Loading...
Logo TinLit
Read Story - Gunay and His Broken Life
MENU
About Us  

"Gunay di sini!!" teriak Gunay semangat saat menemukan ruangan tempat Yanli bersalin.

Dia membuka lebar pintu ruangan dan langsung berlari mendekati Addly yang sedang menggendong buntalan kecil berisi bayi.

Dimas mengikuti dari belakang, dan langsung bertanya. "Cewek atau cowok, Bang?"

"Udah pasti cewek, dong! Cantik gini," sergah Gunay sambil menoel-noel pipi lembut bayi mungil tersebut.

Yanli yang sedang terbaring di ranjang pasien menggelengkan kepalanya. "Dia cowok, Dek."

Gunay yang mendengar itu lantas membalik badan dan menghadap kakaknya. Bibirnya mengerucut. "Jadi bukan cewek? Kenapa sih kakak gak lahirin anak cewek aja? Udah terlalu banyak cowok yang mengelilingi hidup Gunay, Kak!" ujarnya dramatis.

Yanli sambil tersenyum lembut, tangannya berusaha meraih pergelangan tangan Gunay. "Gak boleh gitu, Dek."

Gunay pun langsung duduk di bangku yang terletak tepat di sebelah ranjang. Balas memegang tangan kakaknya.

"Gunay bercanda kok, Kak. Gunay seneng banget liat Kakak baik-baik aja." 

Gunay menyandarkan kepalanya menyamping di ranjang tersebut, bermanja-manja dengan kakaknya sembari berkata lagi, "Udah di azanin, Kak?"

"Udah tadi."

"Udah dikasih nama belom?"

"Belum, nih. Emang Gunay ada saran nama yang bagus?"

Mendengar itu, Gunay langsung duduk tegak, matanya berbinar-binar. "Kakak izinin Gunay yang kasih nama?"

Yanli mengangguk, "Em."

"Eh gak boleh lah, kan Abang ayahnya, ya mesti abang dong yang kasih nama!" timpal Addly tak terima.

"Gapapa, kamu ngasih nama belakangnya aja," tutur Yanli mencoba mencari jalan tengah.

Gunay menjulurkan lidahnya mengejek Addly, "Haha, oke, Gunay bakal kasih dia nama 'Rayhan'!"

"Pasaran banget lo ngasih nama," cerca Dimas menanggapi, sedari tadi ia hanya duduk di sofa sudut ruangan menonton drama keluarga yang harmonis ini.

"Pasaran mata lo! Nama Rayhan tuh keren!" 

"Serah lo, deh," balas Dimas tak peduli sambil mengunyah sebuah apel yang harusnya mereka berikan ke Yanli.

Yanli tersenyum sambil meraih puncak kepala anaknya yang berada di gendongan Addly, "Bagus, nama yang bagus, Rayhan," ucapnya mengelus-elus rambut tipis anaknya.

Gunay tiba-tiba berdiri, menjulurkan tangannya ke arah Addly. "Gunay yang gendong dong bang."

"Emang kamu tahu cara gendong bayi?" tanya Addly memasang tampang tak percaya.

"Ta—"

"Dia gak tau," potong Yanli sebelum Gunay benar-benar menyuarakan kebohongannya.

"Ajarin dulu dia cara gendongnya," sambungnya.

Addly mengangguk, lalu mendemonstrasikan cara benar menggendong bayi pada Gunay yang bahkan kucing saja sering hampir mati kalau sudah di tangannya.

"Dia kecil banget, Kak," kata Gunay dengan mata berbinar-binar menatap gemas bayi di gendongannya.

"Kamu juga dulu sekecil itu kok," jawab Yanli sembari memperbaiki posisi gendongan Gunay.

"Kalo lo pasti dulu gak gemesin, pasti om dulu pengen banget buang lo ke panti asuhan saking ngeselinnya," ujar Dimas sambil berdiri dari duduknya lalu mendekat ke Gunay. "Gantian, sekarang gue yang gendong."

"Eh enak aja, baru juga berapa menit. Lo besok aja." Gunay mengeratkan gendongannya, tak membiarkan Dimas menyentuh keponakan tersayangnya.

Wajah Dimas berubah gelap, lalu semakin gentar ingin merebut bayi mungil tersebut. "Gantian, woy!" 

Yanli menggelengkan kepalanya sambil tersenyum melihat tingkah adik-adiknya itu. Namun, segera Addly menengahi mereka berdua dan langsung mengambil Rayhan kembali dari tangan Gunay.

"Bisa-bisa anak abang kalian bikin jatuh, udah pulang sana! Besok kita bakal dateng kok ke rumah kakeknya." 

"Kenapa nggak ntar malem aja sih, Bang?" tanya Gunay tak terima.

"Kakakmu masih belum pulih total, masih harus menginap semalam di sini."

Kedua pemuda itu mengangguk paham, mereka pun segera berpamitan lalu melangkah pergi dengan perasaan yang sedikit tak ikhlas.

Setelah Gunay dan Dimas benar-benar sudah pergi, Yanli mulai berbicara lagi, bertanya pada suaminya. "Kamu udah siapin nama belakang yang bagus buat Rayhan, belum?"

Addly mendekati ranjang Yanli, lalu duduk di tempat tadi Gunay duduk. "Emm ... udah, sih, tapi aku gak yakin kamu bakalan suka?" 

"Kasih tau aja, apapun itu asalkan dari kamu aku bakal tetap suka, kok," tutur Yanli lembut sembari mengelus-elus kepala anaknya.

"Gimana kalau ... Rayhan ... Anrulan?"

"Uhmm, agak aneh sih, tapi aku suka, Rayhan, Rayhan Anrulan." Yanli mendekatkan wajahnya ke anaknya, berniat mencium keningnya, Addly pun turut mendekatkan Rayhan untuk mempermudah Yanli meraih kening anak mereka. 

Mereka berdua tersenyum bahagia. Berharap agar senyum yang terukir di wajah mereka akan senantiasa bertahan lama. Semoga saja.

.

.

.

Esok paginya, Gunay datang lebih cepat ke sekolah berbarengan dengan Dimas. Menanti dengan berdebar kedatangan Kanselir. Kali ini, dia ingin menjadikan alasan untuk mengunjungi kakaknya sekaligus untuk menyatakan perasaannya. Ingin menyatakan di depan seluruh anggota keluarganya dengan mengajak Kanselir malam ini ke rumah.

Tak lama kemudian, gadis itu pun datang. Wajah cantik dengan pipi tembam itu muncul dengan ekspresi datar dari balik pintu seperti biasa.

Melihatnya, Gunay begitu riang. Dia sontak berdiri untuk menyambutnya dengan nada mengejek seperti yang biasa dia lakukan hampir tiga tahun ini. "Oi, Kansel!"

Kanselir memandangnya sekilas, lalu mengalihkan pandangannya lagi. Dia meletakkan tasnya begitu saja ke tempat duduknya dan langsung segera berbalik keluar tanpa duduk.

Bibir Gunay yang tadinya melengkung ke atas, perlahan merosot turun. Dia menatap punggung Kanselir dengan raut wajah sedih.

"Apa kemaren gue terlalu keterlaluan, ya." Gunay berkata lirih.

Dimas yang sedari tadi duduk di sebelahnya menanggapi, "Kayaknya. Kalau dipikir-pikir wajar sih dia ngambek. Lo, sih, bikin dia nunggu lama. Eh udah ditungguin, malah pergi gitu aja."

"Gue harus gimana, dong?" 

Dimas mengangkat bahunya, "Gak tahu, tunggu aja sampe dia nyapa lo duluan."

Gunay yang bodoh percaya. "Oh gitu, ya? Oke, deh. Sekali-kali, gue yang harus jual mahal," katanya bangga.

Mereka berdua tidak tahu, betapa tingginya gengsi seorang perempuan.

.

.

.

Kanselir keluar kelas tanpa tujuan. Yumna belum datang, jadinya dia tidak tahu harus pergi ke mana sendirian.

Pikirannya terus berkecamuk, tidak mengerti dengan apa yang dia lakukan barusan. Kenapa dia harus menjauhi Gunay?

Rasa bersalah mulai memenuhi dirinya. Dia tahu, mereka berdua tidak akan bisa bersama. Jalan yang digariskan sejak awal memang sudah harus berbeda. Tapi, ketika melihat senyum dan tawa pemuda itu, seringkali membuat Kanselir lupa pada target awalnya.

Kanselir akan segera meninggalkannya.

Sejak SMP, neneknya yang merupakan seorang pengusaha di Qatar dan bertempat tinggal di Turki sudah mengajaknya untuk tinggal bersamanya setelah dia lulus SMP. Tapi mama Kanselir belum sanggup melepaskannya pada saat itu dan menjanjikan kalau Kanselir akan ikut dengannya setelah lulus SMA.

Beberapa tahun terakhir ini, Kanselir hampir melupakan hal itu dan dengan tanpa sengaja telah jatuh cinta pada seorang pemuda yang sembrono.

Ketika neneknya menelepon lagi malam kemarin, hati Kanselir seolah jatuh. Kisah cintanya di SMA dipaksa harus kandas hanya sampai sini.

Kanselir memikirkannya lagi, jika benar Gunay juga memiliki perasaan yang sama seperti dia, tetap saja rasanya akan berakhir sia-sia. Tidak mungkin mereka akan menjalin hubungan yang dilarang oleh agama mengingat usia mereka saat ini. Ditambah lagi, Kanselir teringat pada Gunay yang masih terlalu terikat dengan kakaknya. Dia hanyalah laki-laki yang belum dewasa. Sia-sia saja mengharapkan laki-laki seperti itu yang akan menjadi imamnya kelak.

Jadi Kanselir berpikir, dengan menjauhinya perlahan, mungkin akan bisa mengikis perasaannya pada pemuda itu sedikit demi sedikit. Tapi tetap saja, setiap mendengar pemuda itu memanggil namanya, membuat hatinya benar-benar tergores. Perih, sangat perih.

Dia harus bersabar, ini tidak lama. Hanya beberapa minggu lagi sampai ujian kelulusan mereka. Dan setelah itu, dia benar-benar akan menghilang dari kehidupan Gunay, selamanya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
THE CHOICE: PUTRA FAJAR & TERATAI (FOLDER 1)
3312      1251     0     
Romance
Zeline Arabella adalah artis tanah air yang telah muak dengan segala aturan yang melarangnya berkehendak bebas hanya karena ia seorang public figure. Belum lagi mendadak Mamanya berniat menjodohkannya dengan pewaris kaya raya kolega ayahnya. Muak dengan itu semua, Zeline kabur ke Jawa Timur demi bisa menenangkan diri. Barangkali itu keputusan terbaik yang pernah ia buat. Karena dalam pelariannya,...
Unlosing You
474      329     4     
Romance
... Naas nya, Kiran harus menerima keputusan guru untuk duduk sebangku dengan Aldo--cowok dingin itu. Lambat laun menjalin persahabatan, membuat Kiran sadar bahwa dia terus penasaran dengan cerita tentang Aldo dan tercebur ke dalam lubang perasaan di antara mereka. Bisakah Kiran melepaskannya?
Pesona Hujan
1117      607     2     
Romance
Tes, tes, tes . Rintik hujan kala senja, menuntun langkah menuju takdir yang sesungguhnya. Rintik hujan yang menjadi saksi, aku, kamu, cinta, dan luka, saling bersinggungan dibawah naungan langit kelabu. Kamu dan aku, Pluviophile dalam belenggu pesona hujan, membawa takdir dalam kisah cinta yang tak pernah terduga.
Meja Makan dan Piring Kaca
57787      8478     53     
Inspirational
Keluarga adalah mereka yang selalu ada untukmu di saat suka dan duka. Sedarah atau tidak sedarah, serupa atau tidak serupa. Keluarga pasti akan melebur di satu meja makan dalam kehangatan yang disebut kebersamaan.
The Hidden Kindness
405      284     2     
Fan Fiction
Baru beberapa hari menjadi pustakawan di sebuah sekolah terkenal di pusat kota, Jungyeon sudah mendapat teror dari 'makhluk asing'. Banyak sekali misteri berbuntut panjang yang meneror sekolah itu ternyata sejak ada siswi yang meninggal secara serius. Bagaimana cara Jungyeon harus menghadapi semua hal yang mengganggu kerja di tempat barunya? Apakah ia harus resign atau bertahan?
She Is Falling in Love
543      339     1     
Romance
Irene membenci lelaki yang mengelus kepalanya, memanggil nama depannya, ataupun menatapnya tapat di mata. Namun Irene lebih membenci lelaki yang mencium kelopak matanya ketika ia menangis. Namun, ketika Senan yang melakukannya, Irene tak tahu harus melarang Senan atau menyuruhnya melakukan hal itu lagi. Karena sialnya, Irene justru senang Senan melakukan hal itu padanya.
Premium
Cheossarang (Complete)
22065      2000     3     
Romance
Cinta pertama... Saat kau merasakannya kau tak kan mampu mempercayai degupan jantungmu yang berdegup keras di atas suara peluit kereta api yang memekikkan telinga Kau tak akan mempercayai desiran aliran darahmu yang tiba-tiba berpacu melebihi kecepatan cahaya Kau tak akan mempercayai duniamu yang penuh dengan sesak orang, karena yang terlihat dalam pandanganmu di sana hanyalah dirinya ...
AKU BUKAN ORPHEUS [ DO ]
736      415     5     
Short Story
Seandainya aku adalah Orpheus pria yang mampu meluluhkan hati Hades dengan lantutan musik indahnya agar kekasihnya dihidupkan kembali.
Rela dan Rindu
8835      2251     3     
Romance
Saat kau berada di persimpangan dan dipaksa memilih antara merelakan atau tetap merindukan.
Summer Whispering Steam
4592      1362     1     
Romance
Nagisano Shizuka, Okinawa, angin laut yang lembut dan langit biru yang luas, kedai kopi yang menjadi persinggahan bagi siapa saja yang ingin beristirahat sejenak dari kesibukan dunia. Dikenal sebagai “Mimpi Panjang di Musim Panas Semesta”, selamat datang di Nagisano Shizuka. Yuki, sang manajer, menjalankan kedai ini bersama rekan-rekannya—Estrella, Arlend, Hayato, dan lainnya. Hari-hari ...