"Gunay di sini!!" teriak Gunay semangat saat menemukan ruangan tempat Yanli bersalin.
Dia membuka lebar pintu ruangan dan langsung berlari mendekati Addly yang sedang menggendong buntalan kecil berisi bayi.
Dimas mengikuti dari belakang, dan langsung bertanya. "Cewek atau cowok, Bang?"
"Udah pasti cewek, dong! Cantik gini," sergah Gunay sambil menoel-noel pipi lembut bayi mungil tersebut.
Yanli yang sedang terbaring di ranjang pasien menggelengkan kepalanya. "Dia cowok, Dek."
Gunay yang mendengar itu lantas membalik badan dan menghadap kakaknya. Bibirnya mengerucut. "Jadi bukan cewek? Kenapa sih kakak gak lahirin anak cewek aja? Udah terlalu banyak cowok yang mengelilingi hidup Gunay, Kak!" ujarnya dramatis.
Yanli sambil tersenyum lembut, tangannya berusaha meraih pergelangan tangan Gunay. "Gak boleh gitu, Dek."
Gunay pun langsung duduk di bangku yang terletak tepat di sebelah ranjang. Balas memegang tangan kakaknya.
"Gunay bercanda kok, Kak. Gunay seneng banget liat Kakak baik-baik aja."
Gunay menyandarkan kepalanya menyamping di ranjang tersebut, bermanja-manja dengan kakaknya sembari berkata lagi, "Udah di azanin, Kak?"
"Udah tadi."
"Udah dikasih nama belom?"
"Belum, nih. Emang Gunay ada saran nama yang bagus?"
Mendengar itu, Gunay langsung duduk tegak, matanya berbinar-binar. "Kakak izinin Gunay yang kasih nama?"
Yanli mengangguk, "Em."
"Eh gak boleh lah, kan Abang ayahnya, ya mesti abang dong yang kasih nama!" timpal Addly tak terima.
"Gapapa, kamu ngasih nama belakangnya aja," tutur Yanli mencoba mencari jalan tengah.
Gunay menjulurkan lidahnya mengejek Addly, "Haha, oke, Gunay bakal kasih dia nama 'Rayhan'!"
"Pasaran banget lo ngasih nama," cerca Dimas menanggapi, sedari tadi ia hanya duduk di sofa sudut ruangan menonton drama keluarga yang harmonis ini.
"Pasaran mata lo! Nama Rayhan tuh keren!"
"Serah lo, deh," balas Dimas tak peduli sambil mengunyah sebuah apel yang harusnya mereka berikan ke Yanli.
Yanli tersenyum sambil meraih puncak kepala anaknya yang berada di gendongan Addly, "Bagus, nama yang bagus, Rayhan," ucapnya mengelus-elus rambut tipis anaknya.
Gunay tiba-tiba berdiri, menjulurkan tangannya ke arah Addly. "Gunay yang gendong dong bang."
"Emang kamu tahu cara gendong bayi?" tanya Addly memasang tampang tak percaya.
"Ta—"
"Dia gak tau," potong Yanli sebelum Gunay benar-benar menyuarakan kebohongannya.
"Ajarin dulu dia cara gendongnya," sambungnya.
Addly mengangguk, lalu mendemonstrasikan cara benar menggendong bayi pada Gunay yang bahkan kucing saja sering hampir mati kalau sudah di tangannya.
"Dia kecil banget, Kak," kata Gunay dengan mata berbinar-binar menatap gemas bayi di gendongannya.
"Kamu juga dulu sekecil itu kok," jawab Yanli sembari memperbaiki posisi gendongan Gunay.
"Kalo lo pasti dulu gak gemesin, pasti om dulu pengen banget buang lo ke panti asuhan saking ngeselinnya," ujar Dimas sambil berdiri dari duduknya lalu mendekat ke Gunay. "Gantian, sekarang gue yang gendong."
"Eh enak aja, baru juga berapa menit. Lo besok aja." Gunay mengeratkan gendongannya, tak membiarkan Dimas menyentuh keponakan tersayangnya.
Wajah Dimas berubah gelap, lalu semakin gentar ingin merebut bayi mungil tersebut. "Gantian, woy!"
Yanli menggelengkan kepalanya sambil tersenyum melihat tingkah adik-adiknya itu. Namun, segera Addly menengahi mereka berdua dan langsung mengambil Rayhan kembali dari tangan Gunay.
"Bisa-bisa anak abang kalian bikin jatuh, udah pulang sana! Besok kita bakal dateng kok ke rumah kakeknya."
"Kenapa nggak ntar malem aja sih, Bang?" tanya Gunay tak terima.
"Kakakmu masih belum pulih total, masih harus menginap semalam di sini."
Kedua pemuda itu mengangguk paham, mereka pun segera berpamitan lalu melangkah pergi dengan perasaan yang sedikit tak ikhlas.
Setelah Gunay dan Dimas benar-benar sudah pergi, Yanli mulai berbicara lagi, bertanya pada suaminya. "Kamu udah siapin nama belakang yang bagus buat Rayhan, belum?"
Addly mendekati ranjang Yanli, lalu duduk di tempat tadi Gunay duduk. "Emm ... udah, sih, tapi aku gak yakin kamu bakalan suka?"
"Kasih tau aja, apapun itu asalkan dari kamu aku bakal tetap suka, kok," tutur Yanli lembut sembari mengelus-elus kepala anaknya.
"Gimana kalau ... Rayhan ... Anrulan?"
"Uhmm, agak aneh sih, tapi aku suka, Rayhan, Rayhan Anrulan." Yanli mendekatkan wajahnya ke anaknya, berniat mencium keningnya, Addly pun turut mendekatkan Rayhan untuk mempermudah Yanli meraih kening anak mereka.
Mereka berdua tersenyum bahagia. Berharap agar senyum yang terukir di wajah mereka akan senantiasa bertahan lama. Semoga saja.
.
.
.
Esok paginya, Gunay datang lebih cepat ke sekolah berbarengan dengan Dimas. Menanti dengan berdebar kedatangan Kanselir. Kali ini, dia ingin menjadikan alasan untuk mengunjungi kakaknya sekaligus untuk menyatakan perasaannya. Ingin menyatakan di depan seluruh anggota keluarganya dengan mengajak Kanselir malam ini ke rumah.
Tak lama kemudian, gadis itu pun datang. Wajah cantik dengan pipi tembam itu muncul dengan ekspresi datar dari balik pintu seperti biasa.
Melihatnya, Gunay begitu riang. Dia sontak berdiri untuk menyambutnya dengan nada mengejek seperti yang biasa dia lakukan hampir tiga tahun ini. "Oi, Kansel!"
Kanselir memandangnya sekilas, lalu mengalihkan pandangannya lagi. Dia meletakkan tasnya begitu saja ke tempat duduknya dan langsung segera berbalik keluar tanpa duduk.
Bibir Gunay yang tadinya melengkung ke atas, perlahan merosot turun. Dia menatap punggung Kanselir dengan raut wajah sedih.
"Apa kemaren gue terlalu keterlaluan, ya." Gunay berkata lirih.
Dimas yang sedari tadi duduk di sebelahnya menanggapi, "Kayaknya. Kalau dipikir-pikir wajar sih dia ngambek. Lo, sih, bikin dia nunggu lama. Eh udah ditungguin, malah pergi gitu aja."
"Gue harus gimana, dong?"
Dimas mengangkat bahunya, "Gak tahu, tunggu aja sampe dia nyapa lo duluan."
Gunay yang bodoh percaya. "Oh gitu, ya? Oke, deh. Sekali-kali, gue yang harus jual mahal," katanya bangga.
Mereka berdua tidak tahu, betapa tingginya gengsi seorang perempuan.
.
.
.
Kanselir keluar kelas tanpa tujuan. Yumna belum datang, jadinya dia tidak tahu harus pergi ke mana sendirian.
Pikirannya terus berkecamuk, tidak mengerti dengan apa yang dia lakukan barusan. Kenapa dia harus menjauhi Gunay?
Rasa bersalah mulai memenuhi dirinya. Dia tahu, mereka berdua tidak akan bisa bersama. Jalan yang digariskan sejak awal memang sudah harus berbeda. Tapi, ketika melihat senyum dan tawa pemuda itu, seringkali membuat Kanselir lupa pada target awalnya.
Kanselir akan segera meninggalkannya.
Sejak SMP, neneknya yang merupakan seorang pengusaha di Qatar dan bertempat tinggal di Turki sudah mengajaknya untuk tinggal bersamanya setelah dia lulus SMP. Tapi mama Kanselir belum sanggup melepaskannya pada saat itu dan menjanjikan kalau Kanselir akan ikut dengannya setelah lulus SMA.
Beberapa tahun terakhir ini, Kanselir hampir melupakan hal itu dan dengan tanpa sengaja telah jatuh cinta pada seorang pemuda yang sembrono.
Ketika neneknya menelepon lagi malam kemarin, hati Kanselir seolah jatuh. Kisah cintanya di SMA dipaksa harus kandas hanya sampai sini.
Kanselir memikirkannya lagi, jika benar Gunay juga memiliki perasaan yang sama seperti dia, tetap saja rasanya akan berakhir sia-sia. Tidak mungkin mereka akan menjalin hubungan yang dilarang oleh agama mengingat usia mereka saat ini. Ditambah lagi, Kanselir teringat pada Gunay yang masih terlalu terikat dengan kakaknya. Dia hanyalah laki-laki yang belum dewasa. Sia-sia saja mengharapkan laki-laki seperti itu yang akan menjadi imamnya kelak.
Jadi Kanselir berpikir, dengan menjauhinya perlahan, mungkin akan bisa mengikis perasaannya pada pemuda itu sedikit demi sedikit. Tapi tetap saja, setiap mendengar pemuda itu memanggil namanya, membuat hatinya benar-benar tergores. Perih, sangat perih.
Dia harus bersabar, ini tidak lama. Hanya beberapa minggu lagi sampai ujian kelulusan mereka. Dan setelah itu, dia benar-benar akan menghilang dari kehidupan Gunay, selamanya.