Make Up and Spaghetti
πππ
.... Ketenangan itu menyimpan misteri tidak terduga ....
____
NONA ROSITA hanya diam di tempat tidurnya.
Apakah dia baik-baik saja? Wanita yang tadi masuk bersama dokter muda mendatangi Rosita. Dia khawatir terjadi sesuatu karena Rosita terlalu tenang dari biasanya.
"Rosita," panggilnya pelan.
"Iya," jawab Rosita.
"Apakah kamu butuh sesuatu?"
"...." Rosita hanya diam.
Wanita itu undur diri, hendak kembali ke sofa.
"Mbak Lita."
"Iya." Lita menghentikan langkahnya.
"Tiba-tiba aku teringat tentang masa laluku," ungkap Rosita.
"Masa lalu yang mana?" tanya Lita.
"Saat … lelaki itu meninggalkan mamah demi wanita lain," ujar Rosita menatap langit malam di luar kaca jendela.
Lita tertegun. Rosita masih menyimpan ingatan itu.
"Kamu masih ingat dengan kejadian itu? Padahal usiamu masih 4 tahun."
"Entahlah, samar-samar. Kalau kamu tidak membawaku lari, mungkin aku sudah mati di tangan ibuku sendiri." Rosita tersenyum tipis.
Trauma itu juga dirasakan oleh Lita. Matanya tiba-tiba berair. "Kamu tau kalau itu aku?"
"Tentu saja. Kita masih bermain bersama saat itu. Aku memaksamu bolos sekolah. Kalau tidak salah, kamu memakai baju putih biru." Rosita meraba masa lalunya.
Mendengar jawaban Rosita, membuat Lita sedikit tersanjung. Gadis berhati dingin mengingat kenangan bersamanya.
"Nyonya Ros sangat menyayangimu. Tidak mungkin dia akan bertindak bodoh. Saat itu … memang dia dalam kondisi tertekan parah. Amarahnya benar-benar tidak terkendali. Tetapi yang perlu kamu tau, dia … tidak benar-benar ingin menyakitimu. Dia hanya ingin … seperti … mencari kambing—hitam agar tidak merasa disalahkan … dan —"
"Sudahlah, aku tau," potong Rosita enggan mengingat kenangan buruknya. "Yang membuat aku kesal. Kamu lebih tua 10 tahun dari aku, namun kita seperti seumuran."
"Hahahah." Lita tertawa. "Sebenarnya bukan aku yang awet muda. Tetapi kamu yang terlihat tua. Kurangi make up kamu. Make up tebal membuatmu terlihat tua." Lita memberi saran.
"No! Big no!" tolak Rosita tegas.
Lita menghela nafas. Padahal dia lebih cantik tanpa make up seperti sekarang.
"O iya, aku baru ingat," ucap Rosita tiba-tiba.
"Ingat apa?" tanya Lita hendak mengkonfirmasi.
"Bukan hal penting. Tidurlah. Aku mengantuk," suruh Rosita.
Bukan hal penting? Berarti sangat penting. Oke. Aku hargai privasinya. Tetapi aku harus tetap waspada jika dia melakukan tindakan gila, lagi, pikir Lita hanya menurut. Berusaha agar tidak terlihat mencurigai majikannya. Lantas dia mematikan lampu dan berbaring di sofa. Rosita pun memejamkan matanya. Senyum seringai tiba-tiba muncul di wajahnya.
Hari berganti. Namun, mentari belum muncul lagi. Dalam kegelapan, mata Rosita seperti kamera infrared yang mampu melihat sesuatu dengan detail. Perlahan dia mencabut infus yang tersambung di pergelangan tangannya. Bukan hal sulit bagi seorang mantan mahasiswi kedokteran yang tidak lulus.
Rosita masuk ke toilet dan mengganti bajunya. Dia berdandan seakan bukan pasien rumah sakit. Baju modis. Sepatu high heels. Make up tebal. Tidak perlu menanyakan dari mana dia mendapat barang-barang non medis itu. Otaknya jenius. Orang biasa tidak bisa memprediksinya.
Dengan hati-hati, dia mengendap-endap menuju pintu keluar. Terlihat petugas jaga sedang mengantuk parah. Rosita berlari bagaikan angin.
"Hah! Apa itu?" seru salah satu petugas. Bulu kuduknya merinding. Seketika rasa kantuknya menghilang. Menjadi waspada karena takut.
Rosita berhasil keluar dari rumah sakit. Sebuah taksi menunggu di depan lobi. Dengan gaya anggun nan elegan dia masuk ke kabin belakang. Meletakan tas dan melepas kacamata.
"Mau pergi kemana?" Lita menjulurkan lehernya dari jok supir.
"Astaga! Mbak Lita!" jerit Rosita. Runtuh sudah rencananya. Merasa sia-sia sudah berhasil keluar dari rumah sakit.
"Please. Jangan kasih tau mamah ya. Aku ada pertemuan penting pagi ini," pinta Rosita memelas.
"Bertemu dengan karakter utama bab selanjutnya?" tebak Lita tepat.
"...." Rosita tidak dapat berkata-kata.
"Aku ikut kabur denganmu," pinta Rosita.
"Ha?! No!" tolak Rosita.
"Aku tidak mau kena omel mamahmu." Lita mencoba bernegosiasi.
"Kamu tidak memikirkan Santi?" tanya Rosita.
"Sejak kapan kamu memikirkan orang lain? Biarkan saja. Dia harus membiasakan diri," ujar Lita.
"Oke! — Oke! Tapi jangan ganggu agendaku, janji?" Rosita memancungkan bibirnya karena kesal.
"Siap, Nona. Ke Kafe seperti biasa, kan?" tanya Lita memastikan.
"Jangan panggil aku nona!" Rosita kesal.
Hanya Lita yang berani menggoda Rosita.
"Mari kita let's go," seru Lita menginjak pedal gas.
Mode pertemanan ON.
"Siapa tokoh bab selanjutnya yang hendak kamu temui?" tanya Lita sembari menyetir mobil.
"Kamu sudah berjanji untuk tidak mengganggu agendaku," ketus Rosita.
"Oke, oke." Lita yang telah menganggap Rosita sebagai adiknya, tertawa geli.
"Mbak Lita."
"Iya."
"...."
"...."
"Nggak jadi deh."
"Udah omongin saja."
"Mm ... dokter muda bernama Erlangga itu. Sepertinya aku pernah bertemu dengannya," ungkap Rosita sedikit ragu.
"Yang mana?"
"Kemarin yang sempet diomelin mamah karena usianya masih muda sudah jadi dokter." Rosita mencoba mengingatkan.
"Hahaha." Lita tertawa mengingat kejadian itu. "Dokter muda itu sampai bingung menjawabnya. Dikatakan tidak berpengalaman sekaligus tampan. Mamahmu memang pandai menjatuhkan orang."
"Huft." Rosita menghela nafas. "Terkadang sikap mamah tidak seelegan penampilannya."
"Mamahmu hanya ingin memberikan yang terbaik untukmu."
"Aku tau." Rosita menyandarkan punggungnya.
Taksi yang dikendarai oleh Lita berhenti di sebuah ruko dengan gaya aesthetic alam. Beberapa gazebo rotan dengan kualitas premium berderet di bagian outdoor.
Rosita mengambil tas, bergegas keluar mobil. Langsung menekan enam tombol kode pengunci digital yang terpasang pada pintu.
Beep. Pintu terbuka.
"Aku ke masjid dulu. Sudah azan subuh," pamit Lita.
"Oke."
"Kamu mau ikut?" tanya Lita berharap ada teman ke masjid.
"Lagi M," jawab Rosita singkat.
"M apa? Males?" Lita memastikan.
"Itu tau."
Lita menghela nafas. "Ya sudah aku pergi dulu," pamit Lita.
"Iya." Rosita masuk ke dalam kafe.
Aroma espresso melekat di seluruh ruangan.
Kenapa ada seperti rasa sedih dan gelisah setiap mendengar azan. Bukan aku tidak suka. Tapi ... entahlah. Mungkin masih berat bagiku menyambut panggilan itu, pikir Rosita sembari meletakan tasnya di dalam loker.
"Aku akan menyiapkan sarapan," gumam Rosita pada diri sendiri. "Sepertinya pasta enak juga. Lagi pula Mbak Lita suka pasta."
Kompor induksi memanaskan wadah berisi air. Gelembung kecil mulai bermunculan. Rosita memasukan segenggam lidi spaghetti. Lambat laun, lidi yang keras itu melembek menyerupai bentuk mie.
Tiba-tiba Rosita merenung. Apakah setiap benda keras bisa melunak? Ingatannya meraba masa lalu. Saat teman sekolah menyebut dirinya keras dan dingin. Jika aku dingin mengapa mereka tidak mencoba menjadi air hangat agar aku melunak. Mereka justru memukulku hingga retak dan patah.
Spaghetti meneteskan airnya dari saringan mie.
Rosita menumis bawang Bombay cincang dan bawang putih geprek di atas cookware berisi minyak panas. Meletakan berbagai macam saus. Lalu merica, garam, daging giling, juga sedikit air. Setelah semua menyatu, dia meletakan spaghetti yang sudah terpisah dari air.
"Assalamu'alaikum," salam Lita masuk ke kafe.
"Wa'alaikumussalam," jawab Rosita tengah menata spaghetti dalam piring hitam.
"Waa. Aromanya enak sekali," puji Lita segera menghampiri meja.
"Ayo kita makan," ajak Rosita meletakan spaghetti di hadapan Lita.
"Kau tau?" Lita memulai pembicaraan.
Rosita memperhatikan.
"Aku tadi sahur. Makanya aku tau kamu mengendap-endap," ungkap Lita.
"Oh. Ini hari Kamis, ya." Rosita hendak menyingkirkan piring spaghetti dari hadapan Lita.
"Tunggu dulu." Lita memegang tangan Rosita. "Sepertinya spaghetti itu rezekiku. Aku tidak jadi sholat subuh karena bocor."
Rosita menghela nafas lega. Tidak sia-sia aku memasak pasta.
"Ayo, makan." Rosita mempersilakan lalu bersiap memasukan segulung kecil spaghetti ke mulutnya.
"Wait!" seru Lita. "Berdoa dulu. Biar makanannya berkah."
"Huh??" Rosita melepas sendok dan garpunya. Lalu menadahkan tangannya.
Tidak sampai sepuluh menit. Spaghetti buatan Rosita berpindah ke perut mereka berdua.
"Aku akui, pasta kamu yang terbaik."
Rosita hanya tersenyum bangga membereskan piring.
"Sepertinya kamu memang lebih suka memasak daripada mengobati orang," kata Lita.
"Kau tau, aku paling tidak suka berurusan dengan orang lain." Rosita memberikan segelas air putih kepada Lita.
"Bukankah bertemu karakter incaranmu juga namanya berurusan dengan orang lain?" tanya Lita meneguk air putih.
"Mereka berbeda. Aku tidak menganggap mereka sebagai manusia. Mereka hanya ... karakter," ungkap Rosita tanpa rasa bersalah.
"Rosita."
"Hm."
"Kapan kau akan berhenti menjadi penulis setengah waras seperti ini."
"Entah, aku merasa waras-waras saja. Aku ingin menyajikan realita dalam novelku."
"Aku tau, tapi ... apa harus melibatkan orang-orang yang tidak bersalah."
"... Aku memilih targetku. Dan mereka semua orang-orang yang bersalah."
"Rosita ...."
"Sudahlah, sekarang bukan waktunya debat. Aku hendak menyiapkan alur cerita. Kamu sudah berjanji untuk tidak menggangguku." Rosita bersikeras dengan pilihannya.
"Baiklah." Lita menyerah.
"Ayo, segera bersiap. Seperti biasa, hari ini tugasmu menjadi barista." Rosita tersenyum melempar apron hitam ke muka Lita. Lita menangkap seragamnya sembari menghirup udara-udara kesabaran.