Vero mematikan mesin motornya ketika sampai di pekarangan rumah Kinara. Cowok itu melepaskan helm biru yang melekat di kepala Kinara, baru kemudian melepas helm yang dipakainya.
"Are you okay?" tanyanya, memandangi raut gusar Kinara.
Gadis itu tersenyum tipis lalu mengangguk singkat. Keduanya berjalan menuju pintu rumah Kinara.
Tepat ketika pintu terbuka, Qya langsung menghampiri dan memeluk Kinara erat. Dia mencium kening dan pipi Kinara. Kinara hanya tersenyum membalas pelukan kakaknya tanpa suara sedikitpun. Keduanya mengurai pelukan singkat itu. Kinara melempar senyum pada setiap orang yang berada di ruang keluarga rumahnya.
Kinara melangkah mendekati mereka. Ada getar dalam setiap gerakannya. Di sana ada Papanya, teman-temannya, dan juga Bunda Hana. Lagi-lagi Kinara tersenyum sembari menghampiri mereka. Senyum yang mengisyaratkan bahwa dirinya sedang baik-baik saja, dan tidak perlu lagi di khawatirkan.
"Papa, maaf ya udah buat Papa khawatir." Reno beranjak dari tempat duduk, menarik putrinya ke dalam pelukan.
"Kak Dimas, Kak Rey, kak galang, Anna makasih ya dan maaf." Giliran Anna yang memeluk erat sahabatnya itu.
Ketika melewati Hana, perasaan Kinara kembali campur aduk.
"Kinar," panggil wanita itu lembut.
"Maaf, Tante. Saya capek. Saya istirahat dulu ya."
"Ki-" ucapan Dimas terhenti ketika Hana mencekal pergelangan tangannya.
Setelah berpamitan dengan semua orang, Kinara bergerak ke atas menuju kamar tidurnya bersama Vero.
"Makasih kak, lo harus pulang. Lo juga butuh istirahat," ujar Kinara mengisyaratkan Vero untuk segera pergi. Detik berikutnya, ia menutup pintu kamar.
Gadis itu merasa perlu waktu untuk istirahat. Karena bukan hanya raganya yang lelah, namun hatinya juga butuh istirahat. Ia harus kembali menata hatinya baik-baik.
Salah. Sangat salah jika Kinara mengira dirinya sudah sia berdiri kokoh seperti semula. Tepat ketika pintu kamarnya tertutup, gadis itu jatuh, ambruk dan terpuruk. Segala bentuk pertahanannya tumbang bersama air mata pertamanya.
Setelah kepergian Kinara dari ruang keluarga. Satu persatu temannya memutuskan untuk pulang, mereka merasa lega karena Kinara sudah kembali dengan keadaan yang baik.
"Gue anterin pulang ya," tawar Dimas pada Anna.
"Gak usah kak, duluan aja. Gue masih mau di sini, nemenin Kinar."
"Gue tau Lo kurang tidur Na. Bukan cuma Kinar yang harus baik-baik aja. Tapi lo juga. Besok udah masuk kuliah. Pulang, istirahat ya."
Anna merasakan hangat di sekujur tubuhnya, senyumnya merekah. "Gue Ok, Kak. Pulang gih, gue mau di sini."
"Hm, yaudah gue duluan ya," final Dimas. Sebelah tangannya mengelus puncak kepala Anna, berhasil menerbitkan rona merah di Pipi gadis itu.
"Titip Kinara ya, Bunda pulang dulu."
"Siap, Bunda. Hati-hati di jalan." Anna melambaikan tangan sebelum kedua orang itu masuk ke dalam mobil.
Usai mengantar mereka, Anna memutuskan kembali masuk ke rumah Kinara. Dia harus memastikan keadaan temannya itu benar-benar baik. Karena sangat Anna tau bahwa sahabatnya itu adalah penipu ulung, yang bisa menipu semua orang dengan senyumnya. Anna yakin, keadaan gadis itu masih jauh dari kata baik-baik saja. Untuk alasan itulah ia masih berada di sini, di rumah keluarga Kinara.
Ketika hendak menaiki tangga tak sengaja manik matanya beradu tatap dengan Alan yang berdiri di dekat sofa. Entah sejak kapan lelaki itu berada di sana, Anna tidak peduli. Segera ia memutus kontak mata itu sebelum ia terperangkap lebih jauh dalam iris tajam itu.
****
Cinta memang indah. Menyatukan insan tanpa memandang ikatan darah ataupun kekerabatan. Karena, orang asing pun bisa menjadi saling dalam hal cinta. Indah, untuk mereka yang bisa merasakannya. Indah bagi mereka yang bisa menghargainya. Tak hanya cinta sepasang insan, tapi juga cinta seorang ibu terhadap anaknya. Cinta ayah kepada anaknya, cinta kakak kepada adiknya. Tak ada syarat dalam cinta. Namun sayangnya, rintangan sering menjadi dinding pemisah.
Entah sudah dua atau tiga jam wanita paruh baya itu keluar masuk rumah hanya untuk memeriksa apakah anaknya sudah tiba. Menatap jauh pada angkasa yang menggelap, awan mulai menghitam menandakan hujan segera tiba. Tepat sepersekian detik sebelum rintik pertama turun, putra kesayangannya itu tiba dengan motornya.
"Assalamualaikum, Ma," ucap Vero sembari mencium punggung tangan Kartika.
"Gimana, Nak? Kinar udah baikan?" Vero mengangguk, memberi sedikit lega pada wanita tersebut.
"Yaudah, buru masuk. Hujannya makin deras. Mandi dulu, Mama siapin makanan."
Vero mencium lembut Pipi Kartika. "Iya Mama, sayang."
Vero melepas jaketnya yang sedikit basah oleh keringat, meletakkannya di bangku yang ada teras. Berikutnya kaki besar itu telah melangkah menuju kamar tidurnya.
"Vero." Ia menoleh seketika.
Kartika memungut sesuatu dari lantai, mengangkatnya tinggi hingga Vero bisa melihatnya dengan jelas.
"Ini punya kamu?"
Tanya Kartika yang tidak mendapatkan jawaban. Vero mempersempit jarak, memperluas penglihatannya pada benda silver yang dipegang Kartika.
Benda itu, kalung berbandul Kunci yang berhasil meruntuhkan dunianya. Pemuda itu membeku di tempat, tanpa bisa bersuara ia memungut kalung tersebut dari tangan Ibunya. Sesegera mungkin meninggalkan Kartika, sebelum wanita itu menyadari keganjilan dari raut wajah putranya.
****
"Woi!" Kinara melempar bantal pada Anna.
"Apa, Nak?"
"Lo gamau pulang apa? Udah malem An, nanti dicariin."
"Ngejek ape gimane mon maap? Lupa apa gue tinggal sendiri, doi pun gada siapa yang mau nyari maemunah!" Cerocos Anna.
"Ya kan kali aja Dimas nyariin gitu." Sahut Kinara membuat wajahnya ketiban bantal yang di lempar Anna.
"Pulang aja gih, lo butuh istirahat juga, An."
"Yee ngusir amat mbanya, gue gak bawa mobil. Males ah, gak ada temen juga di Apart. Stok drakor udah ludes."
"Yaudah, gue minta Abang anterin ya-" ucapan Kinara terjeda ketika menyadari sesuatu.
"Maaf, Ann."
"Paan sih, Ki. Biasa aja kali, gua gak ada apa-apa juga sama dia." Anna mengalihkan tatapannya pada ponsel.
"Lo masih belum baikan ya sama Abang gue?"
Anna balik bertanya. "Nanya tuh ke diri sendiri, udah baikan belum lu nya?"
Kinara menghela napas. "Udah ah, tidur yuk. Capek banget gue, kek baru balik dari study tour."
Anna merentangkan tubuhnya di sebelah Kinara.
"Astaga kok gue baru nyadar, bau banget sih lo belum mandi?!"
"Sembarangan lu, Ki. Nggak mandi juga gua tetep wangi, anjir. Ngajak gelud bener," omel Anna membuat Kinara tertawa puas lalu keduanya larut dalam tawa dan obrolan random yang tidak jelas.
"Mandi sana! Ganti pake baju gue," ujar Kinara kemudian.
Anna mengisyaratkan jawaban dengan membentuk 'Ok' dengan jarinya. Detik selanjutnya gadis itu telah masuk ke dalam kamar mandi. Menyisakan Kinara, dengan segala kesunyian dan kemelut dihatinya.
Kinara menatap hampa pada langit-langit kamarnya. Memikirkan dan mengulang runtutan kejadian yang dialaminya tiga hari terakhir. Mengulang setiap perkataan yang ia dengar, dan kenyataan yang harus ia terima. Gadis itu memejamkan mata cukup lama, menenangkan hati dan pikirannya sendiri.
"Semuannya udah berlalu, Kinara. Sekarang, apapun yang terjadi kamu udah lebih kuat. Percaya semua akan baik-baik aja." Rapalnya pada diri sendiri.
Diusapnya setitik air yang mengalir ketika ia membuka matanya.
"Ini air mata terakhir untuk masa lalu, setelah ini semua akan benar-benar berlalu."
Kinara menyadari sesuatu, ia belum menerima kabar dari Vero sejak siang ketika cowok itu pulang dari rumahnya.
Ia mengambil ponsel yang sedang di charger. Mencari nama kontak Vero, lalu mendialnya.
Pada panggilan kedua, tidak ada tanda-tanda Vero akan menjawab teleponnya. Cowok itu sekarang pasti sudah terlelap, dia sangat lelah beberapa hari terakhir.
Tepat pada panggilan ketiga, suara operator yang menjawab. Ponselnya barusaja dimatikan, itu tandanya cowok di seberang sana belum tertidur dan sedang memegang gawainya. Kinara merasa sedikit aneh. Mengapa Vero memilih untuk mengabaikannya?
"Ah pasti hp nya lupa di charger."
Kinara mengirimkan pesan suara sebelum sambungan ditutup, "malam kak vero, makasih ya untuk semuanya. Jangan begadang, jangan terlalu capek, dan jangan sakit. Maaf udah banyak nyusahin lo. Sampai ketemu di Kampus, i love you."
****
"Pagi, Bibi! Pagi Papa, Kakak, Abang!" Seru Kinara sembari menuruni tangga.
Nama yang disapa melempar senyum, kecuali Alan yang hanya menatap sekilas.
"Pagi, Om." Giliran Anna yang menyapa santun, pada Ayah sahabatnya yang kini tengah duduk di meja makan.
Kinara duduk di hadapan Qya, sementara Anna duduk berseberangan dengan Alan.
"Semangat banget hari pertama masuk kuliahnya," goda Qya.
"Harus dong, Kakak!" Balas Kinar menampilkan sederet gigi putihnya.
Hanya obrolan ringan antara Qya dan Kinara yang terdengar di ruang makan. Reno menimpali sesekali. Sementara Anna dan Alan membisu, tanpa sedikitpun bersuara.
"Papa pergi duluan ya, ada rapat di kantor." Kinar mencium punggung tangan Reno, sebelum Pria itu meninggalkan ruang makan.
"Kalian berdua naik apa ke Kampus?" tanya Qya sembari mencuci tangannya.
"Dijemput Kak Vero."
"Terus, Annanya gimana? Sama Alan aja, kan satu tujuan."
"Nggak usah, Kak." Tolak Anna membuat Qya bingung.
"Lho kenapa? Gak apa-apa kan Alan, Anna nebeng kamu?" Alan tidak berniat menjawab, membuat Anna merasa tidak enak.
"Kak Vero bawa mobil, Kakak." Kinara memberi jawaban menggantikan Anna dan Alan.
Qya mengangguk sebagai tanggapan, detik berikutnya ia berlalu setelah berpamitan pada Kinara.