"Tak apa jika takdir tidak dapat menyatukan kita. Setidaknya, bibir ku sudah pernah mengatakan kalau aku benar-benar mencintaimu."
********
Sejak peristiwa kemarin, Akira sama sekali tidak dapat dihubungi. Genandra mengirimi anak itu banyak sekali pesan dan berusaha untuk menelponnya, tapi gagal, nomer Akira tidak aktif.
Genandra semakin merasa khawatir, dirinya merasa bersalah telah mengatakan hal seperti itu kepada Akira kemarin. Tidak seharusnya ia melakukan hal ini, padahal sekarang adalah hari terakhir. Genandra berpikir sebentar lagi akan selesai, akan tetapi keadaannya malah bertambah rumit.
"Lo lagi ada dimana Akira, plis angkat telpon gue sekali aja!" cemas Genandra menatap ke arah layar handphonenya.
"Gue minta maaf kalau perkataan gue kemarin sudah bikin hati lo sakit, maaf gue terlalu egois."
"Tapi sebenarnya, sebelum kemarin lo pergi ada sesuatu yang pingin gue omongin. Cuman, mulut gue susah untuk mengucapkannya, kalau sebenarnya...."
"Sebenarnya, sedikit demi sedikit gue sudah belajar buat suka sama lo Ra."
"Perlahan gue mulai buka hati, apa ini sudah terlambat?"
"Kak!" terdengar suara Viola sedang memanggil, seraya mengetuk pintu kamar.
"Iya?" balas Genandra membukakan pintu tersebut, terlihat sang Adik berdiri di sana dengan mengenakan baju piyama.
"Di panggil Papa di ruang tamu, suruh ke sana katanya," ujar Viola menyampaikan pesan.
"Oke," angguk Genandra dan segera pergi menemui Tuan Arga, ditemani Viola yang berjalan di sampingnya.
Sesampainya di ruang tamu, sudah terdapat Nyonya Sena beserta Tuan Arga tengah menonton TV bersama, ditemani beberapa camilan dan secangkir teh hangat di atas meja.
"Ada apa Pa?" tanya Genandra kepada Tuan Arga.
"Eh anak Papa sudah dateng, nih tangkap!" Tuan Arga melemparkan sebuah kunci kepada Genandra, dengan sigap ia langsung menangkapnya.
Sesaat Genandra mengamati kunci apa yang diberikan oleh Papanya itu, "untuk apa pa?" tanya Genandra tidak mengerti maksud dari Tuan Arga.
"Itu hadiah dari Papa, kamu dapet gelar bintang sekolah lagi kan? Itu hadiahnya, gak terlalu besar sih, tapi semoga aja kamu suka," balas Tuan Arga, namun Genandra masih saja menatap wajah pria itu dengan ekspresi bingung.
"Ck, Papa belikan kamu rumah Genan," sontak mulut Viola dan Genandra terbuka lebar. What? Cuman menang dapat gelar bintang sekolah hadiahnya rumah, yang bener aja.
"Ta-tapi Pa, buat apa beliin Genan rumah? Genan masih tinggal di sini sama kalian," balas Genandra, Papanya tidak mungkin berencana untuk mengusir dia dari rumah kan?
"Iyah Papa tahu, cuman sebentar lagi kamu mau lulus sekolah kan, habis itu kerja. Papa cuman sediakan rumah buat kamu tinggal, setelah kamu besar nanti," balas Tuan Arga.
"Kalau Viola Pa, hadiahnya apa? Masa cuman kak Genan yang dikasih, aku juga juara loh Pa," sahut Viola tidak terima, apabila hanya sang Kakak yang diberikan hadiah.
"Untuk anak cewek Papa yang paling cantik pasti ada juga dong," ujar Tuan Arga lalu mengeluarkan satu buah kunci lagi dari dalam saku celananya.
"Waahhh, kunci apa itu apa?" tanya Viola begitu antusias.
"Kamu kalau berangkat sekolah selalu minta anter sopir dulu kan, nih Papa kasih kendaraan biar kamu bisa berangkat sendiri besok," jawab Tuan Arga, Viola pun mengambil kunci tersebut dari tangan Papanya.
"Kendaraan apa Pa?"
"Mobil mainan yang atapnya bisa dibuka tutup itu loh."
"What? Yang bener Pa?" Viola langsung berlari ke luar rumah untuk memeriksa sebuah mobil yang baru saja dibelikan oleh Papanya, Nyonya Sena dan Tuan Arga pun ikut menyusul anak perempuannya itu.
"Haah, Papa Papa ada-ada aja hadiahnya," gumam Genandra hanya bisa geleng-geleng kepala dengan tingkah laku Tuan Arga yang bisa dibilang komedian kalau soal uang, buktinya saja mobil semahal itu dia sebut mobil mainan.
Pada saat dia juga ingin keluar dan berkumpul bersama keluarganya. Saku celana Genandra bergetar, ada panggilan masuk berasal dari handphonenya.
Genandra menggerogoh saku celananya untuk mengambil benda pipih tersebut, "Akira," kejut Genandra, ternyata panggilan itu berasal dari Akira, dengan lekas ia langsung mengangkatnya.
"Hallo Kak Genan!" sapa Akira dalam panggilan telepon.
"Lo darimana aja? Gue coba telepon lo berkali-kali tapi gak lo angkat," balas Genandra.
"Kak, apa Akira boleh minta sesuatu? Akira janji, setelah ini gak bakal pernah ngerepotin Kakak lagi."
"Boleh, apa?"
"Akira minta Kak Genan datang ke padang rumput dekat tepi danau, nanti pukul tiga pagi, bisa Kak?"
"Tiga pagi? Buat apa?" batin Genandra bertanya-tanya. Namun berusaha menyingkirkan semua praduga buruk dalam pikirannya.
"Bisa, gue bisa."
Genandra tidak ada pilihan lain, selain mengiyakan ajakan Akira. Sebab, ini juga kesempatannya agar bisa bertemu dengan gadis itu.
"Oke Kak, Akira tunggu Kakak di sana nanti. Kalau begitu, Akira tutup dulu ya Kak."
"Sebentar-"
Panggilan itu sudah terputus sebelum Genandra menyelesaikan kalimatnya, ia kembali memikirkan mengapa Akira meminta hal seperti itu kepada dirinya. Tapi di samping rasa penasaran itu, dia juga merasa senang akhirnya bisa berbicara lagi dengan Akira walaupun hanya sebentar.
"Kenapa lo senang Genan? Apa ini artinya lo sudah mulai suka sama dia?" batin Genandra seraya memegang dadanya yang berdetak kencang.
********
Jarum jam terus berputar, tak terasa sebentar lagi akan menunjukkan pukul tiga pagi. Ditengah-tengah keheningan malam, Genandra sudah bersiap-siap, dia keluar dari dalam rumah tanpa diketahui oleh siapapun. Menaiki sepeda motornya, dan pergi ke tempat yang sudah ia janjikan dengan Akira.
Dalam perjalanan, selimut hitam masih memeluk dingin luasnya angkasa, sepoi-sepoi angin yang menusuk kulit, walaupun sudah dilapisi oleh jaket yang tebal. Pikiran Genandra terus bertengkar, apa ini benar ini adalah permintaan dari Akira sendiri? Satu pertanyaan itu terus berulang-ulang dalam benaknya.
Sesampainya di sana, benar saja di padang rumput yang luas dekat sungai, terlihat seorang perempuan berdiri seorang diri menghadap ke arah sungai, Genandra langsung bisa menebak kalau itu adalah Akira.
Genandra memarkirkan sepeda motornya di tepi jalan, lalu turun ke bawah untuk menghampiri gadis tersebut.
"Kak Genan sudah sampai," ujar Akira berbalik badan, betapa terkejutnya Genandra melihat wajah Akira yang pucat, bibirnya kering, juga sorot matanya yang lemas.
"Akira," cemas Genandra langsung berlari menghampiri Akira, melepaskan jaket yang dia kenakan, lalu dipakaikannya pada tubuh gadis itu.
"Lo sakit?" tanya Genandra khawatir.
"Enggak, Akira sehat kok," jawab Akira meminta agar Genandra duduk di sana, di samping dirinya.
"Makasih ya, Kak Genan sudah sempetin waktu buat dateng ke sini," ujar Akira duduk berdua bersama Genandra di atas rumput, menghadap ke arah sungai yang memantulkan cahaya rembulan.
"Iya," jawab Genandra, entah mengapa suasana kali ini terasa sangat berbeda tidak sama seperti hari-hari sebelumnya.
"Akira di sini cuman mau ucapin sesuatu," ucap Akira, pandangannya menerawang jauh ke arah sungai di depannya.
"Akira minta maaf sudah ganggu hidup Kakak selama ini, sudah selalu bikin Kakak marah, bahkan sampai benci sama Akira."
"Aku tahu tingkah Akira waktu itu seperti anak kecil, tapi hanya dengan cara itu Kakak mau memperhatikan Akira walau sebentar saja. Kak Genan mau Akira pergi kan? Mungkin keinginan Kakak itu sebentar lagi akan terwujud."
"Maksud lo apa?" sahut Genandra sedikit meninggikan nada suaranya.
"Apa Akira boleh jujur?" balas Akira menatap wajah Genandra, perasaan sedih tanpa sadar muncul di dalam hati laki-laki itu. Sepertinya ini adalah hal yang buruk.
"Sebenarnya Akira ini sakit Kak, mulai dari kecil dulu Akira sudah sering sakit-sakitan dan semakin tambah dewasa penyakit ini semakin tambah parah."
"Waktu itu Hari pernah cerita sama Akira, kalau Kak Genan menanyakan soal bungkus obat yang Kakak temukan di laci meja Akira, itu obat yang dokter kasih kalau sakit Akira mendadak kambuh."
"Kata dokter hidup Akira tinggal sedikit lagi, hanya lima belas hari saja dan sebentar lagi akan berakhir." Mata Genandra membulat selepas mendengar kata lima belas hari, apa ini adalah alasan Arzan meminta kepada dirinya untuk berpura-pura menyukai Adiknya, dalam waktu lima belas hari?
"Kakak lihat di sebelah sana," ujar Akira menunjuk ke arah rembulan.
"Akira takut kalau sampai matahari itu muncul," sambung tersenyum kecut.
Genandra masih belum terlalu mencintai Akira, tapi mengapa hatinya terasa begitu sesak ketika mendengarnya. Ia ingin menangis, sambil memeluk tubuh gadis itu sekuat-kuatnya.
"Hoam," Akira menguap sembari mengusap-usap kedua matanya, dia sudah mulai mengantuk sekarang.
Pluk
Kepala Akira jatuh pada bahu Genandra, lelaki itu tidak marah dan malah membiarkan agar Akira menggunakan bahunya sebagai sandaran.
"Terima kasih Kak," ucap Akira dengan mata tertutup.
"Makasih atas waktunya selama ini, walau Akira tahu itu cuman terpaksa, dan semua perhatian yang Kakak berikan. Tidak apa-apa, Akira tetap senang, sampai selamanya Akira akan tetap suka sama Kakak."
"Ya, gue juga," batin Genandra tersenyum simpul, menempelkan kepalanya kepada kepala Akira. Seraya memegang erat telapak tangan gadis tersebut.
Semangat kak yok up lagi😗
Comment on chapter Mas fiksi lebih menggoda