Bel pulang sekolah sudah berbunyi beberapa menit yang lalu, Genandra dan kawan-kawan memutuskan untuk pergi nongkrong sebentar di warung yang biasa mereka gunakan untuk berkumpul.
Kumpulan mereka bukan seperti geng motor anak nakal atau pun anak-anak berandalan yang biasanya suka bikin rusuh. Melainkan hanya sekedar main game, kerja kelompok, membahas materi-materi pelajaran sekolah dan mengisi waktu luang saja.
Seperti biasanya, makanan yang mereka pesan selalu sama, ya apalagi kalau bukan mie goreng sama es teh, jangan lupa pasangannya, kerupuk. Bukan rokok atau hal yang membahayakan lainnya, kata Novan ini namanya nongki sehat.
"Abc ada berapa," ternyata, ketiga anak itu sedang memainkan permainan jari, dan kata kuncinya adalah nama negara. Alam mulai menghitung satu-persatu jari yang mereka tunjukkan, lalu berhenti di huruf D.
"Denmark!" jawab Alam cepat, kalau soal game beginian memang Alam jagonya.
"Ish lo cepet banget sih," sebal Novan.
"Haha, ayo Van jawab! Kalau lo nyerah mie goreng lo buat gue," Alam tertawa, karena taruhan kali ini adalah mie goreng kesukaan mereka, Alam tidak akan membuang kesempatan emas ini begitu saja.
"Huuhhh," Novan menarik napas dalam-dalam.
"Dorea, Depang, Dindonesia, Dindia, Deropa, Dinggris, Damerika," sebut Novan mengatakan semua kata itu begitu cepat.
"Haha fiks, gue yang menang, mie goreng lo buat gue," senyum Novan hendak meraih mangkok mie goreng punya Alam, dengan sigap dia langsung memukul terlebih dahulu telapak tangan Novan sebelum menyentuh sedikit pun mangkok mie gorengnya.
"Gak!" bentak Alam.
"Bukan begitu cara mainnya Novan," sambungnya kesal.
"Cara mainnya itu, lo harus sebut nama negara yang berawalan huruf D, bukan nama semua negara lo ubah jadi huruf D."
"Ih, bilang aja kalau lo takut kalah," cibir Novan memalingkan muka, sembari melipat kedua tangannya di depan dada. Ayolah, padahal mereka sudah besar tapi sifatnya masih seperti anak-anak.
"Tapi lo emang curang Van, Gen sekarang giliran lo yang jawab," Alam mengalihkan pandangannya kepada Genandra yang sedari tadi hanya sibuk berkutat dengan handphonenya.
"Dominica," balas Genandra masih sibuk mengetik sesuatu pada benda pipih itu.
"Gua cabut duluan ya," ucap Genandra memasukkan kembali handphonenya ke dalam saku celana.
"Kemana?" tanya Alam.
"Ke sekolah Adik gue buat jemput dia."
"Loh, bukannya Viola pulangnya lama Gen," balas Alam.
"Iya, tapi akhir-akhir ini sekolah dia lagi ada acara, jadi pulangnya lebih cepet," Genandra mengambil kunci motornya yang tergeletak di atas meja, lalu berjalan menuju sepeda motor ninjanya yang terparkir di dekat pohon.
"Van, mie goreng gue makan aja," teriak Genandra, sebelum pada akhirnya berlalu pergi.
"OKE," jawab Novan super semangat.
"Hehehe," senyum Novan mengambil mangkok mie goreng milik Genandra, agar Alam merasa iri ketika melihatnya. Novan mengibas-ngibaskan tangannya pada mie tersebut sehingga aromanya menyebar, sengaja agar hidung Alam bisa menciumnya.
"Pingin gue tabok sumpah," batin Alam geram.
********
Universitas Alaska—sebuah sekolah yang dikhususkan untuk golongan kelas atas saja, memiliki fasilitas memadai serta kesuksesan yang menjanjikan bagi para siswa-siswinya.
Tapi walau begitu, masih saja ada beberapa murid yang terkadang mengeluh sebab jadwalnya yang cukup padat.
Viola—Adik perempuan dari Genandra. Gadis itu juga tak kalah famous nya dari sang Kakak yang menjadi ketua OSIS serta kesayangan para guru di sekolah asalnya.
Akhir-akhir ini, Viola juga telah memenangkan beberapa penghargaan dari berbagai bidang perlombaan, seperti juara satu sains tingkat nasional dan mendapat gelar sebagai bintang sekolah.
Banyak Ibu-ibu di komplek perumahan Nyonya Sena yang merasa heran, bagaimana bisa kedua putra-putrinya memiliki otak encer seperti itu. Jadi sudah menjadi hal biasa, kalau anak-anak tetangga semuanya rata-rata terkena mental akibat bertetangga dengan keluarga Genandra.
"Halo Dek, gue sudah sampai di depan pintu gerbang sekolah lo," ujar Genandra dalam panggilan telepon.
"Oke Kak, gue ke sana sekarang," balas Viola.
"Cepetan! Gue tunggu di dekat pos satpam."
"Siap," balas Viola sebelum pada akhirnya menutup panggilan telepon tersebut.
"Besar juga ini sekolah," gumam Genandra memandang begitu besar dan tingginya bangunan sekolah Adiknya itu, bahkan dua kali lipat lebih besar dan mewah dari sekolahnya sendiri.
"Woi, siapa lo?" terdengar suara berat berdengung di telinga Genandra, terlihat tiga orang laki-laki mengenakan jas almamater dengan logo universitas Alaska di bagian dadanya.
Satu anak yang berada di tengah dengan perawakan seperti anak nakal, satu kancing atas baju terbuka, dasi melorot, serta tidak memakai kaos kaki. Pasti dia pemimpin dari dua anak yang berdiri di belakangnya.
Genandra hanya diam, dia terlalu malas untuk meladeni anak-anak merepotkan seperti mereka. Genandra memalingkan wajahnya, pura-pura tidak melihat kedatangan ketiga anak tersebut.
"Eh, lo songong banget jadi anak," marahnya dengan sikap Genandra yang berani mengacuhkan dirinya.
"Lo ngomong sama gue? Sorry gue gak denger," balas Genandra dingin.
"Eh bisa ngomong juga ternyata, gue kira bisu tadi," sarkas anak itu dan dibalas tawa oleh dua temannya.
"Lihat bos, dia dari anak SMA sebelah," sahut temannya, sembari menunjuk ke arah jas almamater yang dipakai oleh Genandra.
"Owh dari sekolah miskin. Haha, sekolah kok miskin, sekolah gue nih terkenal, mahal. Orang macam lo mana kuat, bayar uang bulanannya aja palingan udah ketar-ketir gak makan setahun," balasnya membuat Genandra naik pitam, untuk kali ini kata-katanya sudah terlalu berlebihan.
Genandra turun dari atas joke motornya, menghampiri mereka bertiga dengan sorotan mata dingin seperti biasa.
"Memang kenapa kalau SMA gue miskin, lo ada masalah?" Genandra berdiri di hadapan anak tersebut, terlihat seperti mengintimidasi karena memang tubuhnya yang lebih pendek dari Genandra.
"Gue gak nyesel sekolah di sana, lagipula percuma sekolah mahal-mahal kalau atitude nya murahan," ucap Genandra yang mampu menusuk perasaan ketiga anak itu.
"Malahan gue jadi kasihan sama orang tua lo, sekolahin mahal-mahal, buang duit banyak, waktu di sekolah anaknya malah jadi preman."
"Cih, harusnya lo malu gak sih?" sinis Genandra tidak mendapat perlawanan apapun dari mereka, dan tak lama kemudian Viola pun datang.
"La, lo ngapain ke sini?" tanya anak itu kepada Viola yang baru saja tiba.
"Ya gue mau pulang lah, kalian sendiri ngapain di sini?" balas Viola berbalik bertanya.
"Enggak ada, cuman nyamperin ini cowok. Gue takutnya dia penyusup dan bawa hal-hal buruk buat sekolah kita," balasnya dan hendak meraih lengan Viola. "Ayo La, mendingan lo ikut gua masuk lagi ke dalam," ajaknya seketika langsung ditepis oleh Genandra.
"Gak perlu pegang-pegang, dia punya gue," sahut Genandra meraih tangan Viola. "Ayo pulang!" titahnya menyuruh Viola agar segera naik ke atas motor.
"O-oke," balas Viola lalu memakai helm yang diberikan oleh Genandra. Motor pun menyala, laki-laki itu menancapkan gas dan pergi meninggalkan area sekolah.
"Kak Genan kenapa? Tadi ngomong apa aja sama teman-temannya Viola?" tanya Viola dalam perjalanan.
"Gak ada, sekarang gue minta sama lo jauhi mereka bertiga, terutama anak yang mau pegang tangan lo tadi," jawab Genandra.
"Memangnya kenapa? Mereka udah bikin gara-gara ya sama Kakak?"
"Bukan mereka, tapi mulutnya, rasanya mau gue robek," jawab Genandra membuat Viola menelan ludah.
"Abang gue psikopat," batin Viola.
"Anak yang di tengah tadi kayaknya suka deh sama lo. Lo gak mungkin punya perasaan juga kan sama dia?"
"Ya enggak lah Kak, Mas L Viola lebih tampan daripada dia," balas Viola lagi-lagi membahas soal karakter fiksi kesukaannya.
"Tapi Mas L lo itu gepeng Dek," celetuk Genandra.
"Mas fiksi lebih menggoda daripada yang nyata."
"Kayaknya otak lo perlu di servis."
Semangat kak yok up lagi😗
Comment on chapter Mas fiksi lebih menggoda