Ada enggak ya manusia yang
enggak suka mangga muda?
—Andira
⋇⋆✦⋆⋇
Lantunan merdu Bapak Ustad Yunus berkumandang menembus suara reruntuhan air dari langit, aspirasinya juara menguasai udara hingga cukup membuat kami bertiga terdiam menikmatinya. Benar. Sudah magrib ternyata. Namun hujan masih betah menciumi tanah, dan hal itu membuatku bertanya sama Mama apa harus pulang atau tidak lepas sholat nanti.
Nyatanya jawaban beliau adalah, tunggu hujan reda, temani aja Anandara yang sakit. Tanpa tahu kalau sebenarnya Anan sudah membaik, bahkan Mama Jo juga mengatakan hal serupa. Tidak kami sangka kalau persahabatan antar orang tua membuat tingkat kepercayaan mereka untuk membiarkan kami bersama begitu besar juga.
"Gue mau mandi," ujar Jo, dan ini cukup membuatku kaget karena sedang dingin begini dia justru mau mandi. "Gue tadi kehujanan sedikit, kalo enggak mandi bisa aja sakit. Anandra gue pinjem baju," jelasnya sambil bergerak membuka lemari Anan.
Jo benar-benar mandi dong! Ia meninggalkan kami berdua dengan keadaan ruang yang dinginnya minta diusir, saat kuteliti ada bagian jendela yang terbuka. "Lu harus tetap minum obat malam ini," ujarku.
"Gue udah sembuh," ujar Anan, ia sibuk melihat-lihat isi lemari yang tampak beralih posisinya karena Jo tidak hati-hati. Ada beberapa baju kaos yang diletakkan ke lantai, lalu ia merapikan kembali benda-benda di sana dengan benar. "Entar ganti baju lu," katanya.
Melihat bagaimana bersih dan rapinya Anan, kupikir memang harus mandi kalau sedang bersamanya. Dia ini kena debu sedikit saja langsung bersin, tidak heran kalau lingkungan tempatnya berada harus diperhatikan baik-baik. Kupikir pula ia sakit bukan karena kena hujan saja, sebab aku yakin setelah kehujanan semalam ia pasti akan langsung mandi. Nyatanya bersih saja tidak cukup untuk imun tubuh yang rendah.
"Gue mau mandi juga," ujarku.
Anan tampak menyipitkan mata. "Kenapa lu jadi mau mandi?" tanyanya.
"Ya, pengen aja."
"Lu enggak perlu mandi."
"Tapi gue mau mandi."
"Dingin."
"Dingin doang."
"Gue enggak tanggung jawab kalo lu menggigil ya, Andira!"
Huh, menggigil apanya? Akan kubuktikan kalau hal itu tidak akan terjadi, jadi setelah Jo selesai mandi, aku segera menyusul dan mencoba untuk membersihkan diri juga. Namun, tidak kusangka kalau ternyata air di kamar mandi rumah Anan sangat dingin, aku jadi berpikir kembali apa harus mandi atau tidak. Lagian kenapa frekuensi suhu jadi semakin rendah kalau cuaca sedang hujan begini?
Tapi tadi bilang sama Anan bakal mandi, kalo bohong kayaknya Anan bakal tau. Itu yang kupikirkan hingga berakhir mengguyur badan senekat-nekatnya, tolong, kalau dapat kutukan pasti aku akan berubah jadi manusia es. Padahal sudah diurut dari menyabuni diri baru membasahinya, tapi ternyata ekspetasi tetaplah ekspetasi.
DINGIN SEKALI WOEY!
Aku tidak akan bisa bohong, aku juga tidak mampu memanipulasi keadaan untuk terlihat baik-baik saja. Ini adalah dingin paling terdingin yang akhirnya aku rasakan setelah pernah merasakannya juga waktu kehujanan sama Jo, kupikir itu sudah jadi batas paling dingin yang kurasa, tapi nyatanya masih ada lagi.
Kalau yang satu ini, untuk berjalan menuju kamar Anan saja rasanya sangat sulit. Dia juga hanya memberikan baju kaos dan celana trening, tapi aku perlu jaket, perlu selimut, atau seandainya bisa buatkan api unggun maka bakar saja rumah Anan ini. Aku tidak perduli apa yang akan dipikirkan Anan, atau tentang penilaiannya mengenaiku yang sok-sokan melawan tadi. Sebab saat berhasil di depan pintu kamarnya yang terbuka, aku berteriak, "DINGIINNN! HUEEE, DINGIN BANGET!" Dengan suara bergetar, bahkan terjatuh untuk bisa melangkah ke dalam.
"Kan udah gue bilangin tadi, ngelawan lu!" Anan yang semula pakai selimut di atas ranjang, langsung bangkit mendekat. Tapi sebelum itu, Jo sudah lebih membalut tubuhku mengenakan jaket Anan yang lumayan tebal. "Tapi gimana bisa Jondara enggak kedinginan? Manusia super lu?" tanyanya sambil membantuku berjalan menuju meja bundar yang berada di samping kasur Anan.
"Gue enggak setolol Andira ya," ujar Jo.
"Jangan bilang lu enggak mandi! Ini gue mandi gara-gara lu yang mulai, Jo," ujarku.
Jo menyelintik puncak kepalaku dan berjalan keluar kamar. "Gue pake air hangat, makanya lu ngotak dikit ngapa. Iya kali mandi dingin-dingin gini," ujarnya, seketika aku merasa memang jadi manusia bodoh yang mendarah daging. "Gue bikinkan teh panas dulu," katanya lagi.
"LU BISA BIKIN ATAU ENGGAK?" Jujur aku tidak yakin kalau Jo bisa melakukan hal itu, tapi dilihat dari kondisi tubuhku sekarang, sepertinya lebih baik diam dulu sampai mampu menyesuaikan suhu yang ada. Makanya, Anan melilit tubuhku yang memeluk kaki ini menggunakan selimutnya. "Anan nanti lu dingin!" ujarku.
"Masih aja lu mikir gue sakit? Udah sembuh, Dir," sahutnya duduk di sebelahku.
Posisi kami sama-sama bersandar pada sisi kasur Anan, aku juga tidak mengira kalau dia tiba-tiba mendaratkan kepala pada bahuku sambil ikut memeluk kakinya yang ditekuk. Kami hanya diam, lumayan memakan waktu juga, hingga kemudian Anan angkat suara. "Gimana bisa cewek secantik Renata ngomong suka sembarangan," ujarnya.
Aku mengerti bagaimana patah hatinya Anan mengenai hal ini, bahkan setelah ia mengatakan isi pembicaraan dengan Renata sebelum kami datang, tidak ada percakapan unfaedah baik dariku mau pun dari Jo. "Enggak selamanya si tuan putri harus milih pangeran, kadang ada sisi di mana dia lebih mengharapkan seseorang yang udah jadi raja. Dan itu Renata," kataku. "Lagian lu mandang fisik ah, enggak asyik!" ejekku kemudian.
"Lu kira gue suka Renata?" tanya Anan.
"Enggak salah, bukan ngira lagi," sahutku.
"Lu bener sahabat gue atau bukan sih, Dir?"
"Mulai lagi lu?"
"Maksud gue ...."
"Orang tolol lu ajak diskusi, ya enggak bakal nyambung." Jo masuk dengan sesuatu yang ia rencanakan sebelumnya, bahkan bukan di gelas, melainkan banyak ia buat dalam teko. Ini sih namanya minum, bukan seruput. "Anandra cuma temenan sama Renata," ujarnya.
"Ternyata lu lebih bisa baca apa yang gue lakukan ya," ujar Anan tampak senang.
Apa ini merupakan bentuk sebuah kecurangan? Tiba-tiba aku bisa menyimpulkan sesuatu, tapi semoga hal ini tidak benar. "Lu cuma nguji gue?" Dan sialnya Anan mengangguk. "BANGSAT LU!" Kudorong tubuh Anan hingga ia tersungkur di lantai, sedangkan Jo hanya menggigit bibir bawah sebab tahu bagaimana jadinya kalau aku sudah begini.
"Kasar lu?" tanya Anan.
"Lu yang mulai ya! Emang lu kira gampang relain segalanya supaya lu bisa menghabiskan waktu sama Renata? Orang yang gue anggap jadi masa depan lu, orang yang lu suka, yang lu sayang, yang lu cinta! Kenapa Anan? Kenapa lu harus main-main kayak gini, sekanak-kanak itukah diri lu hah?" Iya, aku marah. Tentang segala sesuatu yang sudah terjadi selama ini, tentang susah payahnya aku bersikap baik-baik saja jika Anan memuji Renata, tentang bagaimana sulitnya aku mengobati hati yang terluka karena hadirnya orang baru buat Anan.
Aku tidak masalah kalau orang itu adalah sosok yang ia pastikan untuk menjalin masa depan, tapi kalau untuk main-main, atau sekedar menguji rela dan tidaknya diriku. Sungguh semua itu keterlaluan. "Lu juga, Jo! Kalo lu paham semua ini, kenapa diam aja? Apa gue punya salah sama lu? Padahal lu sendiri tau gimana galaunya gue kalau lihat Anan sama Renata, kalo mereka cuma temen doang, buat apa gue susah-susah buat jaga perasaan Renata?" Sekarang aku juga memarahi Jo, lagian kerja samanya tidak asyik, aku juga 'tak suka trik yang mereka lakukan.
"Iya, tapi Renata beneran baper sama gue."
"GILA LO!" Nyaris wajah Anan kupukuli pakai bantal, tapi Jo menghalangi itu semua dengan merebut benda yang ada di tanganku.
"Sekarang lu berdua tau 'kan hubungannya? Anandra sahabat Andira, dan Andira sahabat Anandra! Sampe situ ngerti lu?" tanya Jo.
"Enggak gini caranya!" Aku masih mau mengamuk, apalagi melihat Anan cengengesan seperti orang 'tak bersalah. Bisa-bisanya dia begitu setelah membuatku malu pada diri sendiri yang tidak menyadari kelakuannya selama ini, dan kalian mengerti tidak sih? "Mulai kapan lu berdua kerja sama hah?" tanyaku.
Anan tanpa berpikir menjawab, seperti dia yang telah mempersiapkan kata-kata ini sejak lama. "Entah. Apa waktu gue pertama masuk sekolah? Atau waktu gue dan Jondara dihukum bersihin wc? Hm." Omong kosong! Ucapannya sudah nyata-nyata mengejek itu. "Lagian Renata Kristen juga," ujarnya.
"Berarti kalo islam ...."
"Aduh, Dir! Sakit banget pala gue sekarang, duh!"
GILIRAN BEGINI SAJA BILANGNYA SAKIT!
"Halah, ngucap lu!" Ingin kutempeleng wajah Anan yang mendekatiku, tapi aksinya bertingkah memegangi bagian perut mampu mengalihkan itu semua. "Apa? Akting lagi?" tanyaku yang berusaha untuk tidak tertipu kelakuannya, siapa tau, 'kan?
"Andira." Sayangnya, mau Anan bohong atau tidak, aku akan tetap khawatir kalau lihat dia kesakitan, bahkan kalau digigit nyamuk sekali pun, pasti akan kubantu untuk membunuh nyamuknya. Maka dari itu, tidak jauh-jauh dari selimut yang melilit ditubuhku sekarang beralih kembali pada pemiliknya, Jo juga membantu Anan untuk kembali rebahan di kasur. Iya, untuk yang satu ini Anan mendadak terlihat memburuk, kami berdua sedikit panik mengurusinya.
"Gimana? Gimana? Posisinya udah pas?" tanyaku seraya menatap wajah lesunya.
"Gue enggak sakit ...."
"Bacot lu, Somplak! Udah ya, elu itu lagi sakit! Istirahat Anandra, bukan malah bertingkah!" Jo akhirnya ikut menasihati Anan, memang sih dari tadi ini orang cari perhatian sekali.
"Kalo gue sakit harusnya lu berdua bawa buah tangan tiap ke sini," ujar Anan.
"Lah, kresek hitam yang berisi bubur dari Emak gue enggak lu anggap buah tangan?" tanya Jo.
"Itu dari Emak lu, bukan elu."
"Ya sama aja!"
"Beda!"
"Heh!" Sebelum perdebatan Jo dan Anan menjadi-jadi, aku mengangkat tangan untuk menghentikan hal tersebut. Di dalam tas Jo yang kubawa, ada plastik hitam lain di situ. Anan terlihat mengukir senyum saat tahu inisiatif positifku ini. "Tenang, kali ini gue bawa bingkisan buat lu, cuman lupa aja ngeluarinnya tadi," ujarku.
"Sip! Sip! Apa tuh?" Anan tiba-tiba bisa duduk tanpa merasa sakit seperti tadi, begitu juga dengan Jo yang mungkin penasaran hal apa yang kubawa ini.
"Tadaaaa! Mangga di depan rumah Jo!"
"ANDIRAAAAAA!"
Tbc;