Sopan dikit kalo
umur masih lebih muda.
Kagak mau dibilang tua, 'kan?
—Andira
⋇⋆✦⋆⋇
Pada akhirnya, sepanjangan arteri yang menyuguhkan perpindahan suasana ke arah meredup berhasil mengurung keberadaanku bersama Anan dan juga motornya. Kami membantu benda itu terus berjalan untuk menuju bengkel terdekat. Tapi masalahnya, bengkel terdekat berada pada jarak kisaran dua kilo meter terhitung sejak Anan kehabisan bensin.
Karena Jo menyarankan agar 'tak menunggunya, maka Anan jauh lebih menyarankan agar motornya tidak berjalan pada aspal, melainkan di arteri. Jadi, di saat kemacetan terjadi karena tabrakan dengan waktu kepulangan orang bekerja, kami masih bisa melanjutkan perjalanan.
"WOI PAK! BURUANNNN MAJUUU!"
Tidak lama ada suara teriakan yang semakin dekat mencapai pendengaranku, padahal tadi kupikir hanya samar-samar imajinasi semata karena banyak melamun ketimbang diajak bicara sama Anan. Tapi melihat bagaimana suara gas motor yang berisik tepat berada di belakang kami, aku dapat mengambil kesimpulan jikalau seorang Pak Tua penjual balon yang menjadi penyebabnya.
"BOSAN HIDUPKAH, PAK?! MAU DITABRAK?" Lagi. Remaja itu membuatku dan Anan menoleh bersamaan. Dia seperti pemalak yang kasarnya sedang menagih hutang ratusan juta.
"HADOOHH LAMBATNYA .... WOEY!"
"Eh, eh! Dir!" Hampir Anan membiarkan motor kami jatuh kalau dia memilih untuk menahanku, dan jika sampai terjadi, pasti keadaan jadi lebih rumit. Anan pasti tak ingin terlibat dalam kerumitan itu, toh menghadapi akuyang asal nyelonong ke jalanan saja sudah cukup rumit.
"BAPAK BOSAN HIDUP ...."
"OI, BANG!" Aku menggeplak kepala motor Dual-Sport milik Abang yang teriak itu. Dia pun terkesiap, antara tega dan tak tega mau menabrakku. "Kagak lihat lagi macet gini, Bang?! Picek ya?" tanyaku yang membuatnya sentimen.
"Apa lo di situ? Minggir!" Dia membunyikan klakson panjang-panjang, serta bagiku rasanya mirip alarm pukul dua dini hari alias tidak menganggetkan. "MINGGIR!" Dia membunyikannya lagi setelah sempat terjeda sedetik.
"Pakyu, Bang!" Aku menyodorkan jari tengah.
Orang-orang yang berada di belakang jadi penonton penasaran, sedangkan yang mampu melewati kami hanya bisa ber-astagfirullah atau bisa saja melantunkan doa yang mungkin bunyinya, semoga orang tuanya sehat selalu --karena lihat kelakuanku ini. "Dir!" Sampai akhirnya Anan turun tangan juga, merampas lenganku dengan kekuatan ekstra dan membuat sentimensi antaraku dan abang itu selesai tanpa pemenang.
"Ngapain, Andiraaaaa." Anan terlihat greget sekali, dia sampai mencubit lenganku yang membuktikan kalau kain jaket pemberian Kak Novan tidaklah setebal dan sebagus yang dibelikan Mama. Mana sakitnya bisa sampai ke tulang lagi. Aku terkuit-kuit untuk menjauhnya, bahkan nyaris kutendang pahanya Anan.
"Nunggu Bapaknya sampai bebas macet. Noh! Depan sana udah enggak macet!" Aku menunjuk-nunjuk bagian yang kumaksud, di mana ada celah bebas dari macet yang sudah dilintasi oleh Pak Tua penjual balon. Anan pun geleng-geleng.
"Lu tunggu sini," katanya.
"Mau ngapain?" Kupegang tangannya, lalu kami sama-sama kaget seperti kena kabel yang konsleting listrik. "Ke mana?" tanyaku lagi.
"Tunggu di sini aja lu, jangan cari gara-gara ... HACEEEMMMM!"
"E e eh!" Aku ikut terkesiap saat Anan bersin begitu. "Sakit lu?" Kuletakkan punggung tangan di dahinya, pasti karena hujan kemarin saat menyelamatkan motor, Anan jadi tidak enak badan.
Namun dia mengacuhkan hal itu. "Tunggu sini pokoknya!" Anan pun lari begitu saja meninggalkanku.
⋇⋆✦⋆⋇
Cerita hari ini akan jadi beberapa kumpulan ingatan yang cukup panjang, bagiku, bagi Anan, bagi Jo juga. Aku tidak tahu apa yang Anan lakukan bersama bapak-bapak penjual balon mainan, hanya satu saja yang kupikirkan, mungkin dia tersesat atau mencari bengkel sejauh kakinya mampu melangkah. Entahlah, pokoknya saat Jo mendapati diriku di arteri jalan, dia cukup terkejut karena Anan tidak ada.
"Anandra mana?" tanyanya.
Aku hanya mengangkat bahu. "Dia bilang tunggu sini aja dulu, jagain motor. Sedangkan dia nganter bapak-bapak buat tambal ban sepedanya," jawabku.
"Hah?" Jo tampak bingung, memarkirkan motorku di pinggir jalan lalu naik ke arteri juga. "Ngapa malah tambalin ban punya orang, anjir! Motor sendiri aja lagi bocor," ocehnya terlihat lelah.
Aku menyengir kikuk. "S-salah gue sih, hehe. Tadi gue yang ...."
"Ya belain aja sahabat lu itu." Jo terlihat lelah, dia berjongkok di dekat motor Anan yang sejak tadi hanya diam di sini sampai magrib. Aku tahu kenapa dia terlihat kesal, soalnya sudah dari tadi berpisah sama kami, pasti yang ada di otaknya kami sudah selesai mengurusi motor ini.
"Maaf." Aku turun dari motor Anan dan ikut berjongkok di sebelah Jo. "Tapi kenapa lu lama? Gue kira tadi lu pulang duluan gitu," ujarku selanjutnya.
Jo tidak menjawab, dia hanya tampak mengendalikan napas yang sedikit terengah. Apa dia semarah itu sampai-sampai harus menggebu? Atau hanya tebakanku yang salah saat melihat kedua tangannya yang terjuntai, tampak gemetar, dan juga kaku. Sepertinya aku tahu bahwa dia sangat memaksakan diri atas trauma yang belum benar-benar hilang. Lagian Renata pilih-pilih! Seharusnya Jo tidak mengiyakan permintaan gadis itu untuk mengantarnya tadi.
"Tangan lu ...."
Jo menolak. Dia langsung menyembunyikan kedua tangan itu dalam lipatan lengan depan dada. Tapi aku tidak membiarkannya, tetap kutarik salah satu tangan besar itu hingga berhasil kugenggam dengan erat. "Enggak seharusnya lu maksain diri, untung aja bisa sampe ke sini dengan selamat," kataku seraya mengapit tangannya dengan dua tangan kecilku.
Dia masih belum bicara, mungkin tenggorokkan terjebak dalam rasa ketidakpercayaan yang mampu kembali mendatangiku meski menggunakan motor dalam kecepatan rendah, maka aku juga yakin kenapa Jo jadi sangat lama tadi. Padahal dulu kalau pakai motor, tidak sampai menunggu menit bertambah banyak, dia akan datang dengan wajah songong karena kecepatannya itu.
Tidak apa-apa, kaktus pun menurutku 'tak harus selalu tegak berdiri meski terlihat kuat tanpa asupan air yang banyak, dia bisa saja menunjukkan sisi layunya jika ingin, dan Jo juga tidak harus selalu kuat di mataku. Dia tetap sahabatku yang hebat, dan aku bangga akan hal itu.
"Makasih, Dir." Jo menarik tangannya saat merasa sudah lebih baik. "Lu tau, bahkan anak-anak yang naik sepeda buat ke masjid aja bisa balap gue saking lambatnya make motor," lanjutnya bercerita.
Sebab kutahu dia sudah baik-baik saja, maka sekaranglah waktunya untuk menertawai kelemahan laki-laki ini. "Akhirnya lu terlihat enggak keren lagi ya, Jo," ejekku sambil memegangi bagian perut yang terasa sakit, selain merasa lapar, tawa kali ini memang sedikit menguras tenaga perutku yang kosong itu.
"Lu memang jiancuk, Dir!" ujarnya menempeleng kepalaku.
"Duh, duh ampun!" Aku menyatukan kedua tangan tepat di depan wajah, lalu setelahnya dia tersenyum sambil mengelus bagian kepalaku yang disakitinya tadi. "Si Anan lama banget, asli. Pegel udah gue, mau rebahan." Aku juga sempat menumpu wajah di atas lutut, menunduk sebentar sambil menutup mata.
"Itu Anandra bukan?" Pertanyaan Jo seperti orang yang cukup ragu, dengan cepat aku mengangkat kepala dan melihat ke arah yang sama.
Benar. Bukan Jo saja yang akan ragu untuk menatap sosok yang kami lihat ini, dia seperti bukan Anan jika aku tidak mengingat sesuatu yang dibawa adalah milik bapak penjual balon. Bagaimana dia berjalan dengan gagahnya seperti pulang membawa kemenangan hasil penjajahan, bagaimana lampu-lampu pinggir jalan menerangi langkahnya semakin dekat dengan kami, juga bagaimana wajah datarnya yang tidak perduli orang-orang bermotor memperhatikan dirinya.
Orang ini ganteng, tapi balon-balon yang terbang di atasnya menghancurkan hal itu, dan yang paling mencolok adalah balon berwana merah muda bergambarkan Hello Kitty. Anan adalah pelawak hari ini, padahal dia sedang tidak menguji kami.
"Anan." Aku bangkit menyambutnya, lalu tepat saat kami berhadapan, Jo berdiri di samping kami tepat di tengah. "Kenapa lu malah nyolong balon punya bapak itu!" Lantas setelahnya aku tertawa sambil menepuk pundaknya, Jo juga begitu, hampir tiga menit kami tidak bisa bicara, sedangkan Anan masih bertahan dengan wajah polos yang datar.
"Yang lu bawa Hello Kitty anjir," ujar Jo semakin membuatku mau menangis.
Mungkin karena tawa kami sedikit menular, Anan yang sedari tadi diam akhirnya tersenyum. Entah dia merasa senang karena kami tertawa, atau terpaksa menahan amarah karena kami menertawakannya. Tapi satu yang kutahu, kecanggungan di antara kami sedikit tercairkan, baik itu Jo dan Anan yang tampak menerima kejadian hari ini untuk dinikmati bersama, mau pun bagaimana rasanya bisa bahagia saat kami bertiga satu perkumpulan.
"Kita gerak cepat ke bengkel, takutnya keburu isya," kata Jo yang tampak memilih untuk menyeret motor Anan, dia bahkan tidak perlu bantuan siapa-siapa untuk membawa benda itu dalam langkah cepat.
"Buat lu." Anan menyerahkan balon-balon yang ia bawa kepadaku. "Ambil! Gue harus bantu Jondara dorong motor!" ujarnya.
"Lah kenapa buat gue? Kan lu yang beli," sahutku.
"Ya masa gue bawa pulang, apa kata Bunda dah?"
"Ya kenapa elu beli?"
"Ya buat elu aja gitu!"
"Balonnya kebanyakan, ini sih namanya gue dagang balon!"
"Bodo!" Anan memaksa tanganku untuk menerima satu gumpalan tali yang menghubungkan banyak balon. "Gue minta maaf, Andira. Buat kejadian di sekolah." Itu katanya sebelum berlari meninggalkanku.
Angin malam melintas dibantu banyaknya pengendara yang melesat, kulihat dari belakang Jo dan Anan bekerja sama untuk mendorong motor yang bannya bocor itu. Tidak tahu kenapa, keduanya sedikit membuatku terharu, bahkan aku sangat berharap kalau mereka bisa sama-sama begini tanpa saling menjatuhkan. Seperti dulu, seperti di mana Jo pertama kali bertemu dengan Anan, dan seperti bagaimana Anan merasa nyaman saat harus dihukum bersama Jo pada hari pertamanya sekolah.
Tbc;