"Wa- wa'alaikumussalam," jawab Addly tergagap.
Suara wanita itu terdengar lagi, dan kali ini terdengar agak malu-malu. "Uhm ... kamu ... besok sore sibuk, gak?"
Cukup lama Addly berpikir sampai akhirnya ia menjawab, "Kalau sore ... eng-enggak sibuk, kok."
Hah, kerjaan buat besok dikerjain lusa aja, gapapa deh lembur,
batin Addly.
"Kamu mau gak makan malam bareng keluarga aku di rumah?"
"Hmm?"
"Aku ... aku mau ngenalin kamu sama ayah dan adik aku."
"Oh ... boleh! Besok sore aku datang ke rumah kamu."
"Oke, aku tunggu ya ... Sayang."
PIP!
Addly langsung melempar tubuhnya ke atas tempat tidur begitu sambungan telepon dimatikan. Wajahnya benar-benar memerah.
Ke rumahnya ... makan malam ... dikenalin ... sayang ... arghhh ... aku bisa gila!! ocehnya dalam hati sambil memegangi wajahnya yang panas.
Suasana hatinya jadi berubah drastis hanya dengan mendengar suara lembut wanita itu, melupakan begitu saja hal-hal yang membebani pikirannya beberapa saat lalu. Cinta memang bisa mengubah banyak hal.
.
.
.
"Kakak kenapa senyum-senyum?" tanya Gunay heran sambil mendudukkan pantatnya di sebelah kakaknya.
"Hm? Kenapa kok Gunay belum tidur?" Yanli sontak menyembunyikan ponselnya di balik pakaiannya dan langsung mengalihkan pertanyaan.
"Belum ngantuk, Gunay mau nonton bola dulu."
Tangan Gunay kini terulur ke meja di depan sofa meraih remote TV.
"Besok kan sekolah, tidur sana ...."
Yanli merampas remote dari tangan Gunay dengan lembut.
Gunay memanyunkan bibirnya setelah remot itu berhasil dirampas. Lalu lanjut menggoda kakaknya lagi, "Oke! Tapi jawab pertanyaan Gunay yang tadi dulu, kenapa Kakak senyum-senyum?"
"Uhm ... itu ...." Yanli agak gugup, dia menutup rapat mulutnya sambil memutar-mutar bola matanya ke segala arah.
"Hmm?" Gunay semakin mendekatkan wajahnya ke kakaknya, menanti jawaban.
"Liat besok aja, deh! Besok kamu bakal tau, kok!"
Yanli terlalu malu untuk menjelaskannya, dia mendorong-dorong Gunay untuk segera pergi.
"Tidur sana!"
"Eh? Kok besok?"
"Udah ... Dedek tidur aja sana ... anak kecil kok kepo banget ...."
"Tapi kak ...."
"Sana ...."
"Hmm ...." Gunay pun akhirnya mengalah dan pergi masuk kembali ke kamarnya. Anak kecil satu ini emang suka kepo.
.
.
.
Esoknya di sekolah ...
Gunay berjalan sendirian memasuki gerbang sekolah, sambil mengunyah permen karet di mulutnya.
Gunay benar-benar merasa sangat kesepian, biasanya kepala Dimas udah nongol di jendela kelas sambil mengacungkan jari tengah ke arah Gunay pagi-pagi begini. Tapi sekarang tidak ada. Dia masih dirawat di rumahnya dikarenakan kakinya yang masih belum sembuh.
Saat Gunay berjalan termenung sembari menendangi kerikil yang menghalangi jalannya, seorang pemuda tiba-tiba melintas dengan cepat dari sampingnya.
"Eh? Sahrul?"
Setelah menyadari siapa orang itu, Gunay langsung mengejarnya dan menepuk pelan pundak pemuda tersebut.
"Jalan ke kelas bareng, yuk?"
Sahrul seketika menghentikan langkahnya, menatap tajam ke arah Gunay.
Tanpa menjawab sepatah katapun, dia hanya mendengus kasar sambil menyingkirkan tangan Gunay dari pundaknya, lalu lanjut berjalan dengan langkah yang lebih cepat.
Gunay yang masih terdiam di tempatnya bertanya-tanya dalam hati, merasa heran. Dia kenapa? Apa ... dia marah soal kemarin?
Gunay adalah orang yang begitu cepat melupakan masalah. Tidak pernah ingin memendam sesuatu terlalu lama. Apalagi mengingat bahwa Sahrul adalah salah satu teman terdekatnya, dia pun memperlakukannya seperti biasanya. Tapi dia tidak menyangka Sahrul akan menjadi begitu dendam. Gunay mencoba berpikir positif, hanya mengedikkan bahunya, berpikir, Pasti Sahrul hanya ngambek sebentar. Nanti tinggal ajak dia nonton, atau main futsal bareng aja pasti udah baikan.
.
.
.
Sahrul berjalan cepat menyusuri lorong sekolah yang masih tampak sepi. Matanya redup dan pandangannya kosong. Bibirnya yang selalu melengkung kebawah itu membuatnya tampak seperti orang yang sedang mengalami depresi berat hari ini.
Kenapa? Sebenarnya gue kenapa?
Pertanyaan itu terus terulang dalam benaknya.
Kenapa? Kenapa dia harus melakukan hal-hal bodoh itu selama ini? Kenapa dia harus bertingkah bodoh hanya untuk mendapatkan pengakuan Gunay? Sesulit itukah mendapatkan teman?
Hmph! Dia telah kehilangan jati dirinya selama ini, berbicara dan berperilaku konyol sama sekali bukan gayanya!
Memikirkan hal ini, membuatnya mau tak mau teringat hal yang terjadi di masa lalu.
Setelah mereka pindah dan mengasingkan diri dahulu, Addly memindahkannya ke SMP negeri yang berada cukup jauh dari rumah baru mereka. Sahrul benar-benar merasa terasing di sekolah barunya itu, tak ada satupun yang mau berteman dengan dia.
Bukan, bukan karena berita tentang ayahnya, ini sama sekali tak ada hubungannya dengan itu. Addly dan beberapa orangnya telah menutup mulut banyak media agar tak meliput berita tentang keluarganya lagi. Jadi tak mungkin karena itu Sahrul dijauhi, kan?
Sebenarnya, Sahrul bukanlah anak yang ramah, pandangannya seringkali mengintimidasi orang-orang. Kata-katanya pun seringkali terdengar kasar. Sebab itulah dia mengakhiri masa SMP-nya tanpa mendapatkan satupun ikatan pertemanan.
Namun saat masuk SMA, saat masa orientasi siswa dulu, Sahrul melihat seorang anak yang sedang dihukum oleh senior karena tak menaati peraturan. Anehnya, saat mulut senior itu hampir berbusa mengomel-ngomel padanya, anak itu malah terus-terusan nyengir tak berdosa. Akhirnya hukumannya pun ditambah lagi. seolah tak ada kapoknya, anak itu masih saja menampilkan gigi-gigi putihnya membuat sang senior semakin murka.
Melihat itu Sahrul hanya membatin, Gila.
Setelah pembagian kelas diumumkan, Sahrul akhirnya mendapati bahwa ternyata dia sekelas dengan anak yang ia sebut 'gila' tadi.
Ia menyandang tasnya di sebelah tangan, memasuki kelas dengan hening. Berniat mencari tempat duduk se—terpencil mungkin.
Namun, tiba-tiba suara cempreng seorang pemuda mengalihkan perhatiannya, "Oi Bro, duduk sini yuk bareng gue?"
Oh, ternyata si anak gila.
Dia ingin menjawab, namun pemuda lain di sebelah anak gila itu tiba-tiba menempeleng kepala si anak gila.
"Gunay goblok! Gue mau duduk di mana?!"
Sahrul agak tersentak mendengar ucapan indah pemuda itu.
"Lo ah ngekor gue mulu, Mas! Gue pengen nyicip hal baru dulu hehe~"
Si anak gila yang ternyata bernama Gunay itu menggosok-gosok telapak tangannya dan menatap Sahrul dengan pandangan mesum. Sebenarnya bercanda.
Dimas tak mempedulikan tingkah Gunay yang sudah lumrah itu, dia pun menatap Sahrul dan memanggil, "Bro! Sini! Lo duduk di sebelah kita aja, masih kosong kok ini," ajak Dimas ramah.
Sahrul menatap bangku yang ditunjuk Dimas, itu berada tepat di samping meja Dimas dan Gunay. Dan letaknya pun berada di barisan paling belakang. Dalam satu meja terdapat dua bangku, dan tempat yang ditunjuk Dimas masih kosong kedua bangkunya.
Lumayan, Sahrul memang mengincar tempat duduk seperti itu. Dia pun berjalan mendekat dan menghampiri kedua orang itu.
"Hai Sahrul, gue Gunay, lo dari SMP mana, Bro?" Gunay tiba-tiba merangkul bahu Sahrul dan duduk di bangku sebelahnya.
"Lo tau nama gue dari mana?" tanya Sahrul heran.
"Tuh." Gunay meruncingkan bibirnya menunjuk ke bet nama yang terjahit rapi di seragam Sahrul.
Sahrul hanya ber-oh ria dalam hati.
Gunay dan Dimas terus saja melontarkan berbagai macam pertanyaan kepada Sahrul, hal yang wajar bagi mereka untuk mendekati seseorang. Beberapa kali Sahrul menjawab jujur, namun lebih banyak ia tambahi dengan kebohongan.
Hari-hari terus berlalu, mereka menjadi semakin dekat. Dalam perkumpulan mereka, Sahrul sudah seperti tangan kanannya Gunay. Sebab, Gunay selalu mengajak dia kemana-mana, melakukan banyak hal bersama, memperkenalkannya pada temannya yang lainnya, sampai mengajak bermain ke rumahnya.
Tapi Sahrul selalu beranggapan dianggap babu oleh orang itu, karena Gunay sering memintanya melakukan banyak hal. Seperti mengerjakan tugasnya, membelikan sesuatu untuknya, menyampaikan pesannya pada orang lain, dan banyak hal lainnya.
Namun pikiran absurd itu hanya diciptakan Sahrul sendiri, Gunay tak pernah menganggap seseorang sebagai tangan kanan, tangan kiri, babu, atau sejenisnya. Dia berteman dan menganggap sama semua orang.
Memang seringkali dia menyuruh-nyuruh seseorang seenaknya, namun itu tak pernah benar-benar ia maksudkan. Jika orang tersebut menolak, ia tak akan memaksa, ia terkadang hanya bosan jika tak berbicara, ia pun menjadikan alasan tersebut untuk terus berinteraksi dengan orang-orang.
Saat berkumpul bersama, Sahrul senantiasa memasang tampang cerianya, saat Gunay tertawa dia ikut tertawa, Gunay bercanda ia ikut menanggapi, Gunay membuat permainan ia ikut meramaikan.
Namun semakin ia tertarik semakin jauh dalam lingkaran pertemanan Gunay, semakin kuat rasa iri dan tak suka yang tertanam jauh dalam benaknya.
Entah kenapa, ia sangat iri dengan pemuda itu, hidupnya selalu bahagia, matanya selalu bersinar, senyumnya terus mengembang, orang-orang pun selalu senang mendekatinya. Apa dia tak pernah merasakan sedikit pun kesedihan? Bisakah Sahrul melihat sedikit saja air mata Gunay?