Cursor and Keyboard
🖥️🖥️🖥️
....Katanya, kenangan masa kecil mempengaruhi masa depan....
_____
GARIS TEGAK berkedip-kedip. Layar monitor masih menyala terang meski sudah lewat tengah malam.
Rosita menyeruput espresso untuk menghilangkan kantuk. Dia mengguncangkan kedua tangan untuk melemaskan otot-otot. Memelintir badan ke kanan lalu ke kiri beberapa kali. Menggeleng mengangguk bergantian. Mengedipkan kedua matanya beberapa kali.
Rasanya mau muntah, pikir Rosita. Kepalanya sudah terasa berat. Kesadaran mulai berada dalam ambang nyata dan mimpi. Namun, ambisi untuk bisa menerbitkan proyek gila menghalanginya berbaring.
"Cinta." Rosita tersenyum dengan sedikit tertawa. "Omong kosong."
Jemari lentiknya kembali menari di atas keyboard. Menyusun huruf demi huruf, kata demi kata, paragraf demi paragraf menjadi sebuah tragedi memilukan.
"Cinta tidak akan pernah mencapai happy ending." Dia tersenyum getir, mengetik bab terakhir.
Jemarinya menekan tombol titik. Tersenyum puas. Kepalanya ambruk di meja komputer. Kesadarannya menghilang.
Pagi hari.
Seorang wanita setengah baya. Berdandanan elegan seperti hendak mengikuti fashion show. Sebuah tas mewah tergantung di lengannya. Dia berlari menyusuri koridor rumah sakit menuju sebuah kamar VIP. Kakinya lemas mendapati putri tercintanya tidak sadarkan diri.
"Nyonya!" Seseorang memegangi kedua lengan wanita itu agar tidak terjatuh.
"Kenapa bisa begini!" Wanita itu membentak pembantunya. "Aku sudah memintamu untuk menjaganya, mengapa membiarkan dia tidak sadarkan diri seperti ini?"
"... Maaf, Nyonya, nona Rosita, dia tadi malam lembur menulis novel lagi," jawab perempuan itu, suaranya sedikit bergetar dan ragu.
"Hah!" desah wanita itu kesal. "Akan aku hancurkan komputer itu."
"Maaf, jika saya tidak sopan, Nyonya. Menghancurkan komputernya akan membuat hati nona semakin hancur. Karena hanya menulis yang dapat membuatnya bertahan hidup." Walau takut, pembantu itu merasa harus menyampaikan hal itu. Dia tidak mau melihat Rosita lebih terpuruk lagi.
"Maksud kamu? Aku harus membiarkannya dalam kegilaan itu?" Matanya berlinang.
"Bukan begitu. Hanya saja, nona butuh waktu untuk melepaskan secara perlahan," ucap asistennya mencoba bernegosiasi.
Wanita itu menangis. Ambruk di lantai seperti kehilangan dirinya. Dia sudah tidak tahan lagi ingin memaki dirinya sendiri. Karena telah menjadi ibu terburuk di dunia. Memberikan kenangan buruk kepada putrinya. Sehingga membuat Rosita memiliki hati sekeras dan sedingin es. Dia tidak dapat melelehkan hati anaknya sendiri. "Ini semua salahku," gumamnya meratapi diri sendiri.
Dalam ruangan, menggema suara tangisnya.
Ingatannya kembali ke masa kecil Rosita.
Seorang anak perempuan yang manis, ceria, dan suka menebar senyuman. Dia tengah bermain boneka di ruang bermain. Tiba-tiba dia mendengar suara mamah dan papahnya di depan ruang tersebut.
"Dito! Kamu tega meninggalkan aku dan Rosita!" Jerit Ros.
"..." Dito tidak membalas kata-kata istrinya.
"Aku akan membunuh wanita itu," ancam Ros putus asa.
Dito melepas koper dan mencekik leher istrinya. "Kamu yang membuat aku seperti ini. Sadarlah!" Dia mendorong istrinya hingga menghantam dinding.
"Mamah, papah." Rosita memeluk bonekanya, ketakutan.
Mereka berdua menoleh. Ros masih tersungkur, menempel pada dinding.
"Urus anakmu itu!" Dito bergegas keluar dari rumah. Meninggalkan istrinya yang menangis histeris.
"Dito!" seru wanita itu memandangi punggung suaminya yang semakin menjauh. Kakinya gemetar sampai tidak mampu menopang berat tubuhnya. Air mata terus mengalir. Tidak mampu dia hentikan.
Pandangan Ros berpindah ke Rosita.
"Semua ini gara-gara kamu!" bentaknya. "Gara-gara melahirkan kamu, badanku jadi tidak bagus lagi. Gara-gara sibuk urus kamu, wajahku tidak cantik lagi. Sekarang suamiku meninggalkanku. Semua gara-gara kamu." Tangis Ros semakin menjadi-jadi. Hatinya yang terluka, lebih sakit daripada bekas jari di lehernya juga memar di punggungnya.
Rosita bergeming. Belum bisa mencerna perkataan ibunya. Tentu saja. Dia masih empat tahun.
"Aku akan melenyapkan mu!" Wanita itu bersiap mencekik Rosita. Demi melampiaskan kekesalannya terhadap suami.
Tiba-tiba seseorang menggendong Rosita dan membawanya lari.
"Rosita!" jerit mamahnya kesal dan semakin menggila.
Suasana berubah. Kembali ke kamar VIP di rumah sakit. Tubuh Rosita masih terkulai lemas. Wajahnya tetap cantik meski tidak menggunakan riasan.
Suara tetesan infus menggema lembut dalam ruangan. Konsisten dalam beberapa ketukan. Sudah terlalu biasa hingga orang-orang di sana tidak menyadari adanya suara itu.
Rosita berusaha menggerakkan jemarinya, namun tidak bergerak sedikitpun. Kelopak matanya mulai terbuka perlahan. Buram. Terang.
Siapa orang gila yang menyalakan lampu seterang ini? pikir Rosita yang tidak menyukai cahaya.
"Nyonya! Nona Rosita sudah sadar," seru asisten rumah tangga.
Ros bergegas melihat putrinya. Terlihat mata Rosita membuka perlahan. Namun, tidak mengatakan apapun. Mata Ros berlinang antara senang dan khawatir.
"Segera panggil dokter!" suruh Ros.
"Baik, Nyonya." Sedikit berlari pembantu memberitahu perawat jaga.
Tidak sampai hitungan menit.
Seorang dokter muda masuk ke kamar rawat VIP dengan berlari kecil. Segera mengecek kondisi pasiennya.
Seorang wanita muda turut masuk ke dalam ruangan. Tanpa sepatah kata, dia duduk di sudut sofa memperhatikan keadaan.
"Eits! Berapa usia kamu?" Ros hendak menghentikan dokter muda itu.
"29 tahun," jawab dokter singkat.
"Apakah tidak ada dokter lain di sini? Yang anak saya butuhkan dokter berpengalaman bukan dokter tampan." Ros membuat semua orang di sana tidak dapat berkata apa-apa.
Wanita di sudut sofa kamar menyemburkan air putih yang masih ada di mulutnya. Sekuat tenaga, dia menahan tawa.
Dokter muda mencoba untuk tetap fokus dengan pasien. Walaupun emosinya sungguh-sungguh bergejolak. Sebagai dokter dia tersinggung. Namun, sebagai lelaki dia tersanjung.
"Silakan ibu menyampaikannya ke bagian administrasi," jawab dokter muda itu tersenyum. Lalu menulis catatan pasien.
"Sudahlah, Mah. Kenapa mamah suka membuat rumit hal sesimpel ini? Aku capek, Mah. Aku pengen istirahat," pinta Rosita lemas.
Ros hendak membuka mulutnya, namun tiba-tiba handphonenya berdering. Dia bergegas keluar kamar dan mengangkat telepon. Lalu pergi tanpa pamit.
"Maaf, ya, Dok," pembantu Ros mewakilkan majikannya.
"Tidak apa-apa," jawab dokter muda dengan santai.
"Mamah ada benarnya." Rosita mulai berbicara. "Dokter muda biasanya tidak berpengalaman. Bahkan aku pernah salah dosis. Sehingga membuat jantungku berdebar." Rosita mengatakan begitu saja tanpa mempedulikan perasaan orang yang hendak menolongnya.
"InsyaAllah, saya tidak akan memberikan dosis yang salah," ujar dokter muda meyakinkan.
"Kalau tidak bisa memastikan tidak usah membawa nama tuhan," ketus Rosita.
"Justru saya membawa nama tuhan karena tidak dapat memastikannya," bantah dokter muda.
Rosita memandang wajah dokter tampan itu dengan kesal. Namun, tiba-tiba jantungnya berdebar. "Anda pasti memberi saya dosis yang salah."
"Saya bahkan belum memberi anda obat apa-apa. Hanya cairan infus karena anda dehidrasi dan sepertinya lupa makan." Dokter muda mulai tersenggol kesabarannya.
"... Lalu kenapa jantung saya berdebar. Rasanya aneh," ujar Rosita polos mengelus jantungnya.
"Apa perlu saya cek lagi?" tantang dokter.
"Tidak perlu," tolak Rosita memunggungi lelaki berjas putih.
"Baik." Dokter meninggalkan Rosita.
Erlangga? Rosita mengingat tag name di dada dokter muda. Aku seperti pernah mengenalnya. Tapi kapan dan dimana?
"Mbak Santi, tolong ambilkan saya cermin," pinta Rosita.
Santi, asisten rumah tangga sekaligus penjaga Rosita bergegas mengambil cermin kecil di tas. Lantas memberikannya kepada Rosita.
"Ini, non." Santi memberikan cermin penuh sopan santun dengan kedua tangan.
"Jangan panggil saya nona."
"Tapi …."
"Mamah sudah nggak ada, kan?"
"Baik, Mbak Rosita."
"Itu terdengar lebih baik."
Rosita melihat pantulan wajahnya yang cantik. "Aku masih Rosita. Kenapa lelaki itu tidak tergoda?"