Americano and MSG
โ๐
....Jangan menunggu, waktu bisa saja sulit berlalu..
_____
HARI beranjak siang. Kafe masih kosong seperti biasa. Belum ada pelanggan yang datang, barang satu orangpun. Membuat Rosita cemas. Bukan karena tidak mendapat pemasukan. Melainkan karena karakter yang dia tunggu belum juga tiba.
Rosita duduk di meja yang biasa dia gunakan. Sembari mengawasi pintu masuk. Juga tempat parkir. Padahal waktu yang disepakati telah terlewat cukup jauh.
"Dia meremehkan ku," gumamnya. "Lihat saja nanti, sepertinya dia belum tau siapa Rosita." Senyum seringai muncul dalam raut wajah Rosita.
Di parkiran terlihat ada sedan putih yang tiba. "Siapa dia?" Rosita memperhatikan. "Mobil Rika berwarna merah."
Seorang pemuda tampan turun dari mobil. "Erlangga!" seru Rosita spontan berdiri dan mengemasi barang-barangnya.
"Rosita, ada apa? Kok panik gitu?" tanya Lita.
"Erlangga datang." Rosita bergegas ke ruang karyawan.
"Ha?" Lita terlambat mencerna informasi dari Rosita. Hanya berdiri terpatung di meja barista. Bel berbunyi. Tanda ada pelanggan yang masuk.
Tiba-tiba lidah Lita kelu. Tidak bisa mengucapkan selamat datang. Erlangga berjalan semakin mendekat. Membuat Lita merasa semakin terlempar jauh ke belakang.
Bagaimana dokter itu bisa mengetahui Rosita ada di sini? Atau mungkin dia diam-diam meletakan alat pelacak di tubuh Rosita? Aku tau Rosita terkenal dengan karakternya yang suka-suka tapi masak segitu protektifnya dokter muda ini. Bagaimana ini? Aku harus jawab apa jika dia menanyakan tentang Rosita. Apa aku harus berbohong?
"Permisi, Kak," sapa Erlangga sopan.
"...." Lita tidak merespon.
"Kak!" seru Erlangga menyadarkan Lita.
"Ha?" jawab Lita blank.
Sepertinya barista ini terlalu terpesona dengan ketampanan ku, pikir Erlangga merasa bangga.
"Saya mau pesan es americano satu."
"A, iya." Lita buru-buru memasukan pesanan dalam tablet. "Maaf, pemesanan atas nama siapa?"
"Erlangga," jawab Erlangga.
"Baik, Kak Erlangga, apa ada yang mau dipesan lagi?"
"Menu makanannya apa aja ya, kak?" tanya Erlangga melihat tidak ada banner menu yang terpajang.
"Silakan, ini katalog menu kafe kami." Lita menyodorkan buku menu dengan desain aesthetic elegan.
Dia terlalu nerves terhadapku sampai tangannya bergetar, pikir Erlangga melirik tangan Lita.
"Saya mau … spaghetti."
"Spaghetti?"
"Iya."
Lita teringat Rosita harus bersembunyi. "Maaf, spaghettinya kosong."
"Steak."
"Steaknya juga kosong." Rosita tidak mungkin memasak di depan Erlangga.
Erlangga tertawa kecil. "Yang ada apa?"
"Bagaimana kalau dessert. Ada berbagai macam puding dan cake. Atau kudapan ringan seperti kentang goreng, kulit goreng, nugget goreng, mie instan goreng … hahaha," jawab Lita merasa bodoh menawarkan makanan sampah kepada seorang dokter.
"Oke. Saya mau mie instan goreng," pesan Erlangga tanpa ragu.
"Ha?!" Lita terperangah.
"Mie instan goreng. Pakai sayur dan dua telur. Pedas," pesan Erlangga mantap.
Aku tidak percaya, seorang dokter memesan makanan seperti itu, pikir Lita.
"Totalnya lima putih ribu," kata Lita.
"Apa? Saya hanya pesan americano dan mie instan, totalnya lima puluh ribu?" protes Erlangga.
"Americano tiga puluh ribu dan mie instan dua puluh ribu." Lita menunjukan harga masing-masing menu.
Erlangga menggelengkan kepada sembari menyodorkan kartu debit.
Lita segera memproses transaksi dengan cepat. "Ini nomor mejanya. Silakan tunggu, pesanan akan segera kami antar."
Erlangga berlalu membawa papan kecil bernomor 1 (satu).
Tidak ada pelanggan selain aku, buat apa pakai papan angka seperti ini? gumam Erlangga di dalam hati.
Lita menghela nafas lega.
Sepertinya dia cuma mampir ke sini tanpa tau ini kafe milik Rosita, pikir Lita.
Di ruang karyawan, Rosita mengawasi gerak-gerik Erlangga melalui pantauan CCTV.
Apakah Erlangga tau ini kafeku? Siapa yang memberitahu? Sial! Karakter epilogku belum juga datang. Akan kacau rencananku kalau aku ketahuan sebelum dia datang. Aku harus menyusun jadwal lagi. Sungguh merepotkan. Mata Rosita terus mengawasi layar datar yang menempel di tembok ruangan.
Erlangga duduk di sofa. Meletakan papan angka di atas meja.
Aku seperti pernah melihat barista itu. Tapi dimana ya? Dia terus berpikir namun tidak menemukan ujungnya.
Sementara itu, di ruang karyawan.
Rosita terus memantau layar CCTV. Terlihat Erlangga duduk sembari mengoperasikan gadgetnya.
Tidak lama kemudian, pesanan Erlangga datang. Aroma biji kopi berpadu dengan aroma MSG dari mie instan goreng.
"Permisi, ini pesanannya, silakan dinikmati," ujar Lita dengan penuh sopan santun.
"Terima kasih," ucap Erlangga.
"Sama-sama, dengan senang hati." Lita kembali ke meja barista.
Erlangga mengecap kesegaran es americano perlahan.
"Hah, rasanya menyegarkan."
Lalu dia mengaduk mie instan goreng. Menghitung dua telur ayam dan beberapa lembar sayur sawi hijau.
Kalau bukan karena si pasien songong itu, aku tidak akan makan mie instan. Tidak ada spaghetti juga. Hanya ini yang dapat menaikan moodinitasku. Apalah dayaku, dokter juga manusia biasa. Hah! Bagaimana dia bisa kabur dari rumah sakit begitu saja. Aku jadi kena skors karena kelalaianku. Awas aja kalau balik ke rumah sakit aku kasih dosis tinggi supaya jantungan. Sabar-sabar. Aku harus bersabar. Ingat janji seorang dokter. Ah! Aku benar-benar ingin …. Erlangga menghela nafas panjang. Sudahlah, aku makan saja daripada overthinking, udah kayak emak-emak habis lahiran.
Erlangga memasukan sesuai mie instan dan sayur ke dalam mulut.
Emh, enak banget. Tidak ada yang bisa mengalahkan nikmatnya MSG. Kalau sampai ketahuan ayah aku bisa mati, kata suara hati Erlangga.
Lita segera menyusul Rosita yang bersembunyi di ruang karyawan. "Sepertinya dia hanya mampir untuk minum dan makan," beber Lita duduk di samping Rosita ikut mengamati CCTV. "Aku tidak menyangka seorang dokter bisa memesan mie instan goreng."
"Dia bahkan terlihat tampan di CCTV," puji Rosita dengan nada nakal.
Sepertinya dia tidak mendengarkan kata-kataku. Lita menggelengkan kepala. "Menurutku Arya lebih tampan."
"Pas! Itu mobil istrinya Arya. Gimana ini? Erlangga belum juga beranjak?" Rosita berpikir. "Suruh dia menemui aku di roof top."
"Roof top? Tempat menjemur baju?"
"Itu roof top! Kamu itu yang menyalahgunakannya."
"Hehe. Maaf." Lita terkekeh.
"Temui dia sekarang," perintah Rosita.
"Oke." Lita bergegas.
Rika sudah berada di depan meja barista. Lita menghampiri.
"Saya mau bertemu dengan —"
"Mbak Rika, ya. Ayo saya antar bertemu bos." Buru-buru Lita memotong pembicaraan Rika. Demi mencegahnya menyebutkan nama Rosita di dekat Erlangga.
"?!" Rika hanya pasrah, saat Lita menarik lengannya menuju lorong kecil.
"Nona Rosita ada di roof top. Silakan melalui tangga ini. Anda akan bertemu dengannya. Beliau sudah sangat lama menunggu. Persiapkan diri anda karena anda sangat-sangat terlambat. Kemungkinan terburuk, dia akan memakan anda … hahaha … saya bercanda, silakan." Lita menunjuk anak tangga menuju roof top dengan ke lima jari tangan terbuka dan badan sedikit membungkuk.
"Terima kasih," ucap Rika dengan intonasi lembut. Bercanda? Dasar bodoh, umpat Rika dalam hati.
"Sama-sama," jawab Lita. Dia wanita yang polos, semoga selamat dari kekejaman Rosita, gumam Lita dalam hati.