"Mama!"
Lagi dan lagi mimpi itu datang ditidur Kinar diiringi dengan air mata yang mengaliri pipinya. Jujur Kinar ingin melupakan semua kejadian pahit di masa lalunya. Tetapi entah mengapa mimpi itu terus saja mengganggunya, mengingatkannya pada sang Ibu yang telah lama meninggalkannya.
Terkadang semesta jahat, sesuatu yang sangat ingin dilupakan malah menjadi momok yang hampir setiap saat menghantui. Lalu hal yang berusaha mati-matian untuk diingat tak sedikit pun yang kembali hadir dalam memori.
Kepala Kinar terasa pusing, kepingan mimpi itu membuat kepala nya berdenyut nyeri. Dadanya bergemuruh seperti ada yang menghantamnya kuat-kuat, keringat dingin meluncur bebas dari dahinya. Perasaan takut, cemas dan gelisah itu muncul lagi. Kinara bangkit meraih beker yang terus berbunyi di atas nakas. Ia memaksakan diri duduk di tepi tempat tidur lalu matanya tak sengaja menatap pigura foto berbingkai putih yang terletak di sebelah jam bekker nya. Foto itu sudah usang, warnanya hampir memudar namun masih terlihat jelas. Sosok itu, wanita yang jejak kenangannya masih tertinggal lekat dalam benak Kinara.
Kinara mengusap air mata yang merembes dengan punggung tangan, entah sejak kapan butiran kristal itu ikut luruh dari pelupuk matanya. Kinar menarik napas dalam lalu mengembuskan nya perlahan, berusaha mengenyahkan kenangan buruk itu sebelum pikirannya melayang lebih jauh lagi. Luka itu telah mengajarkannya banyak hal, tentang menjadi pribadi yang lebih kuat, pribadi yang tidak lagi mementingkan perasaan.
Kinar turun dari tempat tidurnya sembari menguncir rambut panjangnya menjadi satu. Ia berjalan dan mulai membuka sebuah pintu kaca yang ada di kamarnya. Udara pagi menerpa wajah putihnya, menyibakkan sedikit rambutnya ke belakang. Langit yang awalnya gelap telah dihiasi semburat oranye yang indah, kicauan Burung beradu bersama aroma embun.
****
Kinar meringis merasakan kakinya yang kebas. Ia sudah berjalan sejauh mungkin menghindari Auditorium. Hari terakhir PKKMB Mahasiswa baru ditutup dengan kegiatan pemilihan pengisi acara malam Inaugurasi. Dimana kegiatan tersebut diikuti masing masing perwakilan kelompok PKKMB untuk menampilkan bakat mereka dalam konsep seni di depan Jajaran Rektorat, Dekanat, para Dosen, dan ratusan Maba beserta panitia di malam puncak yang sekaligus menutup kegiatan PKKMB.
"Ki Lo mau kemana? Acaranya udah mau mulai nih," ujar Anna.
"Toilet bentar Na, sepuluh menit lagi gue balik," pamit Kinar.
"Mau gue temenin?"
"Gak usah." Kinar melangkah cuek.
"Lima menit!" Teriak Anna. Kinar menoleh, mengangguk lalu tersenyum.
Diam diam Kinar pergi meninggalkan Auditorium, kemana saja ia harus bersembunyi. Akibat kejadian tiga hari yang lalu Kinar sangat malu menampilkan diri di depan teman seangkatan dan seniornya.
Koridor terlihat sangat sepi, begitu pun dengan lapangan karena semua murid berada di Auditorium.
Gadis itu mengelap peluh yang sedari tadi berjatuhan dari dahinya. Tanpa sengaja matanya tertubruk pada cowok di bawah sana. Cowo yang sedang menggiring bola dengan kakinya.
Kinara tersenyum samar saat mata cokelat itu bertemu tatap dengan irisnya. Hanya tiga detik sebelum cowok itu memutuskan kontak. Tiga detik yang menampilkan tatapan dingin mematikan dari Kakaknya itu.
Kinara mengatur napasnya yang tersengal. Menggelengkan kepalanya pelan, berusaha sekuat tenaga menolak kenyataan bahwa sekali lagi ia telah kehilangan orang yang dia sayangi, Alan.
"Ngapain Lo di sini?"
Jantung Kinara berdebar tak keruan, bagaimana tidak suara yang muncul dari arah belakangnya itu tiba-tiba saja memecah hening yang tercipta.
"Ishh ngagetin aja sih!" Gerutu cewek itu sebal ketika membalikkan badan.
"Gue tanya lo ngapain di sini? Maba harusnya gk di sini." Cerocos Dimas nyaris tanpa titik koma yang membuat adik tingkatnya itu memutar bola matanya malas.
"Auah berisik banget jadi orang! Ngeliat cogan tuh di bawah bejibun!" Tunjukknya pada barisan cowok yang berhamburan di lapangan futsal.
"Lo harusnya di Audit bukannya di sini cewe bandel."
"Umm.. gu.. gue abis nemenin Anna ke toilet. Emang gak boleh?" Sungut gadis itu tak kalah nyaring.
"Terus Anna nya mana?"
Kinara menyembunyikan rasa gugupnya dengan berteriak, tak peduli belasan pasang mata di bawah sana telah menoleh ke arah mereka.
"Astaga bawel banget sih! Dengerin ya Kak Dimas, Lo tu jangan keseringan main sama Kak Vero deh, nularkan cerewetnya. Gue jadi curiga kalian itu gak straight deh, ya kan? Ngaku!" cerocosnya dengan wajah jijik.
Dimas memajukan tangannya menyentil dahi Kinara hingga gadis itu mengaduh sebal. "Ternyata Vero bener, lo ini gak ada takut-takutnya sama senior."
Yee.. setan kali ah perlu ditakutin
"Udah ah capek gue ngeladenin kating senioritas," putus Kinara melangkah pergi.
"Woi mau kemana Lo?!"
"Toilet, nyusulin Anna!" Teriak gadis itu yang sudah menjauh. Daripada dicekoki ribuan pertanyaan, mending dia kabur secepat mungkin.
Kinar sedikit berlari menuju halaman belakang Fisip lalu tersentak ketika tubuhnya ditarik paksa hingga tertubruk dada seseorang.
Dada Kinar bergemuruh hebat, perlahan ia membuka mata untuk melihat wajah orang yang sedang merangkulnya. Tepat di depan wajahnya Kinar mendapati sepasang mata elang Vero yang menatap cemas. Kinar belum sempat mencerna apapun ketika Vero memisahkan diri, lalu memberi jarak pada tubuh mereka.
"Lo gak apa-apa?" Tanya Vero seraya menyingkirkan helai rambut Kinar yang menutupi sebagian dahinya.
Aliran darah Vero berdesir hebat seperti merasakan dejavu. Dulu dia sering melakukan hal yang sama terhadap Karisha. Melindunginya dan membuatnya selalu merasa aman. Tapi hari ini dengan orang yang berbeda. Kinara, orang baru di kehidupan Vero, lalu mengapa naluri Vero mengatakan bahwa ia harus melakukan hal serupa? Berbeda dengan beberapa hari kemarin, kali ini saat melihat Kinara nyaris terluka Vero merasa sangat khawatir seakan takut akan kehilangan.
"Kinara?"
"Ki!" Kinara tersadar detik itu juga. Kinar menggumam, melepaskan napas perlahan.
"Lo nggak kenapa napa kan?" Ulang Vero.
"Ee Iya."
Pandangan Kinar jatuh pada pot keramik yang hampir menimpa kepalanya kalau saja tidak ada Vero yang melindunginya. Kinar mendengus kenapa hidupnya selalu berhubungan dengan pot bunga.
"Lo itu ceroboh banget sih, gak bisa liat apa gimana? Kalo jalan tuh pake mata Ara."
"Jalan pake kaki Kak," sahut Kinar polos. "Nama gue Kinar! Gak suka dipanggil Ara!" lanjutnya ketus.
"Tanpa mata juga gak bisa jalan Kinara, bisa -bisa Lo jatoh atau ketiban pot bunga kaya barusan."
"Lo tau kan apa akibatnya kalo kepala lo ini ketiban keramik?" Nada Vero meningkat, tangannya mengetuk-ngetuk kepala Kinar membuat gadis itu sontak melotot.
"Kok lo jadi marahin Gue? Gue itu korban disini, yang salah itu pot nya kenapa pake acara jatoh segala." Kinar mendengus kesal.
"Siapa suruh lo jalan gak liat-liat?!"
"Siapa suruh pot nya tiba-tiba jatoh?!"
"Ckck! Vero berdecak. Lagian Lo mau kemana? Bolos?"
"Siapa suruh jadwalnya kesiangan, gue capek nunggu lama."
Beradu argumen dengan gadis ini sepertinya akan menghabiskan waktu seharian.
"Terserah, nih minum." Vero menyodorkan air mineral.
"Gak ada yang berasa?"
"Ckck! emang Lo gak tau berterima kasih ya." Kinar meraih botol tersebut, menenggaknya sampai habis. Kinar meletakkan botol minuman di kursi panjang sebelahnya, membuat Vero menyeringai.
"Lo tau kan in bukan tempat sampah?"
"Siapa juga yang bilang tempat sampah?" Ketus Kinar.
"Terus kenapa sampahnya Lo buang di situ?"
"Siapa juga yang buang, Gue naro aja."
"Buang gak?!"
Mereka saling melempar tatapan tajam seolah sedang berhadapan dengan serang musuh.
"Iya singa galak." Kinar mengentakkan kaki menuju kotak sampah.
"Membuang sampah sembarangan itu bisa ngerusak lingkungan. Kalo lo lakuin hal gituan artinya lo mau dapet hukuman lagi, inget itu!"
'Siapa juga yang buang sampah sembarangan, dibilang cuma naro doang. Dasar dedemit.' Batin Kinar, mengerucutkan bibirnya kesal.
Usai membuang sampah, cewek itu menghempaskan tubuhnya di bangku panjang, menatap lurus ke pohon trembesi yang menjadi hukuman pertamanya di sekolah ini.
"Udah mendingan? Balik sana ke Auditorium!"
"Belom! Gue masih syok." Kinara memegangi dadanya. "Kepala gue pusing, kayanya jantung gue bermasalah."
Vero menghela napas, mengedikkan bahu malas.
"Terserah, gue duluan. Gak balik sepuluh menit siap terima hukuman!"
'Bodo!' batin Kinar.