Bunyi derap kaki kuda. Gertakan tajam dari suara yang asing. Ledakan. Asap. Bunyi roda kayu kereta kuda di jalanan berbatu. Jeritan.
"Aniara!"
*
Aniara terduduk dengan napas tersengal, tangannya meraih ke sisi tubuh dan meraba rusuknya. Kulitnya basah kena keringat dingin, tapi tidak ada serpihan runcing menancap di sana, pun darah segar yang mengucur. Ia hidup. Ia hidup.
Setelah memastikan bahwa ia tidak di ambang kematian, Aniara menyerah tidur dan berjalan sambil menguap ke meja kerjanya. Jam menunjukkan pukul dua pagi. Ia bisa menyelesaikan setidaknya satu komisi sebelum matahari terbit.
Selagi mewarnai sketsa anak kecil berpakaian kuno yang telah dibuat Aniara sebelumnya, ia bertanya-tanya dalam hati, entah apa yang dipikirkan akun novaspareparts.135 itu setiap kali memesan jasa komisinya.
Novaspareparts.135 – atau Nova, agar lebih gampang – sudah enam kali memakai jasa Aniara dalam rentang waktu dua bulan. Setiap kali, Nova selalu memesan ilustrasi dengan seorang anak laki-laki sebagai objek utamanya. Pada awalnya, Aniara curiga Nova adalah seorang predator anak, tetapi setelah ditanya langsung, Nova menjelaskan bahwa anak kecil itu adalah gambaran seseorang yang berharga baginya.
… Yah, Aniara masih curiga. Masa lalu yang sedih bisa saja dibuat-buat, apalagi oleh akun buangan di media sosial. Tapi ya sudahlah. Nova sudah memberi penjelasan dan Aniara, pada akhirnya, cuma seorang lulusan kampus yang perlu uang.
Yang lebih unik lagi – aneh sebenarnya, tapi Aniara sedang berusaha sopan pada kliennya yang paling setia – adalah kebiasaan Nova mengetik dengan bahasa Indonesia lama. 'U' yang ditulis sebagai 'oe' serta 'i' ditulis dengan 'ie' adalah sesuatu yang sering muncul di dalam pesan dari Nova. Aniara tidak pernah ambil pusing. Setidaknya ketikan Nova lebih mudah dibaca daripada ketikan remaja alay yang huruf-hurufnya diganti angka, tetapi anehnya Nova selalu meralat kata-katanya itu yang artinya ia tidak sengaja menggunakan bahasa Indonesia lama.
Orang mana yang membuat kekeliruan seperti itu lebih dari enam kali dalam seminggu?
Aniara menyelesaikan shading pada pakaian anak laki-laki dalam ilustrasinya dan mulai mengisi sketsa kereta kuda dengan warna.
Satu hal lagi, Nova selalu memesan ilustrasi dengan latar jaman dulu, misalnya seperti jalanan pada masa penjajahan Belanda atau bahkan pemandangan pada masa kerajaan Hindu di Indonesia.
Bukannya Aniara mengeluh. Ia tidak terlalu peduli, tapi sekarang … sekarang ia memerlukan sesuatu untuk dipikirkan agar bayang-bayang serpihan runcing yang menghujam perutnya tidak mengapung-apung di pikirannya seperti mayat di sungai.
Lamunan Aniara dibuyarkan oleh bunyi alarm Aditya yang selalu berbunyi dua puluh menit sebelum azan subuh. Sudah selama itukah ia duduk di sana, menggambar dan melamun?
Ia mengalihkan pandang dari dinding yang memisahkan kamar kosnya dengan kamar Aditya, kembali fokus pada layar tabletnya. Permukaan layar terasa sangat mulus di bawah pena stylus-nya. Entah mengapa, kenyataan itu mengganggunya seperti bentol nyamuk di paha.
Ia rindu melukis di kanvas….
Tunggu, apa? Kenapa dia berpikir begitu? Ia tidak pernah sekali pun menyentuh sebuah kanvas seumur hidupnya. Bagaimana bisa ia merindukan sesuatu yang tidak pernah ia pakai?
Aniara meletakkan stylus-nya di atas meja, lalu membenamkan wajahnya ke dalam kedua tangan, mengeluh panjang. Ada apa dengannya? Semenjak kejadian tidur-tiga-hari beberapa hari yang lalu, pikirannya tak pernah tenang, entah karena mimpi buruk atau kilas balik atau hanya khayalannya saja.
"Mungkin aku mulai gila," gumamnya pada diri sendiri. "Mungkin aku terlalu banyak menghirup uap cat– ah, apa-apaan?!"
Air matanya merebak, panas. Gigi-giginya beradu karena marah.
Apa yang terjadi padanya? Sakit? Gila? Kenapa semua ini bisa terjadi? Penyebabnya apa? Apakah dia terkena karma? Disantet orang? Apa ibunya berhenti merestui jalan hidupnya? Kenapa dadanya selalu terasa kosong, sekarang?
Ping!
Aniara tersentak, refleks meraih ponselnya yang sedang dicas. Ada sebuah komentar di unggahannya yang terbaru – coretan pensil yang ia buat dalam keadaan setengah-sadar kemarin. Ia telah memindai gambar itu dengan ponsel dan mengunggahnya, sebagian besar untuk menenangkan para pengikutnya yang mulai khawatir karena hiatusnya yang begitu mendadak.
Jekichen berkomentar: Wowww ini mirip banget sama lukisan yang dicuri itu. Kayaknya kau terinspirasi, ya? Lebih bagus kalau dilukis ulang di kanvas sih, siapa tahu bisa dijual lol.
Tidak sampai lima menit kemudian, Aniara mendapati dirinya telah memesan sebuah kanvas dan satu set cat lukis dari online shop. Ia bahkan tak punya ingatan memilih kanvas dan cat mana yang ingin ia beli.
"Mungkin aku kesurupan," putusnya selagi mendengarkan langkah kaki Aditya yang terburu-buru di kamar sebelah.
Aniara yakin setan yang tinggal di dalam kamar kosnya merasa tersinggung mendengar kesimpulannya barusan.
*
Bunyi pedang beradu. Teriakan-teriakan yang memerintahkan perjuangan. Bau darah. Bau hangus. Asap. Tanah.
"Aniara!"
Sebuah tangan membalikkan tubuhnya. Matahari terik di atas kepala. Silau. Siapa? Ia tidak bisa melihat….
"Anya, kau–"
Suara teriakan putus asa. Derap kaki kuda.
Kalimat terakhir yang mampu diprosesnya sebelum semuanya lenyap adalah: "Yang Mulia telah mati! Yang Mulia telah mati! Pasukan mundur!"
Hal terakhir yang dirasakannya sebelum semuanya lenyap adalah tetes air mata seseorang di pipinya.
*
Kanvas dan catnya datang. Mata Aniara terasa kering dan panas selagi ia membuka kertas cokelat pembungkus paket itu, bekas menangis semalaman sambil tidur.
Ia memutuskan untuk tidak merepotkan diri memasang kaki tiga dan meletakkan kanvas telentang di lantai. Kertas sketsanya ia tempel dengan selotip di sebelah kanvas, dan sebuah piring plastik kotor ia ubah menjadi palet seadanya.
Pensil berujung patah yang kemarin dulu ia temukan segera ia raut dengan pisau lipat. Hasilnya tidak rata, tapi pada titik ini ia tidak begitu peduli.
Digoreskannya pensil itu ke permukaan kanvas dan napasnya melembut, sementara kehangatan aneh yang terasa seperti teh panas memenuhi kekosongan di dadanya.
Ia mulai menggambar siluet sang anak kecil.
*
Kali ini, ia tidak ingat banyak hal. Kepalanya sakit dan ia berbaring di genangan darah. Tidak ada siapa pun di sekitarnya. Ketika ada seseorang yang jatuh – menjatuhkan diri? – di sebelahnya, sudah terlambat.
Ia bahkan tidak merasakan bom nuklir yang meledak.
*
Aniarart: Hei, bolehkah aku izin menunda komisimu beberapa hari? Ada urusan keluarga yang mendesak.
novaspareparts.135: oh, tentu, ambil saja waktu secukupnya. semoga tidak ada masalah besar
Aniarart: Makasih. Bukan masalah besar, cuma tidak bisa aku tinggal.
Aniara meletakkan ponsel di atas nakas, dengan baterai nyaris habis, dan melanjutkan sketsanya. Siluet sang anak kecil telah selesai, duduk di udara kosong. Perlahan, sebatang pohon yang kokoh muncul di bawah goresan pensil Aniara.
Buron mengeong nyaring tepat dari samping Aniara, membuatnya terlonjak dan tanpa sengaja membuat dedaunan di pohon itu terlihat seperti tentakel alien.
Ia menghela napas dan membiarkan Buron memanjat ke pangkuannya untuk bergelung di sana. Dielusnya puncak kepala kucing itu sejenak sampai terdengar suara dengkuran senang, lalu ia memungut pensilnya yang jatuh dan kembali menggambar.
*
Dirga masuk seperti maling – di tengah malam, tanpa mengetuk, dan tanpa izin. Satu-satunya hal yang membedakannya dengan maling betulan adalah begitu ia masuk ke dalam kos-kosan Aniara, hal pertama yang ia lakukan adalah membuat keributan.
"Yooo, 'met malam, bagaimana kabarnya warga Indonesia yang paling mirip makhluk gaib ini?" tanyanya sambil melepaskan sepatu dan meletakkannya sembarangan di dekat keset pintu depan.
Tanpa menoleh sekali pun dari kanvas di lantai, Aniara menyahut, "Maksudmu kau? Dari suaramu sih kelihatannya sehat-sehat saja."
Dirga tertawa. "Sudah hampir dua minggu aku tidak melihatmu, ternyata kangen juga dengan omongan jahatmu," komentarnya.
"Jijik."
"Hahah! Omong-omong, aku ada bawa terang bulan. Taruh di mana?"
Aniara mengacungkan telunjuk secara asal. "Meja dapur."
"Kau punya dapur?" Meskipun nadanya mengejek, Dirga menurut dan meletakkan bawaannya di atas meja yang ditunjuk Aniara. Ia lalu kembali ke dalam kamar tidur dan dengan seenaknya duduk di samping Aniara, mengintip pekerjaannya. "Ooh, apa itu yang kau lukis?"
Sapuan kuas Aniara membeku di udara. Ia mengerjap, menoleh ke arah sahabatnya yang masih memperhatikan lukisan di lantai dengan setengah hati.
"Ooh, apa itu yang kau lukis?"
Ia menggelengkan kepala dan kembali fokus pada puing-puing rumah yang sedang ia warnai. "Sudah dua belas tahun kita saling kenal, aku tahu kau tidak buta."
Reaksi Dirga pada cercaan itu tak lebih dari sebuah cengiran. "Hoh. Sejak kapan kau bahkan melukis? Dan ini … huh, bukannya ini lukisan Windu yang dicuri itu? Tapi kelihatannya agak beda."
Aniara menotolkan cat basah di telapak kaki Dirga dengan kesal. "Kalau kau cuma akan bicara sendiri, mending kau diam," gerutunya. "Ini … aku baru mulai melukis seminggu yang lalu. Uh, seminggu lebih?"
"Sejak kita pergi ke pameran itu, kau jadi bertingkah aneh," kata Dirga dengan kening berkerut, mendadak serius. "Panggilanku tidak diangkat, pesan juga tidak dijawab – dibaca saja tidak. Kau tidur terus, bangun-bangun mimpi buruk, dan sekarang kau tiba-tiba tertarik melukis? Anya, sebenarnya ada apa?"
… Jika dibeberkan seperti itu, keadaannya akhir-akhir ini memang tidak bisa dibilang normal atau bahkan sekadar aneh. Semuanya seperti terhubung, saling tumpang tindih dan mempengaruhi seperti barisan domino.
"Kalau aku bilang aku tidak tahu, bagaimana?" tanyanya sambil menambahkan warna cokelat keabu-abuan di kanvas, matanya menghindari tatapan Dirga yang menyelidik.
"Aku akan bilang 'omong kosong' dan mendiagnosamu dengan depresi."
"Ap– hei, kau bukan psikiater." Aniara menghela napas. "Kalau aku bilang aku punya dugaan tapi kau tidak akan percaya, bagaimana?"
"Tergantung apa dulu dugaanmu. Apa lukisan itu ternyata mistis dan kau melihatnya dalam mimpi dan dia berusaha berkomunikasi denganmu memakai bahasa kuno untuk melukis kembarannya?" Melihat ekspresi Aniara, cengiran Dirga melebar. "Oh wow, kau jadi makin mirip dengan Buron."
"Jangan sampai kau kucekoki cat, Dirga." Goresan cat di kaki sahabatnya itu segera bertambah ketika ia tertawa menanggapi ancaman Aniara. "Tapi, kalau aku bilang kalau tebakanmu tidak jauh meleset, bagaimana?"
Dirga menumpukan sikunya di lutut yang bersila, lalu meletakkan pipinya di tangan. "Ceritakan dulu, kalau begitu."