorot mata.
Seperti sekarang, dalam ruangan ini, seluruh atensi yang mengarah padaku begitu familiar, sehingga mengalihkan perhatian akan sesi perkenalan sebelumnya. Tanpa menyadari bahwa seluruh orang yang ada di ruangan ini kelak akan menjadi partner selama satu periode ke depan setelah pelantikan, perasaan bangga dalam dada masih membara. Bukankah pada masa ini seharusnya aku lebih merendahkan diri dan menyadari bahwa biar bagaimanapun, tempat ini adalah zona baru dari yang sebelumnya. Versi lebih besar dan kompleks dibandingkan zona serupa ketika masih di sekolah. Bukankah aku hanya unggul karena kebetulan memulai garis permulaan terlebih dahulu?
.
.
.
Bagaimanapun sesi pengkaderan beberapa bulan lalu, tidak banyak kenangan yang bisa disimpan dalam memori. Pembatasan interaksi antar lawan jenis sebagaimana organisasi rohis pada umumnya, juga menyebabkan hal yang sama. Bahkan setelah berada di tim formatur, tak ada interaksi berarti dengan seseorang bernama Narendra itu.
Akan tetapi, Allah memang selalu punya rencana sendiri yang tentu saja lebih baik dari rencana makhluk fana semacamku. Koordinator Divisi Kaderisasi tempat dirinya berada memutuskan untuk menjadikan dia sebagai ketua pelaksana kegiatan gathering calon kader baru yang juga merupakan mahasiswa baru. Sesungguhnya, aku tidak tahu menahu bagaimana kegiatan itu direncanakan karena aku bukan bagian kepanitiaan.
“Rin, nomor suratnya aku pake, ya.”
Fokusku pada buku akuntansi syariah untuk persiapan kelas berikutnya teralihkan. Mendekat pada Airra dan monitor laptop yang menampilkan surat peminjaman tempat.
“Ini yang terbaru di room chat, kan? Boleh, pake aja, Ra. Langsung update penggunaan nomornya di drive, ya,” jawabku sekaligus mengingatkan.
Baru saja aku bermaksud kembali pada buku, tingkah laku Airra yang membuka ponsel untuk mencari kontak seseorang berhasil menarik perhatian. Apa yang baru saja Airra lakukan?
“Kamu … kirim ke Narendra langsung?”
“Ya, mau gimana lagi.”
“Kenapa nggak kirim ke grup panitia atau humas aja? Kan, sekalian, tuh, anak humas tahu biar langsung running tanda tangan, udah mepet juga soalnya,” ucapanku justru membuat Airra menghela napas kasar.
“Grup humas ada, tapi grup besarnya nggak ada. Yaudah, aku kirim ke Narendra biar dia tanda tangan, baru lanjut ke humas,” jelas Airra.
Sedikit mengganjal rasanya dengan tidak adanya grup besar seluruh panitia. Kepalaku mencoba untuk berpikir kembali barangkali ketuplak memang lebih memilih menggunakan grup penanggung jawab agar koordinasinya satu pintu. Tetapi, ketika Airra memperlihatkanku grup chatting agenda gathering hanya ditemukan keberadaan grup penanggung jawab dan humas.
Ting!
Suara notifikasi ponsel membuyarkan bingungku, namun begitu nomor asing yang tampak pada bar notifikasi, kernyitan di dahi kembali muncul. Nomor asing yang mengirimkan file dengan nama surat peminjaman tempat. Tunggu, ini surat yang dibuat Airra tadi sore. Dan ketika ikon kontak nomor tersebut ditekan, nama “narendraa.03” muncul pada layar menjawab tanda tanya di dalam kepala. Ah, benar, aku tidak menyimpan kontak orang ini.
Ketika pesan tersebut dibuka, wah, kalimat yang tersampaikan dalam bubble chat sopan sekali, ya. Membuatku cukup canggung sebenarnya, tapi kesampingkan hal itu. Perhatianku terfokus pada permintaannya untuk surat peminjaman yang baru karena terjadi perubahan tempat “lagi”. Sesungguhnya, bisa saja aku merevisi surat ini sekarang, namun di dalam Divisi Administrasi dan Keuangan kami menyepakati untuk setiap sekretaris fokus pada satu kegiatan yang dipegangnya tanpa job – nya diambil alih oleh sekretaris yang lain kecuali keadaan benar – benar mendesak. Melihat bahwa jam menunjukkan pukul delapan malam, ini tidak mendesak. Lagipula, bagian kemahasiswaan sudah tutup dan tidak mungkin Narendra akan running sekarang.
“Ini boleh aku ubah sendiri, nggak, ya, buat waktu sama tempatnya? Soalnya lupa belum ada space buat gladi.”
“Ditunggu aja, ya, Mas, suratnya lagi direvisi sama Airra.”
“Nggak boleh diubah, ya? Sekalian mau aku print mumpung lagi di luar,” pintanya.
Bukannya aku melarang, tetapi bagaimana mengatakannya, ya?
“Oh, sudah, Ukh. Ini baru aja dikirim sama Airra. Makasih, ya.”
Syukurlah revisinya selesai dengan cepat. Tunggu sebentar, aku teringat sesuatu.
“Mas, mau nanya. Ini emang nggak ada grup besar panitia, ya? Soalnya ini aku lihat kalau koordinasi lewat japri terus,” tanyaku sadar percapakan ini hamper saja berakhir.
“Eh, iya, Airra itu sekretaris buat gathering, ya. Aku kira koordinasinya cukup lewat Ukh Rinka aja baru nanti lanjut ke sekrenya.”
Entah kernyitan yang keberapa dalam satu hari ini. Pikiran tidak mengerti dan tidak habis pikir, pasalnya bagaimana bisa seorang yang bertanggung jawab terhadap administrasi kegiatan tidak berada di dalam chatting group panitia. Sungguh tidak wajar, seorang sekretaris tidak berada di dalam jalur komunikasi kalian.
Heh, guyonan apa ini?
“Itu … tetap lewat Airra, Mas. Soalnya aku sama Mbak Nia, kalau udah terjun di kegiatan kita monitoring dari sekben di situ.”
“Eh, gitu, ya, Ukh, baru tahu. Makasih, ya.”
Dengan perasaan dan kejadian itulah menjadi awal mula chatting pertamaku dengannya. Di dalam benak ini, rasanya masih kaget bahwa salah satu anggota divisiku tidak mendapat jalur komunikasi yang layak dengan ketua pelaksananya. Sebatas pesan terkait administrasi dan birokrasi. Tidak lebih, bahkan sangat segar diingatan bahwa aku begitu segan memanggil namamu.
Setelah percakapan via chatting berakhir, rasanya jadi lucu. Padahal seangkatan, namun sebutan “mas” mendahului namanya. Di sisi lain, istilah “ukh” sebagai panggilan lumrah di organisasi rohis yang terlontar ketika interaksi. Rasanya nostalgia mengingat kali terakhir aku mendapat panggilan itu adalah dua tahun lalu saat masih di rohis sekolah.