Maju yang suka makan mie
pakai telur. —Andira
⋇⋆✦⋆⋇
Aku itu orangnya babal, kalau ada tugas saja suka keluyuran pas sore-sore, apalagi kalau tidak ada tugas. Untuk saksi mata sih tidak jauh-jauh dari pemilik rumah yang berada di seberang tempat tinggalku, bahkan dari jendela kamar lantai dua, aku bisa menangkap sosok Jondara sedang bersahabat sama ponselnya di pelataran rumah.
Syaraf di mulutku hampir bereaksi, mengeluarkan suara lantang yang biasa kulakukan setelah sholat Ashar. Namun, ketimbang ingat pesan moral yang disampaikan Bapak Jaedi buat jadi gadis kalem-kalem, aku justru memikirkan sosok Anan yang baru saja jadi bagian di gang perumahan di sini.
Ya. Untuk pertama kalinya aku tidak meneriaki Jo dan menganggunya bermain gim.
Anandra
|Hm.
"Aaa!" Aku menutup mulut sambil melempar benda tipis yang semula kuperiksa isi layarnya. Itu pesan dari Anan, tandanya ia menuruti permintaanku untuk saling menyimpan nomor. Omong-omong nomornya harus kudapatkan melalui Jo dulu, itu pun penuh perjuangan karena Jo minta jaminan Sarimi isi dua rasa soto ayam.
DEMI APA BENAR-BENAR DISIMPAN DONG!
Anan baru saja membuat status lima menit lalu, dan saking 'tak sabarannya aku, status berisi foto pemandangan langit pun terpampang untukku lihat. "Lucu banget sih lu mainnya langit-langitan!" Aku tidak begitu memahami maksud bicaraku yang nyeleneh ini, antara sadar dan tidak, bibirku senantiasa tersenyum untuk waktu yang lama.
Baiklah. Sore ini aku harus mengantarkan bahan sogokkan kepada Jo, lantas buru-buru aku ke dapur dan memasak. Kalian tahu, permintaan laki-laki itu bukan cuma sekedar mie saja ya, tapi pakai telur, pakai sayur sawi, pakai kerupuk unyil, pakai saos bakso, bahkan pakai jeruk nipis juga. Aku mendadak jadi tukang mie kuah profesional di matanya kalau sudah begini.
Ada sekitar setengah jam untuk membuat jampe-jampe ini, mwehehe, ralat ya, makanan spesial untuk Jo yang paling sering berkorban untukku. Jo sudah seperti kakak sungguhan dibandingkan Kak Novan yang notabenenya kakak kandungku, seandainya bisa tukar isi kartu keluarga seenaknya, aku mau mereka berdua pindah posisi.
"Mau ke mana lu?" Baru saja orang ini kubanding-bandingkan, ia muncul dengan kaos putih berlogokan partai PAN di punggungnya. Bukan masalah bagian kain yang menguning di ketiaknya saja, tapi ayolah, di sisi bahu sudah sobek-sobek juga malah, dan Kak Novan pakai itu melulu seperti tidak punya baju lain.
Iya. Inilah Novan Revo Rahmadi. Sosok kurang ajar yang belakangan ini sering kuceritakan sifat-sifat jeleknya. Kalian pasti tidak mengira kalau sosok keren yang selalu jadi dambaan banyak mahasiswi di Universitasnya, merupakan jelmaan Shikamaru versi jarang mandi kalau di rumah.
"Coba ganti kek bajunya, perasaan itu mulu yang dipake. Pernah dicuci gak sih, Kak?" tanyaku melewatinya yang baru saja merebahkan diri di depan televisi.
"Weh, bawa apa tuh?!" Dan Kak Novan bangkit mau menerkam adiknya ini, tapi kuhalangi dengan angkat satu kaki seakan memberi kode jangan maju atau tak tendang.
"Buat, Jo," jawabku.
Ia tersenyum nakal. "Ma, Andira masak buat calon suaminya nih!" teriaknya yang membuatku ingin menumpahkan kuah panas di mangkuk bawaanku ini ke wajahnya.
Lantaran Kak Novan masih keramaian sendiri melaporkan berita 'tak berguna itu, terus kulangkahkan kaki hingga sekarang sudah berada di tengah halaman rumah. Jika saja seorang Anandra tidak menongkrong di pelatarannya, mungkin kakiku akan terus lurus ke rumah seberang. Sayangnya, tampak hari ini bukan rezeki Jo, sebab kakiku justru berbelok ke kiri menuju rumah Anan.
"Anaaannnn!" sapaku heboh, rasanya mau lari dan buru-buru ke dekat dia, tapi kalau kulakukan bisa-bisa apa yang kubawa jadi makanan semut dan cacing. "Gue bawa mangkuk buat lu!"
Tolol sekali tidak sih? Anan juga pasti sudah lihat sebelumnya kalau yang ada ditanganku adalah mangkuk, dan entah kenapa mulutku jadi mengeluarkan kata yang tidak diperlukan itu. "Nih, masih anget loh!" ujarku mengulurkan tangan.
Anan memang fokus ponsel saja, ia baru melihatku lagi saat posisi kami sudah hanya dibatasi uluran tangan dan semangkuk mie kuah. "Enggak lapar, lu kasih ke Mama aja," ucapnya.
"Tapi ini buat lu, enak tau. Jo aja ketagihan sama buatan gue ini!"
"Ya udah kasih ke Jondara."
"Tapi ini buat lu."
"Gue gak suka mie."
"Kalo makan yang ini lu bakal suka, Anan."
Anan menghela napas, lalu ia menepuk pelan sisi lain di dekatnya untuk memintaku duduk. Secepatnya, aku memposisikan diri senyaman mungkin dan meletakkan mangkuk ke bawah sebagai batas antara kami berdua lagi. "Coba deh," kataku bersemangat.
Ia tidak menyahut, tapi langsung memegang sendok dan garpu yang memang sudah jadi temannya mangkuk. Kutatap wajah terpaksa itu dengan seksama, soalnya aku penasaran kalau orang ganteng makan bakal seperti apa.
"Jangan liatin gue bisa gak sih lu?" tanyanya dengan pergerakan yang terjeda.
Aku menggeleng. "Enggak bisa," kataku yang lagi-lagi membuat napas beratnya terasa nyata.
Satu suapan masuk ke dalam mulutnya, sebelum itu dia tiup dulu, tidak seperti Jo yang makannya seperti sapi. "Gimana?" tanyaku.
"Rasa mie," jawab Anan dengan menggantikan mangkuk bawaanku dalam tangannya, ponsel yang semula dipegang tadi langsung ditaruh ke lantai. Kemudian ia lanjut menikmati mie tersebut dan berkata, "Kegabutan lu berguna juga ya, Dir. Gue pikir lu cuma anak kecil yang suka ngajak gue nyolong mangga."
Tiba-tiba saja, aku jadi memikirkan hal itu. "Gimana kalo kita ...."
"Enggak ya! Lu mau menghancurkan harga diri gue sebagai pendatang baru?" Anan ingin menghajarku pakai garpu, sedikit lagi permukaan jidatku mengenai ujungnya. "Lu enggak berubah ya, Andira," ujarnya lagi.
Aku tersenyum, sedikit menunduk guna memendam apa yang mau kututupi pada Anan. Di matanya sosok Andira ternyata tetap sama, tapi di mataku, sosok Anandra sedikit berubah. Dia bukan seseorang yang kukenal dulu, lagian benar kata Jo, mustahil manusia bertahan dengan satu kebiasaan yang sama. Seseorang bisa berubah, tapi menurutku perubahan Anan terlalu jauh, dan sayangnya aku belum bisa menangkap penuh di bagian mana perubahan itu sepenuhnya.
Namun yang kutangkap, Anan dulu tidak pernah menolak ajakkanku. Semisal kuajak dia berpartisipasi di perang Shinobi keempat, selama kami sama-sama, dia tidak akan menolak. Apa sekarang hanya aku saja yang kekanak-kanakan? Sepertinya.
"Habis ini lu mau ngapain?" tanyaku padanya, dan Anan hanya menggeleng. "Kita main raket yo!" ajakku kemudian.
Mimiknya terbaca berpikir, tapi kemudian ia mengangguk dan bertanya, "Badminton, 'kan?"
"Iya, bolu tangkis."
"Bulu tangkis!"
Aku mengangguk cepat. "Gue enggak punya raket," katanya.
"Tenang, gue punya dua kok," ujarku bergegas untuk ke rumah. "Tunggu ya!" Langkahku laju sekali pokoknya, sudah seperti atlet lari. Sesampai di gudang kecil sebelah rumah, kuraih raket yang biasa kumainkan sama Jo waktu SMP. Tapi ada satu yang belum kudapatkan, padahal di sini ada punya Kak Novan juga.
"KAK NOPAN!" Aku berteriak, dan yakin kalau teriakan itu sampai ke tiga rumah tetangga di dekat. Sosok pria yang kucari masih tergeletak di depan televisi, dengan acara azab indosiar langganannya. "Kak, raket punya Kakak di mana?" tanyaku.
Terlihat dia berpikir, lalu menunjuk ke arah kamar. Segera kuikuti arahannya, saat pintu terbuka, rasanya aku mau ber-astagfirullah di atas gunung. Kalau kalian lihat sendiri, sungguh, ini lebih pantas dibilang gudang daripada kamar. Bajunya berserakan, bukunya ada di mana-mana, kipas angin masih hidup, lebih parahnya celana dalam warna biru tepat di depan pintu. Woey lah!
"MA, KAMAR KAK NOPAN KAYAK HABIS KENA BENCANA ALAM!" aduku sambil mencari letak keberadaan raket di kamar itu, tapi bagaimana mau cepat ketemu kalau kamarnya memusingkan begini? Alhasil yang sudah berantakan semakin berantakan karena ulahku, sehabis ini pasti Mama akan pegal-pegal untuk merapikannya.
Pencarianku berakhir di lemari kayu yang isinya juga tidak dalam keadaan baik-baik saja, astaga, lemari pun berantakan? "Kakak!" Aku memelas, nyaris mau menangis gara-gara benda yang kutemukan.
"Kenapa raketnya patah?" tanyaku sambil menunjukkan penemuan itu padanya, bukan cuma patah saja ya, soalnya di bagian tali raket juga sudah tidak layak pakai. "Kalo lapar makan nasi, bukan tali raket," kataku kesal sambil meletakkan raketnya di atas sofa, biar saja Ayah lihat nanti, masa hadiah ulang tahun sampai rusak begitu.
"Lupa. Padahal belum sempat dipakai buat mukulin kamu, ternyata udah rusak aja ya."
"Halah!"
Gara-gara punya Kak Novan memang tidak bisa dipakai lagi, aku jadi bingung mau main atau tidak sama Anan. Mana sudah terlanjur bilang punya dua raket lagi, dan untuk mengatakan hal ini entah kenapa cukup sulit bagiku. Tiba-tiba saja aku takut dia kecewa karena sudah menunggu, atau lebih parahnya dia tidak mau mempercayaiku lagi.
Iya, sekhawatir itu sampai-sampai aku duduk dengan wajah penuh beban di pelataran rumah. Buat jalan ke rumah Anan saja aku harus mengumpulkan keberanian dulu, anehnya, kenapa bisa aku jadi berlebihan begini?
Kemunculan sosok Jo dengan baju kaos tanpa lengan di depan rumahnya membuat pandanganku tertuju ke sana, dia masih sibuk dengan ponsel, pasti main gim lagi. Biasanya aku akan mengganggu dia dengan memintanya naik ke atas pohon mangga, tapi keinginan itu tergantikan dengan hal lain karena aku ingat kalau Jo punya raket juga.
Benar. Aku pinjam punya dia saja, lagian Jo tidak mungkin menolak keinginanku meski kadang harus kupaksa juga. "Jondara," panggilku diiringi nada sok akrab, kami sama-sama berada di area rumah Bunda Yohana sekarang.
"Hm." Ia menjawab, tapi masih sibuk dengan ponselnya.
"Ada raket?" tanyaku.
Jo langsung berdiri, tumben sekali, padahal biasanya dia akan lamban bergerak kalau tidak kudorong-dorong dulu. Bahkan cukup dalam waktu singkat, terlihat raket yang dianggapnya barang bersejarah ada di tangannya. "Udah lama gak main raket, ayok," ujarnya.
"Eh, eh. Bukan main sama lu, gue mau pinjem," jelasku yang membuatnya mengernyit. "Mau main sama Anan, tadi gue bilang punya dua raket. Tapi punya Kak Novan udah rusak kayak habis dipakai buat mukul pantat babi," kataku lagi.
Tanpa banyak bicara, Jo menyerahkan raketnya hingga aku ingin salto belakang karena bahagia menerimanya.
tbc;