"Akira, ayo Dek kita makan!" Arzan mengetuk-ngetuk pintu kamar Akira beberapa kali, tapi tidak mendapat sahutan jawaban apapun dari dalam sana.
"Akira!" panggil Arzan sekali lagi.
"Apa dia tidur ya?" batin Arzan bertanya-tanya karena Akira tidak kunjung menyahuti ucapannya, hingga dia memutuskan untuk membuka pintu kamar tersebut.
Perlahan-lahan pintu mulai terbuka. Dari dalam sana, Arzan bisa melihat Adiknya Akira, tidur meringkuk di atas kasur berbalutkan selimut.
"Dek," panggil Arzan sembari berjalan menghampiri Akira.
"Ka-Kakak," balas Akira terdengar lemas, sontak membuat Arzan langsung berlari karena panik.
"Dek!" mulut Arzan terbungkam, ketika manik matanya menangkap selimut putih Akira kotor, penuh akan darah yang mengalir keluar dari dalam hidungnya.
"Akira!" kejut Arzan reflek memegang kening dan telapak tangan Adiknya, rasanya dingin sangat berkeringat. Akira hanya diam, bibirnya sudah tidak kuat lagi untuk berbicara.
Cepat-cepat Arzan membuka nakas kecil samping tempat tidur Akira, mencari-cari beberapa obat yang biasanya dikonsumsi ketika sakitnya kambuh. Arzan tidak menemukan apapun, selain sisa-sisa bungkus obat yang sudah habis. "Gawat," cucuran keringat semakin mengalir deras membasahi pelipis Arzan, tangannya mencengkram kuat sisa bungkus obat tersebut.
"Dek, ayo ikut Kakak! Kita pergi ke rumah sakit sekarang," ujar Arzan langsung menggendong tubuh Akira yang masih terbalut selimut.
Tubuh Akira terkulai lemas. Sedari tadi ia hanya memejamkan matanya saja, sampai Arzan membopong tubuh Akira di depan rumah lalu memesankan taksi untuk segera membawa Adiknya menuju ke rumah sakit.
Beberapa saat kemudian akhirnya taksi pun datang, dengan cepat Pak sopir juga ikut membantu untuk membukakan pintu mobil dan berangkat ke rumah sakit.
Setibanya di rumah sakit, Akira langsung diberikan penanganan cepat. Ia dibawa menuju ruang ICU, Arzan hanya bisa melihat Adiknya masuk ke dalam ruangan tersebut. Matanya menangis sambil memeluk selimut bernodakan darah Akira itu.
"Anda yang bernama Arzan?" tanya sang dokter berdiri di hadapan Arzan.
"Iya dokter, saya Kakaknya," balas Arzan.
"Tolong untuk membeli beberapa resep obat yang sudah saya catat di sini, Adik anda membutuhkannya sekarang juga," pinta sang dokter memberikan kertas kecil berisi resep obat kepada Arzan.
"Baik dokter, dimana saya bisa mendapatkan obat-obat ini?"
"Anda bisa membelinya di apotek di dekat rumah sakit, saya yakin mereka pasti menjualnya."
"Baik dokter, saya akan segera kembali," jawab Arzan lalu berlari keluar dari dalam rumah sakit, menuju apotek untuk membeli beberapa obat yang dibutuhkan untuk kesembuhan Adiknya.
Sesampainya di apotek seberang jalan, kesabaran Arzan diuji sekali lagi. Keadaannya sangat ramai, dikerumuni oleh banyak sekali orang yang hendak membeli obat. "Ya Allah, apa lagi ini," batin Arzan.
"Permisi Mas, saya boleh maju duluan gak? Saya mohon mas, saya lagi butuh banget sekarang," pinta Arzan menepuk salah satu pembeli yang mengantri, orang itu pun membalikkan tubuhnya menghadap kepada Arzan.
"Oh iyah Mas, silahkan!" balasnya mengizinkan Arzan agar menyelat antriannya, dia mengambil langkah mundur memberi jalan untuk Arzan maju ke depan.
"Terima kasih banyak ya Mas," ucap Arzan berterima kasih lalu segera membeli obat sesuai catatan yang diberikan oleh dokter.
"Dia.... bukannya cowok yang waktu itu sama Akira di mall?" batin Genandra seperti mengenali wajah laki-laki itu. Ya, orang baik itu adalah Genandra, Bunda menyuruhnya untuk pergi ke apotek membeli obat sirup.
"Ini Mas obatnya," ucap pelayan apotek memberikan beberapa obat pesanan Arzan dalam kantong plastik berwarna hijau, Arzan pun memberikan selembar uang kepada pelayan apotek itu.
"Itu, obat keras kan? Dosisnya juga tinggi. Gak sembarangan orang boleh mengonsumsi obat itu kecuali dengan resep dokter," batin Genandra sempat mengintip obat apa yang Arzan beli.
"Apa sakitnya separah itu ya? Semoga aja cepet sembuh."
********
Setibanya kembali di rumah sakit, Arzan berlari sekencang-kencangnya menuju ruang ICU, sudah ada dokter yang berdiri di depan ruangan tersebut. Segera Arzan langsung memberikan obat itu kepada dokter. "Ini dok," ujar Arzan memberikan kantong plastik berwarna hijau berisikan obat itu.
"Baik, terima kasih," balas dokter seraya menerima kantong plastik tersebut dan lekas masuk kembali ke dalam ruang ICU.
Kini, hanya tinggal Arzan seorang diri di depan pintu ICU. Kedua bola matanya menatap nanar, jantungnya masih berdegup kencang, sambil terus berdoa supaya Akira baik-baik saja.
"Kakak mohon Dek, jangan tinggalin Kakak. Kakak cuma punya kamu Akira," batin Arzan menyeka air mata yang jatuh menggunakan punggung tangannya.
"Arzan mohon ya Allah, tolong sembuhkan Adik hamba."
********
-Di kediaman Genandra.
"Ini Bun obatnya," ucap Genandra memberikan obat sirup tersebut kepada Nyonya Sena yang duduk di sofa ruang tamu, sambil dipijat oleh Viola.
"Iyah Gen, terima kasih ya sayang. Maaf malem-malem gini Bunda suruh kamu keluar beli obat," balas Nyonya Sena.
"Enggak apa-apa kok Bun, aku juga khawatir kalau lihat Bunda sakit begini," ucap Genandra tersenyum. "Mau Genan bantu pijitin juga gak Bunda?"
"Enggak perlu, Viola aja sudah cukup, cewek-cewek gini tenaga Adik kamu mantep juga loh."
"Hihihi makasih Bunda, kalau Viola bisa pijitin Bunda lebih lama lagi jadikan beli bobanya?"
"Iya-iya jadi, nanti Bunda belikan sepuluh kalau kamu mau."
"Suruh pijitin Bunda aja pakai itung-itung, ikhlas apa enggak sih lo?" sahut Genandra.
"Apaan sih bawel, Kak Genan itu gak diajak! Jadi mendingan diem, Bunda aja gak masalah kok," jawab Viola lalu membuat muka aneh untuk mengejek Genandra.
"Ini Bunda teh hangatnya sudah jadi," Tuan Arga—Papa kandung Genandra tiba-tiba saja datang, membawakan segelas teh hangat untuk istrinya tercinta.
"Wah beneran dibikinin, makasih banyak Papa," jawab Nyonya Sena melihat Tuan Arga menaruh gelas tersebut di atas meja.
"Buat Viola mana Pa?" tanya Viola.
"Genan juga Pa," tambah Genandra ikut-ikutan.
"Yeee kalian berdua mah sehat, bikin sendiri sana di dapur. Minuman ini Papa bikin spesial untuk Bunda tersayang."
"Huek, udah tua Pa, gak cocok bucin-bucinan," respon Viola ingin muntah dan dibalas tawa oleh mereka semua.
Semangat kak yok up lagi😗
Comment on chapter Mas fiksi lebih menggoda