Tahun ini, dia tidak datang lagi. Apa yang sedang dia lakukan? Apa yang sedang dia pikirkan? Apakah dia sedang kesulitan?
Sweater hangat berwarna coklat muda bermotif rusa putih yang Eliza Vjeshte kenakan tidak mampu menahan dinginnya sore hari ini.
Dengan tampang putus asa ia mengeluarkan kamera polaroid yang ada di dalam tasnya, kemudian menaiki jembatan Triste di atas kolam ikan berukuran sedang. Ia mengabadikan momen gugurnya daun Taman Auntumn Gardenia yang mengapung di atas kolam itu.
Ah, cantik sekali hasilnya. Gumam Eliza kepada diri sendiri.
Kapan kau akan mengunjungi tempat ini lagi? Kau yang mengenalkannya padaku, tapi kau juga yang menelantarkannya untukku.
***
Seorang lelaki yang aku tunggu adalah pelukis. Kanvasnya tak pernah gagal memikat hati sang pengamat. Ketika kita memperhatikan lukisannya dengan seksama, akan tergambar pesan dari perasaannya yang saat itu ia siratkan.
Ada dua lukisan yang ia pajang di atas meja belajarnya. Ia memberi nama kedua lukisan itu "Vjeshte", artinya musim gugur. Salah satu dari keduanya ia lukis ketika sedang merayakan kedukaan mendalam di taman Auntumn Gardenia. Hari ketika ibunya meninggal dunia.
Masih teringat dengan jelas penampilannya hari itu yang sangat rapuh. Sambil mengepulkan asap rokok di mulutnya, ia menatap kosong hasil lukisannya. Kemudian menangis, kemudian terdiam, kemudian menangis, kemudian terdiam lagi. Begitulah siklus kehidupannya selama tiga hari.
Yang berbeda di hari ketiga adalah ia menyadari kehadiranku dari jauh, lalu ia membuang sisa rokoknya ke dalam tempat sampah, mengantongi kedua tangannya ke dalam saku, kemudian berlari ke arahku sambil tersenyum.
"Sudah merasa lebih baik?" tanyaku.
"Hmm lebih dari itu, aku hanya rindu padamu" jawabnya tersenyum kecil.
"Bohong, mulai kemarin ketika kau melukis aku berdiri di sini lama sekali, tapi kau sadar saja tidak. Aku ingin kau mulai menerima semua ini dan kembali melakukan kegiatan lagi, lalu awas saja jika aku masih melihatmu merokok." kataku dengan tegas.
"Aku sudah lebih baik, maaf karena aku sama sekali tidak menemuimu. Sepertinya ini yang kau rasakan ketika kehilangan Ibu." ucapnya sambil menghela napas.
"Entahlah, aku lupa karena itu sudah lama sekali, yang jelas waktu itu aku menangis seharian, kemudian besoknya kau mengajakku mencari hewan peliharaan dari toko ke toko." jawabku sambil tertawa kecil.
"Ahh, sudahlah ayo duduk di sana. Mari kita lihat hasil lukisan dari pangeran kita selama tiga hari ini." kataku sambil berjalan ke arah kursi ia duduk tadi.
Aku sangat terkejut melihat hasilnya. Seorang wanita dengan rambut panjang dan mata yang bengkak sedang menangis membawa keranjang piknik rotan. Wanita itu berdiri diantara gugurnya daun-daun taman Auntumn Gardenia yang berwarna jingga.
"Apakah itu... adalah aku?" Betapa terkejutnya diriku ketika melihat lukisan Albert, itu adalah lukisanku yang sedang menangis dihari pertama ketika ia mulai melukis. Aku mengantarkan beberapa camilan agar dia tetap makan tetapi aku sendiri tidak mampu menutupi rasa sedihku sehingga aku kembali ke rumah tanpa menemuinya. Aku tidak ingin ia terbebani karena tangisanku.
Hari itu aku sangat berduka karena kehilangan Bunda yang sudah seperti ibuku sendiri, selain itu lelaki yang aku sayangi terlihat sangat menderita namun aku tidak tahu harus berbuat apa.
Berkali-kali ditinggalkan orang yang berharga dalam hidup tidak membuat kita terbiasa, tetap saja menyakitkan.
Kehilangan ibu sudah sangat menyedihkan, tapi kehilangan sosok ibu untuk kedua kalinya terasa sangat menyakitkan.
Hari itu aku tidak sanggup menghiburnya. Karena itulah aku hanya memandangnya dari jauh, aku benar-benar tidak ingin menangis di hadapannya.
"Aku tau kau juga sangat berduka, Eliza. Aku tau kau berdiri di sana kemudian menangis lama sekali. Seharusnya kau datang saja padaku, aku sudah bilang berkali-kali, jangan merasa sengsara sendirian, bukankah lebih baik kita berjuang bersama-sama untuk menghadapi rasa sedih itu? Justru tidak benar ketika kita saling menyembunyikan rasa sakit dan memilih untuk berpura-pura."
Seketika itu pun aku menangis.
Hatiku sesak karena rasa sakit tetapi disisi lain aku bahagia karena merasa dicintai.
***
Semua yang ia katakan adalah kebenaran, tetapi mengapa ia sendiri yang mematahkannya?
".. justru tidak benar ketika kita saling menyembunyikan rasa sakit dan memilih untuk berpura-pura."
Mengapa dia berpura-pura baik-baik saja kehilanganku? Mengapa dia tidak jujur dengan apa yang sedang dia hadapi saat ini? Aku bisa membantu mengapa dia memilih pergi?
***
Seperti biasa dedaunan di Taman Auntumn Gardenia berguguran dengan sangat indah. Namun, ketika penikmatnya sedang bersedih keindahan itu berubah menjadi perasaan yang sayu. Ketika menoleh ke arah sangkar burung, ia melihat sesuatu yang baru yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Sapu tangan. Bagaimana bisa ada sapu tangan di sini? Meskipun sedang dalam keadaan yang bingung, tetapi Eliza memilih untuk menghiraukan hal tersebut dan kembali merenungi segala kenangan yang telah terlewati dalam tempat tersebut.
Sebentar lagi musim dingin akan tiba. Ini sudah tahun ketiga Eliza menunggu kabar lelaki itu dengan putus asa. Semua sudah Eliza lakukan agar dapat melupakan Cameron Albert, pemilik hatinya selama 10 tahun ini.
Mungkin mereka saling mencintai, tetapi tidak ditakdirkan untuk memiliki.
***
next pov Julian Arlo: start Gardenia (BAB 1)