Mending mana, dikatain cantik
oleh crush lu sendiri. Atau dikatain
cantik oleh anak-anak? Kalo gue sih
pilih dikatain cantik oleh Anandra.
—Andira
⋇⋆✦⋆⋇
Pertama, pelataran rumah di saat malam hanya akan menampung keberadaan tubuhku jika tidak ada nyamuk dan binatang kecil lainnya. Kedua, sebuah pembakaran di saat malam hanya akan terjadi ketika aku ada di pelataran. Ketiga, mati lampu di saat malam hanya akan membuat faktor pertama dan yang kedua benar-benar terjadi seperti sekarang ini.
Sejak dulu, Mama rutin menanamkan kegiatan ini karena mengelak takut akan gelap saat mati lampu. Kami berkumpul di luar sampai sumber listrik aktif kembali, atau sampai benar-benar merasakan kantuk jika tidak ada pilihan lain.
Kata Kak Novan, Mama takut gelap sejak ditinggal Papa. Kabar dukanya masuk ke telinga saat suasana rumah seperti dalam goa. Aku tidak tahu apakah cerita dari si Pembual itu memang benar atau tidak, namun melihat bagaimana tak terbentuk garis wajah yang mengkerut saat dia tertawa, Kak Novan berarti menceritakan sesuatu yang serius.
Akan berbeda ketika suasana yang begitu hidup berhasil mengalihkan ketakutan Mama. Contohnya api unggun kecil-kecilan melalak di halaman depan --tak jauh dari pelataran rumah --yang dinyalakan oleh Kak Novan setelah memperbudakku dan Anan buat mengumpulkan kayu-kayu yang ada. Mama bahkan mengaku lega karena bisa lepas rindu dengan suasana ini. Kalian mungkin tidak percaya kalau Kak Novan yang spek pelawaklah yang menciptakannya.
"Kue, kue apa yang galau?" Kak Novan tanya padaku dan Anan yang sedang duduk di tepi pelataran.
"Kue tanpa susu," jawabku.
"Teng! Salah." Satu buah ranting kecil Kak Novan lempar ke api yang ada di depan kami.
"Kue yang enggak mateng."
"Salah."
"Kue lebaran."
"Salah."
"Kue hasil jambret."
"Salah."
"Kue ... nyerah!" Anan tampak tak tertarik menjawab, jadi sejak tadi hanya ada suaraku dan Kak Novan saja.
"Jawabannya adalaaaaaahhhhh." Kak Novan berdiri dan menjadikan kobaran api seperti pengantar cahaya di belakangnya sana. Dia merentangkan tangan dan bilang, "Kue lungo pas aku sayang-sayange."
DIA MENYANYI DONG!
"Tanpa pamit kowe ngadoh ngono wae." Masih lanjut dengan konser dadakannya, Kak Novan jadi lupa tempat. Pasti baginya aku dan Anan adalah penonton setia yang menikmati nyanyian merdu itu, sementara di belakang kami ada Mama bertepuk tangan yang duduk di bangku. "Aku ra ngerti salahku ...."
"Dir." Di sela itu juga, Anan menyenggolku. Astaga kami duduk dekat sekali! Langsung saja kubuatkan jarak demi harga diri Mama yang duduk di belakang kami (takut ketahuan modus), tapi tidak jauh-jauh sekali sih, soalnya aku juga mau dekat-dekat sama dia.
NYENGIR 'KAN LU SEMUA!
"Pacaran yuk."
"Heh!" Aku tentu meneriakinya dengan nada yang mirip sama Mama ketika melihat seekor tikus berenang dalam bak mandi.
"Aboooootttt ... tak trimo!" Karena kehebohan Kak Novan yang membuat Mama tertawa, sepertinya dua pasangan ibu dan anak itu tidak terlalu memperhatikan kami. Paling Kak Novan menganggap aku mau menghentikan konser saat bilang heh dengan nada tinggi tadi. "Sing tak arep kowe ...." Jadi dia masih menikmati nyanyiannya sendiri saat aku juga terjebak dalam keterkejutan menatapi Anan.
"Yuk, pacaran." Lagi. Anan membuatku ingin sekali melahap bara api demi menahan sesuatu yang mau kuteriakkan lagi padanya. Tapi ada daya, mendengar itu saja sudah membuat seluruh tubuhku mati rasa, aku mau pingsan. "Tante, iz ...."
"Heh!" Aku menutup mulutnya dengan menginjak kaki kanan yang paling dekat dengan kakiku, dia tertawa begitu puas.
"Udan bledek kang dadi saksiku." Tepat ketika nyanyian Kak Novan selesai, lampu kembali hidup.
Tapi aku dan Anan seakan tak menyadari itu. Kami masih berpandang-pandangan, sampai suara plak dari kedua telapak tangan Kak Novan timbul di tengah kami berdua. "Tepuk tangan!" titahnya saat kami punya tujuan memandang yang serupa beralih kepadanya.
Kami pun bertepuk tangan, bahkan sengaja kutepuk kencang-kencang supaya manusia sombong seperti Kak Novan merasa puas. "Gue tunggu jawaban lu." Di sela itu Anan membisikku.
***
Pasti Jo jauh lebih bangga karena sudah bisa bawa motor sendiri ketimbang langganan menebeng denganku. Pagi-pagi sekali di hari senin, dia menggas motornya dengan begitu panjang. Itu bertepatan ketika aku keluar rumah sambil menjingjing sepatu, juga tetap bersama perasaan sebal karena motorku lindang lagi dan lagi.
Jo pasti sudah menyadarinya sejak awal, jadi kutebak keberadaannya di sana adalah untuk menungguiku sebagai bentuk cara berbalas budi. Maka cepat-cepat saja kupasang sepatu putih yang bertali merah muda di kanan dan kiri kakiku, sepatu ini berabonemen membuatku jadi peserta bersih-bersih kamar kecil setelah selesai upacara.
Lagian mau bagaimana lagi? Sepatu yang berwarna hitam masih menongkrong di atas kandang ayam, sementara pukul dua dini hari tadi bumi dilanda hujan. Itu kata Mama, soalnya aku mana mungkin terbangun jam segitu kecuali jadwal tidurku berubah jadi pukul tujuh malam.
Sambil menjinjing helm yang berwarna merah muda, hanya tinggal menyeberang jalan saja agar sampai ke rumah Jo. Namun langkahku berhenti ketika Anan teriak, "Andira!" Dengan begitu lantang dari rumah sebelah.
Aku pun menoleh sambil melebarkan mata. Entah sudah berapa kalikah aku menyakiti Anan dengan cara bersikap seperti ini. Mana Jo yang ada di seberang pasti mengira aku mau mendatanginya lagi, aku jadi seperti berada di posisi Farel dalam sinetron My Heart yang mengatakan, "Ini benar-benar pilihan yang sulit."
"Gue ikut Anan!" Hingga itulah yang kupilih sambil merubah arah perjalananku kepada Anan di rumah sebelah. Tapi kemudian aku juga tersadar. "Eh, lu tunggu ... JOOO!" Belum selesai bicaraku itu, Jo sudah melancing dengan motornya tanpa pamit.
Langkahku berhenti di belakangnya, termenung. Tapi tidak sampai membuat Anan menunggu hingga perjalananku sampai di pelataran rumahnya. "Kok dua?" Aku tanya saat lihat sepatu warna hitam ada di samping dekatnya duduk.
"Buat Renata," jawab Anan.
Dia masih fokus mengikat tali sepatunya sendiri, tanpa tahu kalau aku tiba-tiba ingin membuang sesuatu yang terpasang di kakiku sejauh mungkin. Sepertinya Anan tidak tahu kalau aku mendadak insecure, kontak mataku jadi beratur ke langit-langit.
Malu, bahkan aku tidak tahu kalau dia sudah sampai ke pembentuk ikatan yang terakhir di kaki kiri. Juga tidak tahu kalau sekarang ada di depanku, dengan jarak dekat. Dekat sekali.
"Percaya?" tanyanya sambil tertawa, lalu memegang bahuku agar duduk di tepi pelataran.
"Anan?" Aku tak berkutik ketika dia melepaskan sepatuku yang sebelah kanan, dilanjutkan dengan memasangkan sepatu warna lain yaitu hitam. Dan satu-satunya yang mampu kurasa, kusadari, juga kunikmati adalah, Anan indah sekali hari ini.
Apalagi ketika menatapku dengan kepala yang dimiringkan, sambil tersenyum, lalu sampai ke fase menyengir. Aku tak sadar kapan sistem pernapasanku berhenti, seakan jika udara melewati asimilasiku, ketampanan Anan akan musnah dan lindang entah ke mana.
"Aduh!" Sampai akhirnya dia menjitak tengah jidatku, baru aku tahu kalau bukti manusia yang hidup adalah dengan cara bernapas. Dia tertawa dan berdiri untuk meletakkan sepatu putihku ke rak yang ada di pelataran rumahnya, sedangkan aku melihat sepatu warna hitam yang terasa kebesaran di kakiku. "Katanya buat Renata." Aku membahasnya lagi saat Anan naik ke motor.
"Makanya gue tanya, percaya lu?" Anan mulai menghidupkan motor. "Naik," katanya.
Meski sambil manyun-manyun karena ketahuan cemburu, aku tetap bergerak sampai memposisikan diri dengan benar di belakangnya. Hanya ada dua hal kental yang kurasa saat menjadi seorang penumpang. Pertama, ketika sama Anan aku akan merasa seperti dibonceng oleh Mama. Alurnya teratur, tidak kencang dan suwir-suwiran, damai dengan pemandangan pagi yang cerah, seakan keberangkatan kami sedang menuju ke alam surga.
Kedua, ketika sama Jo maka akan terasa seperti dibonceng oleh Kak Novan. Mereka bawa motor seperti mengajak ke akhirat, ugal-ugalan laksana pembalap dalam arena, bahkan rambutku bisa saja mirip penyihir yang baru bangun tidur kalau sudah sampai di tempat.
Aku tidak bermaksud membandingkan dan menjelekkan keduanya. Hanya saja perjalanan yang baik adalah memastikan penumpang puas dan merasa aman.
Itulah perjalananku pagi ini, jadi terasa baik karena aku puas dan aman. Juga jadi terasa sangat baik karena Anan yang menyetirnya. "Pagi, Cantik." Dan menjadi sangat-sangat-sangat baik ketika Anan mengatakan kalimat itu.
Tbc;