— — —


Violin, gadis anti-sosial...Read More >>"> Coneflower (n e u n :: foreign) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Coneflower
MENU
About Us  

———

 

 

Violin baru saja memarkirkan motor miliknya. Setelahnya, dia mengunci motor lalu menarik kuncinya. Kemudian, dia beranjak dari motor, dan berjalan ke arah tempat lesnya berada. 

 

Saat berjalan di koridor, Violin menatap ke arah ponselnya yang menampilkan sebuah komik. Bahkan sampai di kelas dan masuk ke dalamnya, dia masih fokus dengan cerita komik yang dia baca sekarang. Kelas masih kosong, hanya ada dirinya di dalam, sampai akhirnya orang yang dia tunggu datang. 

 

Cakra membuka pintu les lalu tatapannya langsung tertuju pada Violin. Violin juga menatapnya karena suara pintu barusan. Setelahnya, senyum Violin merekah begitu lebar, sementara Cakra tersenyum tipis. Pemuda itu berjalan ke arah jejeran bangku, lalu duduk di samping Violin. 

 

Violin langsung memamerkan ponselnya yang menampilkan sebuah gambar. "Kayaknya aku suka dia, Kra." Ujarnya tiba-tiba. 

 

Cakra mendengus kasar sembari menaruh tasnya di bawah. "Sekarang siapa lagi?" 

 

"Kim Dokja dari Omnicient Reader's Viewpoint!!" Teriak Violin antusias sembari mengepalkan salah satu tangannya. 

 

Cakra hanya tersenyum menanggapi Violin yang tampaknya penuh energi saat ini. Violin mempunyai kebiasaan aneh dengan menyukai sebuah gambar. Dia menganggap gambar itu tampan dan keren lalu menyukainya. Cakra berusaha menghargainya karena alasan penyakit mental yang diderita Violin itu sendiri. 

 

"Kau sudah membaca berapa chapter dari komik itu?" Tanya Cakra. 

 

Violin menoleh dengan wajah antusias. "78! Aku baru memulainya kemarin dan ketagihan!" 

 

Cakra menghembuskan nafasnya. "Kau membaca novelnya?" 

 

Violin kembali menghadap ponselnya. "Karena manhwa-nya masih on going, jadi itu mungkin. Semoga saja imajinasiku bisa membayangkannya dengan benar." 

 

"Kenapa memangnya?" 

 

"Kadang kalau cuma tulisan agak bingung, makanya aku lebih prefer komik." Jawab Violin sembari tersenyum hingga giginya terlihat.

 

Cakra menatap ke arah ponsel Violon. "Kayaknya aku dapat spoiler kalau endingnya—"

 

"DIAM YA! GAK USAH NGOMONGIN ITU! ITU MASIH LAMA!" Potong Violin dengan nada yang sangat meninggi. Dia memalingkan kepalanya, "Bahkan komik ini katanya bakal berjalan selama 10 tahun karena punya chapter yang terlalu banyak. Toh, juga itu open ending juga. Jadi bakal kubuat engga sad ending, aku cuma berharap karakter yang kusukai bahagia.." 

 

Cakra tersenyum tipis. Lalu, juga memalingkan kepalanya ke arah buku koding yang ada di hadapannya. "Mungkin saja di komik dia tidak akan tertidur. Tetapi tidak ada yang tahu." 

 

Violin mengerucutkan bibirnya kesal. Lalu, pada akhirnya dia memilih mematikan ponselnya. Selanjutnya, gadis itu melipat kedua tangannya di meja dan menjatuhkan kepalanya diantara lipatan tangannya. Beberapa anak les lainnya mulai berdatangan. Kelas yang tadinya sepi kosong mulai agak ramai dengan beberapa anak. Namun, Violin masih bertahan dengan tidur yang mengambil waktunya. 

 

Cakra merasa bosan di tempatnya. Dia menoleh dari ponsel yang dia bawa ke arah Violin yang tertidur di sampingnya. Kemudian, telunjuknya mulai menunjuk bahu gadis itu. 

 

"Heh, jangan tertidur. Les sudah mau dimulai lho." Ujar Cakra. 

 

Violin langsung bangun dan terduduk. Matanya masih mengantuk. Kemudian, dia menoleh ke arah Cakra. Tiba-tiba matanya berubah cerah kembali saat dia mengingat sesuatu. 

 

"Eh, kau tahu eng—"

 

"Engga." Potong Cakra. 

 

Violin langsung memukul lengan Cakra cukup keras karena kesal. Namun tampaknya pemuda itu tidak merasakan apapun. 

 

"Sepertinya aku sekarang sudah dapat teman!" Ujar Violin girang. 

 

"Beneran? Siapa?" Tanya Cakra ingin tahu. Dia berpikir tentang Violin yang begitu anti-sosial itu ternyata bisa memiliki teman. 

 

"Namanya Aneisha di kelasku. Dan dia sefrekuensi denganku!" Jawab Violin. 

 

"Sefrekuensi gimana? Kalian sama-sama suka anime dan gambar begitu?" Tanya Cakra, kata-katanya agak sedikit menyindir Violin. 

 

"Heh Cakra, dibilangin walaupun gambar itu menawan lho! Kamu kok kayak nyindir gitu sih." 

 

"Tapi kan emang cuma gam—"

 

"Hus, diam ya. Aku mau lanjut cerita lagi. Dia itu sebangku sama aku sekarang. Coba engga ada rolling tiap sebulan sekali, pasti aku engga akan kenal dia. Dari pagi sampai sore aku barengan sama dia terus. Kayaknya, aku udah nemuin temen yang kupengen dari dulu!" Oceh Violin. Dia kegirangan di tempatnya. 

 

Cakra tersenyum mendengarnya, walaupun dia belum seberuntung Violin yang bisa mendapatkan teman seperti itu. 

 

Violin menatapnya, "Kalau kau Cakra? Gimana kelasmu? Udah akrab belum? Kau punya teman kan?" 

 

Cakra berpikir sebentar, wajahnya tidak menunjukan raut yang cukup senang. Violin bisa membacanya. 

 

"Belum.. ya?" Tanya Violin. 

 

"Kalau akrab sih sepertinya belum, tapi kadang aku sudah bisa berbicara dengan mereka. Kalau teman yang kamu maksud.. kayaknya masih belum itu. Masih ingat kan Dean?" 

 

Violin berpikir sebentar. "Dean? Dean yang dulu juga pernah les di sini? Kau sekelas dengannya?!" 

 

Cakra mengangguk. "Iya, bahkan sebangku." 

 

"Wah! Gila! Gila! Kalian kan udah kenal dari dulu tuh, gapapa bareng sama dia gitu!" Jawab Violin dengan antusias. 

 

Cakra tersenyum miris. "Entahlah, dia tidak terlalu sefrekuensi denganku. Juga, anaknya cukup extrovert, paling aku cuma pajangan diantara teman-temannya." 

 

"Cakra, kenapa kau bilang seperti itu? Kau bukanlah teman pajangan." Ujar Violin tidak menyetujui kata-kata Cakra. 

 

"Seperti saat kau dengan Sarah dan teman-temannya, aku adalah kamu waktu itu. Aku ada, tapi terasa engga terlihat diantara mereka." 

 

Violin menaruh kedua lipatan tangannya di meja Cakra. "Heh! Jangan bicara seperti itu! Kau itu terlihat. Nih nih, kau nyata kan, aku bisa lihat kok!" 

 

Cakra tersenyum ramah, "Makasih.." 

 

Kata-kata Cakra barusan menghangatkan hati Violin. Dia memalingkan kepalanya sembari tersenyum kecil. Kemudian, dia menatap ke arah depan. 

 

"Aku temanmu, Cakra. Jangan merasa sendirian." Ujar Violin dengan lembut. 

 

Cakra terdiam sejenak. Dia bisa melihat tatapan Violin yang menatapnya dengan tulus. Tatapan seorang teman yang seolah tidak akan meninggalkan sisinya. Violin menaruh kepalanya diantara lipatan tangannya, sekarang wajahnya mengarah ke Cakra. 

 

"Violin jangan terus menatapnya."

 

Itu suara Mytha. Violin seketika sadar yang dia lakukan. Seketika dia menggerakkan kepalanya untuk melihat tempat lain. Mytha berdiri di samping pintu, dia menatap Violin dengan tatapan yang aneh. Kemudian, perlahan Mytha mulai berbicara lagi. 

 

"Jangan sampai... kamu suka dia..."

 

 

———

 

 

"Karena pertemanan bisa berubah asing karena sebuah perasaan." 

 

"Seolah semua hal yang kau lakukan dengannya itu tidak pernah ada."

 

"Jangan sukai.. sahabatmu sendiri." 

 

 

———

 

 

Violin tengah bermain dengan ponselnya. Saat ini dia tengah berada di kamar miliknya yang cukup luas. Terkadang gadis itu bahkan tertawa sendiri saat bermain dengan ponselnya. Violin tampak seperti orang gila yang baru memiliki teman. 

 

Itulah yang dipikirkan Mytha saat ini, yang duduk di depannya. 

 

Sosok ilusi tersebut tengah membaca sebuah buku yang entah datang darimana. Tetapi, ketenangannya sudah terganggu karena cekikan Violin sedari tadi. Mytha menatap gadis itu dengan ekspresi kasihan. 

 

"Kau benar-benar sudah gila karena punya teman. Ini tidak seperti kau tidak memiliki teman sama sekali sebelumnya!" Teriak Mytha sembari membanting bukunya di kasur. 

 

Violin mengernyitkan dahi sembari menatap Mytha. "Apa sih? Gak nyata mending diam." 

 

Mytha menatap Violin tidak percaya. "Gadis ini ngomong apa barusan?" 

 

Violin menunjuk bahu Mytha, menggodanya agar tidak marah. "Hey, jangan marah dong. Aku cuma bercanda nih." 

 

Mytha berdecih di tempatnya. "Setiap kau 'akhirnya' memiliki teman di dunia nyata, kau akan melupakanku seolah aku tidak pernah ada!" 

 

"Bukankah itu bagus untuk diriku sendiri? Akhirnya aku tidak perlu melamun tiap saat." 

 

"Tetapi semua orang meninggalkanmu dan kau kembali padaku lagi. Siklus itu terus berulang tiap saat." Jawab Mytha. Dia tersadar akan kata-katanya barusan. Mytha menutup mulutnya sendiri. 

 

Violin terdiam beberapa saat. Lalu, tersenyum miris sembari menunduk. "Ah.. Iya ya. Sebenarnya juga mereka tidak meninggalkanku, aku yang meninggalkan mereka..." 

 

Mytha merasa bersalah karena membuat Violin mengingat masa lalunya. "Violin. Tidak usah diingat. Semua kenangan buruk itu harus dilupakan." 

 

Violin menatap ke arah Mytha, lalu tersenyum dan mengangguk. "Iya, Mytha. Aku harus move on dari masa lalu." Kemudian, dia melihat ke arah ponselnya, di situ terdapat notifikasi pesan dari Aneisha. "Toh, aku juga memiliki teman baru sekarang. Aku pasti bisa menjalani hidupku sekarang." 

 

Mytha juga mengikuti arah pandang Violin. Lalu, dia menatap ke arah Violin kembali. Wajah Violin menyiratkan sebuah harapan yang cukup besar pada sosok teman tersebut. Mytha agak berfirasat buruk, tetapi dia tersenyum kecil. 

 

Violin tersenyum lebar sembari menoleh ke arah Mytha. "Sepertinya aku akan berteman dengannya cukup lama! Entah apa yang kupikirkan, aku hanya berfirasat seperti itu." 

 

"Setiap aku berfirasat baik selalu berakhir dengan buruk."

 

Mytha terdiam di tempatnya saat mengingat kata-kata Violin di masa lalu. Sejujurnya dia berfirasat jika pertemanan Violin dengan Aneisha tidak akan berjalan begitu baik. Namun, dia berusaha tersenyum untuk menanggapi kata-kata Violin. Dia harus menghilangkan firasat buruk tersebut, jangan sampai mempengaruhi Violin dan berakhir down berkepanjangan. 

 

"Aku juga yakin atas hal itu kok, Violin." Jawab Mytha. 

 

"Sekarang temanku bukan hanya Cakra yang bahkan dahulu hanya sebatas virtual. Aku juga pasti punya teman dekat sesama gender!"

 

Violin tersenyum senang. Lalu kembali saling mengirim pesan dengan gadis itu. Mereka berdua tengah membicarakan sebuah manhwa yang memiliki alur bagus, Aneisha merekomendasikan banyak manhwa bertemakan historical padanya. Sementara, Mytha yang tidak diajak bicara lagi perlahan mulai menghilang.

 

 

———

 

 

Setelah hampir sebulan Violin duduk sebangku dengan Aneisha, akhirnya kembali diadakan rolling bangku. Violin merutuk dalam hati karena berpisah cukup jauh dari Aneisha. Dia duduk di paling ujung kanan, nomor dua dari depan. Sementara, Aneisha duduk nomor dua dari belakang di ujung kiri. 

 

Violin menundukkan kepalanya. Sudah hampir seminggu rolling, dan dia sudah tidak sering bersama dengan Aneisha lagi. Dia menatap ke arah ponselnya yang menampilkan roomchat-nya dengan Aneisha. Bahkan mereka hanya saling chat 1 bubble per-hari, tidak seperti biasanya cukup panjang. Itu pun, Aneisha membalas chat-nya dengan cukup singkat. 

 

Perpindahan tempat duduk merupakan suatu hal buruk baginya. Sekolah sangat sibuk dengan banyaknya tugas yang mengintai. Terkadang saking sibuknya, Violin benar-benar tidak ada waktu untuk bisa sekedar menghampiri Aneisha. 

 

Dia juga menyadari jika saat ini Aneisha sudah memiliki teman selain dirinya. Bahkan sekarang saat istirahat, Violin melihat Aneisha dengan sosok lain keluar dari kelas dengan bersenda gurau. Sementara, Violin masih tetap berada di bangkunya dengan laptop yang menyala di depannya. Matanya tidak menatap ke arah laptop yang menampilkan tugas proyek P5, tetapi pada punggung Aneisha yang mulai keluar kelas. 

 

Dada Violin terasa sesak. Tangannya yang memegang mouse tergenggam erat. Dalam hati dia tidak terima jika Aneisha sudah memiliki teman lain sekarang, tetapi dia tidak mungkin tidak memperbolehkannya tidak memiliki teman selain dirinya. 

 

Memang dia siapa? Teman dekatnya yang hanya berkisar satu bulan?

 

Air mata Violin tiba-tiba mengalir begitu saja dari matanya. Cepat-cepat dia menghapusnya sebelum ada anak kelas yang melihatnya. Sarah dengan Bella dan Linda di belakangnya baru masuk kelas. Saat Bella dan Linda langsung berbelok untuk duduk di tempatnya, Sarah menyadari sesuatu dari Violin. 

 

"Violin! Ada apa denganmu?" Tanya Sarah, tanpa sadar dia meneriaki Violin. Bella dan Linda yang sudah duduk lantas juga menoleh. 

 

Violin menyadari sesuatu, lalu menoleh dan menggeleng. "Tidak apa-apa, Sarah." Setelahnya, dia kembali fokus dengan laptop di depannya. 

 

 

———

 

 

"Violin ada apa denganmu?! Lihat ini salah semua! Kau mau guru-guru mendiskualifikasi kita dari proyek P5?" 

 

Violin hanya terdiam dengan wajah menunduk. Telinganya sudah mendengar seluruh umpatan dari teman satu kelompoknya, Casia. Anggota kelompok lain hanya terdiam mendengar Casia, tidak berani berkutik apapun. 

 

Casia Netalia, bendahara kelas, dia dikenal dengan sifatnya yang cukup bossy, dan pemarah. Karena perfeksionis yang dia miliki, dia menginginkan segala hal yang berhubungan dengannya sempurna. Lalu, karena sifat bossy miliknya, terkadang dia juga sering mengatur-atur seolah dia adalah ketua kelompok dan memarahi jika ada kesalahan. Tidak jarang anak-anak kelas takut ataupun menghindari jika satu kelompok dengannya. Walaupun begitu, Casia masih memiliki sekolompok teman yang masih ingin berteman dengannya. 

 

Casia tengah mengetik sesuatu di laptop milik Violin. Mulutnya mendesis kesal saat menemukan kesalahan-kesalahan dari dokumen proyek P5 yang dikerjakan oleh Violin. 

 

"Dasar! Ini salah juga! Apa matamu tidak bisa dipakai dengan baik? Typo bertebaran dimana-mana!" Casia kembali memarahi Violin. 

 

Salah satu anak kelompok—Angel—ingin mengatakan sesuatu. "Casia, tidakkah kau merasa berlebihan—"

 

Casia langsung memotong kata-kata Angel dengan sebuah umpatan yang membuat Angel terdiam lagi. "Berlebihan? Kau tahu ini adalah proyek kelompok kita! Aku melakukan ini untuk nilai kita! Demi nilai!" 

 

"Heh Casia, apa tidak cukup tadi pagi kau marah-marah. Lihat temanmu, kau sudah seperti atasan yang memarahi bawahannya. Tidak kau seperti membully-nya." Celoteh tiba-tiba dari David, sang ketua kelas, yang kelompoknya duduk di samping kelompok Violin. 

 

Casia berdiri dari tempatnya, lalu menunjuk ke arah David. "Dasar b*jingan, aku sangat muak denganmu dan tingkahmu itu." 

 

David malah tertawa. "Oh begitu?" 

 

Casia yang sudah tidak menahan kemarahannya beranjak dari tempatnya lalu berjalan pergi keluar kelas. Bahkan, dia tidak meminta izin pada wali kelas yang tengah berdiskusi dengan sekertaris kelas. 

 

Sepeninggal kepergian Casia, kelompok Violin langsung menghela nafas lega. Terlebih Angel yang tadinya begitu ketakutan. 

 

"Aku heran pada anak itu, kepribadiannya benar-benar jelek. Kenapa dia marah tiap saat? Memangnya kita bawahannya? Sikapnya terlalu bossy." Celoteh Agung yang kesal. 

 

"Aku sejujurnya sangat ingin meneriakinya dengan segala umpatan yang ada di hatiku. Memangnya dia pikir dia siapa hah?!" Manda juga menyaut. 

 

Angel menepuk dadanya sembari menenangkan dirinya. "Kalian tahu, saat dia memarahiku aku cukup ketakutan di tempatku. Seolah jantungku akan berpindah!" 

 

"Yeh lebay amat." Komentar Agung. 

 

"Apa sih?!" Jawab Angel tidak terima. 

 

"Tapi, dia walaupun kepribadiannya gitu kok bisa ya temenan sama anak-anak populer di sekolah?" Thalia memulai pembicaraan gosip. 

 

Angel mengiyakan, "Dia kok bisa satu circle sama paralel satu ya?" 

 

"Hah, siapa yang paralel satu?" Tanya Thalia. 

 

"Masa gatau, si Tamia lah. Dia paralel satu dari sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan aku berani taruhan dia juga paralel satu di SMA." Ujar Agung. 

 

"Orang sekeren dia kok temenan sama Casia, gila!" Komentar Angel. 

 

Violin tidak menyimak pembicaraan anggota kelompoknya yang justru bergosip. Matanya menelisik ke arah laptop yang menampilkan dokumen proyek P5. Dia tidak menyadari saat tengah membenarkan kata-kata, orang di sebelahnya tiba-tiba menunjuk ke arah layar laptop miliknya. Saat dia menoleh, Violin tertegun sesaat karena orang di sampingnya ternyata seorang pemuda, Mada Pramudya Patra. 

 

"Kayaknya bagian ini perlu dibenahi deh." Usul Mada.  

 

Violin dengan gesit langsung menghapus beberapa kata tersebut, lalu menggantinya. Setelahnya, dia kembali menelisik dokumen tersebut dan Mada juga membantunya. 

 

"Omongan Casia tadi gausah dimasukin hati." Ujarnya tiba-tiba setelah dokumen selesai dibenahi. 

 

Violin menatap ke arah laptop sembari mengedikkan bahunya. "Siapa juga yang memasukkannya dalam hati?" 

 

"Sudah selesai ya." Ujar Mada sembari tersenyum lega. 

 

Selanjutnya, dia beranjak dari tempat duduk di samping Violin. Entah mengapa Violin terus menatap punggung tersebut hingga akhirnya dia keluar dari kelas. Ternyata sedari tadi jam istirahat kedua sudah berdering dan semua anak di kelas kecuali dirinya dengan Mada masih di kelas. 

 

Namun, pandangannya seketika beralih saat Aneisha dan sosok lain di sampingnya masuk ke dalam kelas. Manik mata Violin bertemu dengan Aneisha, tetapi Aneisha buru-buru memalingkan kepalanya. Violin yang mendapatkan reaksi tersebut menundukkan kepalanya, lalu dia beralih ke laptopnya untuk dimatikan. 

 

 

————

 

 

Saat ini Violin tengah duduk di kamar mandi, lagi. Sekarang dia tengah bermain dengan ponselnya. Violin terus memandang ponsel itu dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Ponsel miliknya menampilkan sebuah status dari Aneisha, di sana terdapat fotonya dengan teman lain yang bahkan namanya belum diketahui oleh Violin. 

 

Tanpa sadar tetesan air mata turun. Violin buru-buru hendak menghilangkannya, tetapi ditahan oleh Mytha di sampingnya. Violin agak senang dalam hati karena kehadiran sosok ilusinya yang tiba-tiba, tetapi dia juga teringat jika dia hanya sendirian. 

 

"Aku.. sendirian lagi.. Mytha..." Ujar Violin dengan wajah yang berantakan. 

 

Mytha menarik Violin dalam rangkulannya. Violin menangis cukup keras sembari menyembunyikan wajahnya di pundak sosok teman ilusinya. Sementara, Mytha hanya terdiam dengan tangan yang mengelus pelan punggung Violin. 

 

"Jika aku nyata, aku akan menemanimu setiap saat, Cheryl." Ujar Mytha lirih. 

 

Sekarang, kedua gadis itu sama-sama terdiam dengan wajah kosong. Mytha menoleh pada Violin. Gadis itu hanya terus menatap ke depan. Sudut matanya mengatakan jika dirinya sangat kesepian saat ini. 

 

Tangan Mytha menggenggam tangan Violin yang berada di atas tempat duduk. Mytha tersenyum sejenak sembari terus memandang Violin. 

 

"Aku kesepian." Violin membuka suara. 

 

Mytha sudah siap mendengarkan semua hal yang ingin dikatakan oleh Violin. 

 

"Aku sangat kesepian hingga rasanya mau mati." Lanjutnya. 

 

Mytha mengerti, lalu dia menatap ke depan. Padahal di depan mereka hanya terdapat tiga bilik kamar mandi yang terbuka dengan lampu yang menerangi ruang tersebut. Tetapi entah mengapa, Violin terus menatap pada arah tersebut. 

 

"Aku ingat saat kau berkata 'jangan pernah berharap pada manusia'. Apa kau sudah tidak menerapkannya sekarang?" Tanya Mytha. 

 

Violin terdiam cukup lama untuk menjawab pertanyaan Mytha. 

 

"Aku tidak ingin sendirian." 

 

Empat kata yang mewakili hidup Violin yang cukup kesepian. Mytha menundukkan kepalanya. Sejujurnya dia agak bingung harus menjawab apa pada pernyataan Violin. Karena sepanjang dia menemani Violin dalam hidupnya, Violin selalu sendirian. 

 

"Kau harus menerima semua hal yang ada padamu, Cheryl. Apa kau kalimat yang sedang tren saat ini 'people come and go'." 

 

"Kenapa fase b*jingan itu sudah kurasakan saat ini? Setidaknya saat aku akan naik kelas sebelah nanti, tetapi ini bahkan belum ada sebulan aku di sekolah menengah atas. Aku sudah ditinggalkan oleh temanku sendiri." 

 

Mytha menatap ke arah Violin dan menggenggam tangannya cukup erat. "Kau harus menerimanya..." 

 

Violin menundukkan kepalanya. "Itu hal yang sulit. Menerima semua hidupku, itu adalah hal yang sulit." Jawabnya. 

 

"Karena kau tangisi pun, ataupun kau memohon-mohon pada Aneisha agar dia kembali berteman denganmu lagi, itu tidak akan pernah terjadi, Cheryl." 

 

Violin menoleh pada Mytha di sampingnya. "Apakah selama ini aku ditakdirkan sendirian? Kenapa semua orang di sekitarku menghilang?" 

 

"Aku tidak akan menghilang darimu!" Teriak Mytha. 

 

"Tapi kau tidak nyata, Mytha." 

 

"Setidaknya aku berguna untukmu!" 

 

Violin tersenyum miris. "Diantara banyaknya manusia di dunia ini, kenapa tidak ada yang sepertimu ya?" 

 

"Karena aku hanya hidup di dalam dirimu!" 

 

Violin tertawa kecil di tempatnya, membuat Mytha kebingungan. Lalu, dia menoleh dengan sebuah senyuman di wajahnya. Padahal sebelumnya, Violin menangis hingga seluruh wajahnya memerah. 

 

"Wah ini sulit, bisa-bisa aku tahan sendirian asalkan kamu ada di sampingku, Mytha."

 

———

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Selfless Love
3820      1111     2     
Romance
Ajeng menyukai Aland secara diam-diam, meski dia terkenal sebagai sekretaris galak tapi nyatanya bibirnya kaku ketika bicara dengan Aland.
HURT ANGEL
101      78     0     
True Story
Hanya kisah kecil tentang sebuah pengorbanan dan pengkhianatan, bagaimana sakitnya mempertahankan di tengah gonjang-ganjing perpisahan. Bukan sebuah kisah tentang devinisi cinta itu selalu indah. Melainkan tentang mempertahankan sebuah perjalanan rumah tangga yang dihiasi rahasia.
I Hate My Brother
339      237     1     
Short Story
Why my parents only love my brother? Why life is so unfair??
After School
897      614     0     
Romance
Janelendra (Janel) bukanlah cowok populer di zaman SMA, dulu, di era 90an. Dia hanya cowok medioker yang bergabung dengan geng populer di sekolah. Soal urusan cinta pun dia bukan ahlinya. Dia sulit sekali mengungkapkan cinta pada cewek yang dia suka. Lalu momen jatuh cinta yang mengubah hidup itu tiba. Di hari pertama sekolah, di tahun ajaran baru 1996/1997, Janel berkenalan dengan Lovi, sang...
Dialog Tanpa Kata
8806      3148     19     
Romance
Rasi mencintai Sea dalam diam Hingga suatu hari Sea malah dinikahi oleh Nolan kakak dari Rasi Namun pernikahan Sea dan Nolan yang terlihat aneh Membuat Rasi bebas masuk ke kehidupan Sea Bahkan selalu menjadi orang pertama saat Sea membutuhkan bantuan Akankah Sea berpaling pada Rasi atau lagilagi perasaan Rasi hanya sebuah dialog dalam hati yang tak akan pernah terucap lewat kata Sea pada Rasi Ras...
Sunset in February
751      408     6     
Romance
Februari identik dengan sebutan bulan kasih sayang. Tapi bagi Retta februari itu sarkas, Februari banyak memberikan perpisahan untuk dirinya. Retta berharap, lewat matahari yang tenggelam tepat pada hari ke-28, ia dapat melupakan semuanya: cinta, Rasa sakit, dan hal buruk lain yang menggema di relung hatinya.
Something about Destiny
109      93     1     
Romance
Devan Julio Widarta yang selalu dikenal Sherin sebagai suami yang dingin dan kurang berperasaan itu tiba-tiba berubah menjadi begitu perhatian dan bahkan mempersiapkan kencan untuk mereka berdua. Sherin Adinta Dikara, seorang wanita muda yang melepas status lajangnya pada umur 25 tahun itu pun merasa sangat heran. Tapi disisi lain, begitu senang. Dia merasa mungkin akhirnya tiba saat dia bisa mer...
SOSOK
77      68     1     
Horror
Dunia ini memang luas begitu pula seisinya. Kita hidup saat sendiri namun bersama sosok lain yang tak terlihat. SOSOK adalah sebuah cerita yang akan menunjukkan sisi lain dunia ini. Sebuah sisi yang tak terduga dan tak pernah dipikirkan oleh orang-orang
Perverter FRIGID [Girls Knight #3]
1006      395     1     
Romance
Perverter FIRGID Seri ke tiga Girls Knight Series #3 Keira Sashenka || Logan Hywell "Everything can changed. Everything can be change. I, you, us, even the impossible destiny." Keira Sashenka; Cantik, pintar dan multitalenta. Besar dengan keluarga yang memegang kontrol akan dirinya, Keira sulit melakukan hal yang dia suka sampai di titik dia mulai jenuh. Hidupnya baik-baik saj...
Gareng si Kucing Jalanan
5118      2526     0     
Fantasy
Bagaimana perasaanmu ketika kalian melihat banyak kucing jalanan yang sedang tertidur sembarangan berharap ketika bangun nanti akan menemukan makanan Kisah perjalanan hidup tentang kucing jalanan yang tidak banyak orang yang mau peduli Itulah yang terjadi pada Gareng seekor kucing loreng yang sejak kecil sudah bernasib menjadi kucing jalanan Perjuangan untuk tetap hidup demi anakanaknya di tengah...