Hari ini Lili bertugas untuk mengambil buku paket yang menjadi bahan pembelajaran di kelasnya. Gadis itu berjalan santai menuju perpustakaan sembari menyapa beberapa murid dan guru yang ia lewati. Pagi ini cukup cerah, membuat suasana hati Lili menjadi lebih baik setelah adegan adu argumen antara dirinya dengan sang kakek dan ayahnya.
Namun hal itu sirna sesaat setelah gadis itu membuka pintu perpustakaan dan mendapati dua tumpuk buku yang berada di meja perpustakaan dengan tanda MIPA 4. Lili sendiri tak mengira jika dirinya harus membawa buku sebanyak ini, dirinya berpikir jika sang guru akan menyuruh mereka berkelompok seperti biasanya.
Lebih mengejutkannya lagi, petugas perpustakaan mengatakan bahwa troli yang biasa mereka gunakan untuk mengangkut buku kini tengah diperbaiki, setelah salah satu murid tak sengaja merusaknya, membuat beberapa bagian troli rusak dan perlu diperbaiki, entah kapan akan selesai namun sepertinya tidak dalam waktu dekat.
Dengan tangan yang penuh dengan buku, Lili berusaha untuk menumpuk buku sebanyak-banyaknya agar dirinya hanya perlu kembali sekali lagi untuk mengambilnya. Tiba-tiba terdapat sebuah tangan yang mengambil separuh buku yang ada di tangannya. Lili kemudian reflek menolehkan pandangannya pada pemilik tangan tersebut.
“Chiv?” Lili tentunya terkejut, mengapa pemuda ini ada di perpustakaan padahal ini masih jam mata pelajaran.
“Hai Lili, lo keliatan repot banget.” ucapnya santai.
“Kok lo bisa disini? Ini masih jam pelajaran loh.”
“Tenang, gue nggak kabur dari kelas. Kelas gue dapet jam kosong sampai istirahat, jadinya belajar mandiri, dan karena kelas gue rame plus ribut jadinya gue ke perpustakaan buat belajar.”
“Jam kosong? Emang lo dari kelas apa?”
“Gue dari MIPA 5, sebelah kelas lo.”
“Demi apa?! Kok gue ngga tau?”
“Lo aja yang nggak pernah liat gue. Gue bawain sisanya, lo jalan aja duluan.”
“Nggak-nggak, kita jalan bareng aja.”
“Nanti malah banyak yang salah paham soal gue lagi.” Tentu Chiv sadar akan hal tersebut, bahwa banyak murid yang mendukung hubungan Lili dan Hadden, pemuda itu tak ingin menjadi orang ketiga diantara mereka.
“Maksud lo? Salah paham gimana?”
“Ya salah paham, kan lo sama Hadden ada hubungan. Nanti yang ada gue dikira mau ngerebut lo dari dia lagi.”
Lili seketika tertawa mendengar ucapan Chiv. Gadis itu tak mengira ada satu orang yang masih mempercayai bahwa dirinya dengan Hadden menjalin hubungan asmara. Gadis itu kemudian mulai berjalan keluar dari perpustakaan diikuti oleh Chiv.
“C’mon Chiv, gue sama Hadden sama sekali nggak ada hubungan, kita cuma temanan biasa kok.”
“Lah? Terus yang diomongin anak-anak?” Chiv seketika kebingungan, jadi fakta mana yang harus dirinya percayai.
“Beneran Chiv, gue juga bingung kenapa mereka semua pada ngejodohin gue sama Hadden. Padahal diantara kita nggak ada yang namanya benih-penih percintaan.”
“Anjir lah, jadi selama ini gosip itu nggak bener?”
“Emang bukan, makanya jangan asal percaya, lo itu gampang percaya banget sih sama gosip-gosip yang beredar.”
“Ya kali aja kan, soalnya gue juga sering ngeliat kalian berdua bareng gitu.”
Keduanya terus mengobrol hingga sampai di depan kelas MIPA 4. Lili kemudian masuk ke dalam kelas dan meletakkan buku di meja guru, diikuti oleh Chiv. Lili sangat beruntung sebenarnya karena bertemu dengan Chiv, gadis itu tak perlu lagi bolak-balik ke perpustakaan hanya untuk mengambil buku-buku tersebut.
Seluruh kelas tentunya tercengang, siapa yang mengira seorang Chiv, pemuda keturunan Dananjaya yang selalu terkesan dingin dan tak perduli pada orang lain, kini berdiri di depan kelas bahkan membantu Lili membawa buku bahan pembelajaran.
Hadden sendiri yang melihat hal tersebut pun merasa posisinya terancam. Pemuda itu tahu betul bagaimana Chiv, dirinya sebelumnya berada dalam satu lingkup sekolah semasa SMP. Dirinya yang satu kelas pun tak pernah dibantu oleh pemuda tersebut, namun kini dia harus melihat gadis incarannya dibantu oleh Chiv, membuat Hadden curiga jika Chiv menaruh hati pada Lili.
Chiv kemudian meminta izin pada Lili untuk kembali ke perpustakaan sebab masih ada buku yang belum ia selesaikan. Setelah Chiv menghilang dibalik pintu, Lili kemudian kembali ke tempat duduk miliknya. Ketiga sahabatnya itu hanya bisa menatap takjub pada Lili yang dengan gampangnya membuat Chiv dengan senang hati menolongnya. Entah keajaiban apa yang gadis itu gunakan.
*
*
*
Lili kini berjalan menuju ke arah ruangan klub musik dengan bersenandung ria, sebenarnya hal ini ia lakukan untuk mengusir rasa gugupnya yang entah mengapa menghantuinya sedari tadi. Sesampainya di depan pintu ruangan tersebut, dengan perlahan Lili membuka pintu kayu itu, membuat seluruh atensi anggota klub musik mengarah pada pintu dan membuat musik yang tengah mereka mainkan berhenti sesaat.
Gadis itu kemudian melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan yang cukup luas tersebut. Dapat ia lihat banyak sekali instrumen musik yang berjejer di sana, piano, biola, drum, dan lain sebagainya. Dirinya kemudian berjalan ke depan para anggota yang kini menatap ke arahnya.
“Perkenalkan, saya Lilian Wagner, dari kelas sepuluh MIPA 4, mohon bimbingannya.” ucap Lili memperkenalkan dirinya dan disambut tepuk tangan oleh para anggota klub musik.
“Hai Lili, saya Julian, ketua dari klub musik sekolah ini. Saya langsung pada topik utama, intrumen apa yang sebelumnya kamu mainkan?”
“Saya bermain piano sebelumnya dan juga biola, namun lebih mahir dalam bermain piano.”
Julian kemudian menyerahkan satu lembar partitur tak berjudul, seolah ingin menguji apakah Lili mengetahui soal lagu tersebut. Saat Lili memperhatikan notasi-notasi yang ada dalam partitur tersebut, gadis itu kemudian menatap ke arah seniornya dengan tatapan heran.
“Fur Elise? Senior ingin saya memainkan ini?”
“Tentu, kami tidak mau menerima anggota yang tidak dapat memainkan musik atau pun buta nada.”
Lili kemudian duduk di kursi piano, bersiap untuk memainkan nada yang berada di partitur tadi. Jari jemari Lili menari dengan apik di atas piano, memainkan bait tiap bait nada-nada yang tertulis di sana. Tepuk tangan terdengar riuh sesaat setelah Lili menyelesaikan satu lembar partitur yang diberikan oleh Julian tadi, semua anggota klub musik bahkan Julian mengagumi permainan piano Lili tadi.
Sedangkan sedari tadi, Chiv yang tidak sengaja berjalan melewati ruangan klub musik, mendengar alunan musik yang sangat ia kenali. Pemuda itu kemudian berhenti untuk mencari sumber suara dan ternyata berasal dari piano yang tengah dimainkan oleh Lili. Pintu ruangan klub musik memang sedikit terbuka, membuat suara yang dihasilkan keluar dengan bebas.
Dengan tatapan penuh kagum Chiv menatap Lili yang tengah memainkan piano sambil bersender di pintu. Para anggota yang melihat hal tersebut pun tak menegurnya, toh memang biasanya ada murid-murid yang menonton mereka di depan pintu saat latihan.
Sungguh, Chiv sangat merindukan lagu ini, lagu yang biasa kakeknya mainkan ketika merindukan mendiang istrinya yang telah terlebih dahulu pergi. Dan entah mengapa, permainan Lili sangat mirip dengan permainan kakeknya, dirinya bahkan kini dapat melihat bayangan kakeknya yang tengah bermain piano.
Tak lama kemudian, Chiv dikejutkan dengan tepukan di pundaknya, membuat pemuda tersebut reflek menolehkan kepalanya dan menemukan Ven yang tengah berdiri di sampingnya dengan tangan berada di bahunya.
“Ngapain lo di sini? Mau masuk ke klub musik?” tanya Ven pada Chiv.
“Enggak, gue cuma kebetulan denger suara piano. Gue kira ada yang iseng mainin, ternyata lagi ada latihan.” Ven kemudian melihat ke arah dalam ruangan dan menemukan Lili yang tengah duduk di kursi piano, membuat pemuda tersebut tersenyum meledek ke arah Chiv.
“Ada yang latihan atau lo notice kalau yang main itu Lili?”
“Apaan sih, orang bener kok, gue kira ada yang latihan tadi, udah ah, gue ke lapangan dulu.” Chiv kemudian mengambil langkah lebar, meninggalkan Ven yang masih terus meledek dirinya.
“Njir ngambek, tungguin woy.” ujar Ven sambil terus tertawa meledek Chiv yang terus enggan jujur dengan perasaannya.
*
*
*
Malam ini cukup sunyi, kakek dan nenek Lili memutuskan untuk bermalam di rumah sahabat lama mereka, membuat Lili sendirian di rumah sebab kedua orang tuanya harus pergi ke luar kota untuk melakukan perjalanan bisnis. Lili sendiri kini berada di dalam kamarnya, memegang ponsel keluaran terbaru, berusaha menelpon kakak laki-lakinya.
Percobaan pertamanya gagal, membuat Lili berpikir jika sang kakak tengah sibuk. Gadis itu kemudian beralih pada buku novel yang masih terbungkus plastik dan membukanya. Ia kemudian mulai membaca buku tersebut sampain ponselnya berbunyi, menampilkan nomor serta nama sang kakak di layarnya.
“Halo, abang kok tadi nggak diangkat?” tanyanya penasaran.
“Maaf ya, abang tadi lagi ke kamar mandi, oh iya, gimana sekolahnya? Lancar?”
“Pasti dong, adeknya Alaric kok gagal, oh tentu mustahil.” Alaric yang mendengar ucapan adiknya itu pun hanya bisa tertawa, pemuda itu benar-benar merindukan adiknya sekarang.
“Ayah sama bunda gimana? Sehat? Oh iya, kakek sama nenek di mana?”
“Sehat kok, kakek sama nenek lagi nginep di rumah sahabat lamanya, adek nggak tau juga yang mana orangnya.”
“Oh gitu, bosen nggak nih abang nggak di rumah? Pasti bosen ya karena nggak ada yang ngegangguin.” Ledek Alaric.
“Bosen banget, adek pengennya abang ada di sini. Lagian kuliah kenapa sih jauh-jauh, di Indonesia juga banyak.”
“Ya kan abang cuma mau nemenin kakek sama nenek di sini. Lagi pula kakek perlu bantuan abang buat ngurus berbagai macam pekerjaan termasuk pekerjaan kantor.”
“Iya deh iya, lagian kenapa nggak pindah aja coba ke sini, lebih enak juga.”
“Bawel ya kamu dek. Terus gimana soal klub? Adek daftar di klub yang mana?” Tentunya Alaric sangat penasaran dengan kehidupan sekolah adiknya sebab dirinya tak bisa menyaksikannya langsung.
“Adek tadinya mau masuk OSIS, tapi karena belum ada penerimaan jadinya masuk klub musik dulu, nanti kalau sudah ada penerimaan bakal ikutan.”
“Baguslah kalau begitu, abang denger kamu lagi deket ya sama cowok? Siapa tuh?”
“Apaan sih bang, mana ada ya. Tapi kalo yang menarik, kayaknya, ada sih.”
Lili kini terbayang-banyang wajah Chiv. Keduanya tak sengaja bersitatap dengan jarak yang cukup dekat saat pemuda itu menolong Lili membawakan buku dari perpustakaan ke kelas MIPA 4. Dapat Alaric lihat jika kini pipi sang adik berubah merona merah, pemuda itu semakin gencar meledek sang adik.
“Cie yang punya crush, ceritain dong, masa mau di simpen sendiri?”
“Abang apaan sih, nanti abang ember lagi ke bunda, nggak mau ah.”
“Iya-iya maaf, tapi adek, adek beneran mau masuk ke OSIS?” Lili mengangguk, dirinya memang tertarik untuk masuk menjadi anggota OSIS.
“Pasti dong, abang kira adek bercanda apa?”
“Kalau gitu adek harus dengerin kata abang. Jangan kecapekan, jangan overwork, harus bisa jaga kesehatan, vitaminnya jangan lupa diminum, harus istirahat yang cukup, abang nggak mau tahu. Intinya kalau adek mau join jadi anggota OSIS, semua syarat yang abang bilang tadi harus dipatuhi sama adek, paham?”
“Iya abang, adek ngerti kok, adek bakal mematuhi semua syarat yang abang kasih tadi.”
“Baguslah, tapi beneran? Adek nggak mau cerita soal crush adek?”
“Abang apaan sih, nggak ah, udah ah, udah malem, abang tidur sana, bye, see you.” Alaric pun hanya dapat tertawa mendengar ocehan sang adik.
“Bye adek, see you too, nice dream.”
Panggilan tersebut pun terputus, Lili kemudian menaruh ponselnya di meja kecil yang disediakan di samping ranjangnya. Dirinya masih terus terbayang adegan di perpustakaan yang terus membuat hatinya berdegub kencang. Bayangan wajah Chiv yang tak sengaja berdekatan dnegan wajahnya membuat gadis itu menenggelamkan wajahnya ke bantal, berusaha menghilangkan deguban yang terus menerus bersarang di jantungnya.
@cf