"Sendirian aja," Anna menoleh.
"Lho Kak Dimas ngapain di sini? Tumben gak sama pasukan." Belum kering ludahnya yang disebut 'pasukan' sudah tiba di depan mata, membuat Anna sedikit canggung.
Dimas mengambil posisi di sebelah Anna, diikuti Reyhan dan Galang, duduk bersila di bawah pohon, membuat posisi Anna semakin terintimidasi.
"Ngapain sih, Kak? Tumben banget." Anna hendak berdiri untuk pergi dari sana, namun tangan kekar Galang sudah melingkar di pergelangan tangannya, menahan gadis itu untuk tidak pergi.
"Eiiit.. mau ke mana sih mbak ini?" Goda Galang, membuat Anna semakin bingung dengan ketiga Kakak tingkatnya yang bertingkah tidak jelas itu.
"Gue mau nyari temen gue."
"Kinar?" Tebak Dimas. Anna mengangguk.
"Temen lo lagi sama Vero, jadi Lo anteng di sini aja. Kan kita juga temenan? Ya gak bro?"
"Oh ye jelas," suara lantang Galang.
"Kak Vero ngapain sama Kinar?"
"Ye kagak paham-paham juga. Ngapain lagi tuh anak kalau gak adu mulut? Lagi berantem ini pasti," celetuk Reyhan diiringi tawa ketiganya.
Tidak dari penolakan dari Anna, fakta tetaplah fakta. Sudah menjadi rahasia umum kalau kedua anak manusia itu akan ribut setiap kali bertemu.
"Gue kasih tau Lo satu rahasia...," Anna menoleh ke Dimas, terlihat antusias. "Tentang bagian tergokil dari inaugurasi malam ini," sambung cowok itu.
"Apaan?"
Bukannya menjawab Dimas malah senyum-senyum tak karuan, membuat gadis dihadapannya sebal karena terlanjur penasaran.
"Udah ah, gue mau nyari Kinar." Putus Anna akhirnya, namun lagi-lagi ketiga cowok itu menahannya.
"Kenapa lagi sih Kak, gak ada kerjaan banget jadi orang!"
Galang berdiri heboh sebelum berhitung.
Tiga... Dua... Satu..
Duaaarrrrrr
"Kinar di mana?" Teriak Anna di tengah gemuruh.
Dimas, Reyhan, maupun Galang tak ada yang berniat menjawab. Ketiganya larut dalam kehebohan dan sorak sorakan alay.
"DIMANA KINAR?!"
Ketiganya terdiam, menghentikan aktivitasnya seketika, sedang dengung memekakkan di atas sana terus bersahutan.
"Kenapa Lo?" Alih-alih wajah penuh takjub yang didapati Dimas dari sorot itu malah ketakutan dan kecemasan. Mata Anna berkilat penuh amarah.
"Di taman Fisif," ujar Reyhan akhirnya.
"GILA KALIAN!" Umpat gadis itu nyalang sebelum berlari menuju taman tempat Kinara berada dengan kecemasan yang menggila.
****
Vero melebarkan senyum, akhirnya tiba di penghujung acara. Kegiatan yang sudah mereka rencanakan selama sebulan terakhir ini berjalan dengan lancar dan sukses,
Dimas, Reyhan, serta Galang sudah berada di sana. Vero menyambut kedatangan teman-temannya dengan seulas senyum.
"Gila Lo apain ni anak?" Tanya Reyhan memperhatikan wajah Kinar yang sudah pucat pasi tanpa warna. Semua pasang mata memandang ke arah yang sama, Kinar.
"Biasa kalo gak pernah liat kembang api gini Rey, norak," Vero menyudahi ujung kalimatnya dengan kekehan mengundang tawa teman-temannya.
Mereka tidak peduli dengan kondisi Kinar yang masih dalam keadaan Shock.
"Liat aja ekspresi mukanya masih terpana aja, udah gak bisa gerak Ver kayaknya perlu digendong." Untuk sesaat raut Galang nampak tertawa tetapi detik berikutnya berubah serius. "Ver, kayanya ada yang salah deh."
Anna akhirnya tiba dengan napas yang terengah-engah. Tanpa peduli kakinya yang kebas karena berlari demi menghampiri sahabatnya itu. Namun tetap saja kalah cepat dengan langkah besar ketiga cowok yang saat ini ditatapnya tajam.
Anna menyadari sesuatu, ketika melihat wajah ceria temannya itu berubah seratus delapan puluh derajat menjadi muram. Dia tahu betul keadaan Kinara saat ini. "Ki, lo baik-baik aja kan?" tanyanya dengan sorot penuh kekhawatiran.
"Jelek Lo kenapa?" Vero menoleh ke arah Kinar. Tidak ada respon, tubuh gadis itu tiba-tiba bergetar. Bukannya tatapan tajam dan wajah cemberut yang di dapati Vero, tetapi tatapan kosong yang sarat akan luka dan ketakutan. Mata sebening embun itu berkaca-kaca, tubuh kinar bergetar hebat.
Vero menyadari ada yang salah dengan Kinar. "Ki lo baik-baik aja kan?" tanya Vero akhirnya.
Bulir air sebening kristal luruh dari sudut mata Kinara membuat Vero dan yang lainnya kebingungan. Apa yang terjadi pada Kinar? Mengapa dia seperti ini?
"Kinar lo kenapa begini?" Tiba-tiba saja rasa bersalah mengerubungi Vero, melihat Kinar seperti ini Vero sama sekali tidak suka. Refleks Vero menarik Kinar ke dalam dekapan, menepuk-nepuk punggung nya agar lebih tenang. Vero merasa ada yang menghujam di jantungnya. Lebih baik dia bertengkar dan berdebat seharian dengan Kinar ketimbang harus melihatnya menangis dengan wajah yang masih shock seperti ini.
Kinara terisak, hingga tangisnya semakin menjadi-jadi. Bukan tangisan yang Vero dengar beberapa hari yang lalu, tangisan Kinar malam ini berbeda, jauh lebih lirih dan memilukan.
"Kinara, kita ke kelas ya?" Dengan lembut Vero merangkul Kinar membantunya berdiri dari sana. Namun kedua kaki Kinar nampaknya begitu lemas sehingga dia hampir saja terjatuh kalau Vero tidak menyangganya.
Mata berkaca-kaca Anna mengiring kepergian Vero dan Kinara dengan raut penuh sesal. Tidak ada yang bisa ia lakukan. Anna teduduk lemas di bangku pohon, menyalahkan diri atas hal yang dialami Kinara saat ini. Harusnya ia tidak meninggalkan Kinara barang sedetikpun, jika tau akan seperti ini harusnya Anna tetap di samping Kinara tadi.
Vero menurunkan tubuh Kinar ke atas sofa yang ada di Sekret BEM, hanya ini tempat yang ia pikirkan. Kinara sama sekali belum baikan, tubuhnya masih gemetar, keringat dingin tak henti mengucur dari pelipisnya. Muka Kinar benar-benar pucat pasi, nyawanya mungkin sedang tidak berada di tempatnya. Sedari tadi kepalanya sibuk memutar kejadian Tujuh tahun silam, potongan-potongan suara saling berebut tempat bak kaset rusak di kepalanya.
"Tiduran aja Ki," ujar Vero dalam nada hangat penuh kekhawatiran. Pemuda itu membantu Kinara menidurkan tubuhnya di atas sofa.
"Boleh gue istirahat di sini?" Kalimat itu meluncur dari bibir mungil Kinara. Vero tidak tega menatap mata Kinar lebih lama lagi, buru-buru dia mengangguk lalu tersenyum mengiyakan.
"Lo istirahat dulu aja di sini," kata Vero sembari mengelus rambut Kinara. Dia bangkit mengeluarkan sehelai selimut Uks dari dalam lemari yang ada di ruang sekret. Vero berlutut, menutupi tubuh Kinara dengan selimut hingga sebatas dada, "kalo perlu sesuatu panggil aja, gue ada di depan." Tanpa menunggu jawaban Kinara Vero bangkit, melangkah ke luar ruangan.
Namun sebelah tangan Kinara menahan ujung kemeja Vero, gadis itu berujar setengah menangis.
"Kak Vero ...." Vero menoleh.
"Balikin syal gue."
Vero menyentil jidat Kinara dengan jari telunjuk. "Tidur!"
"Gue takut, Kakak di sini aja gak papa kan?" Langkah Vero kembali terhenti, berbalik menatap Kinar, Vero tersenyum lalu mengangguk. Sebenarnya dia ingin bergabung dengan temannya yang lain, tetapi dia khawatir dengan keadaan Kinara.
Hela napas Kinar terdengar teratur, sepertinya dia sudah bisa tenang dan tertidur pulas. Vero menatap intens kedua mata teduh milik Kinar, wajah tidurnya begitu damai bak putri raja dari negeri dongeng.
Tiba-tiba saja pasukan oksigen di paru-parunya berkurang, pikiran Vero melayang pada sosok Karisha gadisnya, sahabatnya yang telah lama pergi. Sorot matanya berubah, kerinduan tercetak jelas di sana. Karisha Ananta. Gadis yang meninggalkannya Lima tahun lalu dengan berjuta penyesalan. Bohong jika dia tidak merindukannya, apalagi melupakan. Bagi Vero melupakan Karisha merupakan hal yang begitu mustahil. Faktanya, hampir di setiap detik bayangan gadis itu mengikutinya. Raganya mungkin telah menyatu dengan dengan bumi namun jiwanya masih tertinggal di dalam kepala pemuda itu. Jiwa gadis itu terus hidup bersemayam di dalam hati dan pikiran Vero. Andai bisa memutar waktu Vero ingin kembali ke malam itu, malam mengerikan dimana dia harus kehilangan gadis yang disayanginya karena dirinya. Ah sudahlah, semesta tidak akan pernah mendukungnya. Kembali ke masa lalu hanyalah kalimat penenang sesaat, nyatanya waktu terus bergerak ke depan tanpa sekali pun berhenti dan menoleh ke belakang.
Selanjutnya Vero tenggelam pada dunia bawah sadar, puing-puing masa lalu hadir menjelma bunga tidur. Karisha Ananta, Wajah gadis itu yang tersenyum terlukis jelas di pandangannya, bibirnya yang ranum, rambutnya yang kecoklatan, matanya yang teduh.
"Vey seandainya di dunia ini gue harus memilih pergi atau ditinggal pergi, gue akan memilih untuk pergi. Gue nggak mau ditinggalin, karena gue terlalu takut kehilangan."
Lalu wajah seputih kapas itu menjelma seberkas cahaya. Berikutnya Vero melihat wajah Kinar yang tersedu. Wajah Karisha menghilang perlahan digantikan iris sebening embun.
"Risha, Karisha." Vero mencari sosok itu, ia berlari ke segala penjuru untuk menemukan gadisnya namun tak jua ditemuinya. Vero jatuh terduduk, tenggorokannya tercekat, napasnya tersengal, bulir hangat meluncur bebas melewati pipinya.
"Risha," Vero terlempar menuju alam sadar, alam di mana ada Kinar di hadapannya. Gadis itu masih sama, tertidur dengan posisi yang tidak berubah.
Vero melirik jam dinding, pukul dua setengah malam. Vero bangkit dari duduknya, melangkah menuju kamar mandi. Dia membuat gerakan sepelan mungkin, berharap gadis yang sedang tertidur itu tidak terganggu.
Tetes-tetes air wudhu mengalir dari dahinya, Vero menggelar sajadah, menunaikan shalat dua rakaat di sepertiga malam. Di sujud terakhir dia luruh tanpa daya, mengadu pilu pada tuhannya. Selepas salam Vero mengangkat kedua tangannya menghadap langit, membisikkan bait-bait doa kepada sang pencipta.