"Saya pikir ini saatnya." Ujar wanita berpakaian serba hitam sambil menatap lawan bicaranya.
Wajah sendu itu menampilkan raut gusar, tatapan kosongnya menerawang jauh seolah raga dan jiwa itu sedang tidak berada di tempat yang sama. "Saya akan mencoba memperbaiki segalanya," lanjutnya dengan suara serak.
Pria paruh baya itu terlihat sedang menimbang perkataan wanita itu lalu bibirnya terbuka, "anak itu telah menerima kehancuran di sepanjang hidupnya. Mungkin saat ini dia bisa menyambut bahagianya. Semua keputusan ada di kamu, jika kamu sudah siap saya hanya bisa mendukung. Semoga dia bisa menerima semuanya."
Wanita itu membenarkan posisi kerudung hitamnya yang sedikit melorot kebawah menampilkan helai-helai rambut hitam legamnya. "Terima kasih, Pak Reno. Terima kasih untuk semuanya."
Wajah tegas Reno tersenyum hangat menghantarkan langkah anggun wanita itu keluar dari ruang kerjanya.
****
Kinara melirik jam di dinding kamarnya. Pukul 10 pagi, gadis berbalut piyama biru itu kembali menguap. Akibat perjalanan melelahkan dari jogja Kinara harus kehilangan banyak waktu tidurnya.
Gadis itu menggeliat kesana kemari sebelum akhirnya turun menuju kamar mandi. Setelah membersihkan diri, Kinara mengecek ponselnya. Tidak ada satu pun notifikasi dari Vero. Baiklah, dirinya sedikit kecewa. Namun Kinara tau Vero juga pasti sangat lelah saat ini.
Perutnya keroncongan karena melewatkan waktu sarapan. Kinara menapaki ubin tangga menuju lantai bawah.
"Bibi masak apa?"
"Bibi lagi masak ayam kecap permintaan den Alan, Non Kinar mau dimasakin apa?" tanya Bi Iim sembari membenarkan letak celemek nya.
"Apa aja Ki makan kalau Bibi yang masak."
"Non teh bisa aja."
"Oh iya Bi, Papa mana?"
"Keluar Non, katanya ada urusan."
Kinara menganggukkan kepala sebagai tanggapan. "Kalau Kakak?"
"Tadi Kakak minta bantuin beresin gudang, tapi Bibi lagi masak. Mungkin sekarang udah di luar beresin barang-barang Nyonya Rossa."
"Lho kenapa sama barang-barang Mama?"
"Bibi kurang tau, Non."
Kinara bergumam kemudian beranjak menuju gudang yang terletak di luar rumah. Sebenarnya tempat itu lebih pantas disebut ruang penyimpanan ketimbang gudang. Karena yang terlintas di kepala Kinara gudang itu tempat barang-barang tak terpakai yang identik dengan berantakan dan berdebu. Sedangkan gudang yang berada di rumahnya sangat bersih dan tertata rapi.
Kinara menggulung rambutnya ke atas sebelum membuka pintu gudang. Benar saja, Qya sudah berada di sana dengan setumpuk buku-buku besar dan pakaian.
"Mau dikemanain Kak?" seru Kinar dengan nada kuat.
"Kinar, ngagetin aja sih," ucap Qya seraya memegangi dadanya yang berdegub.
"Kakak mau ngambil album foto untuk di simpan di rumah, sekalian pilihin pakaian mama yang masih bagus untuk dibagikan ke orang yang membutuhkan."
Kinara menganggukan kepala tanda mengerti. Kalau dilihat-lihat Kak Qya seperti duplikat Mama mereka. Kinara masih ingat, dulu sewaktu Mamanya masih hidup, beliau selalu mengumpulkan barang-barang yang masih bagus untuk disumbangkan ke anak panti, dan tunawisma di jalanan. Sifat dermawan adalah pelajaran utama yang Mamanya ajarkan kepada anak-anaknya. Kinara juga ingat dulu kerap kali ia menangis ketika Mamanya meminta ia menyumbangkan beberapa bonekanya pada anak panti. Padahal saat itu boneka di kamarnya sudah hampir penuh tetapi Kinara tetap saja enggan jika harus membaginya dengan orang lain. Pada akhirnya Kinara malah memberikan semua mainannya dan hanya menyisakan beberapa untuk ia simpan.
Kinara tersenyum samar, membayangkan betapa cerdas mendiang Mamanya mengajarkan mereka untuk bisa berbagi dengan rasa ikhlas. Sekarang ketika melihat Kak Qya, Kinara terbayang akan sosok Mamanya.
Pada saat yang sama juga hatinya serasa teriris mengingat dirinya bukanlah anak yang terlahir dari rahim wanita hebat itu. Wajar sekali jika dirinya tidak mempunyai kemiripan wajah dengan Mama dan Kakanya. Ya, dulu Kinara sering menanyakan kenapa rambut Mama dan Kakaknya berwarna coklat gelap sedangkan miliknya berwarna hitam legam? Kenapa bola matanya berbeda dengan anggota keluarga yang lainnya? Tapi saat itu, Mamanya terlalu pandai menghibur hatinya dengan mengatakan dirinya mirip dengan nenek mereka.
Dari tumpukan barang-barang lama mereka, Kinara menemukan kotak biru langit yang menarik perhatiannya. Dia menemukan benda-benda kesayangannya di dalam sana, buku harian, boneka kelinci kecil, dan sebuah kalung berbandul kunci yang tak kalah menyedot perhatiannya. Kinara mencoba mengingat-ngingat kapan ia memiliki benda itu.
"Ki, Kinara!"
"Ah iya, Kak?"
"Ngelamun aja. Bisa bantu bawa masuk album-album itu ke rumah? Kakak masih mau beresin pakaian Mama."
"Yea, kapten!" Kinar memasukan kalung kunci itu ke dalam salah satu sakunya. Kembali ke rumah dengan membawa tiga album foto berukuran besar serta beberapa map yang entah berisi apa.
"Gila ini album kok bisa berat banget sih?" gerutu Kinar setelah meletakkan bawaannya tersebut ke atas meja ruang keluarganya.
Kinara mengelap keringatnya. "Huh!"
Gadis itu duduk di karpet merah berbulu dan menyenderkan punggungnya di kaki sofa. Matanya membaca tulisan pada cover salah satu album di hadapannya. "Our Memories."
"Papa sweet banget deh." Kinara bermonolog sambil senyum-senyum memandangi potret di dalam album tersebut.
Deretan gambar diri itu terlihat sangat nyata, seolah keping-keping memori itu baru saja terjadi.
Kinara tersenyum sendu. Lagi-lagi kenyataan menamparnya cukup keras ketika ia hanya menemukan foto bayi Alan dan Qya. Pantas saja di rumah tidak ada satupun fotonya semasa bayi yang di pajang.
Kinara beralih menyusun tumpukan map yang tadi ia bawa. Tak sengaja dari kumpulan itu keluar satu amplop yang cukup menyedot perhatian Kinara.
Amplop berwarna coklat besar itu bertuliskan "Dokumen Adopsi" jantung kinara berpacu dua kali lebih cepat. Apa dokumen ini akan menjawab semua pertanyaannya?
"Kinara."
Kinar buru-buru memasukan Amplop tersebut ke bawah karpet berbulu yang menjadi alas duduknya itu.
"Kenapa? Kok mukanya cemas gitu?" tanya Qya ketika sampai di hadapan Kinara.
"Eh eng ... enggak kok."
Qya tersenyum melihat foto masa kecil mereka yang berada di atas meja. Itu alasan Kinara sedikit pucat, pikirnya.
"Kakak udah kemas barang-barang Mama yang mau dibagiin besok."
"Em yaudah Kak, bagus deh."
"Bisa ikut kan ke panti? Besok acaranya jam 9 pagi, sekalian ada acara amal sama rekan kerja Kakak."
Kinara mengangguk tanda setuju.