Aniara telah duduk di tempat tidurnya dalam diam selama sepuluh menit. Sinar matahari dari luar tidak mengganggunya karena tirai yang tertutup, sehingga ia bisa berlama-lama menatap dinding tanpa perlu teringat tentang hari yang perlu ia jalani.
Setidaknya, sampai kucing berbulu oren peliharannya mengeong nyaring dan meloncat ke arah tirai, menarik kain panjang itu dengan bunyi berisik. Sinar mentari membanjir masuk dan Aniara mengerang, menyaingi meongan si kucing.
"Kenapa sih, pagi-pagi begini kau harus seribut ini?" protes pemuda itu. Kucingnya mengeong lebih keras lagi. Aniara melempar selimut dari kakinya dan berdiri sambil menggerutu. Bersamaan dengan itu, ponselnya yang diletakkan di atas bantal berdering, nomor kontak bernama 'Dirgarama' tertera di sana.
"Apa?" sergah Aniara setelah mengangkat telepon. Ia berjalan menuju dapur dan hampir jatuh ketika disandung oleh kucingnya. "Jauh-jauh dari kakiku!"
"Kau bicara padaku atau pada Buron?" tanya Dirga dari seberang sambungan.
"Kalau aku sampai perlu meneriakimu supaya jauh-jauh dari kakiku, mukamu bakal sudah kutendang duluan." Aniara menjepit ponselnya di antara pipi dan bahu selagi menuangkan makanan di mangkuk makan Buron. "Kenapa menelepon pagi-pagi?"
"Pagi? Ini sudah siang!"
"Tomato, tometo. Ada apa? Kalau mau ngutang, uangku juga sedang tipis."
"Anya, aku lebih kaya darimu. Nenek buyutku lebih kaya darimu."
Aniara memutar mata, tapi sudut-sudut bibirnya terangkat. Semasa ia dan Dirga masih berumur di bawah delapan belas tahun, selalu dirinyalah yang bertugas membuat kesal sahabatnya itu. Semenjak keduanya masuk kuliah, justru sebaliknya yang terjadi.
Aniara tidak keberatan. Kadang, ketika ia tidak punya keinginan untuk bangun, ejekan dan gurauan Dirga-lah yang mampu memberinya sedikit semangat.
"Jadi?"
"Jadi apa?"
Namun lebih seringnya mereka ingin melemparkan kursi ke kepala satu sama lain. Seperti sekarang, misalnya.
"Kenapa kau menelepon, Dirga?" ulang Aniara. Ia tetap menjepit ponselnya di antara pipi dan bahu selagi mengeluarkan sebungkus bubur instan dari lemari dan meletakkan panci di atas kompor untuk menjerang air.
"Ada pameran lukisan di museum kota lusa," jawab Dirga. Aniara mendehum, menunggu kelanjutannya, tetapi sahabatnya tidak mengatakan apa-apa lagi.
"Lalu?" desaknya dengan kening berkerut. Air di dalam panci mulai beriak, uapnya menghangatkan dapur.
"Aku ingin kau ikut denganku melihat-lihat," kata Dirga dan Aniara sadar bahwa di dalam perkataan sahabatnya itu tidak ada permintaan, hanya fakta, seakan ia tahu pasti Aniara akan menemaninya.
Dengan ngeri, Aniara menyahut, "Dan apa yang membuatmu berhalusinasi kalau aku mau melihat-lihat pameran seni? Cuma karena aku membuka komisi gambar, bukan berarti aku fanboy Van Gogh."
"Kau pikir aku mengajakmu karena kupikir kau bakal tertarik?" Dirga mendengus. "Lawak. Aku mengajakmu karena aku dan Harisa baru putus. Kalau aku datang sendiri, nanti aku kayak orang galau."
"Sialan," maki Aniara. Ia menuang air panas ke dalam mangkuk berisi bubur instan dan mengaduknya dengan sendok. "Ya, terserahlah, aku ikut."
"Yey," Dirga bersorak tanpa nada. "Makasih banyak, Yang Mulia–"
"Hmm."
"–Yang Mulia kantong tipis."
"Hoi!" serunya pada ponselnya, tetapi Dirga sudah lebih dulu memutuskan sambungan. Aniara lagi-lagi memutar mata sebelum duduk di atas meja dapur dan menyuap buburnya, menonton Buron yang sedang membersihkan wajah setelah mengosongkan wadah makannya.
Buron mengeong nyaring dan meloncat ke atas pangkuan Aniara, memijat lututnya sebelum bergelung di sana. Aniara menyipitkan mata, tapi tetap mengelus kepala Buron sampai kucing itu tertidur.
Sepertinya, pagi ini dia tidak bisa ke mana-mana.
*
Aniara bangun dengan helaan napas tajam dan pakaian basah kuyup kena keringat. Sinar matahari menerangi kamarnya karena ia lupa menutup tirai sebelum tidur. Ada bunyi barang jatuh dari luar.
"Buron!" serunya refleks. "Apa yang jatuh?!"
Tentu saja tidak ada yang menjawab.
Aniara mengerang, mengusap wajahnya yang sedingin es dengan tangan yang juga sedingin es. Masih sedikit terdisorientasi, ia bangun dan duduk bersila di atas tempat tidur.
Dia … bermimpi. Tentang sesuatu. Perang? Atau mungkin wajahnya sendiri di dalam cermin. Atau sesuatu. Memori tentang mimpi itu lenyap dari pikirannya secepat ombak menarik diri dari pantai.
Ponselnya mengeluarkan bunyi dering pendek lima kali, bunyi yang dipakai Aniara untuk mengingatkan dirinya sendiri jika ada komisi yang perlu diselesaikan hari ini.
Dengan helaan napas panjang, ia melawan keinginan untuk kembali berbaring dan memaksa diri untuk berjalan ke kamar mandi.
Komisinya kali ini dipesan oleh sebuah akun kosong yang meminta ilustrasi dua orang berwajah serupa dengan kebebasan penuh pada Aniara dalam memilih pose dan komposisinya.
Tentu saja Aniara agak curiga, tetapi orang itu memesan komisi ilustrasi lengkap dengan latar belakang dan pewarnaan penuh. Kalau ternyata orang itu penipu, Aniara hanya akan rugi satu ilustrasi, tapi seandainya orang itu benar-benar akan membayar, dompet Aniara bisa terisi lebih dari setengahnya.
Setelah empat jam membungkuk di depan tablet, hasil akhirnya adalah sebuah ilustrasi seorang laki-laki berambut hitam pendek yang duduk di pinggir sungai, pantulannya balik menatap dari dalam air dengan ekspresi yang berbeda.
Lama-lama memandang ilustrasi itu mengingatkan Aniara pada sisa memori dari mimpinya tadi malam.
Wajah yang serupa dengannya, menatap balik dari dalam cermin.
Mata kirinya berkedut selagi ia menyimpan ilustrasi itu dan mematikan tabletnya. Batas waktu yang diberikan orang itu adalah tengah malam, jadi ia bisa mengirimkannya nanti.
Sekarang, perutnya berkeruyuk ketika bayangan mi instan lewat di pikirannya.
Lagi-lagi, ia nyaris jatuh tersandung tubuh Buron dalam perjalanan ke dapur. Lagi-lagi, ia menjerang air sambil mengisi ulang wadah makan kucing itu.
Hari itu berjalan seperti biasanya. Jadi kenapa…?
*
Aniara terlonjak sambil menyumpah ketika bunyi dering ponsel mengejutkannya dari tidur seperti tali gantungan yang disentakkan. Tanpa tedeng aling-aling, ia menyambar ponselnya dan mengangkat telepon.
"Kusumpahi orang tuamu jadi cacing!" semburnya.
Sejenak, orang di seberang sambungan tidak mengatakan apa-apa. Lalu, ia tertawa terbahak-bahak.
"Orang tuaku jangan dibawa-bawa, woi!" seru Dirga di antara tawa.
Aniara merengut, mengucek mata dengan kesal. "Salah sendiri menelepon pagi-pagi. Jam delapan juga belum."
"Justru itu, pamerannya buka jam sembilan," kata Dirga kalem. Nadanya justru memicu kedutan di mata kiri Aniara.
"Bukan berarti kita harus berangkat jam sembilan pas," protesnya. "Aku belum makan, belum mandi, belum mengecek komisi. Buron saja belum bangun!"
"Bangunkan, kalau begitu."
"Dirga–! Brengsek, diputus," omel Aniara. Ia melemparkan ponselnya kembali ke atas bantal dan meregangkan kedua lengan. Mengingat kelakuan Dirga di masa lalu, dia pasti akan tetap ngotot membawa Aniara ke pameran meski Aniara belum mandi sekali pun. Jadi, dengan setengah keikhlasan, pemuda itu beranjak bangun dan pergi ke kamar mandi.
Kali ini, kakinya tidak tersandung tubuh si kucing.