Seblak, seblak apa yang romantis?
Seblak kau terlalu indah dari sekedar kata~
—Andira
⋇⋆✦⋆⋇
Mama adalah wanita yang pekerja keras, dia mengemban status sebagai kepala keluarga semenjak kepergian Papa. Beliau mungkin sangat kompetitif di mata para tetangga, sebab semua kegiatan hampir diborong oleh Mama. Tanpa orang tahu bahwa hasilnya hanya untuk mencukupi keperluan hidup kami.
Semua jadi dikatakan memborong hanya karena Mama selalu terlihat sibuk, padahal beliau hanyalah guru honor di SD dekat komplek kami. Tapi bukan itu alasan utamanya, sebab dari kesibukan beternak ayamlah Mama jadi suka mondar-mandir untuk beberapa hal. Pertama, membeli makanannya. Kedua, mengantar telurnya yang sudah cukup terkumpul ke penjual beli telur. Ketiga, menjadi sumber daging ayam kalau ada yang mengadakan acara.
Tentu kalau dibandingkan ayam, aku jauh lebih teracuhkan. Seandainya gempa, bisa saja Mama lebih memilih menyelamatkan beberapa ekor ayam untuk melakukan perkembangbiakan jika bencana itu memusnahkan banyak ayam. Kupikir lumrah untuk seorang wanita yang tidak mau cari pengganti, begitu juga dengan Tante Ratna selaku ibunya Anan, dan juga Tante Yohana selaku ibunya Jo.
Mereka tidak memilih menikah setelah ditinggalkan dengan masalah yang beranekaragam, jadi ketiganya bisa saja sibuk untuk urusan masing-masing. Contohnya Tante Yohana yang ternyata meninggalkan Jo untuk pelatihan ketua PKK, pantas saja dia mengangkut kami berdua untuk ke rumah ini.
Setelah melakukan hal yang sedikit tidak sia-sia, hasil pancingan kami setidaknya membuat ember tidak jadi kosong. Tahu berapa? Hanya satu. Dan itu yang pertama sejak Jo mendapatkannya. Kami tidak bisa melanjutkan acara itu karena tali pancingan tersangkut dan melilit-lilit di bawah air sana. Mungkin kalau dari atas kolamnya menyuguhkan pemandangan daun lebar dan juga bunga teratai yang cantik, tapi bawahnya, seperti banyak jebakan di sana.
"Lu tidur sendiri?" Anan tanya saat kami memutuskan pergi dari kitaran kolam, panggilanku untuk memberi makan ayam juga akan sampai sebentar lagi, jadi aku berjaga-jaga untuk memperkuat pendengaran kalau saja Mama memanggil.
"Emang kenapa?" tanya Jo saat meletakkan ember dan alat pancing di pelataran rumahnya.
"Ya, enggak apa-apa, cuma na ...."
"Tidur aja di sini, Anan," potongku tiba-tiba.
"Sama elu?"
"Issshh, sama Jo." Kupukul lengannya yang membuat tawa lepas setelah itu.
"Kagak gue, bisa aja sendiri," tolak Jo.
Tapi aku agak kasihan, soalnya Jo tidak pernah ditinggal sendiri begini. Jadi ini yang pertama. Bagaimana kalau dia nangis-nangis malam nanti? "Sekali-kali, siapa tau lu berdua jadi lebih seru pas gue enggak ada," ujarku.
"Emang kalo gue di sini, bakal lu kasih makan apa?" tanya Anan sambil bersandar di tiang pancang sudut rumah Jo.
"Babi goreng, mau?"
"Gila lu!"
"Ya udah ganti daging kodok."
"Hih makin menjadi lu!"
Kekesalan Anan jadi bahan tawa yang menyegarkan buatku dan juga Jo, hingga akhirnya kami bisa tergelak bersama setelah itu.
"Lo berdua didaftarkan ke olimpiade sains, 'kan? Sekalian belajar bareng aja 'kan bisa." Aku duduk di sebelah Jo dan memandang mereka bergantian, kiri dan kanan. "Yang matematika siapa?" tanyaku lagi.
"Gue." Mereka kompak menjawab.
"Widih, satu tim tuh. Udahlah gas aja tidur berdua," kataku, "Nginep. Santai ngapa sih mukanya, gue enggak bilang lu homo."
"Itu lu bilang!" tunjuk Jo yang membuatku memundurkan badan agar tak tercolok, takut sekali jika seandainya jari telunjuk Jo menembus masuk mata.
"Cuma kasih saran, kayak berani aja lu tidur sendiri. Belum pernah ditinggal Tante Yohana, 'kan?" tanyaku.
"Huuuu, penakut," olok Anan.
"Lu berdua emang anjirrr," kata Jo, "Lagian sejak kapan lu pinter matematika? Perasaan tingkah lu di kelas kayak orang enggak niat sekolah." Dan dia tanya sama Anan kemudian.
"Lu bacot, mending diem," sahut Anan.
"Lah, coba dulu. Beneran pintar kagak lu? Min kali min hasilnya apa?" tanya Jo.
"Ples lah!" Dengan cepat Anan jawab.
"Salah!" kataku sambil tertawa. "Jawabannya lompat."
Anan mengernyitkan dahi. "Kok gitu?" tanyanya.
"Emang lu kalo diteriakin min kali min! bakal diam aja gitu? Lompatlah." Jo yang jawab.
"Anjirrr! Korban Tiktok lu berdua!"
Kami tergelak lagi, juga bertepatan saat aku melihat Mama berdiri di pelataran dan berkacak pinggang ke arah rumah Jo. "G-gue dipanggil tuh!" seruku sambil menggeplak lengan mereka satu-satu, lalu berlari pulang sebelum teriakkan Mama mengacaukan kedamaian komplek tempat tinggal kami sore ini.
"DADAH!" Saat di depan pelataran, aku berbalik dan melambai.
Keduanya kompak merespon. Yang satu melambai dengan uluran tangan panjang, yaitu Anan. Sedangkan satunya melambai dengan posisi tangan di depan dada, yaitu Jo. Tapi keduanya punya makna yang sama untukku, menyenangkan.
***
"Oi, ada pemalak nungguin lu depan rumah." Merupakan kalimat yang kudengar saat Kak Novan membuka pintu kamar.
"Apa sih, Kak? Sudah malam juga." Aku menganggapnya candaan yang membosankan, jadi fokusku hanya pada drama korea yang terjadwal lanjut episode hari ini. "Aduh!" Kemudian menoleh ke arah pintu setelah dengan sengaja dia melempar pisang goreng ke kepalaku.
"Itu lho di depan!" Kak Novan terlihat marah, artinya dia serius.
"MAAA! KAK NOVAN LEMPAR ...."
"Iya, iya. Nih! Nih! Gue makan lagi, heum! Puas lu." Dia membuatku tak berkutik saat menyerobot masuk hanya untuk mencomot pisang goreng yang tergeletak di lantai, yang lebih mengejutkannya lagi, Kak Novan benar-benar memakannya.
"Aduh!" Juga tak lupa menjitak puncak kepalaku sebelum pergi. "Siapa sih?" Setelahnya kucek dari kaca jendela, ternyata Anan dan juga Jo.
Itu mereka sungguh bersama, 'kan? DEMI APA?
Langkahku pun bertenggang dengan semangat, bahkan membalap Kak Novan saat turun tangga. Dia hampir menjatuhkan pisang gorengnya lagi jika tidak mengeluarkan jurus seribu bayangan untuk menyelamatkan makanan itu. Sedangkan aku tidak tahu lanjutan aksinya sebab sudah berdiri di depan pintu dengan napas tersengal.
"Ngapain?" tanyaku.
Anan yang pertama bergerak dan berdiri di tepi pelataran. "Mau beli seblak, lu ikut atau nitip?" tanyanya.
"NITIP!" Yang jawab justru Kak Novan di belakangku. "Beli empat, entar makan sini aja kita bareng-bareng," katanya kemudian.
"Enggak, kita makan sana aj ...."
"Makan sini." Kak Novan mengacak-acak rambut panjangku hingga membuat Jo dan Anan tertawa. "Mau tidur sini juga boleh, kita nongkrong depan TV," lanjutnya.
"Yang ada enggak tidur! Besok sekolah," kataku.
"Lu tau apa urusan lelaki, masuk sana!" Tubuhku didorong secara cuma-cuma, seakan harga diriku setara kucing liar yang bau.
"Eh, gue bikin mie aj ...."
"Seblak!" Astaga, Kak Novan! Kenapa dia ini masuk ke dalam urusan kami, aku jadi sangat ini menendang pantatnya. "Hati-hati, agak mendung tuh. Kalo bisa pulang sebelum hujan, misal warungnya rame, putar balik aja. Entar adek gue yang bikin ...."
"Ya mending bikin mie aja kalo gitu!" selaku.
"Dek." Kak Novan berdiri sambil melipat tangan di depanku. "Lu pernah enggak beli seblak empat bungkus tapi ngakunya lu bukan siapa-siapa Jo ataupun Anan?"
"Hah, apaan tadi ...."
"Seblak kalo beli empat bungkus gratis satu!" seru Kak Novan.
Mungkin Anan dan Jo tidak banyak menyela selain jadi penonton yang terhibur, tapi aku yakin dalam hati mereka akan berkata, "Lu berdua berisik, nyesel kami ke sini dulu tadi."
"Gue tunggu ye, ingat pesan gue." Kak Novan kemudian masuk lebih dulu, hampir aku mau mengejarnya kalau tidak Anan tak menarik tanganku.
"Apa?" Bahkan dia jadi pelampiasan karena rasanya aku kesal sekali.
"Jawaban gue apa? Lu dari kemarin belum jawab, harus berapa lama gue nunggu?" Kami mungkin berpijak pada dua hal yang berbeda, yaitu aku di pelataran berkeramik yang dingin, dan Anan di atas tanah yang ujung sendalnya mencium tepi perlataran rumah.
Aku menatapnya dengan raut tanpa makna, seperti terjebak dalam penjara tanpa perasaan dan juga pikiran. Namun hal itu tak membuatku buta untuk menjadi manusia yang pembicara ketika ada pertanyaan. "Gue ...."
"Mau hujan, Anandra." Jo menyela di atas motornya sana, Anan pun tersenyum.
"Gue bakal balik lagi setelah ini," katanya kemudian.
Tbc;