"Apa maksudmu pencurian?"
"Pencurian ya pencurian," jawab Dirga dengan tak sabar. "Lukisan yang kau tatap lama-lama kemarin itu dicuri orang, tidak sampai satu jam sejak aku pergi dari kampus."
"Hah? Jadi, seandainya kemarin kita berlama-lama di situ, bisa-bisa kita jadi saksi?" tanya Aniara sambil menyuap soto ayam dengan lahap.
"Mungkin. Katanya, pencuri itu memakai topi dan jaket. Ia tidak masuk diam-diam, bahkan sempat mengambil gelang di resepsionis, tapi wajahnya tidak kelihatan sama sekali," jelas Dirga.
Aniara tertegun, meski tangan dan mulutnya tetap menyuap dan menelan makanan secara otomatis. Topi dan jaket? Datang tidak lama setelah ia dan Dirga pergi dari pameran?
"Tidak ada yang tahu kenapa ia mencuri lukisan Windu itu dan hanya itu. Menurut manajernya lukisan itu bagus, tapi karena pelukisnya anonim, lukisannya tidak sangat berharga kalau dari sisi uang," Dirga meneruskan. Ia berhenti sejenak untuk menyesap es tehnya. "Jadi aneh sekali dia memutuskan untuk mencuri yang itu, kecuali kalau si pencuri punya ikatan pribadi dengan pelukisnya."
"Kayaknya aku sempat berpapasan dengan orangnya," Aniara menyela.
"Hah?"
"Pencurinya. Kayaknya aku … waktu aku hendak naik ke bus kemarin– maksudku, tiga hari yang lalu, aku bertabrakan dengan orang bertopi dan berjaket. Dia kelihatannya sedang terburu-buru, marah padaku karena menabraknya saja tidak," jelas Aniara dengan cepat, kata-katanya nyaris tumpang tindih.
"Wah, berarti kau bertabrakan dengan kriminal, Anya," komentar Dirga dengan mata lebar. "Tapi kalau cuma ketemu seperti itu, berarti kau tidak perlu jadi saksi, 'kan?"
Aniara meringis. "Aku juga ogah berurusan dengan polisi."
"Bung, polisi tidak akan bisa melacak pulpen Adit yang kau curi pas SMP."
"Bukan itu!" Aniara menendang kaki Dirga di bawah meja. "Aku cuma malas saja."
"Yah, terserah, toh kau tidak punya informasi yang penting-penting amat. Untungnya yang kau tabrak itu cuma pencuri lukisan, bagaimana kalau seandainya dia pembunuh berantai?"
"Jangan membuatku berpikir yang tidak-tidak, deh, aku sudah cukup paranoid setiap harinya," gerutu Aniara. Keningnya berkerut ketika sebuah kemungkinan terpikir olehnya.
"Hei, kau pikir … apakah pencurian lukisan itu ada hubungannya dengan aku yang pingsan tiga hari?" tanyanya pada Dirga. "Timing-nya terlalu kebetulan, 'kan? Sebelumnya aku belum pernah mengalami tidur aneh seperti itu, apalagi aku tidak sedang sakit. Pasti ada hubungannya dengan lukisan itu!"
Dirga berhenti meminum es tehnya dan menatap Aniara lekat-lekat. Kemudian, ia meraih ke seberang meja dan menjitak kening Aniara sekuat mungkin.
"Kau. Terlalu. Banyak. Nonton. Yang aneh-aneh." Dirga menekankan setiap kata dengan satu tusukan telunjuknya ke kening Aniara, mengabaikan protes dan makiannya. "Mana ada yang seperti itu di dunia nyata. Kau pingsan karena kurang gizi. Lukisan itu dicuri karena … pencurinya suka? Mana kutahu."
Aniara menepis tangan Dirga. "Ya, ya, aku tidak usah sampai dijitak! Aku cuma bilang, kebetulan sekali kedua hal itu terjadinya hampir bersamaan, apalagi aku ternyata pernah bertemu pelakunya."
"Itu cuma kebetulan, Anya, tidak semua hal di dunia ini terhubung seperti di film atau novel," kata Dirga.
"Dan kau pikir kita sekarang ini sedang hidup di mana?"
"Hah?"
Aniara menggeleng. "Tidak usah dipikirkan. Kurasa … kau benar, semuanya hanya kebetulan saja."
"Lagipula, kalaupun ini cerita fiksi dan dua hal itu ada hubungannya, memangnya apa yang akan terungkap? Ternyata pelaku pencuriannya dirimu dari dimensi lain, begitu?"
"Bahkan khayalanku saja tidak sampai sejauh itu," Aniara mencemooh. Namun, jauh di dalam pikirannya, sebuah simpul mulai terbuka.
*
Hasil pencarian untuk: lukisan Windu
Lukisan Yang Tidak Diketahui Pelukisnya Dicuri….
Kesaksian Manajer Pameran Menyangkut Keamanan….
JUAL Lukisan murah diskon 50%....
*
Dirga benar, dan Aniara memang sakit. Dadanya terasa kosong semenjak ia bangun dari tidur panjangnya. Awalnya, ia mengira kekosongan itu karena ia lapar, tetapi sekarang, di kamar kos setelah makan bersama Dirga, rasa kosong yang mengganggu itu tetap ada.
Ia menghembuskan napas panjang dan membenamkan wajahnya di perut Buron yang lembut. Kucing itu mengeong nyaring dan menendang lehernya. Iseng, Aniara justru memerangkap kaki belakang Buron agar ia tidak bisa bergerak. Ia baru melepas kaki kucingnya itu ketika pipinya dicakar. Dibiarkannya Buron pergi merajuk ke atas keranjang pakaian bersih, lalu Aniara berbaring telentang di lantai.
Ditekannya dada kirinya dengan satu tangan. Detak jantungnya stabil dan solid, nyaris seirama dengan tarikan napasnya yang teratur. Perasaan kosong itu tetap ada. Jari-jari Aniara mencengkeram bajunya di bagian dada dengan harapan kosong itu dapat mengurangi sensasi aneh di sana.
Ia merasa seperti … seperti ketika ia kehilangan kucing peliharaannya yang pertama. Seperti ketika ia menyadari bahwa koleksi stikernya saat masih kecil telah tertinggal di rumahnya yang lama dan kemungkinan telah dibuang. Seperti ketika ia terpisah dari Dirga, tujuh tahun yang lalu, karena sahabatnya pindah rumah.
Rasanya seperti kehilangan, tapi bukan sekadar kehilangan. Lebih seperti sebuah kesadaran bahwa jika sesuatu milikmu hilang, maka kau tidak akan menemukannya lagi selama-lamanya, seberapa keras pun kau mencari dan mengingat.
Aniara menghembuskan napas dengan gemetaran. Air mata hangat merebak di pelupuknya tanpa alasan. Ia merasa seperti sedang melihat dirinya sendiri dari mata orang lain, terbaring mengenaskan di lantai dengan tangan mencengkeram dada dan tangis menodai wajah.
"Ooh, apa itu yang kau lukis?"
Aniara tidak pernah melukis apa-apa.
Ia terkesiap dan berdiri dengan sangat terburu-buru, hampir saja terpeleset di lantai berkarpet. Ia berlari ke mejanya dan merobek sehelai kertas dari sebuah buku tulis. Dengan gelagapan ia membuka satu per satu laci di meja itu. Air matanya memercik ke permukaan berbagai sketsa dan surat.
Ia bahkan tidak tahu kenapa ia menangis. Kenapa ia gelagapan mencari–
(Kuas.)
–Pensil.
Benda itu bahkan tak mencapai panjang jari telunjuknya, tetapi kelegaan luar biasa membuatnya tak acuh. Detik selanjutnya ia telah duduk berlutut di lantai, membungkuk di atas lembaran kertas tadi dan menggoreskan pensil dengan intensitas seseorang yang bunuh diri dengan melompat dari atap gedung.
Jantungnya berpacu, isakan nyaring seakan ditarik keluar dari tenggorokannya, air matanya terus menetes dan menodai garis-garis yang telah ia gambar. Rasa kosong di dadanya lenyap, lenyap, digantikan sesuatu seperti ledakan kembang api di akhir tahun, seperti bunyi meriam perayaan yang menggetarkan kos-kosan pada tengah malam.
Aniara merasa hidup.
Ujung pensilnya patah tepat pada goresan terakhir, menyerah di bawah tekanan energinya yang gila-gilaan. Air matanya sudah kering, tetapi napasnya masih tak beraturan.
Ia meluruskan punggung dan mendongakkan kepala, menerawang ke langit-langit. Setelah menarik napas panjang, tatapannya jatuh ke kertas di lantai.
Seorang anak, kira-kira berumur delapan tahun, duduk di atas dahan pohon sambil memegang tali layang-layang. Di sekitarnya, padang rumput. Di depannya, sisa-sisa sebuah rumah yang terbakar. Tepat di bawah kedua kaki sang anak kecil ada tumpukan kanvas lukis yang masih dilalap api tidak jauh dari reruntuhan.
Aniara meletakkan pensilnya di lantai dan menutup wajah dengan kedua tangan, bernapas berat. Apa-apaan yang ia gambar itu?
Tapi … perasaan kosong yang menerornya sejak pagi hilang, seakan organ yang tadinya tidak lengkap sekarang telah menyatu kembali membentuk Aniara.
Ia menghela napas dan memiringkan badan sehingga wajahnya tertimpa selarik cahaya matahari dari jendela. Dari sudut ini, api hitam putih di dalam gambarnya terlihat membara.