"Karkata! Kamu di mana!? Tante hubungi kamu dari tadi kamu enggak nyaut-nyaut! Pulang Karka!" Aku mengerutkan kening kuat-kuat, suara nyaring dari seberang terdengar jelas di telinga kiri. Spontan aku menjauhkan benda segi empat yang sering dipakai untuk bertukar kabar atau sekadar membagikan potret kehidupan di jaringan sosial. Kugelengkan kepala kuat-kuat agar kesadaran cepat menghampiri kembali. Aku ada di klub, sejak dua jam lalu. Tara bilang kepalanya sedang pusing dan banyak masalah, jadi dia minta aku temani sebentar. Harusnya aku tahu kalau kata sebentar punya Tara itu sama dengan enam jam. Aku masih bisu, belum menjawab teriakan dari arah seberang. Kepalaku berdenyut, telinga berdengung dan perutku mual, entah berapa banyak cairan penghilang akal yang sudah aku tenggak. Aku berjalan melipir ke arah dinding, berpegangan pada pundak orang-orang yang sibuk menari dan tidak lagi tahu pada sekitarnya. Kalau mau melihat wujud Setan yang menjelma jadi manusia di sini tempatnya, iya, termasuk aku dan Tara. Kami setan-setan yang masih berusaha mengingat Pencipta dan kuasa-Nya.
"Maaf, Tante. Karka lagi di luar, jadi enggak tahu kalau Tante telefon. Ada apa?"
Aku harap suaraku terdengar normal dan tidak aneh. Tidak mau aku menambah rumor jelek di kalangan keluarga, jelas, citraku di mata mereka sudah jelek. Sudah seperti tikus rumah yang kotor dan pantas disiram air panas. Namun, cukup sampai di situ saja, mereka yang berkata sebagai keluarga yang sesungguhnya tidak pernah peduli ini menyebarkan rumor jelek tentangku. Jangan sampai ada tambahan seperti serial kolosal di televisi.
"Karkata pulang! Bapakmu udah enggak ada!"
Tubuhku mematung. Dengung mengelilingi telinga, tidak lagi terdengar suara dentuman musik yang seharusnya bisa menembus jantung, tidak lagi dapat aku mendengar suara manusia yang berteriak karena dibuai kenikmatan dunia, tidak lagi terasa di mana aku berpijak saat ini. Ada di mana? Tidak tahu aku. Pengar aku. Pekik putus asa dan penyesalan yang paling dalam mencuat dari dalam relung, seolah tengah merangkak dan menguasai akal sehat. Apa yang memukul perut? Tidak ada, hanya saja rasa bergejolak yang benar-benar kuat dan membuatku muntah.
"Blergh-"
Aku berpegangan pada ujung meja, aku berusaha untuk menahannya dan tetap tenang dalam segala situasi. Namun, pada kenyataannya Nihil. Mereka bilang, segala sesuatunya adalah milik Tuhan, dan sudah pasti akan kembali pada Tuhan. Bukannya aku tidak tahu, tentu saja tahu, tapi kalau sudah benar-benar diambil apa tidak boleh dikembalikan? Putar ulang waktunya, sedikit saja, aku belum minta maaf dengan Bapak.
"Blergh-" Aku muntah lagi.
"Karkata!" Suara tegas setengah berteriak menembus dinding hening yang aku ciptakan beberapa saat lalu. Gemerlap lampu dan ramainya orang-orang tidak memudahkanku untuk melihat, aku tidak tahu siapa yang memanggil, kawan atau petugas yang menjaga klub. Aku tidak lihat Tara, ada di mana dia? Ah sudahlah, yang paling penting sekarang adalah pulang ke rumah dan menemui Bapak.
"Karkata!" Suaranya terdengar lagi, kali ini bersamaan dengan genggaman erat di lengan. Pria yang tiba-tiba datang barusan mengguncang tubuhku kuat-kuat, otak dan kesadaranku diguncang hebat, entah secara fisik atau mental. Perlahan, aku tatap sepasang mata yang ada di hadapan, sepasang mata gelap dengan segala amarah yang tersirat. Seorang pria; duduk setengah berlutut di hadapanku, menggenggam lenganku erat dan pandangan matanya menukik tajam. Pria dengan wajah yang tidak mirip orang lokal, sulit dijelaskan dengan lisan apa lagi dengan tulisan, tapi bentuk tulang wajah dan bagaimana tegasnya pria ini menatap sungguh tidak mirip orang lokal. Dalam samar aku ingat, dia Galaksi, kawanku yang sedang dapat peran jadi pacarnya Tara.
"Gala. Gala, aku mau balik. Mau balik sekarang, enggak mau nanti." Suaraku serak, mungkin karena efek minuman keras atau karena efek suara dentuman musik yang tidak dapat dikontrol. Lenganku masih dicengkeram, kencang seperti maling yang hendak digeret ke tiang pengampunan, atau seperti Kambing yang akan disembelih. Sedikit juga tidak berusaha aku melepaskan cengkeraman dari Gala, karena aku tahu pasti akan sia-sia.
"Gala, balik. Aku mau balik. Bapakku mati! Kamu sama Tara aja! Lepas!"
"Tara ada di mobil. Aku antar balik sekarang. Kalian benaran enggak ada akal sehat, enggak kayak manusia. Karka, kamu tahu Bapakmu sakit, 'kan? Kenapa malah nurut dan mau nemenin Tara? Temenan enggak kayak gitu caranya, kamu harus paham prioritas, Ka. Bisa mikir enggak kamu?" Gala menarik lenganku ke atas dan menggeret kakiku keluar dari klub. Aku diam saja meski Galaksi saat ini sedang mencaci maki, apa yang Galaksi ucapkan benar adanya. Toh, memang aku yang diam, memang aku yang memilih keluar dengan dalih menemani Tara yang sedang pusing. Pada kenyataannya, aku cuma lari dari hidup. Aku lari dari kenyataan kalau Bapak enggak akan hidup lama lagi, kalau Bapak enggak akan bisa sembuh lagi. Aku memutuskan untuk lari, menutup telinga dan pejamkan mata, seperti para atasan yang akan pura-pura tidak tahu saat bawahannya kesulitan sampai harus menjual harta benda bahkan keluarga demi sesuap nasi. Aku lari dan takut kembali, aku pecundang yang tidak mampu menoleh ke arah belakang. Bagaimana Bapak dan bagaimana akhirnya, aku pengecut, aku takut. Lebih buruk dari Ayam yang akan digorok lehernya. Jujur saja, aku juga iri pada binatang yang tidak punya perasaan, tidak punya akal. Mereka tidak akan merasa takut saat membayangkan akan kehilangan orang tua atau saudara, atau bahkan nyawa mereka sendiri. Manusia mana yang ingin jadi binatang? Aku. Aku jawabannya.
"Gala, enggak mau. Aku enggak mau pulang. Kalau aku pulang semuanya jadi nyata, Gala enggak mau. Kita masuk lagi aja ya? Enggak mau. Nanti kalau didiemin, terus bangun besok paginya udah enggak apa-apa. Gala, aku takut. Aku enggak mau Bapak pergi!"
"Karkata! Enggak ada akal kamu ya!?"
Diam. Tidak satu patah pun aku jawab Galaksi. Aku tidak tahu harus jawab apa pun aku tidak tahu bagaimana bisa keluar omongan semacam itu dari mulut.
"Karkata. Enggak apa-apa, semesta udah rencanain hidup Karka kayak gitu. Enggak apa-apa, jangan takut. Aku di sini, Ka. Ada Tara juga, ya? Kita pulang, aku temenin, jangan jadi pecundang kayak gitu. Aku enggak ingat pernah suka sama cewek manja yang takut sama hidup. Karkata itu kuat, hebat, bajingan, dan bukan pengecut. Enggak apa-apa, semesta tahu apa yang paling baik buat Karka. Semesta tahu gimana harus nyusun hidup Karka. Karka selalu bilang kalau semesta itu selalu suka Karka, 'kan? Semesta enggak akan mungkin jahat sama Karka. Enggak usah percaya aku, enggak usah percaya Tara. Percaya aja sama semesta." Perlahan, Gala melingkarkan kedua lengannya di tubuh. Aku masih diam seperti orang bisu, tidak mampu menjawab, tidak mampu bicara. Seperti lidah yang sedang ditarik oleh jari-jari yang datang entah dari mana.
Aku biarkan Gala memelukku beberapa saat, meski biasanya aku selalu menolak sentuhan dari Gala. Dengan ingatan yang tumpang tindih, sekelebat ingatan tentang Ibu mencuat. Bagaimana saat Ibu menyumpahi aku mati dan segera bertemu Tuhan. Sayang, Tuhan tidak merindukan aku, Bu. Tuhan lebih sayang dan lebih rindu Bapak dibanding anaknya yang tidak punya akal ini. Dalam ingatan yang bercampur, dalam pelukan Gala, aku menangis kencang dan diredam oleh suara musik dan teriakan manusia atas nikmat dunia.