Katanya yang suka hujan adalah
orang yang punya banyak luka, ya?
—Andira
⋇⋆✦⋆⋇
Tak akan kudefinisikan bagaimana enaknya bakso yang dibuat oleh Mama dan kawan-kawannya, nanti kalian iri. Kalau iri, takutnya aku kena ain. Kalau kena ain, aku yang sakit. Kalau sakit, bakal masuk rumah sakit. Kalau masuk rumah sakit, nanti jadi beban keluarga. Kalau orang tua merasa terbebani, bisa-bisa aku dibiarin mati. Kalau mati, maka cerita ini selesai.
Jadi akan kulompati pada bagian di mana hanya ada kami bertiga --Andira, Anandra dan Jondara di meja kecil ruang tengah rumahku. Sial, kenapa Mama justru menyiapkan tempat di mana kami semua harus berkumpul? Padahal bisa saja ikut satu meja dengan mereka di dapur sana. Jangan bilang para orang dewasa itu masih punya stok gibah yang tidak bisa mereka bagi pada kami.
"Enak!" Aku memulai percakapan di saat hanya ada suara dentingan garpu dan sendok yang menemani suasana di sini, tapi baik Anan mau pun Jo, tidak ada yang menyahuti ucapanku itu.
KURANG AJAR MEMANG!
"Mau sampai kapan kita bertiga enggak bisa akur? Kenapa harus kayak gini? Apa susahnya buat temenan dan lewatin hari bareng-bareng?" Kutanya dengan suara pelan, rasanya cukup kecewa kalau menyadari hubungan kami tidak bisa seindah yang kubayangkan. "Lu berdua saling menyalahkan di atas alasan yang enggak jelas, Anan yang keras kepala sama Jo yang mudah emosi. Padahal kalo kalian turunin sedikit hal itu, semua pasti bakal terasa asyik," kataku lagi.
"Gue kayak gini karena belain lu ya, Dir. Apa lu enggak sadar kalo Anan semakin kurang ajar? Dia enggak bisa menghargai lu sebagai seorang sahabat," ujar Jo.
Sendok tidak lagi berada di tangan masing-masing, antara tempat duduk yang berseberangan, Jo dan Anan saling menjatuhkan tatapan yang sangar. Masalahnya kalau terjadi perang di sini, bisa hancur meja kaca punya Mama, apalagi kalau Jo keceplosan menghempas tangan, pasti tamat sudah.
"Tau apa lu tentang gue?" tanya Anan, "Tau apa lu sampai ngomong sembarangan kayak gitu? Emang lu pikir Andira bukan orang yang berharga buat gue? Lu bahkan enggak bisa menggambarkan gimana besarnya perjuangan gue supaya bisa balik ke sini, dan kehadiran lu cuma mengganggu apa yang seharusnya itu punya gue."
Jo terlihat senyum tipis, lalu dia berkata, "Gue emang enggak tau siapa lu sebenarnya, Anandra. Tapi gue jauh lebih tau siapa itu Andira, sedangkan lu cuma pendatang yang sebenernya jauh mengganggu. Dan ini bukan lagi tentang siapa yang kenal Andira lebih awal, tapi siapa yang berteman sama dia lebih lama."
Lihat, mereka berdebat lagi. Nyatanya menyatukan Jo dan Anan bersama bakso tidaklah berpengaruh besar, aku jadi ingin menyiram wajah mereka menggunakan kuah yang perlahan mendingin ini. "Kenapa lu berdua enggak bisa akur? Cuman itu yang mau gue cari jawabannya, bukan tentang siapa yang ganggu, karena emang enggak ada pengganggu di antara kita," ujarku.
"Gue cuma enggak suka ada Jondara di antara kita," kata Anan.
"Gue juga enggak suka ada Anandra," balas Jo.
Ya Tuhan, rasanya frustasi sekali. "Itu yang masih gue bingungin, kenapa ...."
"ANDIRA HUJAAAAANNNNN!" Seruan penuh khidmat itu menggema di dapur. "SELAMATKAN KASUR MAMA!"
"Aaiiihhh!" Bukan hanya aku yang berlari, sebab Jo dan Anan juga melakukan hal serupa. Lagian kenapa sih setiap Mama menjemur kasur besarnya itu, pasti hari tampak 'tak mendukung. Sekarang yang repot pasukan aliansi Shinobi yang sedang makan bakso, 'kan!
"Lu ujung, ngapain lu di sini, Nyet!" Jo mendorong Anan untuk berpindah pada sisi ujung lain, sedangkan aku bingung mau di mana. "Lu tengah aja!" ujar Jo lagi hingga aku bersembunyi di bawah kasur sebagai tiang tengah mereka selama berlari.
"BURUAN ANJIR KAKI GUE KESEMUTAN!" Itu teriak Anan dalam langkah besar kami.
"LU PIKIR GUE NGESOT HAH?" balas Jo.
"IYA! LU NGESOT!"
"GUE LARI YA, ANJING!"
"KASAR LO, JONDARA?"
"LO YANG MULAI!"
KENAPA MEREKA BERDEBAT TERUS?!
"Gimana masuknya?" Anan kebingungan sebagai pasukan yang berdiri di depan, kejadian ini sama seperti aku yang juga sempat berada di posisinya.
"Dimerengin, tolol! Lu mau tabrak sampe seribu kali juga enggak bakal masuk!" Dan sama seperti sebelumnya, isi teks bicara Jo tidak berbeda dari tegurannya padaku, "Gitu aja enggak becus!" lanjutnya.
"Ya gue panik lah!" Anan mengikuti pergerakkan kami untuk meletakkan dulu kasur itu ke lantai, lalu memposisikannya lurus berdiri horizontal hingga terakhir Jo yang mendorong dari belakang.
"Uwih!" Aku dan Anan sama-sama tepuk tangan dengan kedok mengejeknya bekerja sendiri, meski Jo memang pantas dipuji, tapi ia menganggap sedang direndahkan secara halus.
"Bacot lu berdua!" ujarnya seraya mengambil posisi kembali pada tempat duduk semula.
"Gue baru kali ini ngangkat kasur segede itu," ujar Anan.
"Lu emang letoy!"
"Lu aja yang sok kuat, bisa lu ngangkat tu kasur tanpa gue tadi?"
"Gue bisa sama Andira!"
"Lu sendiri maksud gue!"
Katakan padaku kapan perdebatan tidak guna ini berakhir? Bahkan aku malas mengurusinya dan memilih untuk lanjut makan, biar saja sudah mereka begitu, mau bagaimana lagi coba? Aku sudah berusaha untuk memecahkan masalah ini, tapi tidak ada petunjuk untuk bisa diselesaikan selain mereka sendiri yang melakukannya.
"Gue tanya serius sama lu." Anan tampak melirik padaku sebelum melanjutkan ucapannya pada Jo. "Lu bisa enggak jangan di sini, Dir?"
KOK NGATUR?!
"Pikir ya ini lu berdua lagi di rumah siapa, jangan sampe gue usir pas hujan-hujan kayak gini!" ujarku.
Anan menghela napas, lalu kembali menatap Jo yang mulai memakan juga isi mangkuknya. "Lu suka sama Andira?" tanyanya.
Bahkan suara hujan yang begitu deras sekali pun tidak mampu menghilangkan aura hening ultra dadakan ini, kami bertiga kesulitan membuka mulut, termasuk Anan yang baru saja bicara.
"Selera gue bukan Andira," ujar Jo.
Anan tersenyum, terlihat ia tidak suka dan berusaha menyampaikan hal lain. "Sampai terbukti kalo lu suka Andira, jaminannya apa?" tanyanya.
"Gue bakal pergi dan anggap kalo kita semua enggak pernah punya hubungan apa-apa."
"Uhuuk, uhuk!" Cukup tersedak aku mendengar perkataan itu. Kuperhatikan tatapan mata mereka berdua, sangat dalam, bahkan sulit ditebak. Namun anggukan kepala Jo untuk sekali lagi mampu menjawab rasa bingungku sejak tadi. "Jo?" Tanpa sadar aku menegurnya karena sedikit tidak percaya.
"Apa lu hah? Apa? Enggak terima ucapannya Jondara barusan? Lu suka sama ini cowok?" tanya Anan.
Bukan hanya tentang apa yang dia ucapkan mereka barusan, tapi kalau mengatakan Jo rela melakukan hal tersebut, kurasa jadi terdengar seperti tuduhan kasar. Maksudku, Jo tidak mungkin begitu, lagian tidak ada tanda-tanda kalau dia suka padaku, jadi untuk apa? "Kenapa lu jadi nuduh Jo kayak gitu Anan?" tanyaku.
Anan tersenyum, lebih menunjukkan kalau dia lelah menghadapi sesuatu. "Ini alasan dari pertanyaan lu, Dir," ujarnya, "Gue pulang." Kemudian ia berdiri dan tampak 'tak tertarik lagi dengan apa itu bakso, padahal isi mangkuknya masih banyak sekali.
"Anan!" Tentu kuhalangi aksinya, bahkan sampai ke pelataran rumah. Aku tidak perduli apa yang dipikirkan Jo di dalam sana, intinya kalau melihat Anan harus hujan-hujanan, jujur yang kuucapkan sebelumnya cuma bercanda. "Hujan! Dan gue enggak ngusir lu ya!" kataku.
"Kenapa, Dir? Kenapa sekarang halangin gue? Sana sama Jondara aja, sahabat lu yang paling berharga cuman dia, 'kan?" balasnya.
"ANAN!" Aku tidak tahu kenapa rasanya menyakitkan sekali, hatiku hancur, semua isi otakku kacau. Di sisi lain adalah tentang bagaimana aku yang selalu membela Jo, tentu ada juga bagian di mana aku yang akan menyesal karena tidak begitu perduli sama Anan. Aku tidak tahu apa itu autodiddak atau bukan, tapi selama ini memang kupikir Jo benar hingga setiap dia membelaku, rasanya seperti mampu menunjukkan pada Anan bahwa : ini loh sahabat yang sesungguhnya. Baik, aku kemarin-kemarin memang membelakangi Anan, dan seharusnya aku tahu bagaimana sakitnya diperlakukan begitu.
"Jangan pergi." Itu kataku, menunduk sesal dan mulai menangis. Meski Jo pernah bilang kalau aku gadis hero yang jarang menangis, tapi saat dihadapkan dengan masalah hati begini, pada akhirnya runtuh juga. Sebab aku tidak sekuat itu. "Lu sahabat gue, mau gimana pun itu Anan. Dari kecil, cuman lu yang selalu ada di hati gue, enggak ada yang bisa gantiin itu bahkan di saat Jo mulai jadi teman gue. Tiap hari, tiap waktu, gue selalu mikirin lu, gue selalu berharap kalo lu bakal pulang. Dan pas tau lu kembali, gue rasanya mau teriak di atas genteng kalo gue seneng banget."
"Maaf Anan, maaf kalo selama lu kembali belum ada rasa nyaman sedikit pun dari gue. Seandainya gue tau gimana lika-liku proses lu supaya bisa kembali ke sini, pasti gue bakal mukul diri sendiri karena enggak bisa baca perasaan itu, pikiran itu, dan juga segala tindakkan lu. Anan, jangan pergi, jangan tinggalin gue."
Setelahnya aku hanya menangis, dan aku tidak tahu bagaimana ekspresi Anan melihat sahabatnya ini merengek seperti orang gila. Tapi satu hal, tepat saat dua tangan yang hangat memegangi kedua pundakku, maka saat itulah mata kami bertemu. "Lu pikir gue mau ke mana, Andira?" tanyanya, "Motor gue kehujanan, anjir! Noh, gak lihat lu udah basah kuyup gitu!" Anan menunjuk ke arah halaman rumahnya dengan seonggok motor beat yang telah diterpa reruntuhan air.
"ANAN MOTOR LU!" Dan aku pula yang kaget hingga mendorong Anan untuk segera berlari meneduhkan motornya, alhasil ia mengurusi benda itu dengan konsekuensi tubuh yang menguyup juga. "Malunya!" Selepas itu aku meruntukki diri sendiri.
Tbc;