Memories bring back, memories bring back you.
Bibir mungil Kinara tergerak mengikuti bait-bait lagu yang sedang ia dengarkan. Sudah lebih satu jam Kinara berada di pinggiran rooftop, menggantungkan kaki ke bawah, menyumpal telinganya dengan earphone. Ada lebih puluhan pesan singkat dan missed call memenuhi ponselnya yang sengaja ia abaikan.
Berada di sini jauh lebih menyenangkan ketimbang ia harus duduk di auditorium berjam-jam hanya untuk menunggu giliran tampil. Lagian dari awal Kinara memang tidak niat untuk menjadi pengisi acara, jadi daripada dia tampil tidak maksimal, lebih baik tidak tampil sekalian. Kinara menghirup dalam-dalam oksigen yang berada di sekitarnya, sejuk dan tenang dua kata itu cukup mendeskripsikan tempat ini. Mulai hari ini tempat ini akan menjadi pelarian Kinara jika sedang bosan atau ketika ia butuh tempat untuk menenangkan diri.
Matanya nyaris segaris, Kinara ngantuk berat. Kinar menopang kepalanya dengan kedua tangan, memejamkan mata menikmati semilir angin yang menerbangkan helaian rambutnya.
***
Kinara duduk beralaskan dedaunan kering, bersandar pada pohon yang rindang. Aroma rerumputan menyeruak memenuhi indra penciumannya. Dari kejauhan, dia melihat seorang laki-laki gagah berjalan ke arahnya, wajahnya tidak terlihat jelas. Tangannya memegang setangkai krisan putih. Lelaki berpakaian serba putih tersenyum padanya, tiba-tiba terdengar suara ledakan dan...
"Kebakaran!!"
BYURRRR!
Kinara menjerit nyaring hingga beberapa orang yang berada di sekitarnya menutup telinga. Napasnya memburu tidak beraturan seperti habis lari maraton. Matanya mengamati sekitar, alih-alih berada di bawah pohon, Kinara berada di rooftop dengan lima pasang mata yang menatap ke arahnya.
Mata bening Kinara beradu dengan cowok yang kini memegang ember yang sudah kosong. Siapa lagi kalau bukan Vero Angkasa yang menyiramnya dengan seember penuh air. Pemuda itu menatapnya datar tanpa rasa bersalah. Ingin rasanya mencakar wajah sok tampan itu atau melenyapkannya dari muka bumi sekarang juga.
"Heh cowok sinting! Maksud lo nyiram gue apaan? Lo bener-bener ya, Lo udah ganggu mimpi indah gue tau gak?!" Kinara menatap bergantian orang-orang yang ada di hadapannya, Vero, Dimas, Reyhan, Galang dan terakhir temannya Anna.
"Lagian Lo teriak kebakaran, ya gua siram dong biar apinya padam," balas Vero santai.
"Bener-bener Lo ya, nggak bisa lembutan dikit apa sama cewek? Kan lo bisa bangunin gue, sengaja banget lo mau nyiram gue!"
"Lo tanya sama temen lo ini, betapa sabarnya gue bangunin lo tadi." Vero memasukan tangannya ke saku, berbalik mengambil langkah menuju ke auditorium.
"Gue gak mau tau pokoknya lo harus tanggung jawab! Gara-gara Lo gue mirip kucing kecebur got!"
Vero menutup kupingnya yang berdengung. "Ngapain juga pake acara kabur!" Tukas Vero tanpa membalikan badan.
Kinara memberengut dengan emosi yang sulit diredam, namun bagaimanapun dia tidak bisa melawan Vero karena statusnya sebagai peserta PKKMB. Bisa-bisa ia diberi hukuman yang lebih gila dari sebelumnya.
Vero berbalik sadar dia melupakan sesuatu, pemuda itu menarik secarik kertas dari saku kemeja, menjatuhkannya tepat di hadapan Kinar.
"Nama kelompok Lo, tugas terakhir PKKMB membaca puisi di malam inagurasi. Satu kelompok satu perwakilan, tema bebas."
"LO KOK ADA TUGAS LAGI???!" Kinar berteriak histeris, dia merasa Kampus ini kelewatan dalam memberi tugas. PKKMB macam apa ini? Anna menyikut Kinar, akibat teriakannya ke empat pemuda yang ada di hadapan mereka tidak jadi membubarkan diri. Mereka menolehkan kepala kembali menatap Kinar, tak terkecuali cowok yang mengguyur Kinara tadi.
"Pokoknya gue gak mau tampil apalagi baca puisi, otak gue gak nyampe woi." Kinara mengentak-entakkan kakinya sebal.
"Kumpul sekarang!!" Vero menggeram, detik berikutnya berlalu dengan langkah kakinya meninggalkan area rooftop.
Kilatan emosi tercetak jelas di mata bening Kinara. "Bener-bener lo ya nyebelinnya minta ampun, awas aja gue gak bakal biarin lo hidup tenang, woii mau kemana lo gue belom selesai!! Vero!!!"
Kinara berpikir keras tentang cara agar dia terbebas dari kegiatan inagurasi yang menurutnya sangat tidak penting itu. Dia tidak mau menjadi bagian dari pengisi acara tersebut. Sebuah ide tercetus dari kepala Kinar, apa dia bikin kacau saja acara pemilihan itu agar segera dibubarkan. Tapi bisa dipastikan dia akan mendapat masalah, terlebih Rektor ikut hadir dalan acara pemilihan itu. Tidak apa-apa untuk dirinya, Kinara hanya mengkhawatirkan nama baik papa nya yang nanti ikut rusak karena ulahnya, apalagi Kak Qya, Kinar sungguh tidak ingin mengecewakan Kakaknya itu. Kinar tidak mau jadi anak bandel mengingat kakak-kakaknya yang semuanya teladan.
Atau apa dia pura-pura pingsan saja, atau pura-pura sakit. Tapi akan lebih merepotkan berbohong di depan semua orang, dia sudah begitu malu, dalam beberapa hari ini Kinar sukses menjadi tontonan seisi Kampus. Dia tidak ingin lagi menjadi pusat perhatian. Tidak ada pilihan, mau tidak mau Kinar harus mengikuti rangkaian kegiatan itu. Lagian juga belum tentu dia terpilih nantinya. Lalu untuk tugas puisi dia bisa meminta bantuan Kak Qya, itu jugakan tugas kelompok bukan individu.
****
"Malam Non," sapa bi Iim ketika berpapasan dengan Kinara.
"Malam, Bi Im. Bibi mau kemana?"
"Mau manggil Non Kinar sama den Alan, tapi Non Kinar teh udah keluar duluan jadi Bibi ke kamar den Alan aja deh," terang Bi Iim pada Kinar.
"Kalo gitu biar Kinar aja yang panggil Bang Alan, bibi siap-siap di bawah aja."
"Yaudah atuh Non, punten Bibi ke bawah dulu," pamit Bi Iim sesaat sebelum menuruni anak tangga.
Kinara mengetuk pintu kamar Alan berkali-kali namun belum ada jawaban sama sekali.
"Bang makan malam udah siap buruan ke bawah, semuanya udah nungguin Abang."
Tidak juga mendapat jawaban, Kinara kembali mengetuk pintu dengan kesal seraya memutar knop pintu yang ternyata tidak terkunci.
Kinara memutuskan untuk masuk ke dalam dan mendapati kakak laki-lakinya itu sedang memetik gitar kesayangannya di pinggiran balkon yang ada di sudut kamar itu.
"Bang, ayo dong makan malamnya udah siap Lea udah manggil Abang dari tadi."
Alan tidak merespon sama sekali seolah alunan gitarnya mampu meredam suara Kinara yang tidak bisa dibilang kecil, Kinar jadi kesal sendiri Abangnya ini seakan mempunyai dunia sendiri jika sedang bermain alat musik.
"Woy Bang! Abang denger gak sih?" Lengking Kinar berhasil membuat Alan menghentikan pergerakan tangannya.
"Berisik! Lo mau bikin telinga gue Budeg?" Ketus Alan dengan sorot mata menukik tajam seolah sedang menatap seorang musuh.
"Tapi Bang-"
"Keluar dari kamar gue, gue gak suka liat muka Lo!" Bentak Alan kontan membuat Kinar terkejut sekaligus takut.
Perlahan Kinara mundur beberapa langkah lalu berbalik meninggalkan kamar Alan. Ia terus memegangi dadanya yang bergemuruh.
'Ya Tuhan, sebegitu bencinya Abang sama gue,' batinnya.
Dengan malas Kinara beranjak turun menuju meja makan, di sana sudah duduk Qya seorang diri dengan makanan yang sudah tersaji di atas meja. Papanya terlalu sibuk dengan pekerjaan di luar kota hingga mereka nyaris tak mempunyai waktu lagi dengan sosok tegas nan teduh itu.
"Alan mana? Gak ikutan makan malam?" Tanya Qya ketika Kinara sudah duduk di hadapannya. Gadis itu hanya menjawab dengan gelengan kepala.
Qya yang mengerti apa yang terjadi berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
"Gimana Kuliahnya?" Tanya Qya dengan senyum yang terukir di sudut bibirnya.
"Lumayan, Kinar suka di Kampus seenggaknya aku gak kesepian lagi," sahut Kinara ditengah aktivitas makannya. Apanya yang baik, dalam satu hari saja dia sudah mendapat beberapa masalah.
Sekilas pandangan Kinar bertemu dengan iris hitam milik Alan yang baru saja menuruni anak tangga.
"Bang ikutan makan yuk," teriak Kinar pada Alan yang mengacuhkannya seakan tidak ada yang berbicara padanya.
"Den Alan, ayo den makan. Bibi masakin menu kesukaan Aden," ajak Bi Iim dengan nada sehangat mungkin.
Alan mengambil posisi di sebelah Qya. Menatap sekilas meneliti wajah adiknya, saat matanya bertemu dengan iris Kinara buru-buru dia memutuskan kontak mata tersebut dan memilih mengambil makanan di atas meja. Keduanya makan dalam diam, berbeda dengan Qya yang terlihat begitu antusias melempar berbagai pertanyaan seputar kegiatan Ospek Kinara.
"Oh iya kemarin kamu nggak masuk kuliah, terus hari ini Kakak dengar dari Bibi kamu pulang basah kuyup. Kamu gak dijahatin atau di-bully sama orang kan, dek?" Tanya Qya lagi membuat Kinara menghentikan aktivitas makannya.
"Nggak kok Kak, tadi Kinar-"
"Wajar sih kalo di-bully, siapa juga yang mau berteman sama orang yang gak punya sopan santun," celetuk Alan menyisakan senyuman miring di sudut bibirnya.
"Alan!!" Tegur Qya dengan tegas yang hanya ditanggapi cuek oleh Alan. Qya mulai kesal dengan perubahan sikap adiknya itu, sejak kembalinya Kinar ke rumah mereka sikap Alan berubah drastis memilih menarik diri dari keluarganya.
Sebenarnya Kinar juga sudah tidak tahan dengan sikap kakaknya yang banyak berubah sejak beberapa tahun silam. Tapi mau bagaimana lagi? Kinar hanya bisa diam dan membiarkan Alan terus melukai perasaanya. Kinar tidak boleh marah, dia harus terbiasa dengan sikap Kakaknya. Bagaimanapun ia harus berusaha memperbaiki hubungan di antara keluarganya, bukankah itu alasan utama dia kembali ke tanah kelahirannya?
"Kenapa? Salah? Emang bener kan Lo gak punya teman? Orang waras mana yang mau berteman sama dia."
Kinar hanya bisa bungkam menahan gemuruh di dadanya. Gadis itu menghela napas menatap malas makanan di depannya. Senyum merekah yang tadinya tercetak jelas di wajahnya kini berubah sendu.
"Alan, bagaimanapun juga Kinar itu adik kamu. Kamu harus bersyukur dengan keadaannya yang sudah jauh lebih baik." Qya menasihati Alan.
"Bersyukur? Aku gak pernah minta dia buat kembali! Kakak aja yang menginginkannya, jauh lebih baik kalau Aku nggak ngeliatnya lagi di rumah ini," ketus Alan.
Qya membanting sendok dan garpunya ke atas piring, dia sudah tidak tahan lagi dengan ucapan Alan. Makin lama sikap Alan makin kelewatan terhadap adik bungsunya itu.
"Alan cukup!"
"Bela aja terus Kak! Buat Alan dia tetap pembawa sial, PEMBAWA SIAL!!" Ucapan Alan itu bagaikan bom atom yang siap menghancurkan semua yang berada di sekitarnya. Air muka Kinara berubah menjadi pias, ia berusaha menahan air matanya agar tidak tumpah di sini.
"Lo gak pernah di harapkan di rumah ini karena lo hanya jadi pembawa sial di keluarga ini!" Alan menatap tajam Kinara sebelum beringsut meninggalkan meja makan. Senyum kemenangan terlihat jelas di wajahnya kala melihat bulir bening mengalir dari sudut mata adiknya. Namun jauh di dalam dadanya, Alan merasa ada yang meremas hatinya menyisakan sesak yang teramat.
Buru-buru Kinara mengusap pipinya sebelum Qya menyadarinya "Kak, Bang Alan benci banget ya sama Kinar? Karena kepergian Mama? Atau Bang Alan emang gak pernah suka keberadaan Kinar sejak lahir?"
"Shut, Kamu gak boleh ngomong gitu. Bang Alan memang kaya gitu orangnya, kamu harus terbiasa mulai sekarang. Abang gak pernah benci sama Kinar, Abang cuma belum bisa menerima kenyataan," ungkap Qya menenangkan Kinar.
Kinara tersenyum miris. "Yang dibilang Abang benar kak, Kinar cuma pembawa sial."
"Kinar...." panggil Qya dengan tatapan yang begitu dalam.
"Nggak apa apa kak." Tanpa permisi Kinar meninggalkan Kakaknya bahkan sebelum makanan di piringnya habis. Dia ingin pergi secepat mungkin sebelum Qya menyadari air mata yang ia tahan mati-matian agar tidak tumpah di depan kakaknya itu. Kinara tidak peduli perutnya yang masih lapar, yang ia butuhkan saat ini adalah istirahat. Ia harus menenangkan pikiran dan perasaannya. Entah benar atau hanya pikiran buruknya saja, Kinar merasa ada yang disembunyikan darinya.
"Ayolah Kinara keep on smiling! Lo harus terbiasa diginiin," batinnya menyemangati diri sendiri. Entah sikap Alan atau kata 'pembawa sial' yang membuatnya teramat sesak.